Pembubaran parlemen secara formal adalah penghentian serentak masa jabatan seluruh anggota lembaga legislatif. Proses ini, yang diikuti oleh pemilihan umum, bertujuan untuk memilih lembaga legislatif baru yang mungkin terdiri dari anggota yang berbeda. Dalam sistem pemerintahan parlementer, pembubaran parlemen merupakan salah satu mekanisme fundamental yang digunakan oleh eksekutif untuk memperkuat kembali mandatnya, menyelesaikan kebuntuan legislatif, atau merespons krisis politik yang signifikan. Tindakan ini secara legal mengakhiri masa jabatan lembaga legislatif dan mengharuskan dilakukannya pemilihan umum untuk membentuk parlemen yang baru. Hal ini membedakannya dari tindakan administratif atau legislatif lainnya, karena pembubaran secara harfiah “mengakhiri masa hidup” sebuah majelis.
Signifikansi dari pembubaran parlemen melampaui sekadar prosedur konstitusional. Ini adalah peristiwa politik yang memiliki implikasi mendalam terhadap stabilitas pemerintahan, dinamika kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif, dan proses legislatif. Ketika sebuah parlemen dibubarkan, semua urusan legislatif yang sedang berjalan dihentikan, dan RUU apa pun yang belum disahkan akan gugur. Pembubaran ini sering kali menjadi titik balik yang kritis, yang menempatkan nasib pemerintah, agenda legislatif, dan arah politik negara di tangan para pemilih. Analisis yang mendalam terhadap fenomena ini memerlukan pemahaman yang cermat tentang kerangka hukum yang mengatur, alasan politik yang mendasarinya, serta konsekuensi yang tidak disengaja.
Batasan Konseptual: Pembubaran vs. Prorogasi dan Reses
Dalam konteks analisis politik dan hukum, sangat penting untuk membedakan pembubaran parlemen dari konsep-konsep serupa seperti prorogasi dan reses. Meskipun ketiganya melibatkan penghentian kegiatan parlemen, mekanisme, tujuan, dan konsekuensinya sangatlah berbeda.
- Pembubaran (Dissolution): Seperti yang telah didefinisikan, pembubaran adalah pengakhiran total sebuah parlemen. Tindakan ini menjadikan semua kursi di majelis rendah (seperti House of Commons di Inggris atau Lok Sabha di India) menjadi kosong, dan semua anggota parlemen kehilangan status dan hak-hak mereka. Tujuan utama dari pembubaran adalah untuk mengadakan pemilihan umum baru untuk membentuk parlemen yang benar-benar baru. Setelah pembubaran, tidak ada anggota parlemen hingga pemilihan umum berikutnya selesai.
- Prorogasi (Prorogation): Prorogasi adalah pengakhiran sesi parlementer, atau “tahun legislatif”. Meskipun hal ini juga mengakhiri hampir semua urusan parlemen, termasuk sebagian besar RUU dan pertanyaan parlementer, prorogasi tidak membubarkan badan legislatif itu sendiri. Anggota parlemen tetap berada di kursi mereka, dan parlemen akan bersidang kembali untuk sesi baru yang biasanya ditandai dengan pidato dari kepala negara (King’s Speech) yang menguraikan agenda legislatif baru. Perbedaan utama terletak pada kesinambungan anggota: setelah prorogasi, anggota parlemen yang sama akan berkumpul kembali, sedangkan setelah pembubaran, pemilihan umum diadakan untuk membentuk parlemen yang baru.
- Reses dan Penundaan (Recess and Adjournment): Reses dan penundaan adalah jeda rutin dalam kegiatan parlemen. Penundaan (adjournment) mengakhiri sesi sidang harian atau mingguan. Sementara itu, reses (recess) adalah jeda yang lebih lama selama setahun, seperti liburan musim panas atau musim dingin. Reses secara teknis merupakan bentuk penundaan berkala dan tidak memengaruhi kelangsungan bisnis parlemen yang sedang berlangsung, seperti pekerjaan komite terpilih. Baik penundaan maupun reses tidak mengakhiri sesi parlemen atau membubarkan lembaga itu sendiri.
Dengan memahami perbedaan-perbedaan ini, analisis terhadap pembubaran parlemen dapat dilakukan dengan lebih akurat, fokus pada peran krusialnya sebagai mekanisme untuk memulai ulang lanskap politik secara total melalui pemilihan umum.
Kerangka Konstitusional dan Dinamika Kekuasaan
Dasar Kekuasaan Pembubaran: Prerogatif vs. Hukum Tertulis
Kekuasaan untuk membubarkan parlemen memiliki dasar yang bervariasi di setiap negara, mencerminkan sejarah konstitusional dan keseimbangan kekuasaan yang unik. Secara garis besar, dasar kekuasaan ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: kekuasaan prerogatif dan kekuasaan berdasarkan hukum tertulis (konstitusi).
Kekuasaan prerogatif merujuk pada kekuasaan yang secara historis dipegang oleh kepala negara (seperti Raja atau Ratu) yang tidak diatur dalam undang-undang tertulis. Kekuasaan ini dijalankan atas nasihat kepala pemerintahan (Perdana Menteri). Contoh klasik dari model ini adalah Inggris Raya, yang sebelum tahun 2011 dan sejak tahun 2022, kembali ke sistem ini. Dalam model ini, Perdana Menteri dapat meminta kepala negara untuk membubarkan parlemen, memberikan fleksibilitas yang signifikan bagi eksekutif untuk menentukan waktu pemilihan umum. Meskipun memberikan kekuasaan yang besar kepada Perdana Menteri, kekuasaan ini juga membawa risiko politik yang substansial, karena keputusan untuk mengadakan pemilu dini dapat menjadi bumerang jika eksekutif salah membaca suasana politik.
Sebaliknya, kekuasaan berdasarkan hukum tertulis secara eksplisit diatur dalam konstitusi atau undang-undang. Di Australia, misalnya, kekuasaan untuk membubarkan kedua majelis parlemen (House of Representatives dan Senate) diatur dalam Pasal 57 Konstitusi. Mekanisme ini, yang dikenal sebagai double dissolution, hanya dapat dipicu oleh kondisi spesifik, yaitu kebuntuan legislatif di mana sebuah RUU ditolak dua kali oleh Senat setelah melewati House of Representatives. Demikian pula, di India, Presiden memiliki kekuasaan penuh untuk membubarkan Lok Sabha (majelis rendah), tetapi kekuasaan ini hanya dapat dijalankan atas nasihat Perdana Menteri dan Dewan Menteri. Perbedaan ini menciptakan kerangka hukum yang lebih terstruktur, di mana pembubaran tidak hanya didasarkan pada keinginan politik eksekutif tetapi juga pada kondisi konstitusional yang telah ditetapkan.
Studi Kasus Evolusi Kekuasaan: Pergeseran di Inggris Raya
Inggris Raya memberikan studi kasus yang menarik tentang evolusi dan pergeseran dalam kerangka hukum pembubaran parlemen. Selama satu dekade, dari tahun 2011 hingga 2022, negara ini meninggalkan sistem prerogatifnya yang telah berusia berabad-abad dan mengadopsi sistem pembubaran berbasis undang-undang melalui Fixed-term Parliaments Act 2011 (FTPA).
FTPA dirancang untuk membatasi kekuasaan Perdana Menteri untuk memilih waktu pemilihan umum demi keuntungan politik partainya. Berdasarkan undang-undang ini, parlemen memiliki periode tetap lima tahun, dan pemilu dini hanya dapat diadakan dalam dua kondisi: jika mayoritas dua pertiga dari anggota parlemen menyetujui mosi untuk pemilu dini, atau jika pemerintah kalah dalam mosi tidak percaya dan tidak ada pemerintah alternatif yang dapat memperoleh kepercayaan parlemen dalam waktu 14 hari. Tujuan utama dari undang-undang ini adalah untuk memperkenalkan stabilitas dan kepastian legislatif, mengurangi kecenderungan eksekutif untuk “bertaruh” pada kondisi politik yang menguntungkan. Namun, undang-undang ini tidak berlangsung lama.
Pada tahun 2022, pemerintah Inggris mengesahkan Dissolution and Calling of Parliament Act 2022, yang secara eksplisit “menghidupkan kembali” (revive) kekuasaan prerogatif pembubaran historis. Pergeseran ini menunjukkan ayunan bandul antara stabilitas legislatif dan fleksibilitas eksekutif. Dengan mengembalikan kekuasaan prerogatif, pemerintah yang berkuasa sekarang dapat sekali lagi meminta Raja untuk membubarkan parlemen kapan pun, asalkan hal itu terjadi dalam lima tahun sejak pemilihan terakhir. Keputusan ini menempatkan Perdana Menteri dalam posisi di mana ia dapat memanfaatkan keunggulan dalam jajak pendapat atau momen ketidakstabilan di pihak oposisi untuk mencari mandat baru.
Konsekuensi dari perubahan ini terlihat dalam Pemilu Inggris 2024, yang merupakan pemilu pertama di bawah sistem yang “dihidupkan kembali” ini. Meskipun secara teoretis bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi petahana, keputusan untuk memanggil pemilu dini pada akhirnya menjadi bumerang bagi Perdana Menteri Rishi Sunak dan Partai Konservatif, yang mengalami kekalahan terburuk dalam sejarah mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun undang-undang 2022 memberikan kekuasaan politik yang besar kepada eksekutif, tindakan tersebut tidak kebal terhadap risiko. Kekuasaan untuk menentukan waktu pemilihan umum adalah pedang bermata dua: dapat memperkuat mandat, tetapi juga dapat menjadi sarana hukuman politik di tangan pemilih yang merasa tidak senang karena pemilu diadakan di luar jadwal.
Studi Kasus Mendalam: Model Pembubaran yang Berbeda
Australia: Model “Double Dissolution”
Australia memiliki mekanisme pembubaran parlemen yang unik yang dikenal sebagai double dissolution. Ini adalah prosedur yang diatur dalam Pasal 57 Konstitusi Australia untuk menyelesaikan kebuntuan legislatif antara House of Representatives (majelis rendah) dan Senate (majelis tinggi). Model ini adalah satu-satunya keadaan di mana seluruh anggota Senat dapat dibubarkan secara serentak, bukan hanya setengahnya seperti yang biasa terjadi dalam pemilihan umum reguler.
Pemicu utama untuk double dissolution adalah ketika sebuah RUU, setelah disahkan oleh House of Representatives, ditolak atau gagal disahkan oleh Senat, atau disahkan dengan amandemen yang tidak disetujui oleh House of Representatives. Jika setelah interval tiga bulan, House of Representatives kembali mengesahkan RUU yang sama dan Senat sekali lagi menolak atau gagal mengesahkannya, maka “pemicu” untuk double dissolution terpenuhi. Pada titik ini, Perdana Menteri dapat meminta Gubernur Jenderal untuk membubarkan kedua majelis parlemen dan mengadakan pemilihan umum penuh.
Dua studi kasus kunci menyoroti penggunaan dan implikasi dari model ini:
- Krisis 1974: Pada tahun 1974, pemerintahan Perdana Menteri Gough Whitlam menghadapi Senat yang “tidak ramah” yang menolak enam RUU kunci, termasuk undang-undang untuk pembentukan sistem asuransi kesehatan yang kelak menjadi Medibank. Karena kebuntuan yang berkelanjutan, Whitlam memutuskan untuk memanggil double dissolution. Meskipun pemerintahannya kembali berkuasa dalam pemilihan umum, kebuntuan Senat tetap ada. Untuk mengatasi kebuntuan yang terus-menerus ini, pemerintah Whitlam kemudian menggunakan ketentuan terakhir dari Pasal 57 Konstitusi dengan menyelenggarakan “sidang gabungan” (joint sitting) dari kedua majelis. Sidang ini, yang merupakan satu-satunya dalam sejarah Australia, berhasil mengesahkan keenam RUU yang menjadi pemicu pembubaran.
- Krisis 1975: Pembubaran tahun 1975 adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dan merupakan krisis konstitusional paling signifikan dalam sejarah Persemakmuran Australia. Perdana Menteri Whitlam kembali berhadapan dengan Senat yang menolak untuk mengesahkan RUU anggaran, yang secara efektif memblokir pasokan dana untuk pemerintah. Sebagai tanggapan, Gubernur Jenderal Sir John Kerr, dalam tindakan yang kontroversial dan belum pernah terjadi sebelumnya, memberhentikan pemerintahan Whitlam dan menunjuk pemimpin oposisi, Malcolm Fraser, sebagai Perdana Menteri sementara. Atas nasihat Fraser, Kerr kemudian memanggil double dissolution. Tindakan ini secara efektif menempatkan nasib pemerintahan yang terpilih di tangan seorang pejabat non-elektif dan memicu perdebatan sengit tentang peran kepala negara dalam sistem parlementer.
Inggris Raya: Pembubaran Setelah Kembalinya Kekuasaan Prerogatif
Pembubaran parlemen di Inggris Raya kini kembali ke model kekuasaan prerogatif yang memberikan fleksibilitas politik yang signifikan kepada Perdana Menteri untuk memilih waktu pemilihan umum. Proses yang mendahului Pemilu 2024 berfungsi sebagai contoh nyata dari mekanisme yang telah dihidupkan kembali ini. Proses tersebut dimulai dengan permintaan dari Perdana Menteri Rishi Sunak kepada Raja Charles III untuk membubarkan parlemen, diikuti oleh prorogasi parlemen dua hari kemudian (meskipun tidak mutlak diperlukan untuk pembubaran), dan diakhiri dengan penandatanganan Proklamasi Pembubaran oleh Raja.
Ketika parlemen Inggris dibubarkan, semua kursi di House of Commons menjadi kosong. Semua urusan legislatif yang belum selesai, termasuk RUU apa pun yang belum menerima persetujuan kerajaan, akan gugur. Periode antara pengumuman pemilu dan pembubaran resmi disebut “masa cuci” (wash-up), di mana pemerintah dan oposisi biasanya bekerja sama untuk mempercepat pengesahan RUU yang disepakati. Konsekuensi personalnya juga signifikan; anggota parlemen kehilangan status, akses ke fasilitas, dan sumber daya parlemen mereka.
Fenomena yang terjadi menjelang Pemilu 2024 adalah jumlah anggota parlemen yang mengundurkan diri dalam jumlah besar—lebih banyak daripada pemilu mana pun sejak tahun 2010. Banyak dari anggota yang mundur ini berasal dari Partai Konservatif, termasuk beberapa menteri dan anggota yang relatif muda. Beberapa alasan yang dikutip termasuk faktor personal seperti kesehatan mental dan keluarga, serta ketidakpuasan terhadap budaya Westminster yang digambarkan sebagai “kuno, seksis, dan toksik”. Keputusan ini menunjukkan bahwa ketidakpastian politik yang diciptakan oleh kekuasaan Perdana Menteri untuk memanggil pemilu dini dapat memiliki efek riak yang lebih luas. Hal ini dapat membuat karier politik menjadi kurang menarik, terutama bagi anggota parlemen yang kursinya rentan, yang pada gilirannya dapat memengaruhi keberlanjutan dan komposisi jangka panjang dari kelas politik itu sendiri.
India: Pembubaran Lok Sabha yang Asimetris
Di India, pembubaran parlemen menunjukkan karakteristik unik dalam sistem bikameralnya. Presiden India memiliki kekuasaan untuk membubarkan Lok Sabha (majelis rendah), tetapi hanya atas nasihat Perdana Menteri dan Dewan Menteri. Proses pembubaran dapat terjadi di akhir masa jabatan lima tahun Lok Sabha (pembubaran otomatis) atau lebih awal jika Dewan Menteri kehilangan kepercayaan.
Fitur yang paling membedakan adalah sifat asimetris dari sistem bikameral India. Sementara Lok Sabha tunduk pada pembubaran, Rajya Sabha (majelis tinggi) adalah badan permanen yang tidak dapat dibubarkan. Anggota Rajya Sabha memiliki masa jabatan enam tahun, dengan sepertiga dari anggotanya pensiun setiap dua tahun dan digantikan oleh anggota yang baru terpilih.
Sifat asimetris ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap proses legislatif. Ketika Lok Sabha dibubarkan, semua urusan yang tertunda di majelis itu, termasuk RUU, mosi, dan petisi, akan gugur. Namun, RUU yang telah disetujui oleh kedua majelis tetapi masih menunggu persetujuan dari Presiden tidak akan gugur. Demikian pula, RUU yang masih tertunda di Rajya Sabha setelah disahkan oleh majelis tersebut juga tidak akan gugur karena majelis itu tidak dibubarkan. Hal ini menciptakan tingkat kesinambungan legislatif tertentu, meskipun ada penghentian total kegiatan di majelis rendah. Kekuasaan pembubaran Lok Sabha sering kali digunakan untuk menyelesaikan ketidaksepakatan antara eksekutif dan legislatif atau untuk memastikan bahwa pemerintah memiliki mandat yang kuat.
Jepang: Pembubaran sebagai Senjata Politik Eksekutif
Sama seperti India, sistem parlemen bikameral Jepang juga memiliki fitur asimetris dalam hal pembubaran. Hanya House of Representatives (majelis rendah) yang dapat dibubarkan, sementara House of Councillors (majelis tinggi) tidak dapat dibubarkan. Kekuasaan untuk membubarkan House of Representatives berada di tangan Perdana Menteri. Mekanisme ini sering digunakan sebagai alat politik yang kuat oleh eksekutif.
Salah satu pemicu utama untuk pembubaran adalah ketika House of Representatives mengesahkan mosi tidak percaya atau menolak mosi percaya terhadap kabinet. Dalam kasus seperti itu, kabinet harus mengundurkan diri secara massal kecuali jika House of Representatives dibubarkan dalam waktu sepuluh hari. Hal ini memberikan Perdana Menteri pilihan strategis: menghadapi potensi kejatuhan pemerintahannya atau membubarkan majelis rendah untuk mencari mandat yang diperbarui dalam pemilihan umum dini. Dengan demikian, pembubaran berfungsi sebagai alat bagi eksekutif untuk menekan legislatif agar sejalan atau untuk mengatasi kebuntuan politik.
House of Representatives dianggap lebih sensitif terhadap pendapat publik dan karena itu dijuluki “majelis rendah”. Karena kekuasaan Perdana Menteri untuk membubarkannya, masa jabatan anggota majelis rendah sering kali kurang dari empat tahun. Hal ini menjadikan pembubaran bukan hanya sekadar mekanisme konstitusional, tetapi juga senjata politik penting yang dapat membentuk lanskap politik negara secara fundamental.
Indonesia: Pembubaran Konseptual yang Kontradiktif
Analisis terhadap konsep “pembubaran” di Indonesia menyoroti perbedaan yang signifikan, yang mencakup preseden historis dan kerangka hukum modern. Meskipun laporan sebelumnya berfokus pada pembubaran partai politik, data yang ada menunjukkan adanya pembubaran parlemen secara historis, yang kini secara tegas dilarang oleh konstitusi.
Secara historis, terdapat kasus pembubaran parlemen yang signifikan di Indonesia. Pada tahun 1956, Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilihan Umum 1955. Alasan yang diberikan untuk tindakan ini adalah ketidakstabilan politik dan krisis dalam tubuh DPR, yang dipicu oleh ketidakpuasan terhadap hasil pemilu dan tuduhan kecurangan dari berbagai pihak. Peristiwa ini menandai berakhirnya periode parlemen Demokratis pertama di Indonesia dan menunjukkan bahwa pembubaran parlemen telah menjadi bagian dari sejarah politik negara.
Namun, kerangka hukum pembubaran parlemen telah berubah secara fundamental setelah amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Amendemen ini secara eksplisit menutup celah kekuasaan presiden untuk membubarkan parlemen. Pasal 7C UUD 1945 secara tegas menyatakan, “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.” Ketentuan ini lahir dari sistem pemerintahan presidensial yang menempatkan cabang eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR) pada kedudukan yang sejajar, dengan tujuan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan pada satu pihak.
Dengan demikian, istilah “pembubaran” dalam konteks politik Indonesia modern tidak merujuk pada parlemen, melainkan pada pembubaran partai politik. Kewenangan untuk membubarkan partai politik berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Mekanisme ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Pemerintah dapat mengajukan permohonan pembubaran partai politik, dan Mahkamah Konstitusi akan memutuskannya melalui sidang pleno yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Meskipun masih ada perdebatan tentang pembubaran partai politik yang bertentangan dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM), prosesnya tetap terpisah dan berbeda secara fundamental dari mekanisme pembubaran parlemen yang digunakan untuk mengadakan pemilihan umum, seperti yang terjadi di negara-negara lain.
Laporan ini secara khusus menyoroti perbedaan krusial antara pembubaran sebagai alat untuk memperkuat demokrasi dan pembubaran sebagai alat untuk menghancurkannya.
Konsekuensi dan Dampak yang Lebih Luas
Dampak Politik dan Pemerintahan
Keputusan untuk membubarkan parlemen, terutama sebelum masa jabatan berakhir, sering kali merupakan “judi” politik yang berisiko tinggi. Eksekutif biasanya memanggil pemilu dini (snap election) ketika mereka percaya berada dalam posisi yang menguntungkan, seperti ketika jajak pendapat menunjukkan dukungan yang kuat, ekonomi sedang membaik, atau partai oposisi berada dalam keadaan tidak siap atau terpecah belah. Strategi ini bertujuan untuk mengamankan mayoritas yang lebih besar dan mandat yang lebih kuat.
Namun, strategi ini bisa menjadi bumerang. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemilih yang merasa tidak senang dengan keputusan untuk mengadakan pemilu dini cenderung memberikan “suara hukuman” terhadap pemerintah yang berkuasa. Reaksi publik tidak selalu rasional dan dapat dipicu oleh frustrasi karena dipaksa memilih di luar jadwal yang diharapkan. Hasilnya bisa sangat menghukum, seperti yang ditunjukkan oleh kekalahan historis Partai Konservatif di Inggris pada tahun 2024 atau kekalahan Perdana Menteri Malcolm Fraser di Australia pada tahun 1983 setelah memanggil double dissolution. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan untuk membubarkan parlemen, meskipun didasarkan pada perhitungan strategis, dapat menghasilkan konsekuensi yang tidak terduga, yang secara fundamental mengubah peta politik.
Dampak Legislatif dan Ekonomi
Pembubaran parlemen juga memiliki dampak signifikan terhadap proses legislatif dan, secara tidak langsung, terhadap ekonomi. Ketika sebuah parlemen dibubarkan, semua urusan yang sedang berlangsung, termasuk RUU yang tertunda, secara otomatis akan gugur. Ini berarti bahwa RUU yang telah melalui proses panjang di komite dan perdebatan dapat menjadi sia-sia.
Untuk mencegah hilangnya RUU penting, sering kali ada periode yang dikenal sebagai “masa cuci” (wash-up) antara pengumuman pemilu dan pembubaran resmi. Selama masa ini, pemerintah dan oposisi bekerja sama untuk mempercepat pengesahan RUU yang disepakati, sering kali dengan perdebatan yang terbatas. Namun, proses ini dapat terburu-buru dan tidak ideal untuk pembuatan undang-undang yang cermat.
Dari sisi ekonomi, ketidakpastian yang diciptakan oleh pemilu dini yang tidak terduga dapat memengaruhi pasar dan investasi. Keputusan pemerintah untuk membubarkan parlemen dan memanggil pemilu sering kali didasarkan pada penilaian mereka terhadap kondisi ekonomi. Namun, terlepas dari alasan tersebut, pemilu itu sendiri dapat menyebabkan ketidakpastian yang dapat memengaruhi sentimen investor dan pasar.
Analisis Komparatif dan Wawasan Bernuansa
Tinjauan Komparatif: Tujuan dan Pemicu
Model pembubaran parlemen di setiap negara mencerminkan tujuan dan pemicu politik yang berbeda:
- Resolusi Kebuntuan: Model Australia, dengan double dissolution berdasarkan Pasal 57 Konstitusi, secara eksplisit dirancang untuk menyelesaikan kebuntuan legislatif antara House of Representatives dan Senate. Pemicunya bukanlah sekadar keinginan eksekutif, melainkan kegagalan legislatif untuk mencapai konsensus.
- Konsolidasi Kekuasaan Eksekutif: Di Inggris Raya (setelah tahun 2022) dan Jepang, pembubaran berfungsi sebagai alat bagi eksekutif untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Di Inggris, hal ini memungkinkan Perdana Menteri untuk mencari mandat yang diperbarui pada saat yang menguntungkan secara politik. Di Jepang, pembubaran dapat digunakan untuk merespons atau mencegah mosi tidak percaya, yang secara efektif memaksa legislatif untuk sejalan dengan pemerintah.
- Penjaminan Stabilitas: Di India, meskipun Presiden memiliki kekuasaan untuk membubarkan Lok Sabha, hal ini sering kali terjadi jika pemerintah yang berkuasa kehilangan kepercayaan, yang bertujuan untuk mengembalikan stabilitas pemerintahan melalui pemilihan umum baru.
Peran Sistem Bikameral dan Konsekuensinya
Struktur legislatif, khususnya sifat dari sistem bikameral, adalah faktor penentu utama dalam mekanisme pembubaran.
- Australia: Parlemen Australia memiliki dua majelis yang dipilih secara langsung: House of Representatives dan Senate. Karena Senat memiliki kekuasaan untuk menolak RUU dari majelis rendah, sistem ini dirancang dengan potensi kebuntuan yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme khusus seperti double dissolution untuk menyelesaikan konflik ini, dengan konsekuensi bahwa kedua majelis akan dibubarkan secara serentak.
- India dan Jepang: Sebaliknya, parlemen di India dan Jepang memiliki majelis tinggi yang tidak dapat dibubarkan. Rajya Sabha di India dan House of Councillors di Jepang adalah badan permanen yang menyediakan kesinambungan legislatif. Konsekuensinya adalah bahwa pembubaran hanya dapat “mengatur ulang” satu bagian dari legislatif (majelis rendah). Meskipun hal ini menyelesaikan masalah mandat di majelis rendah dan memungkinkan eksekutif untuk memperkuat posisinya, hal ini tidak memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan kebuntuan yang mungkin terus terjadi dengan majelis tinggi yang permanen. Perbedaan struktural yang mendalam ini secara fundamental membedakan Australia dari kedua negara Asia tersebut dan memengaruhi bagaimana dinamika kekuasaan dimainkan dalam sistem politik masing-masing.
Tabel Komparatif Utama
Negara | Dasar Hukum / Konstitusi | Aktor Utama | Majelis yang Dibubarkan | Pemicu Utama | Konsekuensi Politik |
Australia | Pasal 57 Konstitusi | Gubernur Jenderal atas nasihat Perdana Menteri | Kedua Majelis (House of Representatives dan Senate) | Kebuntuan legislatif (RUU ditolak dua kali oleh Senat) | Resolusi krisis bikameral; risiko bagi petahana untuk kehilangan kendali Senat atau pemerintahan |
Inggris Raya | Kekuasaan Prerogatif Kerajaan (sejak 2022) | Raja atas nasihat Perdana Menteri | House of Commons (Majelis Rendah) | Keputusan strategis Perdana Menteri untuk mencari mandat baru | “Judi” pemilu dini yang berisiko; dapat menyebabkan efek bumerang dan hukuman politik dari pemilih |
India | Konstitusi (Pasal 85) | Presiden atas nasihat Perdana Menteri dan Dewan Menteri | Lok Sabha (Majelis Rendah) | Akhir masa jabatan 5 tahun; kehilangan kepercayaan atau keinginan eksekutif | Memastikan legitimasi pemerintahan; kelangsungan legislatif dipertahankan oleh majelis tinggi yang permanen |
Jepang | Konstitusi | Perdana Menteri | House of Representatives (Majelis Rendah) | Mosi tidak percaya atau penolakan mosi percaya terhadap kabinet | Alat politik yang ampuh bagi eksekutif untuk menekan legislatif dan memperkuat posisinya |
Kesimpulan
Pembubaran parlemen adalah konsep yang berlapis, dengan makna, mekanisme, dan konsekuensi yang sangat bervariasi di setiap negara. Analisis komparatif menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah tindakan yang seragam. Di negara-negara seperti Australia, India, Inggris Raya, dan Jepang, pembubaran berfungsi sebagai mekanisme konstitusional yang vital untuk menyelesaikan krisis, memperbarui mandat, atau menanggapi dinamika politik. Namun, pemahaman yang nuansial juga menunjukkan bahwa “pembubaran” dalam konteks historis seperti kasus partai politik di Indonesia atau Reichstag di Jerman merujuk pada penindasan politik dan pembongkaran demokrasi, yang secara fundamental berbeda dari proses demokratis untuk mengadakan pemilihan ulang.
Faktor-faktor penentu utama dalam pembubaran adalah dasar hukum (prerogatif versus hukum tertulis) dan struktur legislatif (sifat sistem bikameral). Kekuasaan prerogatif memberikan fleksibilitas politik yang besar tetapi juga membawa risiko yang signifikan, seperti yang terlihat dalam Pemilu Inggris 2024. Sementara itu, struktur parlemen bikameral, terutama keberadaan majelis tinggi yang permanen (India dan Jepang) atau yang dapat menantang majelis rendah (Australia), secara langsung memengaruhi cara dan konsekuensi dari pembubaran.
Implikasi untuk Stabilitas Demokrasi
Kekuasaan untuk membubarkan parlemen dapat dipandang sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, ini adalah alat yang kuat untuk memperbarui mandat dan memastikan bahwa pemerintah tetap bertanggung jawab kepada pemilih. Hal ini memungkinkan resolusi kebuntuan dan dapat membawa stabilitas di saat-saat krisis politik. Di sisi lain, pembubaran, terutama ketika digunakan secara strategis untuk keuntungan politik, dapat merusak kepercayaan publik dan mengarah pada hasil yang tidak terduga. Kehilangan mandat oleh petahana, seperti yang terjadi di Australia pada tahun 1983 dan Inggris pada tahun 2024, adalah bukti nyata dari risiko ini. Penggunaan yang tidak tepat atau terlihat tidak adil dari kekuasaan ini juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi institusi demokrasi itu sendiri.
Rekomendasi untuk Kajian Lebih Lanjut
Analisis ini membuka beberapa pertanyaan untuk penelitian lebih lanjut. Studi di masa depan dapat mengeksplorasi dampak jangka panjang dari perubahan hukum di Inggris Raya, terutama bagaimana kembalinya kekuasaan prerogatif akan memengaruhi perilaku pemilih dan komposisi parlemen di masa depan. Perlu juga dianalisis bagaimana teknologi media sosial dan pergeseran demografi pemilih memengaruhi reaksi publik terhadap pemilu dini. Selain itu, kajian mendalam tentang model pembubaran di negara-negara lain, yang tidak termasuk dalam materi penelitian ini, dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang bagaimana demokrasi beradaptasi dengan tantangan politik dan konstitusional.
Daftar Pustaka :
- Notes on DISSOLUTION – Unacademy, diakses Agustus 25, 2025, https://unacademy.com/content/wbpsc/study-material/polity/dissolution/
- Sessions of Parliament, Prorogation and Dissolution – BYJU’S, diakses Agustus 25, 2025, https://byjus.com/free-ias-prep/sessions-parliament-prorogation-and-dissolution/
- Dissolution of parliament | Institute for Government, diakses Agustus 25, 2025, https://www.instituteforgovernment.org.uk/explainer/dissolution-parliament
- Dissolution of Parliament, diakses Agustus 25, 2025, https://www.parliament.uk/about/how/elections-and-voting/general/dissolution/
- Dissolution of Parliament: recent developments – House of …, diakses Agustus 25, 2025, https://commonslibrary.parliament.uk/research-briefings/cbp-10095/
- What is a double dissolution? – Museum Of Australian Democracy At Old Parliament House, diakses Agustus 25, 2025, https://www.moadoph.gov.au/explore/democracy/what-is-a-double-dissolution
- What are the consequences of snap elections on citizens’ voting behavior? – Edinburgh Research Explorer, diakses Agustus 25, 2025, https://www.research.ed.ac.uk/files/157948897/DaoustJFR2020WhatAreTheConsequences.pdf
- Double dissolutions – Parliament of Australia, diakses Agustus 25, 2025, https://www.aph.gov.au/About_Parliament/House_of_Representatives/Powers_practice_and_procedure/Practice7/HTML/Chapter13/Double_dissolutions
- 4. The crisis of 1974-75 – Parliament of Australia, diakses Agustus 25, 2025, https://www.aph.gov.au/About_Parliament/Senate/Practice_and_Procedure/platparl/c04
- MPs who stood down at the 2024 general election | Institute for Government, diakses Agustus 25, 2025, https://www.instituteforgovernment.org.uk/explainer/mps-who-stood-down-general-election-2024
- Fundamental Structure of the Government of Japan, diakses Agustus 25, 2025, https://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of_japan/fundamental_e.html
- Memecah Belah Partai Politik di Masa Lampau – Republika.id, diakses Agustus 25, 2025, https://www.republika.id/posts/15160/memecah-belah-partai-politik-di-masa-lampau
- Perjalanan Kewenangan Pembubaran Parpol di Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945 | Sekretariat Negara, diakses Agustus 25, 2025, https://www.setneg.go.id/baca/index/perjalanan_kewenangan_pembubaran_parpol_di_indonesia_sebelum_dan_sesudah_amandemen_uud_1945