Kajian tentang eksistensi puisi dan musik di Jazirah Arab, baik pada masa pra-Islam maupun Islam, merupakan sebuah lensa kritis untuk memahami dinamika peradaban, adaptasi budaya, dan evolusi nilai-nilai sosial. Periode pra-Islam, yang dikenal sebagai era Jahiliyyah, sering kali disalahpahami sebagai “masa kebodohan.” Namun, pandangan historis yang lebih akurat membatasi masa ini pada sekitar 150 tahun sebelum kenabian Rasulullah SAW karena minimnya referensi sejarah yang dapat dirujuk. Dalam konteks ini, istilah Jahiliyyah lebih tepat diinterpretasikan sebagai kondisi sosial yang berpusat pada nilai-nilai kesukuan, di mana moralitas dan identitas tidak terikat pada kerangka spiritual monoteistik.

Dalam masyarakat Jahiliyyah, seni, sastra, dan budaya bukanlah sekadar hiburan, melainkan fondasi vital yang menopang struktur sosial. Puisi dan lagu memiliki peran sentral, berfungsi sebagai media untuk merekam sejarah, melestarikan silsilah, dan mengekspresikan kehormatan kolektif. Kedatangan Islam tidak serta-merta menghapus tradisi-tradisi ini, melainkan mengevaluasi dan mengintegrasikannya ke dalam kerangka moral dan spiritual baru. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan analisis komparatif yang mendalam, mengupas bagaimana kedua bentuk seni ini bertahan, beradaptasi, dan berevolusi seiring dengan transisi budaya dan keagamaan yang fundamental.

Puisi dan Peran Penyair di Era Pra-Islam (Jahiliyyah)

Kedudukan Sosial Penyair

Pada era Jahiliyyah, posisi seorang penyair menempati martabat yang sangat luhur dalam hierarki sosial. Mereka dianggap sebagai juru bicara suku, sejarawan lisan, dan diplomat. Penyair berfungsi sebagai alat kekuasaan yang fungsional, di mana kemampuan mereka dalam merangkai kata-kata menjadi kekuatan yang setara dengan kekuatan fisik. Pepatah Arab yang terkenal, “Penyair adalah tuah untuk suku pemilik dan tulah untuk si musuh,” secara lugas menggambarkan peran ini. Istilah “tuah” merujuk pada anugerah yang dapat mengangkat harkat dan martabat suku melalui puisi pujian (madh) dan mempertahankan kehormatan mereka, sementara “tulah” merujuk pada bencana yang dapat ditimpakan pada musuh melalui puisi satir atau celaan (hija’).

Peran ini melampaui sekadar retorika; puisi adalah satu-satunya media massa dan diplomasi pada masa itu. Puisi yang baik dapat memenangkan pertempuran tanpa pedang atau mempermalukan musuh tanpa kekerasan fisik, menjadikan penyair sebagai figur yang tak tergantikan dalam diplomasi antarsuku. Ketergantungan masyarakat pada puisi untuk mendokumentasikan genealogis, peristiwa penting, dan pandangan dunia mereka menjadikan penyair sebagai repositori pengetahuan dan identitas kolektif.

Karakteristik Puisi Pra-Islam

Puisi Jahiliyyah merefleksikan nilai-nilai dan realitas kehidupan nomaden di padang pasir. Tema-tema dominan yang muncul meliputi:

  • Fakhr (Kebanggaan): Memuji keagungan suku, silsilah leluhur, dan keberanian para pahlawan mereka.
  • Hija’ (Satire): Mengolok-olok dan mencela musuh dengan kata-kata yang tajam.
  • Ritha’ (Ratapan): Meratapi kematian tokoh pahlawan atau orang-orang tercinta.
  • Nasib (Elegi Nostalgis): Mengekspresikan kerinduan atau kesedihan atas tempat tinggal yang ditinggalkan.
  • Deskripsi Alam dan Perjalanan: Menggambarkan unta, kuda, padang pasir, dan pertempuran, yang sering kali menjadi bagian dari narasi qasidah klasik.

Secara formal, puisi klasik Arab umumnya mengikuti struktur qasidah yang terdiri dari tiga bagian: prolog elegiak (nasib), deskripsi perjalanan padang pasir (rahil), dan bagian utama yang berisi tujuan puisi (madh, hija’, atau fakhr).

Karya Monumental: Mu’allaqat (Puisi Gantung)

Mu’allaqat merupakan koleksi puisi terbaik dari era Jahiliyyah yang dianggap sebagai puncak estetika dan produksi puitis dalam sejarah sastra Arab. Nama Mu’allaqat, yang berarti “yang tergantung,” berasal dari legenda bahwa puisi-puisi ini digantung di dinding Ka’bah karena keindahan sastranya. Sumber lain menyebutnya mudzahhabat, merujuk pada puisi yang ditulis dengan tinta emas.

Para penyair Mu’allaqat yang paling sering disebutkan meliputi Imru’ al-Qais (yang dianggap sebagai “Bapak Puisi Arab”), Zuhair ibn Abi Sulma , Antara ibn Shaddad , Labid, Tarafa, Amr ibn Kulthum, dan Harith ibn Hilliza. Puisi-puisi ini lebih dari sekadar karya seni; mereka adalah ensiklopedia lisan yang mendokumentasikan kehidupan, adat istiadat, dan sejarah masyarakat pra-Islam. Statusnya setara dengan dokumen sejarah dan identitas yang sangat penting, yang menunjukkan bahwa peradaban pra-Islam telah mencapai tingkat estetika dan narasi yang matang. Menggantungnya di Ka’bah, sebagai pusat spiritual dan komersial, melambangkan pengakuan kolektif akan nilai budaya dan historisnya, menjadikannya warisan budaya yang tak ternilai.

Puisi di Masa Islam: Adaptasi, Pergeseran, dan Dualisme

Respons Nabi Muhammad SAW dan Al-Quran terhadap Puisi

Kedatangan Islam membawa kerangka nilai baru yang mengevaluasi kembali peran seni dan sastra. Al-Quran dan hadis tidak mengharamkan puisi secara mutlak, melainkan memilah dan membatasi berdasarkan isi dan tujuannya. Terjadi dualisme pandangan yang mencerminkan nuansa hukum dan moralitas dalam Islam.

Di satu sisi, terdapat kritik terhadap penyalahgunaan puisi. Al-Quran surat Asy-Syu’ara ayat 224-226 mengecam para penyair yang “diikuti oleh orang-orang yang sesat,” yang “mengembara di setiap lembah,” dan “mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan”. Kritik ini ditujukan pada penyair yang gemar berfantasi, berlebihan dalam memuji atau mencela, dan menggunakan puisi untuk mencari keuntungan, sehingga melalaikan ibadah dan kebenaran. Sebuah hadis populer menyatakan, “Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan puisi,” yang merupakan kecaman keras terhadap penyair yang hanya berorientasi pada material dan mengabaikan nilai-nilai spiritual.

Di sisi lain, terdapat pengakuan dan apresiasi terhadap puisi yang bermoral. Nabi Muhammad SAW memuji puisi yang mengandung hikmah, seperti yang diucapkan oleh penyair Labid, dengan bersabda, “Sesungguhnya terdapat hikmah di antara (bait-bait) puisi”. Pengecualian ini juga termaktub dalam Al-Quran surat Asy-Syu’ara ayat 227, yang memuji “para penyair yang beriman, berbuat kebajikan, banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan setelah terzalimi”. Sikap ini menunjukkan bahwa Islam tidak menghapus seni, melainkan mengembalikannya ke jalur spiritual dan moral.

Pergeseran Fungsi dan Tema Puisi

Di bawah pengaruh Islam, fungsi puisi mengalami pergeseran fundamental. Puisi tidak lagi menjadi alat propaganda kesukuan, melainkan bertransformasi menjadi media dakwah, pembelaan terhadap kebenaran, dan sarana untuk memuji Nabi dan Allah.

  • Hasan bin Tsabit: Dikenal sebagai “Penyair Rasulullah,” Hasan bin Tsabit menggunakan puisinya untuk membela Nabi Muhammad SAW dari caci maki kaum kafir. Sebagai bentuk pengakuan, Nabi bahkan menyediakan mimbar khusus baginya di masjid untuk membacakan puisi-puisi pujiannya.
  • Ka’b ibn Zuhayr: Kisah Ka’b menjadi contoh paling dramatis dari transisi ini. Awalnya, ia memusuhi Islam dan mencela Nabi, tetapi kemudian datang untuk memohon ampun dengan membacakan Qasidah Burdah (“Ode Jubah”). Sebagai tanda pengampunan dan pengakuan, Nabi Muhammad SAW memberikan jubahnya kepada Ka’b. Tindakan ini melampaui sekadar pengampunan pribadi; ini adalah legitimasi publik terhadap puisi yang berorientasi pada kebenaran dan iman. Pemberian jubah tersebut menjadi simbol bahwa puisi yang sebelumnya menjadi alat perang suku kini diakui sebagai alat perjuangan (jihad) dan ekspresi keimanan. Peristiwa ini menjadikan puisi na’at (pujian kepada Nabi) sebagai genre baru yang penting dalam sastra Islam.
  • Al-Khansa: Pergeseran tema juga terlihat pada Al-Khansa, penyair perempuan terkenal yang ratapannya (rithā’) tentang saudara laki-lakinya berubah setelah ia masuk Islam. Ketika keempat putranya gugur sebagai syuhada, ia justru memuji Allah, menunjukkan duka yang dimuliakan oleh keikhlasan dan perjuangan di jalan Allah.

Tabel 1: Perbandingan Puisi Pra-Islam dan Islam 

Aspek Era Pra-Islam (Jahiliyyah) Era Islam
Peran Penyair Figur terhormat, juru bicara suku, sejarawan, diplomat, propagandis. Diakui tetapi dibatasi, menjadi media dakwah dan pembelaan kebenaran.
Fungsi Utama Melestarikan kebesaran suku, merekam sejarah, memenangkan perselisihan, mengobarkan semangat kepahlawanan. Mengajarkan nilai-nilai moral, memuji Allah dan Nabi Muhammad SAW, membela Islam, menginspirasi kaum muslimin.
Tema Dominan Fakhr (kebanggaan suku), hija’ (satire), ritha’ (ratapan), madh (pujian), nasib (elegiak). Na’at (pujian Nabi), hamd (pujian Allah), hikmah, da’wah, jihad.
Pandangan Agama/Masyarakat Dihormati secara universal; penyair adalah simbol kekuatan suku. Dibolehkan jika sesuai syariat dan tidak berlebihan; dilarang jika melalaikan ibadah atau berisi kebohongan.
Tokoh Kunci Imru’ al-Qais, Zuhair ibn Abi Sulma, Antara ibn Shaddad, Al-Nabighah al-Dhubyani. Hasan bin Tsabit, Ka’b ibn Zuhayr, Al-Khansa, Labid bin Rabi’ah.
Karya Monumental Mu’allaqat (Puisi Gantung). Qasidah Burdah (Karya Ka’b bin Zuhayr).

Lagu dan Musik: Dari Tradisi Lokal ke Seni Istana

Lagu dan Musik di Era Pra-Islam

Tradisi musik pada masa Jahiliyyah cenderung sederhana dan belum menjadi seni yang berkembang pesat. Musik umumnya berfungsi sebagai iringan untuk nyanyian unta (huda) atau hiburan dalam pertemuan-pertemuan kesukuan. Instrumen yang digunakan pun dasar, seperti

duff (rebana), oud (kecapi), dan rebab (biola satu senar). Peran musisi sering kali diemban oleh budak perempuan (qainat) yang bernyanyi di balik tirai atau di lingkungan privat. Musik pada periode ini tidak memiliki teori yang mapan, dan komposisinya cenderung sederhana dengan satu melodi (maqam).

Pandangan Islam tentang Musik: Debat Fiqih (Khilafiyah)

Kedatangan Islam membawa perdebatan hukum yang kompleks terkait musik dan lagu. Tidak ada konsensus (ijma’) di kalangan ulama mengenai hukum musik; masalah ini dikategorikan sebagai khilafiyah (perselisihan pendapat).

  • Argumen Pihak yang Mengharamkan: Mayoritas ulama (jumhur ulama), termasuk dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, cenderung mengharamkan musik dan menyanyi. Argumentasi mereka didasarkan pada hadis yang mengaitkan alat musik (ma’azif) dengan perilaku terlarang seperti zina, sutra, dan khamr. Alasan di balik keharaman ini adalah
    illat (sebab hukum) tertentu: alat musik dianggap identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk (tasyabbuh) atau dapat melalaikan seseorang dari mengingat Allah dan kewajiban ibadah.
  • Argumen Pihak yang Membolehkan: Sebagian ulama lain, seperti dari mazhab Maliki dan Zhahiri, membolehkan musik. Mereka berargumen bahwa tidak ada dalil dalam Al-Quran atau hadis yang secara eksplisit dan mutlak mengharamkan musik itu sendiri. Sebaliknya, mereka berpegang pada hadis yang menunjukkan kebolehan, seperti saat Nabi Muhammad SAW mengizinkan dua budak perempuan bernyanyi di rumahnya pada hari raya. Pendapat ini membedakan antara musik itu sendiri dan konteks atau tujuan penggunaannya. Keharaman musik tidak terletak pada alatnya, melainkan pada
    illat yang menyertainya, misalnya jika musik tersebut digunakan untuk perbuatan maksiat atau melalaikan ibadah. Perbedaan interpretasi tentang illat ini menjadi kunci yang menjelaskan mengapa perdebatan ini masih berlangsung hingga kini.

Perkembangan Musik di Periode Klasik Islam

Terlepas dari perdebatan fiqih, musik mengalami perkembangan yang pesat di bawah patronase para khalifah. Dinasti Umayyah (661-750 M) menjadi titik balik, di mana musik mulai berkembang di istana dan menjadi bagian dari budaya elit. Khalifah Yazid II bahkan menjadi salah satu yang memperkenalkan festival besar di istana yang menampilkan penyanyi terkenal.

Perkembangan musik mencapai puncaknya pada masa Kekhalifahan Abbasiyah (750-1258 M). Hal ini terjadi karena peradaban Islam tidak lagi sekadar peradaban Arab, melainkan peradaban kosmopolitan yang mengadopsi tradisi musik Persia, Bizantium, dan budaya lainnya. Musik di istana tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga menjadi media diplomasi dan simbol kekuasaan. Para khalifah seperti Harun al-Rasyid dan al-Mu’tamid menjadi patron seni yang memberikan perlakuan istimewa kepada para musisi, seperti Ziryab, al-Farabi, dan Ibnu Surayj.

Dalam konteks ini, muncul genre musik religius baru seperti Nasheed (pujian tanpa instrumen), Madih Nabawi (himne pujian Nabi), dan berbagai bentuk musik Sufi seperti Qawwali dan Dhikr yang menggunakan musik sebagai sarana untuk mencapai ekstase spiritual. Perkembangan ini menunjukkan bagaimana musik, meskipun menjadi subjek perdebatan, berhasil diintegrasikan ke dalam ekspresi religius dan kebudayaan Islam.

Tabel 2: Perbandingan Pandangan Fiqih tentang Musik 

Mazhab/Ulama Pandangan Umum Dalil/Alasan Pro-Prohibisi Dalil/Alasan Pro-Permisibilitas Contoh Alat Musik
Jumhur Ulama (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) Mengharamkan musik secara umum. Hadis yang mengaitkan ma’azif (alat musik) dengan perbuatan terlarang (zina, khamr). Alat musik petik dan tiup: oud, seruling, gitar.
Mazhab Maliki & Zhahiri Membolehkan musik, kecuali jika digunakan untuk maksiat atau melalaikan ibadah. Tidak ada dalil eksplisit yang mengharamkan musik secara mutlak.23 Nabi SAW mengizinkan musik pada hari raya. Rebbana (duff), seruling.
Imam Al-Ghazali Membolehkan, kecuali jika alatnya identik dengan syiar orang yang berperilaku buruk. Pengharaman bukan karena zatnya, melainkan karena illat yang menyertainya. Membedakan antara duff yang boleh, dengan seruling yang identik dengan orang fasik.
Imam Ibnu Qudamah Mengharamkan musik yang mengandung lahw (hiburan sia-sia) dan ma’azif (alat musik) Semua alat musik adalah alat-alat maksiat berdasarkan ijma. Gendang, seruling, gitar.
Imam Syaukani Membolehkan, dan menolak klaim adanya ijma’ yang mengharamkan. Menulis kitab khusus untuk menolak ijma’ keharaman musik (Ibthāl Da’wa Al-Ijmā ‘Alā Tahrīm Muthlaq As-Samā’).

Kesimpulan dan Wawasan Multilayered

Puisi dan musik di Jazirah Arab mengalami transformasi signifikan dari era tribalistik ke era peradaban Islam yang berpusat pada nilai-nilai spiritual dan moral. Puisi, yang pada awalnya berfungsi sebagai alat pertarungan suku dan dokumentasi sejarah lisan, di-reorientasi menjadi media dakwah dan pujian spiritual. Keberlanjutan dan adaptasi puisi ini ditegaskan oleh sikap Nabi Muhammad SAW yang memilah dan memuji puisi yang mengandung hikmah dan kebenaran, serta memberikan legitimasi sosial kepada para penyair muslim.

Sementara itu, musik berkembang dari tradisi lokal yang sederhana menjadi seni istana yang dihormati, meskipun menjadi subjek perdebatan fiqih yang kompleks. Sejarah menunjukkan bahwa perdebatan tentang hukum musik sering kali terkait dengan konteks sosial dan tujuan penggunaannya, bukan pada alatnya itu sendiri. Perkembangan musik yang pesat di era Umayyah dan Abbasiyah mencerminkan pergeseran dari peradaban Arab yang terisolasi menjadi peradaban Islam yang kosmopolitan, yang dengan cerdas mengadopsi dan menyintesis tradisi artistik dari berbagai budaya yang ditaklukkannya.

Secara keseluruhan, Islam tidak menghancurkan seni Jahiliyyah, melainkan mengevaluasi dan mengintegrasikannya ke dalam kerangka moral dan spiritual baru. Proses ini mencerminkan evolusi peradaban dari nilai-nilai suku yang berpusat pada diri sendiri ke nilai-nilai universal yang berpusat pada tauhid. Analisis historis ini memberikan landasan yang kuat untuk memahami mengapa dialog tentang seni dalam Islam adalah isu yang begitu kaya dan bernuansa hingga saat ini.

 

Daftar Pustaka :

  1. View of Karakteristik Sastra Arab pada Masa Pra-Islam – Journal Unhas, diakses September 8, 2025, https://journal.unhas.ac.id/index.php/naa/article/view/3231/1787
  2. Karakteristik Sastra Arab pada Masa Pra-Islam – Journal Unhas, diakses September 8, 2025, https://journal.unhas.ac.id/index.php/naa/article/download/3231/1787/6397
  3. Zuhair Bin Abi Sulma Dan Puisi Muallaqat-Nya … – Digilib UIN Suka, diakses September 8, 2025, https://digilib.uin-suka.ac.id/19234/7/07_Drs.%20Bachrum%20Bunyamin%2C%20M.A._ZUHAIR%20BIN%20ABI%20SULMA%20DAN%20MUALLAQATNYA%20%28Kajian%20Intrinsik%29.pdf
  4. EMPAT PENYAIR DI ZAMAN RASULULLAH SAW. – LAZ Persis, diakses September 8, 2025, https://lazpersis.or.id/berita/empat_penyair_di_zaman_rosulullah/detail
  5. Sastra Arab – Repository UIN Malang, diakses September 8, 2025, http://repository.uin-malang.ac.id/7856/1/7856.pdf
  6. Merdeka Bersama Diplomasi Sastra – Majalah Mata Air, diakses September 8, 2025, https://mataair.co/merdeka-bersama-diplomasi-sastra/
  7. SASTRA SEBAGAI MEDIA DIPLOMASI DALAM UPAYA MEMPEROLEH PENGAKUAN KEMERDEKAAN – DGB UI, diakses September 8, 2025, https://dgb.ui.ac.id/wp-content/uploads/123/2023/04/pidato-pengukuhan-M.-Luthfi-Zuhdi.pdf
  8. Transformasi Budaya Islam dalam Puisi Al-Khansa dan Hassan ibn Thabit Era Khilafah, diakses September 8, 2025, https://ojs.daarulhuda.or.id/index.php/Socius/article/download/1838/1984
  9. The Importance of Ka’b ibn Zuhayr’s Burdah to Classical and …, diakses September 8, 2025, https://scholarworks.brandeis.edu/view/pdfCoverPage?instCode=01BRAND_INST&filePid=13419026510001921&download=true
  10. Penyair Arab Era Pra-Islam Biasa Pajang Karyanya di Dinding Ka’bah – detikcom, diakses September 8, 2025, https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6860043/penyair-arab-era-pra-islam-biasa-pajang-karyanya-di-dinding-kabah
  11. wikipedia.org, diakses September 8, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Imru’_al-Qais
  12. Nabi SAW dan Para Penyair (Bag. 2): Ketika Nabi SAW Mengkritik …, diakses September 8, 2025, https://islami.co/nabi-saw-dan-para-penyair-bag-2-ketika-nabi-saw-mengkritik-para-penyair/
  13. PUISI DALAM PERSPEKTIF HADIS NABI (Kajian hadis Kontradiksi), diakses September 8, 2025, https://ejournal.unia.ac.id/index.php/reflektika/article/viewFile/31/25
  14. Hasan bin Tsabit, Penyair Terkenal Zaman Rasulullah SAW – detikcom, diakses September 8, 2025, https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6931374/hasan-bin-tsabit-penyair-terkenal-zaman-rasulullah-saw
  15. Top 5 Arabic Instruments and Features of Them – Sala Muzik, diakses September 8, 2025, https://salamuzik.com/blogs/news/top-5-arabic-instruments-and-features-of-them
  16. BAB21413315033 | PDF | Ilmu Sosial | Sejarah – Scribd, diakses September 8, 2025, https://id.scribd.com/document/532008249/BAB21413315033
  17. Seni Pada Masa Khilafah Islam (Part 3) – GBSRI, diakses September 8, 2025, https://gbsri.com/seni-pada-masa-khilafah-islam-part-3/
  18. hukum musik dan menyanyi dalam fiqih islam – FISSILMI KAFFAH …, diakses September 8, 2025, https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_umum/78
  19. HUKUM MENDENGARKAN MUSIK (Kajian Terhadap Pendapat Fiqh Syafi’iyah) – Rumah Jurnal IAIN Lhokseumawe, diakses September 8, 2025, https://journal.iainlhokseumawe.ac.id/index.php/syarah/article/download/231/94
  20. Perkataan Para Ulama Tentang Nyanyian dan Musik (2) – Muslim.or.id, diakses September 8, 2025, https://muslim.or.id/22669-perkataan-para-ulama-tentang-nyanyian-dan-musik-2.html
  21. Alasan Keharaman dalam Musik dan Bernyanyi dalam Islam – NU Online, diakses September 8, 2025, https://islam.nu.or.id/syariah/alasan-keharaman-dalam-musik-dan-bernyanyi-dalam-islam-ehRtx
  22. Alasan dan Latar Belakang Keharaman Musik Pada Masa Islam Awal – Islami[dot]co, diakses September 8, 2025, https://islami.co/alasan-dan-latar-belakang-keharaman-musik-pada-masa-islam-awal/
  23. MUSIK DI DUNIA ISLAM Sebuah Penelusuran Historikal Musikologis – CORE, diakses September 8, 2025, https://core.ac.uk/download/pdf/42900553.pdf
  24. MUSIK DI DUNIA ISLAM Sebuah Penelusuran Historikal Musikologis, diakses September 8, 2025, https://eprints.uad.ac.id/1489/1/04-Tsaqafa-andre_indrawan_musik_di_dunia_islam.pdf
  25. SENI PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI ABBASIYAH TAHUN 711, diakses September 8, 2025, https://jurnal.ugm.ac.id/jks/article/download/11642/8648
  26. Kemajuan Seni Suara Dalam Tradisi Bani Umayyah | Mustaqim | Islamijah – Jurnal UINSU, diakses September 8, 2025, http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/islamijah/article/view/17081

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.