Bahasa memiliki peran yang jauh melampaui sekadar alat komunikasi. Dalam konteks politik, bahasa adalah cerminan akurat dari dinamika kekuasaan, gesekan sosial, dan polarisasi ideologis yang terjadi di masyarakat. Setelah era Reformasi, bahasa Indonesia terus berkembang, terutama dalam komunikasi politik, di mana penggunaannya bertujuan untuk mendapatkan simpati, perhatian, dan membentuk persepsi publik demi meraih suara dalam pemilihan umum. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi internet, interaksi politik pun bergeser ke ranah digital, melahirkan terminologi-terminologi baru yang secara langsung menggambarkan dan bahkan memperdalam perpecahan yang ada.
Di Indonesia, polarisasi politik telah menjadi tantangan yang berulang kali muncul dalam penyelenggaraan pemilu. Fenomena ini sering kali memicu perselisihan, bahkan konflik horizontal. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa polarisasi masyarakat telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan berpotensi mengarah pada disintegrasi bangsa. Polarisasi yang terjadi saat ini didorong oleh beberapa faktor, termasuk perkembangan pesat internet, yang memungkinkan narasi politik dibentuk dan diperkuat secara online. Oleh karena itu, munculnya istilah-istilah politik baru pasca-Pilpres 2019 bukan hanya sekadar tren linguistik, melainkan sebuah manifestasi dari perpecahan yang lebih dalam di dalam struktur sosial.
Laporan ini disusun untuk menyajikan analisis mendalam mengenai fenomena ini. Permasalahan utama yang diangkat adalah bagaimana istilah-istilah politik baru—seperti “cebong,” “kampret,” “kadrun,” “termul,” dan “gemoy”—berfungsi sebagai alat labelisasi dan stigma, serta bagaimana penggunaannya memengaruhi kualitas demokrasi dan kohesi sosial. Laporan ini signifikan karena menawarkan kajian komprehensif yang menghubungkan linguistik politik, tren media sosial, dan dampaknya pada masyarakat, melampaui definisi leksikal dan menyentuh implikasi sosiologis yang lebih luas.
Evolusi Terminologi Politik di Era Digital: Dari Julukan Kandidat ke Stigma Ideologis
Lanskap bahasa politik di Indonesia pasca-2019 menunjukkan sebuah evolusi yang signifikan, di mana terminologi yang digunakan bergeser dari sekadar julukan yang melekat pada kandidat menjadi stigma yang menargetkan identitas dan ideologi. Pergeseran ini mencerminkan dinamika polarisasi yang semakin kompleks dan mendalam.
Tabel 1: Daftar Istilah Politik Pasca-Pilpres 2019
Istilah | Asal-usul | Makna dalam Konteks Politik |
Cebong | Plesetan dari nama “Jokodok” yang dilontarkan oleh Muhammad Rizieq Shihab, dikaitkan dengan hobi Joko Widodo memelihara kodok. | Julukan untuk kelompok pendukung Joko Widodo atau pihak pro-pemerintah. |
Kampret | Plesetan dari akronim Koalisi Merah Putih (KMP), koalisi partai yang mendukung Prabowo Subianto pada Pilpres 2014. | Julukan untuk kelompok pendukung Prabowo Subianto atau pihak anti-pemerintah. |
Kadrun | Singkatan dari “kadal gurun” (kadal dhab) yang merujuk pada binatang di gurun Timur Tengah. | Julukan yang digunakan untuk menstigma pihak yang dianggap berpikiran sempit, radikal, dan terpengaruh ekstremisme dari Timur Tengah. Digunakan untuk menarasikan bahwa lawan politik adalah anti-nasionalis. |
Termul | Akronim dari “Ternakan Si Mul”. | Julukan yang dianggap lebih hina dari “buzzer”, digunakan untuk merujuk pada kelompok buzzer yang menyerang lawan politik. |
Gemoy | Plesetan dari kata “gemas”, yang dalam bahasa gaul berarti lucu, imut, dan menggemaskan. | Strategi political branding yang digunakan untuk membangun citra Prabowo Subianto yang santai dan menyenangkan, terutama untuk menarik pemilih muda, khususnya Generasi Z. |
Warisan Pilpres 2014 dan 2019: ‘Cebong’ dan ‘Kampret’
Istilah “cebong” dan “kampret” muncul sebagai dua istilah utama dalam diskursus kontestasi politik menjelang Pilpres 2019. Keduanya berfungsi sebagai labelisasi atau stereotip terhadap masing-masing pendukung dua calon presiden. Secara historis, “cebong” dan “kampret” pada dasarnya memiliki konotasi negatif dari makna sebenarnya, masing-masing merujuk pada anak kodok dan anak kelelawar. Dalam konteks politik, istilah-istilah ini dikaitkan dengan kelompok yang pro-pemerintah atau koalisi (cebong) dan kelompok yang anti-pemerintah atau oposisi (kampret).
Asal-usul istilah ini memiliki beberapa versi yang beredar di masyarakat. Salah satu versi menyebutkan bahwa sebutan “cebong” bermula dari plesetan nama “Jokodok” yang dilontarkan oleh Muhammad Rizieq Shihab. Istilah ini kemudian berkembang sebagai julukan untuk pendukung Joko Widodo karena hubungannya dengan hobi memelihara kodok. Sementara itu, “kampret” merupakan julukan balasan dari para pendukung Prabowo Subianto. Istilah ini juga merupakan plesetan dari akronim Koalisi Merah Putih (KMP), sebuah koalisi partai yang mendukung Prabowo pada Pilpres 2014.
Tren penggunaan kedua istilah ini mencapai puncaknya pada bulan April 2019, bertepatan dengan masa puncak kampanye Pilpres. Setelah pemilihan berakhir, tren kedua istilah tersebut menurun drastis. Penurunan ini menunjukkan bahwa popularitas “cebong” dan “kampret” sangat bergantung pada figur kandidat yang menjadi pusat persaingan. Ketika persaingan personal mereda dan koalisi pemerintah-oposisi pasca-pemilu berubah, istilah-istilah tersebut kehilangan relevansinya sebagai penanda utama polarisasi.
Fenomena Pasca-Pilpres: Kemunculan ‘Kadrun’
Ketika tren “cebong” dan “kampret” mulai surut, sebuah terminologi baru yang lebih berbahaya muncul dan mendominasi perbincangan, yaitu “kadrun.” Istilah ini adalah singkatan dari “kadal gurun”. Awalnya, istilah “kadal gurun” digunakan secara sporadis pada awal 2019, namun mulai populer secara luas setelah seorang aktivis media sosial secara tegas menggunakannya pada Agustus 2019. Sejak 13 September 2019, tren penggunaan “kadrun” melonjak pesat dan bahkan mengalahkan volume penyebutan “cebong” dan “kampret”. Data statistik menunjukkan bahwa dalam periode satu tahun setelah Pilpres (sejak Januari 2021), penyebutan “kadrun” menjadi yang paling tinggi, dengan kontribusi mencapai 54% dari total perbincangan yang mengandung nama kelompok ini.
Tabel 1: Tren Penggunaan Istilah ‘Cebong’, ‘Kampret’, dan ‘Kadrun’
Istilah | Total Volume Penyebutan (All Time) | Dominasi Percakapan (1 Tahun Terakhir) |
Cebong | 4,67 juta | 12% |
Kadrun | 4,33 juta | 54% |
Kampret | 3,94 juta | 17% |
BuzzeRp & buzzerRp | 1,295 juta | 17% |
Istilah “kadrun” ditujukan kepada orang-orang yang dianggap berpikiran sempit, terutama mereka yang dipengaruhi oleh gerakan ekstremisme dan fundamentalisme dari Timur Tengah, untuk menstigma pihak yang dicap radikal. Pemilihan istilah ini, yang mengasosiasikan lawan politik dengan binatang gurun, berfungsi untuk menciptakan narasi bahwa kelompok oposisi tersebut adalah pihak yang anti-nasionalis dan mencoba melakukan “Arabisasi” terhadap Indonesia.
Pergeseran dari dominasi “cebong-kampret” ke “kadrun” memiliki makna yang sangat mendalam. “Cebong” dan “kampret” adalah label partisanship yang terikat pada figur dan persaingan politik lima tahunan. Ketika persaingan personal mereda, bahasa tersebut kehilangan tenaganya. Namun, “kadrun” tidak terikat pada figur politik, melainkan pada narasi ideologis yang lebih abstrak, yaitu isu radikalisme dan Islam garis keras yang dianggap sebagai ancaman bagi persatuan bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa akar konflik di masyarakat lebih dalam daripada sekadar persaingan antar-kandidat. Polarisasi linguistik bergeser dari polaritas berbasis kandidat ke polaritas berbasis ideologi/identitas yang lebih sulit diredam dan berpotensi bertahan lama.
Dinamika Baru: ‘Termul’, ‘Gemoy’, dan Strategi Pilpres 2024
Dinamika bahasa politik terus berevolusi menjelang Pilpres 2024, di mana muncul istilah-istilah baru yang merepresentasikan pergeseran strategi komunikasi. Salah satu istilah yang muncul adalah “termul.” Istilah ini merupakan akronim dari “Ternakan Si Mul” atau “Ternak Mulyono” , yang digunakan untuk merujuk pada kelompok buzzer di media sosial. Konteks kemunculan istilah ini terkait dengan kritik seorang figur publik yang merasa diserang oleh kelompok buzzer setelah ia mempertanyakan keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo. Ia menyebut “termul” sebagai julukan yang lebih hina dari “buzzer” karena diternak oleh sosok yang dianggap “pembohong, perampok, dan pengecut”.
Sementara itu, istilah “gemoy” muncul sebagai sebuah strategi komunikasi yang sangat kontras. “Gemoy” adalah plesetan dari kata “gemas,” yang dalam bahasa gaul merujuk pada sesuatu yang lucu, imut, dan menggemaskan. Istilah ini secara masif digunakan untuk membangun citra politik Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. Strategi ini merupakan pergeseran yang sangat signifikan, mengingat pada kampanye sebelumnya di tahun 2014 dan 2019, Prabowo selalu lekat dengan citra tegas, berwibawa, dan militer.
Pilihan branding “gemoy” ini tidak terlepas dari target demografi pemilih yang didominasi oleh anak muda, khususnya Generasi Z, yang dianggap lebih menyukai sosok pemimpin yang santai dan menyenangkan. Strategi ini berhasil membentuk filter bubble dan echo chamber di kalangan pengguna TikTok, yang menyasar pemilih secara emosional.
Jika “cebong” dan “kampret” adalah bahasa yang bersifat destruktif dan memecah belah, “gemoy” adalah bahasa yang bersifat inklusif dan konstruktif dalam konteks branding. Perbedaan ini menunjukkan evolusi strategi komunikasi politik dari attack politics (serangan langsung) menjadi positive branding (pembentukan citra positif). Hal ini bertujuan untuk memenangkan hati pemilih baru, khususnya Generasi Z, yang cenderung menghindari konflik ideologis yang tajam. Namun, kemunculan “termul” secara simultan menunjukkan bahwa bahasa agresi tidak sepenuhnya hilang. Bahasa agresi kini bergeser targetnya ke ranah “perang proksi” di media sosial, yaitu kelompok-kelompok buzzer yang dianggap menjadi corong untuk menyerang lawan politik.
Mekanisme Stigmatisasi dan Polarisasi Melalui Bahasa
Penggunaan istilah-istilah politik yang memecah belah ini tidak hanya sekadar label kosong, melainkan bekerja melalui mekanisme sosiologis dan psikologis yang secara efektif memperkuat perpecahan.
Polarisasi Afektif vs. Ideologis: Analisis Fungsional
Fenomena polarisasi dapat dibedakan menjadi dua jenis utama: polarisasi afektif dan polarisasi ideologis. Polarisasi afektif mengacu pada sentimen negatif yang mendalam terhadap kelompok yang berbeda pandangan, sedangkan polarisasi ideologis merujuk pada perbedaan pandangan yang tajam terhadap isu-isu politik.
Istilah-istilah seperti “cebong,” “kampret,” dan “kadrun” berfungsi ganda sebagai kode untuk identitas ideologis dan pada saat yang sama memicu polarisasi afektif. Dengan melabeli lawan politik menggunakan nama-nama hewan, bahasa politik telah mengalami degradasi. Penggunaan istilah hewan dalam komunikasi politik merupakan bentuk dehumanisasi. Dengan menyebut kelompok lawan sebagai “anak kodok,” “anak kelelawar,” atau “kadal gurun,” penutur secara tidak langsung merampas kemanusiaan dari lawan politik mereka. Praktik ini mengurangi empati dan membuat dialog konstruktif menjadi mustahil. Degradasi bahasa ini adalah konsekuensi langsung dari ambisi politik yang mengesampingkan sisi humanisme demi kepentingan politik.
Studi Kasus: Polarisasi Identitas dan Stigma ‘Kadrun’
Istilah “kadrun” secara khusus merupakan contoh paling berbahaya dari polarisasi identitas. Label ini tidak hanya menyerang pandangan politik, tetapi secara langsung menargetkan identitas yang mendalam, yaitu agama dan nasionalisme. Istilah “kadrun” digunakan untuk menstigma kelompok oposisi yang dituduh “Arabisasi” dan dianggap “tidak benar-benar Indonesia”. Menurut analisis, penggunaan label semacam ini mengindikasikan adanya “keretakan dalam kehidupan bangsa” yang sangat berbahaya. Narasi yang dibangun mengarah pada penolakan terhadap identitas kelompok tertentu dan mengancam kohesi sosial, karena menempatkan satu kelompok sebagai “bukan bagian dari bangsa,” yang merupakan prasyarat menuju konflik yang lebih serius.
Degradasi Bahasa Politik dan Sinisme Publik
Secara keseluruhan, penggunaan bahasa yang kasar dan tidak sopan dalam politik merupakan ekspresi dari sinisme politik yang berlebihan. Labelisasi semacam ini, yang merendahkan lawan politik menjadi entitas non-manusia, merupakan bentuk nyata dari penurunan kualitas bahasa komunikasi politik di Indonesia. Ketika diskusi publik dipenuhi dengan ejekan, stigma, dan bahasa yang merendahkan, kepercayaan publik terhadap proses politik dan aktor-aktor di dalamnya akan terkikis. Hal ini pada akhirnya menciptakan post-truth era, di mana fakta objektif menjadi kurang penting dibandingkan dengan keyakinan pribadi dan sentimen emosional.
Dampak Jangka Panjang terhadap Demokrasi dan Kohesi Sosial
Fenomena bahasa politik yang memecah belah ini tidak hanya berhenti pada level retorika, tetapi memiliki implikasi nyata yang mengancam kualitas demokrasi dan keberlanjutan kohesi sosial.
Ancaman terhadap Kualitas Demokrasi: Disinformasi dan Delegitimasi Institusi
Polarisasi linguistik ini terkait erat dengan penyebaran disinformasi dan berita palsu. Berita palsu, yang didefinisikan sebagai segala bentuk informasi yang sengaja dipalsukan, digunakan sebagai strategi untuk menyerang kandidat dan penyelenggara pemilu. Tuduhan-tuduhan ini secara sistematis merusak kepercayaan pada proses dan institusi demokrasi itu sendiri. Sebagai contoh, analisis data menunjukkan bahwa isu “KPU Curang” menjadi target perbincangan negatif terbanyak di media sosial selama Pilpres 2019. Data mendeteksi 15.486 tweet yang mengindikasikan isu negatif, di mana 54,9% di antaranya menargetkan KPU, jauh lebih banyak dibandingkan yang menargetkan Paslon 01 atau Paslon 02.
Tabel 2: Kategorisasi Isu Negatif Berdasarkan Target pada Pilpres 2019
Target Isu Negatif | Persentase Tweet Negatif (Periode Pengambilan Data 1) | Persentase Tweet Negatif (Periode Pengambilan Data 2) |
KPU | 54,9% | 63,4% |
Paslon 01 | 32,2% | 25,9% |
Paslon 02 | 12,9% | 10,7% |
Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang sengketa menolak dalil kecurangan KPU dengan menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak beralasan secara hukum , persepsi ketidakpercayaan publik terhadap KPU secara konsisten dibangun sejak pra-pemilu hingga pasca-pemilu. Isu-isu yang digulirkan mulai dari logistik pemilu hingga netralitas penyelenggara. Di sisi lain, beberapa penelitian juga mencatat bahwa tindakan malpractice dan maladministration oleh penyelenggara pemilu memang terungkap dari putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), meskipun tidak mengubah hasil akhir secara signifikan.
Polarisasi linguistik dan penyebaran hoaks ini tidak hanya menyerang figur politik, tetapi secara sistematis merusak legitimasi institusi demokrasi itu sendiri. Ketika lembaga-lembaga seperti KPU dan MK diragukan, dan narasi hoaks identitas (misalnya, tuduhan “Jokowi PKI” ) beredar luas, polarisasi ideologis dan afektif menjadi semakin akut. Ini merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi dan eksistensi kohesi sosial.
Polarisasi sebagai Penghambat Pembangunan dan Kohesi Sosial
Dampak polarisasi politik dapat bersifat negatif maupun positif, meskipun dampak negatifnya lebih sering terlihat. Polarisasi politik dapat memicu konflik sosial, seperti demonstrasi, kerusuhan, dan kekerasan, yang dapat menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa. Selain itu, polarisasi dapat menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah, yang pada akhirnya menghambat proses pembangunan karena masyarakat tidak akan mendukung kebijakan pemerintah. Perpecahan yang mendalam akibat polarisasi membuat masyarakat kurang fokus pada isu-isu pembangunan, dan lebih memprioritaskan konflik politik.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Laporan ini menyimpulkan bahwa bahasa politik di Indonesia pasca-Pilpres 2019 mengalami evolusi yang signifikan. Dimulai dari julukan berbasis kandidat (“cebong”/”kampret”), bahasa politik bergeser menjadi stigma berbasis ideologis yang lebih berbahaya (“kadrun”). Fenomena baru seperti “gemoy” menunjukkan pergeseran strategi komunikasi politik ke arah branding afektif untuk menarik pemilih muda, sementara “termul” menyoroti berkembangnya konflik ke ranah “perang proksi” di media sosial.
Secara keseluruhan, penggunaan bahasa yang memecah belah ini telah memperdalam polarisasi afektif dan ideologis, mendegradasi kualitas diskursus publik, dan mengancam kohesi sosial serta legitimasi institusi demokrasi. Degradasi bahasa, dehumanisasi lawan politik, dan penyebaran disinformasi yang sistematis merupakan konsekuensi langsung dari ambisi politik yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Prospek Masa Depan Komunikasi Politik
Dinamika bahasa politik di masa depan akan semakin dipengaruhi oleh platform digital. Konten yang memicu emosi kuat, seperti kemarahan atau kebencian, cenderung viral dan memperkuat polarisasi afektif. Algoritma media sosial juga mendukung penyebaran konten partisan, yang memperdalam perbedaan antar kelompok pengguna dan membuat dialog konstruktif menjadi semakin sulit.
Rekomendasi Strategis
Untuk mereduksi dampak negatif polarisasi, berbagai upaya perlu dilakukan. Berdasarkan analisis, diperlukan penguatan komunikasi publik yang beretika dan dijiwai oleh nilai-nilai kebangsaan. Peningkatan literasi digital dan pendidikan politik bagi masyarakat juga sangat krusial untuk memitigasi efek negatif dari polarisasi yang didorong oleh media. Selain itu, partai politik harus lebih aktif memoderasi perbedaan pendapat, media massa harus bersikap objektif dan tidak menyebarkan berita provokatif, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) perlu menciptakan ruang dialog untuk menjembatani perbedaan pandangan.
Daftar Pustaka :
- PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM IKLAN POLITIK The Use of Indonesian Language in Political Advertisement Siti Zumrotul Maulida, accessed August 24, 2025, https://repositori.kemendikdasmen.go.id/10309/1/PENGGUNAAN%20BAHASA%20INDONESIA%20DALAM%20IKLAN%20POLITIK.pdf
- Polarisasi Masyarakat pada Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia Dalam Kajian Sosiologi Hukum – Sabtida, accessed August 24, 2025, http://journal.sabtida.com/index.php/rlr/article/download/15/8/167
- Polarisasi Politik dan Dampaknya Terhadap Masyarakat – JDIH …, accessed August 24, 2025, https://jdih.sukoharjokab.go.id/berita/detail/polarisasi-politik-dan-dampaknya-terhadap-masyarakat
- Polarisasi Politik Indonesia Tahun 2024 dalam Pemberitaan Media Online, accessed August 24, 2025, https://ifrelresearch.org/index.php/harmoni-widyakarya/article/download/4869/4991/21352
- ‘Cebong’ dan ‘Kampret’ dalam Pespektif Komunikasi Politik, accessed August 24, 2025, https://journal.amikom.id/index.php/pikma/article/view/5538/3030
- ISU NEGATIF DALAM PEMILU 2019 … – Journal KPU RI, accessed August 24, 2025, https://journal.kpu.go.id/index.php/ERE/article/download/145/53/
- MENGHANCURKAN CEBONG DAN KADRUN …, accessed August 24, 2025, https://dosen.ung.ac.id/Adriansyahkatili/home/2022/10/3/menghancurkan-cebong-dan-kadrun-merekonstruksi-keiindonesiaan-melalui-bahasa-indonesia.html
- Dr Tifa Ungkap Julukan Baru yang Dinilainya Paling Hina dari …, accessed August 24, 2025, https://wartakota.tribunnews.com/2025/05/19/dr-tifa-ungkap-julukan-baru-yang-dinilainya-paling-hina-dari-buzzer-namanya-termul-apa-itu?page=all
- ANALISIS WACANA BRANDING GEMOY PADA KAMPANYE PASANGAN CALON 02 PRABOWO-GIBRAN DALAM PEMILU TAHUN 2024 – Sejurnal.com, accessed August 24, 2025, https://sejurnal.com/pub/index.php/jikm/article/download/1897/2201/5880
- political branding gemoy-samsul pada pilpres 2024: analisis interaksionalisme simbolik di media massa – Sejurnal.com, accessed August 24, 2025, https://sejurnal.com/pub/index.php/jpim/article/download/1450/1815/5311
- TREN DAN POPULARITAS SEBUTAN CEBONG, KAMPRET, BUZERP, DAN KADRUN, accessed August 24, 2025, https://pers.droneemprit.id/tren-dan-popularitas-sebutancebong-kampret-buzerp-dan-kadrun/
- ESKALASI PARTISANSHIP POLITIK DALAM PEMBENTUKAN …, accessed August 24, 2025, https://jurnalsosiologi.fisip.unila.ac.id/index.php/jurnal/article/download/1220/163/3592
- KPU Berhasil Mentahkan Dugaan Kecurangan di Sidang MK, accessed August 24, 2025, https://www.kpu.go.id/berita/baca/7532/omisi-Pemilihan-Umum–KPU–sebagai-Termohon-berhasil-mementahkan-dugaan-kecurangan-dalam-proses-penyelenggaraan-tahapan-Pemilu-Presiden-dan-Wakil-Presiden-Tahun-2019.-Keberhasilan-KPU-tersebut-didukung-oleh-fakta-dan-bukti-yang-diajukan-KPU.
- Malpraktik dan Korupsi Pemilu di Indonesia: Analisis terhadap Proses Penghitungan dan Rekapitulasi pada Pemilu 2019 – Integritas: Jurnal Antikorupsi, accessed August 24, 2025, https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/download/720/127/2385