Dalam Konteks ketatanegaraan modern, mekanisme pemberhentian kepala negara atau kepala pemerintahan merupakan pilar fundamental dalam sistem checks and balances. Prosedur ini, yang dikenal sebagai pemakzulan (impeachment) dalam sistem presidensial dan mosi tidak percaya (vote of no confidence) dalam sistem parlementer, dirancang untuk memastikan akuntabilitas eksekutif dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun memiliki tujuan yang sama, implementasi dan karakteristik proseduralnya bervariasi secara signifikan di berbagai negara, mencerminkan perbedaan filosofi konstitusional dan dinamika politik.
Definisi Konseptual Pemakzulan (Impeachment)
Secara konseptual, pemakzulan dapat diartikan sebagai proses pendakwaan atau penuntutan yang dilakukan oleh badan legislatif terhadap pejabat tinggi negara, khususnya Presiden atau Wakil Presiden, dengan tujuan memberhentikan mereka dari jabatannya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan “makzul” sebagai berhenti memegang jabatan atau turun takhta, sehingga “pemakzulan” merujuk pada tindakan atau proses untuk memberhentikan seseorang dari jabatan tinggi.
Penting untuk dicatat bahwa pemakzulan memiliki sifat yang berbeda dari proses pidana biasa. Prosedur ini bersifat remediatif, bukan punitif, dengan sanksi utamanya terbatas pada pemberhentian dari jabatan. Namun, hal ini tidak berarti pejabat yang diberhentikan melalui pemakzulan kebal hukum; mereka tetap dapat menghadapi tuntutan pidana di pengadilan umum setelah diberhentikan.
Secara historis, konsep impeachment berasal dari Inggris pada abad ke-14. Parlemen Inggris pada masa itu menggunakan instrumen ini untuk memproses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu berpengaruh yang terlibat dalam kasus korupsi atau pelanggaran lain yang berada di luar kewenangan pengadilan biasa. Pada awalnya, hukuman yang dapat dikenakan melalui impeachment di Inggris sangat luas, mencakup pemenjaraan, denda, bahkan hukuman mati. Namun, seiring waktu, khususnya dalam praktik di koloni-koloni dan kemudian dalam Konstitusi Amerika Serikat, sanksi yang terkait dengan pemakzulan dibatasi hanya pada pemberhentian dari jabatan.
Tujuan dan Fungsi Pemakzulan dalam Sistem Pemerintahan
Fungsi utama pemakzulan adalah sebagai instrumen checks and balances yang vital dalam sistem pemerintahan. Mekanisme ini dirancang untuk mencegah dan menanggulangi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemegang jabatan eksekutif, serta untuk menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Mekanisme ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden memiliki landasan dan pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan semata-mata didasarkan pada alasan politik. Hal ini merupakan upaya untuk memberikan pembatasan agar seorang Presiden atau Wakil Presiden tidak diberhentikan hanya karena preferensi politik atau ketidaksukaan.
Keberadaan pemakzulan juga berkontribusi pada penempatan semua lembaga negara dalam kedudukan yang setara, sehingga tercipta keseimbangan dalam penyelenggaraan negara Ini memungkinkan adanya mekanisme saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Lebih lanjut, pemakzulan berfungsi sebagai alat untuk menuntut akuntabilitas pejabat pemerintah atas pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan yang serius.
Perbedaan Krusial: Pemakzulan (Impeachment) vs. Mosi Tidak Percaya (Vote of No Confidence)
Meskipun keduanya adalah mekanisme untuk memberhentikan pejabat eksekutif, pemakzulan dan mosi tidak percaya beroperasi dalam konteks sistem pemerintahan yang berbeda dan memiliki karakteristik yang khas:
- Impeachment (Sistem Presidensial): Proses pemakzulan umumnya berlaku di negara-negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem ini, Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, dipilih secara langsung oleh rakyat, dan memiliki masa jabatan yang tetap (fixed term). Legitimasi eksekutif tidak berasal dari legislatif, sehingga tidak dapat digulingkan secara politik selama menjabat kecuali karena pelanggaran hukum yang diatur konstitusi. Pemakzulan adalah prosedur quasi-kriminal yang melibatkan tuduhan pelanggaran hukum berat atau penyalahgunaan jabatan, dengan sanksi utama terbatas pada pemberhentian dari jabatan. Proses ini seringkali membutuhkan supermayoritas di badan legislatif dan terkadang melibatkan pengadilan konstitusi untuk validasi hukum.
- Mosi Tidak Percaya (Sistem Parlementer): Berbeda dengan pemakzulan, mosi tidak percaya (atau mosi kecaman) adalah prosedur parlementer yang digunakan di sistem parlementer untuk memberhentikan pemerintah (Perdana Menteri dan kabinetnya) dari jabatan. Dalam sistem ini, eksekutif (Perdana Menteri) memperoleh legitimasinya dari legislatif dan bertanggung jawab langsung kepadanya. Jika pemerintah kehilangan mosi tidak percaya, biasanya akan mengarah pada pengunduran diri kepala pemerintahan atau pembubaran parlemen dan pemilihan umum baru. Proses ini bersifat politis, bukan quasi-kriminal, dan tidak berlaku di negara-negara dengan bentuk pemerintahan presidensial.
Analisis Mendalam Mengenai Konsep Pemakzulan
Analisis terhadap definisi dan tujuan pemakzulan mengungkapkan beberapa dinamika penting dalam hukum tata negara komparatif.
Pertama, terdapat sebuah ketegangan atau dualitas yang melekat dalam sifat pemakzulan, yaitu antara dimensi hukum dan politik. Meskipun kerangka konstitusional modern berupaya untuk menjadikan proses ini lebih bersifat yudisial, dengan mensyaratkan adanya landasan hukum yang jelas dan seringkali melibatkan pengadilan konstitusi, dimensi politik tetap dominan. Proses ini seringkali diawali oleh inisiatif politik dari badan legislatif dan diakhiri dengan keputusan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pemakzulan jarang sekali menjadi murni latihan hukum; efektivitas dan legitimasinya terus-menerus dinegosiasikan pada persimpangan prinsip-prinsip hukum dan realitas politik. Konsekuensi dari dualitas ini adalah potensi persepsi publik bahwa proses tersebut dapat digunakan sebagai senjata politik daripada sebagai upaya penegakan keadilan yang tulus, yang pada gilirannya dapat mengikis kepercayaan terhadap institusi demokrasi.
Kedua, meninjau sejarah pemakzulan menunjukkan adanya evolusi yang jelas dari instrumen konstitusional ini. Berasal dari Inggris abad ke-14, di mana ia berfungsi sebagai alat yang luas dan punitif untuk mengendalikan pejabat yang kuat, dengan sanksi yang mencakup hukuman berat seperti penjara atau bahkan kematian, pemakzulan telah berkembang menjadi mekanisme yang lebih terbatas dan bersifat remediatif. Dalam konteks Amerika Serikat, misalnya, sanksi dibatasi hanya pada pemberhentian dari jabatan. Perkembangan ini mencerminkan evolusi yang lebih luas dari konstitusionalisme dan supremasi hukum, di mana kekuasaan pemerintah semakin dibatasi dan didefinisikan secara jelas. Pergeseran dari sifat punitif ke remediatif menggarisbawahi fokus pada perlindungan integritas jabatan dan negara, bukan semata-mata pada penghukuman individu, meskipun individu tersebut tetap dapat menghadapi tuntutan pidana terpisah.
Ketiga, keberadaan mekanisme pemberhentian eksekutif, baik pemakzulan maupun mosi tidak percaya, menunjukkan sifat paradoksnya sebagai instrumen konstitusional. Meskipun dimaksudkan sebagai pengaman vital terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan sebagai pencegah perilaku buruk presiden, implementasi aktualnya dapat menjadi sumber ketidakstabilan politik yang signifikan. Hal ini terutama terjadi dalam konteks polarisasi politik yang tinggi atau institusi yang lemah. Mekanisme ini dapat membuka pintu bagi kepentingan partisan dan perilaku politik oportunistik. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan pemakzulan saja tidak menjamin penyelesaian masalah tata kelola. Budaya politik, kekuatan institusional, dan kematangan sistem kepartaian secara signifikan memengaruhi apakah mekanisme ini berfungsi sebagai checks and balances yang dimaksudkan atau justru menjadi alat untuk destabilisasi dan perang partisan, yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Kerangka Hukum dan Proses Pemakzulan dalam Sistem Presidensial
Sistem presidensial, yang dicirikan oleh pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif serta masa jabatan eksekutif yang tetap, memerlukan mekanisme khusus untuk memberhentikan kepala negara atau pemerintahan. Mekanisme ini, yang umumnya dikenal sebagai pemakzulan, dirancang untuk menangani pelanggaran serius yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Indonesia
Dasar Hukum dan Alasan Pemakzulan
Proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pasca-amandemen, khususnya Pasal 7A dan 7B. Pengaturan ini merupakan respons terhadap pengalaman ketatanegaraan di masa lalu, di mana pergantian rezim atau pemberhentian Presiden tidak selalu berjalan normal dan seringkali lebih didominasi oleh pertimbangan politis.
Alasan pemberhentian disebutkan secara limitatif dalam konstitusi dan berfokus pada pelanggaran hukum, bukan semata-mata alasan politik. Alasan-alasan tersebut meliputi:
- Pengkhianatan terhadap negara: Ini merujuk pada tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang, seperti makar terhadap Presiden/Wakil Presiden, upaya menempatkan Indonesia di bawah kekuasaan asing, atau menggulingkan pemerintah
- Korupsi dan Penyuapan: Tindak pidana korupsi atau penyuapan yang diatur oleh undang-undang
- Tindak pidana berat lainnya: Ini mencakup tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Konsep ini merupakan inovasi dalam UUD 1945, kemungkinan terinspirasi dari konsep “High Crime” di Amerika Serikat, yang sendiri masih terbuka untuk berbagai interpretasi.
- Perbuatan tercela: Merujuk pada tindakan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Definisi ini dianggap ambigu dan terbuka untuk interpretasi yang luas.
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden: Ini mengacu pada syarat-syarat yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang yang berlaku
Mekanisme Multi-Lembaga: Peran DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR
Mekanisme pemakzulan di Indonesia melibatkan serangkaian proses panjang dan melibatkan beberapa lembaga tinggi negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR): Proses dimulai di DPR dengan pengajuan usulan pendapat mengenai dugaan pelanggaran hukum atau kegagalan memenuhi syarat oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usulan ini harus diajukan oleh setidaknya 17 anggota DPR dan disetujui dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, dengan persetujuan minimal 2/3 dari anggota yang hadir. DPR kemudian membentuk Panitia Khusus untuk membahas dugaan dan mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan.
- Mahkamah Konstitusi (MK): Setelah usulan DPR disetujui, DPR mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut. Peran MK adalah untuk menentukan validitas hukum dari pendapat DPR, memastikan bahwa dugaan pelanggaran memiliki landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan sekadar alasan politik. MK tidak mengadili Presiden sebagai individu, melainkan fokus pada pendapat DPR. Putusan MK berpusat pada kebenaran dugaan pelanggaran hukum atau ketidakpenuhan syarat. Meskipun putusan MK bersifat yuridis, terdapat nuansa politis karena prosesnya diawali dan diakhiri dengan tahapan politik Putusan MK tidak secara langsung mengikat MPR dalam konteks pemberhentian, melainkan menjadi pertimbangan penting bagi MPR.
- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR): Jika MK memutuskan bahwa Presiden/Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran atau tidak lagi memenuhi syarat, DPR meneruskan usulan pemberhentian kepada MPR. MPR memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan sidang paripurna guna memutuskan usulan tersebut dalam waktu paling lama 30 hari sejak menerima usulan. Sidang MPR harus dihadiri oleh minimal 3/4 dari seluruh anggota MPR, dan keputusan pemberhentian memerlukan persetujuan minimal 2/3 dari anggota MPR yang hadir. Jika diberhentikan, mantan Presiden/Wakil Presiden dapat diproses secara pidana di pengadilan umum.
Amerika Serikat
Dasar Hukum Konstitusional dan Alasan
Konstitusi Amerika Serikat memberikan kekuasaan kepada Kongres untuk memakzulkan dan memberhentikan Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat sipil federal lainnya karena “Treason (Pengkhianatan), Bribery (Penyuapan), atau other high Crimes and Misdemeanors (Tindak Pidana Berat dan Pelanggaran Berat Lainnya)”.
Definisi “high Crimes and Misdemeanors” tidak secara eksplisit diatur dalam Konstitusi atau undang-undang, dan maknanya telah berkembang seiring waktu melalui praktik politik dan interpretasi. Istilah ini umumnya dipahami sebagai pelanggaran “politik” atau kesalahan yang dilakukan oleh pejabat publik terhadap negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan dana, kelalaian tugas, dan korupsi.
Proses Bicameral: Peran House of Representatives dan Senate
Proses pemakzulan di Amerika Serikat melibatkan dua kamar Kongres:
- House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat): Memiliki kekuasaan tunggal untuk memakzulkan, yaitu secara formal mendakwa. Proses ini dapat diawali dengan penyelidikan (impeachment inquiry), meskipun tahap ini tidak diwajibkan secara konstitusional. Tuduhan formal, yang disebut articles of impeachment, harus disetujui oleh mayoritas sederhana dari anggota House yang hadir dan memilih Setelah articles of impeachment disahkan, pejabat tersebut secara resmi “dimakzulkan” Komite perwakilan, yang disebut “managers,” bertindak sebagai penuntut di hadapan Senat.
- Senate (Senat): Memiliki kekuasaan tunggal untuk mengadili semua pemakzulan. Selama persidangan, Senator harus mengucapkan sumpah atau janji. Hak untuk diadili oleh juri tidak berlaku dalam proses pemakzulan. Jika Presiden yang dimakzulkan, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat akan memimpin sidang.Vonis atas salah satu articles of impeachment memerlukan dukungan 2/3 mayoritas dari Senator yang hadir. Hukuman utama dari vonis adalah pemberhentian dari jabatan. Senat juga memiliki diskresi untuk memberikan suara untuk mendiskualifikasi pejabat tersebut dari memegang jabatan federal di masa depan. Penting untuk dicatat bahwa Presiden tidak dapat menggunakan kekuasaan grasi untuk melindungi individu dari pemakzulan atau pemberhentian.
Brazil
Kerangka Hukum dan Alasan
Proses pemakzulan di Brazil diatur oleh Konstitusi Federal, Undang-Undang No. 1.079 tahun 1950, serta peraturan internal Chamber of Deputies dan Federal Senate.
Alasan pemakzulan adalah “crimes of responsibility” (crimes de responsabilidade), yang didefinisikan sebagai tindakan Presiden Republik yang melanggar Konstitusi. Pelanggaran ini secara khusus mencakup tindakan terhadap eksistensi Uni, pelaksanaan bebas kekuasaan Legislatif, Yudikatif, Kantor Kejaksaan, hak politik, keamanan internal, probitas administrasi, undang-undang anggaran, dan kepatuhan terhadap hukum serta putusan pengadilan. Contoh kasus pemakzulan Dilma Rousseff adalah tuduhan penyalahgunaan undang-undang anggaran.
Prosedur: Peran Chamber of Deputies dan Federal Senate
Prosedur pemakzulan di Brazil melibatkan dua lembaga legislatif:
- Chamber of Deputies (Dewan Perwakilan Rakyat): Proses ini dimulai dengan pengajuan laporan oleh warga negara kepada Chamber of Deputies. Laporan tersebut akan dianalisis oleh Komite Khusus yang proporsional dari semua partai politik. Presiden yang dituduh diberi kesempatan untuk membela diri. Untuk mengizinkan proses pemakzulan di Senat, dibutuhkan 2/3 suara dari Chamber of Deputies. Setelah tuduhan diterima oleh Chamber, Presiden akan diskors dari jabatannya.
- Federal Senate (Senat Federal): Memiliki kekuasaan eksklusif untuk mengadili Presiden dan Wakil Presiden atas “crimes of responsibility”. Sidang dipimpin oleh Presiden Mahkamah Agung Federal. Vonis memerlukan 2/3 suara dari Senator yang hadir. Jika terbukti bersalah, sanksi terbatas pada pemberhentian dari jabatan dan diskualifikasi dari memegang jabatan publik selama delapan tahun.
Korea Selatan
Dasar Hukum dan Alasan
Pasal 65 Konstitusi Korea mengatur bahwa Presiden, Perdana Menteri, dan pejabat publik lainnya dapat dimakzulkan jika mereka melanggar Konstitusi atau undang-undang dalam menjalankan tugas resmi mereka.
Mahkamah Konstitusi Korea telah menafsirkan klausul ini secara signifikan. Dalam kasus pemakzulan Presiden Roh, Mahkamah memutuskan bahwa hanya “pelanggaran berat” (grave violations) yang dapat mengakibatkan pemakzulan, bukan “pelanggaran ringan” (minor violations). Interpretasi ini didasarkan pada prinsip proporsionalitas, yang menuntut agar hukuman konstitusional sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan. Mahkamah Konstitusi lebih lanjut menjelaskan bahwa “pelanggaran berat” akan diinterpretasikan dengan menyeimbangkan tingkat dampak negatif atau kerugian terhadap tatanan konstitusional yang disebabkan oleh pelanggaran hukum dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh pemberhentian pejabat tersebut dari jabatannya.
Proses: Peran National Assembly dan Constitutional Court
Proses pemakzulan di Korea Selatan melibatkan Majelis Nasional dan Mahkamah Konstitusi:
- National Assembly (Majelis Nasional): Mosi pemakzulan harus diajukan oleh setidaknya mayoritas dari total anggota Majelis Nasional. Untuk kasus Presiden, mosi tersebut membutuhkan 2/3 supermayoritas (200 dari 300 anggota) untuk disetujui. Setelah mosi disahkan oleh Majelis Nasional, pejabat yang bersangkutan segera diskors dari tugasnya, menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi.
- Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi): Memiliki kekuasaan tunggal untuk memberhentikan pejabat dari jabatannya setelah mosi pemakzulan disahkan oleh Majelis Nasional. Untuk memberhentikan pejabat, dibutuhkan enam suara dari Mahkamah Konstitusi.
Studi Kasus Singkat Sistem Presidensial Lainnya (Jerman, Kroasia)
Meskipun sebagian besar negara dengan sistem presidensial memiliki mekanisme pemakzulan yang serupa, terdapat variasi dalam detail prosedural dan peran lembaga yang terlibat.
- Jerman: Meskipun merupakan sistem parlementer, Presiden Federal Jerman (yang merupakan kepala negara seremonial) dapat dimakzulkan. Mosi pemakzulan harus diajukan oleh setidaknya seperempat anggota Bundestag (DPR) atau seperempat suara Bundesrat (Dewan Federal). Keputusan untuk memakzulkan memerlukan mayoritas dua pertiga dari anggota Bundestag atau Bundesrat.
- Kroasia: Proses pemakzulan Presiden dapat dimulai dengan 2/3 mayoritas suara di Sabor (Parlemen). Setelah itu, kasus dirujuk ke Mahkamah Konstitusi, yang harus menerima proposal tersebut dengan 2/3 mayoritas suara agar Presiden dapat diberhentikan dari jabatan. Mekanisme ini belum pernah terjadi dalam sejarah Republik Kroasia.
Analisis Mengenai Kerangka Hukum Presidensial
Pola-pola yang muncul dari perbandingan kerangka hukum pemakzulan dalam sistem presidensial mengungkapkan beberapa karakteristik penting.
Pertama, terdapat kecenderungan global, terutama di luar Amerika Serikat, untuk menjadikan proses pemakzulan lebih bersifat yudisial. Sementara sistem AS memberikan kekuasaan tunggal kepada Kongres dan putusan Senat sebagian besar kebal dari peninjauan yudisial, negara-negara seperti Indonesia, Brazil, dan Korea Selatan secara eksplisit melibatkan pengadilan tinggi atau Mahkamah Konstitusi dalam penentuan akhir landasan hukum untuk pemakzulan. Kecenderungan ini menunjukkan pengakuan global akan pentingnya legitimasi hukum dan proses hukum yang adil dalam pemberhentian eksekutif dengan masa jabatan tetap. Ini berfungsi sebagai mekanisme untuk melindungi eksekutif dari serangan politik sewenang-wenang dan untuk memperkuat supremasi hukum, meskipun motivasi politik masih dapat memengaruhi inisiasi proses. Ini menandakan kematangan demokrasi konstitusional yang berupaya menyeimbangkan akuntabilitas politik dengan kepastian hukum.
Kedua, ketentuan konstitusional yang mendefinisikan pelanggaran yang dapat dimakzulkan seringkali menggunakan bahasa yang luas atau ambigu. Contohnya adalah frasa “high Crimes and Misdemeanors” dalam Konstitusi AS, yang maknanya telah “diliquidasi” atau ditentukan seiring waktu melalui praktik dan proses politik. Demikian pula, “perbuatan tercela” di Indonesia dianggap ambigu dan terbuka untuk interpretasi luas. Mahkamah Konstitusi Korea secara aktif menafsirkan “alasan yang sah” sebagai “pelanggaran berat,” menyeimbangkan pelanggaran hukum dengan dampaknya terhadap tatanan konstitusional. Ambiguinitas ini memungkinkan fleksibilitas dalam menangani perilaku buruk yang tidak terduga, tetapi juga menciptakan potensi kontestasi politik. Interpretasi dinamis dari klausul-klausul luas ini menyoroti sifat hukum konstitusi yang hidup. Meskipun memberikan adaptabilitas yang diperlukan, ini juga berarti bahwa batas-batas spesifik perilaku yang dapat dimakzulkan terus-menerus didefinisikan ulang, seringkali sebagai respons terhadap krisis politik, membuat proses tersebut secara inheren rentan terhadap tekanan politik dan berpotensi memicu tuduhan politisasi.
Ketiga, sebuah pola yang konsisten di berbagai sistem presidensial adalah persyaratan supermayoritas (umumnya 2/3) pada tahap-tahap kritis proses pemakzulan, terutama untuk vonis atau otorisasi akhir proses. Ini terlihat di Senat AS , Chamber of Deputies dan Senat Federal Brazil, serta Majelis Nasional Korea Selatan untuk pemakzulan Presiden. Ambang batas yang tinggi ini merupakan pilihan desain konstitusional yang disengaja untuk membuat pemberhentian eksekutif menjadi sulit, sehingga mendorong stabilitas pemerintahan dan melindungi masa jabatan tetap kepresidenan. Ini memastikan bahwa hanya dalam kasus konsensus luas mengenai pelanggaran serius seorang presiden dapat diberhentikan, mencegah keluhan yang bermotivasi politik atau minor dari mengganggu stabilitas cabang eksekutif. Hal ini mencerminkan keseimbangan antara akuntabilitas dan stabilitas dalam demokrasi presidensial.
Tabel 1: Perbandingan Mekanisme Pemakzulan Presiden (Sistem Presidensial)
Fitur Kunci | Indonesia | Amerika Serikat | Brazil | Korea Selatan |
Dasar Hukum Utama | UUD 1945 Pasal 7A & 7B | Konstitusi AS Pasal I, II | Konstitusi Federal, UU No. 1.079/1950 | Konstitusi Korea Pasal 65, UU Mahkamah Konstitusi Pasal 53(1) |
Alasan Umum | Pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, tidak memenuhi syarat | Treason, Bribery, other High Crimes and Misdemeanors | Crimes of Responsibility (pelanggaran konstitusi, anggaran, dll.) | Pelanggaran Konstitusi atau UU (harus “pelanggaran berat”) |
Lembaga Terlibat (Dakwaan/Usul) | DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) | House of Representatives | Chamber of Deputies | National Assembly |
Lembaga Terlibat (Pengadilan/Keputusan Akhir) | Mahkamah Konstitusi (MK) & Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) | Senate | Federal Senate (dipimpin Ketua MA Federal) | Constitutional Court |
Mayoritas Suara (Dakwaan/Usul) | DPR: 2/3 dari yang hadir (min. 2/3 total anggota) | House: Mayoritas sederhana | Chamber: 2/3 dari total anggota | National Assembly: Mayoritas total anggota (Presiden: 2/3 total anggota) |
Mayoritas Suara (Vonis/Pemberhentian) | MPR: 2/3 dari yang hadir (min. 3/4 total anggota MPR) | Senate: 2/3 dari yang hadir | Senate: 2/3 dari yang hadir | Constitutional Court: 6 dari 9 Hakim Konstitusi |
Sifat Putusan Akhir | MK: Yuridis (membenarkan pendapat DPR); MPR: Politis (memutuskan pemberhentian) | Senat: Politik (pemberhentian & diskualifikasi); tidak ada banding yudisial | Senat: Final (pemberhentian & diskualifikasi) | Mahkamah Konstitusi: Final (pemberhentian) |
Tabel ini memberikan perbandingan yang ringkas dan terstruktur mengenai kerangka hukum dan prosedur pemakzulan presiden di berbagai sistem presidensial utama. Hal ini memungkinkan pembaca untuk dengan cepat memahami perbedaan dan kesamaan inti tanpa harus menelusuri narasi yang panjang untuk setiap negara. Tabel ini secara eksplisit menyajikan variabel-variabel penting seperti dasar hukum spesifik, badan legislatif dan yudikatif yang terlibat pada setiap tahap, mekanisme pengawasan yudisial, dan ambang batas supermayoritas yang diperlukan. Presentasi terstruktur ini mempermudah identifikasi pola-pola umum, seperti prevalensi mayoritas 2/3 untuk vonis, serta fitur-fitur unik, seperti proses tiga tahap di Indonesia yang melibatkan MK dan MPR, atau keputusan yudisial akhir oleh Mahkamah Konstitusi Korea. Tabel ini secara langsung mendukung dan memberikan bukti empiris untuk pemahaman yang lebih dalam yang telah diidentifikasi sebelumnya, seperti yudisialisasi pemakzulan, ambiguitas perilaku buruk yang serius, dan persyaratan supermayoritas sebagai mekanisme stabilitas. Bagi para akademisi, peneliti, dan analis, tabel ini berfungsi sebagai alat referensi cepat yang sangat berharga, memfasilitasi analisis komparatif dan penelitian yang lebih mendalam tentang desain konstitusional spesifik.
Kerangka Hukum dan Proses Pemberhentian dalam Sistem Parlementer (Mosi Tidak Percaya)
Dalam sistem parlementer, peran kepala pemerintahan (Perdana Menteri atau Kanselir) sangat bergantung pada dukungan mayoritas di legislatif. Oleh karena itu, mekanisme pemberhentiannya berbeda secara fundamental dari pemakzulan presidensial, lebih berfokus pada dinamika politik dan kepercayaan parlemen.
Britania Raya
Konsep Mosi Tidak Percaya dan Penerapannya
Di Britania Raya, mosi tidak percaya adalah prosedur utama yang digunakan untuk memberhentikan pemerintah (Perdana Menteri dan kabinetnya) dari jabatan. Ini adalah mekanisme politik yang mencerminkan prinsip “pemerintahan yang bertanggung jawab” (responsible government), di mana eksekutif bertanggung jawab langsung kepada Parlemen.
Prosedur mosi tidak percaya dapat diajukan secara formal oleh anggota parlemen, atau dapat tersirat dari kekalahan pemerintah dalam pemungutan suara atas undang-undang penting. Untuk berhasil, mosi ini memerlukan mayoritas sederhana dari anggota House of Commons yang hadir dan memilih. Jika mosi disetujui, Perdana Menteri dan kabinetnya diharapkan untuk mengundurkan diri atau meminta pembubaran Parlemen untuk pemilihan umum baru.
Status Impeachment Tradisional
Meskipun Britania Raya memiliki sejarah panjang impeachment sejak abad ke-14, prosedur ini belum digunakan selama lebih dari dua ratus tahun dan dianggap usang oleh beberapa otoritas hukum. Hal ini disebabkan karena mosi tidak percaya menyediakan cara yang lebih cepat dan efisien bagi House of Commons untuk mencabut dukungan dari pemerintah, sehingga mekanisme impeachment tradisional menjadi tidak relevan dalam praktik modern.
Kanada
Mekanisme Kehilangan Kepercayaan Parlemen dan Peran Gubernur Jenderal
Posisi Perdana Menteri di Kanada tidak diuraikan secara rinci dalam dokumen konstitusional tertulis, melainkan beroperasi berdasarkan konvensi konstitusional yang kuat.[29] Perdana Menteri menjabat atas “His Majesty’s pleasure” (kehendak Monarki/Gubernur Jenderal), tanpa masa jabatan tetap.
Pemicu Pemberhentian
Perdana Menteri dapat diberhentikan jika ia mengundurkan diri, diberhentikan oleh Gubernur Jenderal, atau meninggal dunia. Kehilangan kepercayaan dari House of Commons adalah pemicu utama pengunduran diri atau permintaan pembubaran parlemen. Kekalahan dalam pemilihan umum juga secara otomatis akan menyebabkan pengunduran diri.
Pengaruh Revolusi Kaukus dan Reform Act
Selain mosi tidak percaya formal, pemberontakan kaukus (anggota partai di parlemen) dapat dengan cepat menjatuhkan seorang Perdana Menteri] Reform Act 2014 mengkodifikasi proses di mana kaukus dapat memicu peninjauan kepemimpinan partai dan memilih pemimpin sementara, membuat Perdana Menteri lebih akuntabel kepada anggota parlemen dari partainya sendiri.
Peran Gubernur Jenderal
Gubernur Jenderal secara konvensional mengikuti nasihat Perdana Menteri, tetapi memiliki “reserve powers” (kekuasaan cadangan) untuk menolak pembubaran parlemen jika ada alternatif Perdana Menteri yang dapat memerintah dan memimpin pemerintahan yang stabil.
Australia
Peran Partai Politik dan Kehilangan Dukungan Mayoritas
Di Australia, Perdana Menteri adalah anggota House of Representatives yang memimpin partai atau koalisi partai dengan dukungan mayoritas anggota di House.
Mekanisme Pemberhentian
Perdana Menteri dapat diganti jika partainya memutuskan untuk memilih pemimpin baru. Ini adalah mekanisme internal partai yang sangat umum dan seringkali lebih langsung daripada mosi tidak percaya yang diajukan oleh oposisi. Selain itu, Perdana Menteri juga dapat diganti jika pemerintah kehilangan dukungan mayoritas di House of Representatives.
Wewenang Gubernur Jenderal
Gubernur Jenderal dapat memberhentikan pemerintah jika tidak lagi memiliki dukungan mayoritas di House of Representatives, atau dalam keadaan ekstrem, dapat memberhentikan Perdana Menteri jika melanggar hukum.
Spanyol
Mosi Tidak Percaya Konstruktif: Mekanisme dan Implikasinya
Spanyol menggunakan “mosi tidak percaya konstruktif” (constructive vote of no confidence). Ini berarti anggota legislatif hanya dapat menggulingkan pemerintah jika mereka secara bersamaan menyetujui penggantinya.
Tujuan
Mekanisme ini dirancang secara khusus untuk mencegah instabilitas kabinet yang sering terjadi di negara-negara dengan sistem parlementer multi-partai, seperti yang pernah dialami Prancis dan Jerman. Dengan mewajibkan adanya pengganti yang disepakati, sistem ini memastikan transisi kekuasaan yang lebih stabil dan mengurangi kemungkinan kekosongan kekuasaan atau pemilihan umum dini yang sering terjadi.
Persyaratan
Mosi ini memerlukan mayoritas absolut (176 dari 350 suara) di Kongres Deputi. Kasus Mariano Rajoy pada 2018 menunjukkan bagaimana mosi ini berhasil menjatuhkan Perdana Menteri setelah partai oposisi berhasil mengumpulkan dukungan mayoritas untuk pengganti yang disepakati.
Analisis Mendalam Mengenai Kerangka Hukum Parlementer
Pemeriksaan terhadap kerangka hukum pemberhentian dalam sistem parlementer menyoroti beberapa karakteristik penting yang membedakannya dari sistem presidensial.
Pertama, akuntabilitas politik adalah pendorong utama di balik pemberhentian Perdana Menteri dalam sistem parlementer. Mosi tidak percaya secara eksplisit menunjukkan kurangnya dukungan legislatif terhadap pemerintah atau pemimpinnya Di Inggris, mekanisme impeachment tradisional menjadi usang karena konsep “pemerintahan yang bertanggung jawab” di mana Perdana Menteri secara langsung bertanggung jawab kepada Parlemen. Demikian pula, di Kanada dan Australia, pemberhentian terkait erat dengan hilangnya kepercayaan dari House atau perubahan kepemimpinan partai Perbedaan mendasar ini membentuk seluruh dinamika hubungan eksekutif-legislatif. Dalam sistem parlementer, kelangsungan hidup eksekutif secara terus-menerus terikat pada pemeliharaan dukungan mayoritas di legislatif, yang mengarah pada hubungan yang lebih cair dan sensitif secara politik dibandingkan dengan proses pemberhentian yang didasarkan pada hukum dan masa jabatan tetap dalam sistem presidensial.
Kedua, desain mekanisme pemberhentian parlementer, khususnya “mosi tidak percaya konstruktif,” mencerminkan upaya konstitusional yang disengaja untuk menyeimbangkan stabilitas pemerintahan dengan akuntabilitas eksekutif. Mekanisme ini, yang mengharuskan adanya persetujuan pengganti secara bersamaan, bertujuan untuk mencegah instabilitas kabinet yang sering terjadi di negara-negara parlementer multi-partai. Sementara mosi tidak percaya sederhana dapat menyebabkan perubahan kepemimpinan yang cepat, varian konstruktif ini berupaya memastikan transisi kekuasaan yang lebih mulus. Hal ini menunjukkan bagaimana pilihan desain konstitusional yang berbeda dibuat untuk mengatasi tantangan spesifik dalam demokrasi parlementer. Eksekutif yang sangat responsif, yang mudah diberhentikan oleh mayoritas sederhana, mungkin tampak lebih demokratis, tetapi dapat menyebabkan instabilitas kronis. Mosi tidak percaya konstruktif adalah mekanisme untuk mengurangi hal ini, memastikan bahwa perubahan eksekutif lebih disengaja dan tidak mudah menciptakan kekosongan kekuasaan, sehingga mendorong kesinambungan pemerintahan yang lebih besar.
Ketiga, di luar mosi tidak percaya parlementer formal, dinamika internal partai seringkali menjadi faktor penentu yang paling langsung dan krusial dalam pemberhentian Perdana Menteri. Di Australia, Perdana Menteri dapat diganti jika partainya memilih pemimpin baru. Di Kanada, “revolusi kaukus” dapat dengan cepat menjatuhkan seorang Perdana Menteri, sebuah proses yang bahkan telah dikodifikasi dalam undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan Perdana Menteri, bahkan dengan mayoritas parlementer, sangat bergantung pada pemeliharaan dukungan internal partai yang kuat. Partai, bukan hanya oposisi, dapat menjadi kekuatan paling ampuh untuk pemberhentian. Dinamika ini seringkali membuat politik internal partai yang berkuasa sama, jika tidak lebih, krusial daripada manuver parlementer antar-partai dalam menentukan masa jabatan seorang Perdana Menteri.
Tabel 2: Perbandingan Mekanisme Pemberhentian Perdana Menteri (Sistem Parlementer)
Fitur Kunci | Britania Raya | Kanada | Australia | Spanyol |
Mekanisme Utama | Mosi Tidak Percaya (Vote of No Confidence) | Kehilangan Kepercayaan Parlemen, Penggantian Pemimpin Partai, Pengunduran Diri | Penggantian Pemimpin Partai, Kehilangan Dukungan Mayoritas di DPR | Mosi Tidak Percaya Konstruktif (Constructive Vote of No Confidence) |
Pemicu/Alasan Umum | Kehilangan dukungan mayoritas di House of Commons (baik langsung/tersirat) | Kehilangan kepercayaan House of Commons, kekalahan pemilu, revolusi kaukus | Kehilangan dukungan partai, kehilangan mayoritas di House of Representatives | Kehilangan dukungan mayoritas di Kongres Deputi (sering karena skandal/korupsi) |
Lembaga Terlibat | House of Commons | House of Commons, Gubernur Jenderal, internal partai | House of Representatives, internal partai, Gubernur Jenderal | Kongres Deputi |
Mayoritas Suara yang Dibutuhkan | Mayoritas sederhana dari yang hadir dan memilih | Mayoritas sederhana di House of Commons (untuk mosi tidak percaya) | Mayoritas sederhana di House of Representatives | Mayoritas absolut (176 dari 350) |
Sifat Putusan Akhir/Konsekuensi | Pengunduran diri PM/kabinet atau pembubaran Parlemen & pemilu baru | Pengunduran diri PM, Gubernur Jenderal dapat menunjuk PM baru/pemilu baru | Penggantian PM, potensi pemilu baru | Penggantian PM dengan pengganti yang disetujui, menghindari kekosongan |
Mosi Tidak Percaya Konstruktif? | Tidak | Tidak | Tidak | Ya |
Tabel ini secara eksplisit menyoroti pendekatan unik sistem parlementer terhadap pemberhentian eksekutif, menekankan sifat politik dari proses yang didorong oleh kepercayaan legislatif, yang merupakan kontras utama dengan pemakzulan quasi-kriminal dalam sistem presidensial. Tabel ini menunjukkan bahwa bahkan dalam kategori luas sistem parlementer, terdapat variasi signifikan dalam cara Perdana Menteri dapat diberhentikan, seperti mosi tidak percaya langsung, mosi konstruktif, atau tantangan kepemimpinan internal partai. Nuansa ini sangat penting untuk analisis komparatif yang komprehensif. Tabel ini juga dengan jelas menghubungkan pemberhentian Perdana Menteri dengan hilangnya dukungan dari legislatif atau partai mereka sendiri, memperkuat gagasan bahwa akuntabilitas politik dan dinamika partai adalah pendorong utama dalam sistem ini. Selain itu, tabel ini memberikan detail praktis tentang mekanisme, seperti mayoritas spesifik yang diperlukan atau peran kepala negara, yang membuat informasi tersebut lebih mudah dipahami untuk memahami proses politik di dunia nyata.
Analisis Kasus-Kasus Pemakzulan dan Pemberhentian Signifikan di Dunia
Studi kasus historis memberikan pemahaman empiris tentang bagaimana mekanisme pemakzulan dan pemberhentian kepala negara/pemerintahan berfungsi dalam praktik, serta dampak yang ditimbulkannya.
Kasus Presiden (Sistem Presidensial)
Amerika Serikat
- Andrew Johnson (1868): Presiden Johnson dimakzulkan oleh House of Representatives karena melanggar Tenure of Office Act tahun 1867, sebuah undang-undang yang melarang presiden memberhentikan anggota kabinet tanpa persetujuan Senat. Tuduhan ini berakar dari konflik politik yang mendalam antara Johnson dan Kongres yang didominasi Republikan pasca-Perang Saudara. Meskipun House mendakwa Johnson, Senat membebaskannya dengan selisih satu suara, yang memungkinkannya menyelesaikan masa jabatannya meskipun pengaruhnya sangat melemah.
- Richard Nixon (1974): Presiden Nixon menghadapi pemakzulan oleh House of Representatives atas tuduhan obstruction of justice dan penyalahgunaan kekuasaan presiden terkait skandal Watergate. Skandal ini melibatkan serangkaian kegiatan ilegal seperti pembobolan, penyadapan tidak sah, “trik kotor” politik, pembayaran uang tutup mulut, dan penyalahgunaan Internal Revenue Service. Menjelang pemungutan suara pemakzulan di House, dan setelah terungkapnya “smoking gun tape” yang menunjukkan keterlibatannya dalam upaya menutup-nutupi kejahatan, Nixon mengundurkan diri. Keputusannya ini diambil karena ia yakin akan vonis Senat jika proses pemakzulan berlanjut.
- Bill Clinton (1998): Presiden Clinton dimakzulkan oleh House of Representatives atas tuduhan sumpah palsu dan obstruction of justice yang berasal dari kesaksiannya dalam gugatan perdata dan hubungannya dengan seorang staf Gedung Putih. Debat utama di Kongres berpusat pada apakah kejahatan yang dituduhkan kepadanya mencapai tingkat pelanggaran yang dapat dimakzulkan. Senat pada akhirnya membebaskannya dari semua tuduhan.
- Donald Trump (2019, 2021): Presiden Trump dimakzulkan oleh House of Representatives sebanyak dua kali. Pemakzulan pertama (2019) didasarkan pada tuduhan penyalahgunaan kekuasaan dan obstruction of Congress terkait hubungannya dengan Ukraina. Pemakzulan kedua (2021) menyusul tuduhan penghasutan pemberontakan terkait serangan di Capitol. Dalam kedua kasus tersebut, Senat membebaskannya.
Indonesia
- Soekarno (1967): Presiden Soekarno diberhentikan (lebih tepatnya “diganti”) dari jabatannya melalui Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Pemberhentian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Soekarno dianggap tidak dapat melaksanakan kewajibannya dan melanggar Garis-Garis Besar Haluan Negara. Proses ini terjadi di luar kerangka pemakzulan UUD 1945 pasca-amandemen yang berlaku saat ini.
- Abdurrahman Wahid (2001): Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh MPR atas usul DPR. Tuduhan terhadapnya meliputi dugaan pelanggaran UUD 1945 mengenai Sumpah Jabatan Presiden dan Ketetapan MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Brazil
- Fernando Collor de Mello (1992): Presiden Fernando Collor de Mello mengundurkan diri di tengah proses pemakzulan yang dihadapinya atas tuduhan penyuapan dan penyalahgunaan dana. Meskipun ia mengundurkan diri, Senat Brazil tetap melanjutkan proses dan memilih untuk menghukumnya, melarangnya memegang jabatan publik selama delapan tahun.
- Dilma Rousseff (2016): Presiden Dilma Rousseff dimakzulkan oleh Chamber of Deputies atas tuduhan penyalahgunaan undang-undang anggaran, yang dianggap sebagai “crime of responsibility” di bawah konstitusi Brazil. Setelah proses panjang, Senat memberhentikannya dari jabatan dengan mayoritas 2/3 suara.
Korea Selatan
- Park Geun-hye (2016): Presiden Park Geun-hye dimakzulkan oleh National Assembly atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan yang terkait dengan skandal korupsi dan pengaruh. Mahkamah Konstitusi kemudian mengukuhkan pemakzulan tersebut dan secara definitif memberhentikannya dari jabatan pada tahun 2017.
- Yoon Suk Yeol (2024): Presiden Yoon Suk Yeol dimakzulkan oleh National Assembly atas tuduhan deklarasi darurat militer yang tidak sah. Ia kemudian diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Peru
- Martín Vizcarra (2020): Presiden Martín Vizcarra menghadapi dua upaya pemakzulan dalam waktu singkat atas tuduhan “Moral Incapacity.” Upaya kedua berhasil, dan ia diberhentikan dari jabatan. Penggantinya, Manuel Merino, hanya menjabat selama enam hari karena gelombang protes publik yang masif, menunjukkan dampak signifikan opini publik pasca-pemakzulan.
- Pedro Castillo (2022): Presiden Pedro Castillo juga menghadapi dua upaya pemakzulan atas tuduhan “Moral Incapacity.” Upaya kedua berhasil dan ia diberhentikan dari jabatan setelah mencoba membubarkan Kongres dan membentuk pemerintahan darurat, yang memicu krisis konstitusional.
Paraguay
- Fernando Lugo (2012): Presiden Fernando Lugo diberhentikan dari jabatannya oleh Senat atas tuduhan nepotisme, ketidakamanan, dan pembelian tanah yang tidak semestinya.
Kasus Perdana Menteri (Sistem Parlementer)
Britania Raya
- James Callaghan (1979): Perdana Menteri James Callaghan terpaksa mengundurkan diri setelah pemerintahannya kalah dalam mosi tidak percaya di House of Commons dengan selisih satu suara (311 banding 310). Kekalahan ini menandai salah satu dari 24 mosi tidak percaya yang berhasil menjatuhkan pemerintah Inggris sejak tahun 1742.
- Robert Walpole (1742): Meskipun tidak ada mosi tidak percaya formal yang tercatat, Robert Walpole, yang secara luas dianggap sebagai Perdana Menteri de facto pertama, mengundurkan diri setelah kehilangan dukungan parlemen menyusul kekalahan dalam pemungutan suara penting di House of Commons. Ini menandai preseden awal bagi pengunduran diri Perdana Menteri akibat hilangnya kepercayaan legislatif.
Spanyol
- Mariano Rajoy (2018): Perdana Menteri Mariano Rajoy dipaksa mengundurkan diri setelah kalah dalam mosi tidak percaya konstruktif di parlemen (180 banding 169 suara). Mosi ini diajukan oleh Pedro Sánchez dari Partai Sosialis setelah putusan kasus korupsi Gurtel yang melibatkan partainya, Popular Party (PP), yang dianggap telah diuntungkan dari dana ilegal. Rajoy menjadi Perdana Menteri pertama di Spanyol yang digulingkan melalui mosi tidak percaya konstruktif.
Analisis Mendalam Mengenai Kasus-Kasus Historis
Pola-pola yang muncul dari kasus-kasus historis pemakzulan dan pemberhentian kepala negara/pemerintahan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika kekuasaan dan akuntabilitas.
Pertama, hasil dari proses pemakzulan seringkali melampaui sekadar vonis atau pembebasan. Kasus-kasus historis menunjukkan spektrum hasil yang lebih luas. Richard Nixon, misalnya, memilih untuk mengundurkan diri untuk menghindari pemakzulan dan vonis yang hampir pasti. Fernando Collor de Mello mengundurkan diri tetapi tetap divonis dan didiskualifikasi dari jabatan publik. Andrew Johnson dibebaskan, tetapi pengaruh politiknya lumpuh. Han Duck-soo dimakzulkan tetapi kemudian dikembalikan jabatannya oleh Mahkamah Konstitusi. Ini menunjukkan bahwa ancaman pemakzulan bisa sama kuatnya dengan eksekusi aktualnya. Proses tersebut seringkali menjadi medan pertempuran politik di mana pihak yang dituduh mungkin memilih untuk mengundurkan diri guna mengurangi kerusakan lebih lanjut atau menghindari vonis formal, menyoroti dimensi strategis akuntabilitas politik tingkat tinggi.
Kedua, korupsi muncul sebagai alasan universal dan kuat untuk pemberhentian kepala negara/pemerintahan di berbagai sistem. Di Amerika Serikat, “penyuapan” secara eksplisit disebutkan sebagai alasan pemakzulan. Indonesia secara jelas mencantumkan “korupsi dan penyuapan”. Brazil menggunakan “crimes of responsibility” yang mencakup pelanggaran terkait probitas administrasi dan undang-undang anggaran, seperti kasus Dilma Rousseff. Korea Selatan memberhentikan Park Geun-hye karena penyalahgunaan kekuasaan terkait skandal korupsi. Di sistem parlementer, kasus Mariano Rajoy di Spanyol menunjukkan bahwa skandal korupsi dapat memicu mosi tidak percaya yang berhasil. Ini menunjukkan bahwa korupsi dipandang secara lintas sistem sebagai pelanggaran serius yang merusak kepercayaan publik dan integritas pemerintahan, sehingga membenarkan penggunaan mekanisme pemberhentian eksekutif.
Ketiga, skandal dan krisis politik yang memicu proses pemberhentian seringkali mencerminkan masalah struktural dan sistemik yang lebih dalam dalam tata kelola suatu negara. Kasus-kasus seperti skandal Watergate yang melibatkan Richard Nixon atau skandal korupsi Gurtel di Spanyol yang menyebabkan jatuhnya Mariano Rajoy bukan hanya tentang kesalahan individu, tetapi juga mengungkap kelemahan dalam sistem pengawasan, etika politik, atau bahkan polarisasi yang ekstrem. Di Peru, beberapa upaya pemakzulan terhadap Martín Vizcarra dan Pedro Castillo atas “Moral Incapacity” menunjukkan krisis representasi dan instabilitas politik yang lebih luas, di mana pemberhentian presiden menjadi solusi parsial dan seringkali tidak meyakinkan untuk masalah yang lebih besar. Hal ini menggarisbawahi bahwa mekanisme pemberhentian, meskipun penting, tidak selalu menjadi “solusi mudah” untuk semua masalah. Sebaliknya, mereka dapat berfungsi sebagai indikator adanya krisis politik yang lebih dalam, yang mungkin melibatkan masalah representasi, fragmentasi politik, atau erosi kepercayaan publik terhadap institusi. Oleh karena itu, keberhasilan pemberhentian seorang pemimpin mungkin tidak secara otomatis menyelesaikan krisis yang mendasarinya, dan bahkan dapat memperburuk ketidakstabilan jika masalah sistemik tidak ditangani.
Dampak Politik, Ekonomi, dan Sosial dari Pemakzulan/Pemberhentian
Proses pemakzulan atau pemberhentian kepala negara/pemerintahan, terlepas dari hasilnya, memiliki dampak yang luas dan mendalam pada stabilitas politik, kinerja ekonomi, dan kohesi sosial suatu negara.
Dampak Politik
Secara politik, pemakzulan atau mosi tidak percaya adalah instrumen penting dalam sistem checks and balances untuk menjaga akuntabilitas eksekutif dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Keberadaan mekanisme ini dapat berfungsi sebagai pencegah perilaku buruk presiden. Namun, proses ini juga dapat membuka pintu bagi kepentingan partisan dan perilaku politik oportunistik.
Ketika seorang pemimpin diberhentikan, hal itu dapat memicu ketidakpastian politik yang signifikan, terutama jika penggantinya tidak memiliki legitimasi atau dukungan politik yang kuat untuk memimpin negara keluar dari krisis. Di negara-negara dengan parlemen yang sangat terfragmentasi atau terpolarisasi, mosi tidak percaya dapat menjadi sumber utama instabilitas, menyebabkan perubahan kabinet yang sering dan mengganggu kesinambungan kebijakan. Sebaliknya, dalam sistem dengan partai tunggal atau koalisi yang solid, mekanisme ini dapat mendorong disiplin partai yang ketat.
Pemberhentian seorang pemimpin juga dapat memengaruhi reputasi dan stabilitas partai politik yang berkuasa, seringkali menyebabkan pertikaian internal dan pergeseran kepemimpinan. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap partai tersebut dan menciptakan peluang bagi partai oposisi untuk mendapatkan dukungan.
Dampak Ekonomi
Ketidakpastian politik yang diakibatkan oleh proses pemakzulan atau pemberhentian kepala pemerintahan dapat memiliki konsekuensi ekonomi yang merugikan. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketidakstabilan politik yang lebih tinggi berkorelasi dengan tingkat pertumbuhan PDB per kapita yang lebih rendah. Ketidakpastian ini dapat mengurangi investasi dan memperlambat laju pembangunan ekonomi. Investor, baik domestik maupun asing, cenderung lebih menyukai lingkungan politik yang stabil dengan kebijakan yang dapat diprediksi dan kepastian hak milik.
Pemerintahan yang lemah atau yang terus-menerus terancam kehilangan jabatan mungkin menjadi sangat sensitif terhadap kebutuhan untuk menyenangkan kelompok lobi dan tekanan, yang dapat mengarah pada keputusan kebijakan yang kurang optimal dan lebih rentan terhadap aktivitas pencarian rente. Ketidakstabilan politik juga dapat memperpendek cakrawala kebijakan para pembuat keputusan, menyebabkan kebijakan makroekonomi jangka pendek yang suboptimal dan perubahan kebijakan yang sering, yang pada gilirannya menciptakan volatilitas dan berdampak negatif pada kinerja makroekonomi.
Namun, perlu dicatat bahwa dampak ekonomi dari pemakzulan tidak selalu bersifat jangka panjang atau fundamental. Misalnya, selama proses pemakzulan Presiden Clinton di AS, produksi industri tetap pada tingkat rekor, menunjukkan bahwa ekonomi yang besar mungkin tidak secara fundamental terganggu oleh satu peristiwa politik. Meskipun demikian, fluktuasi jangka pendek akibat ketidakpastian selama proses persidangan adalah hal yang normal.
Dampak Sosial
Dampak sosial dari pemakzulan atau pemberhentian kepala negara/pemerintahan seringkali terkait dengan tingkat kohesi sosial dan kepercayaan publik terhadap institusi. Krisis politik yang mendalam dapat mengikis rasa memiliki, meningkatkan ketidaksetaraan kesempatan, dan melemahkan ikatan sosial. Polarisasi politik, di mana perbedaan antar kelompok semakin terkondensasi menjadi dimensi yang homogen, dapat menyebabkan permusuhan antara anggota “in-group” dan “out-group,” yang pada gilirannya menghambat kohesi.
Peristiwa-peristiwa seperti pemakzulan dapat memperburuk sentimen anti-politik dan ketidakpuasan publik, terutama jika proses tersebut dianggap didorong oleh kepentingan partisan daripada penegakan hukum yang tulus. Hal ini dapat menyebabkan protes massal, seperti yang terjadi di Peru setelah pemberhentian Martín Vizcarra, yang menunjukkan bahwa respons publik dan masyarakat dapat secara signifikan memengaruhi lanskap politik pasca-peristiwa semacam itu.
Selain itu, perubahan kepemimpinan yang tiba-tiba dapat memengaruhi prioritas pemerintah di bidang sosial. Misalnya, penghapusan posisi menteri yang berfokus pada kesetaraan dan inklusi setelah perubahan kabinet dapat mengirimkan pesan yang mengkhawatirkan tentang komitmen pemerintah terhadap isu-isu ini, yang berpotensi merugikan kelompok-kelompok rentan dan menghambat kemajuan kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
Analisis Mendalam Mengenai Dampak Multidimensional
Analisis dampak multidimensional dari pemakzulan dan pemberhentian mengungkapkan bahwa peristiwa ini adalah manifestasi kompleks dari interaksi antara hukum, politik, dan masyarakat.
Pertama, proses pemberhentian eksekutif, meskipun merupakan mekanisme akuntabilitas yang vital, dapat secara paradoks menjadi sumber ketidakstabilan politik yang signifikan. Ini terutama terjadi ketika masalah yang memicu pemberhentian lebih dalam dan lebih luas daripada sekadar perilaku buruk seorang pemimpin. Jika krisis yang mendasari adalah krisis representasi atau polarisasi politik yang ekstrem, pemberhentian seorang pemimpin hanya akan menjadi solusi parsial dan tidak meyakinkan, yang berpotensi menghasilkan ketidakstabilan lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam memberhentikan seorang pemimpin tidak serta merta menyelesaikan krisis yang mendasarinya; sebaliknya, ia dapat memperburuk ketidakstabilan jika masalah sistemik tidak ditangani.
Kedua, dampak ekonomi dari ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh proses pemberhentian cenderung bersifat nyata, meskipun mungkin tidak selalu menyebabkan gangguan jangka panjang yang fundamental. Ketidakpastian yang dihasilkan dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi Namun, kemampuan suatu ekonomi untuk menahan guncangan politik sangat bergantung pada ukuran dan diversifikasinya. Ekonomi yang besar dan tangguh mungkin menunjukkan ketahanan yang lebih besar terhadap fluktuasi jangka pendek yang disebabkan oleh ketidakpastian politik, seperti yang diamati selama pemakzulan Presiden Clinton. Ini menyiratkan bahwa sementara para pembuat kebijakan harus berhati-hati terhadap potensi dampak ekonomi, respon pasar mungkin tidak selalu mencerminkan tingkat dramatis dari peristiwa politik itu sendiri.
Ketiga, dampak sosial dari krisis politik dan pemberhentian eksekutif sangat terkait dengan kohesi sosial dan kepercayaan institusional. Polarisasi politik, yang seringkali diperparah oleh proses pemberhentian yang sangat dipolitisasi, dapat mengikis ikatan sosial dan meningkatkan animo antara kelompok-kelompok yang berbeda Hal ini dapat menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah, yang pada gilirannya dapat menghambat kemampuan pemerintah untuk mengelola krisis atau menerapkan kebijakan yang efektif. Ini menggarisbawahi bahwa kesehatan demokrasi tidak hanya bergantung pada adanya mekanisme akuntabilitas yang kuat, tetapi juga pada budaya politik yang memungkinkan mekanisme tersebut beroperasi tanpa merusak fondasi sosial dan kepercayaan yang diperlukan untuk tata kelola yang efektif.
Kesimpulan
Pemakzulan presiden dan pemberhentian perdana menteri merupakan mekanisme krusial dalam sistem checks and balances global, dirancang untuk memastikan akuntabilitas eksekutif dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Meskipun memiliki tujuan yang sama, implementasinya sangat bervariasi antara sistem presidensial dan parlementer, mencerminkan perbedaan mendasar dalam struktur kekuasaan dan hubungan antara cabang eksekutif dan legislatif.
Dalam sistem presidensial, pemakzulan adalah proses quasi-kriminal yang berfokus pada pelanggaran hukum berat, seringkali melibatkan pengadilan konstitusi untuk validasi hukum. Negara-negara seperti Indonesia, Brazil, dan Korea Selatan telah mengadopsi model yang semakin yudisial, di mana peran pengadilan konstitusi menjadi penentu dalam mengesahkan landasan hukum pemakzulan, meskipun inisiasi dan keputusan akhir seringkali tetap memiliki dimensi politik yang kuat. Ambiguitas dalam definisi pelanggaran yang dapat dimakzulkan, seperti “high Crimes and Misdemeanors” di AS atau “perbuatan tercela” di Indonesia, memungkinkan interpretasi yang dinamis namun juga membuka ruang bagi kontestasi politik. Persyaratan supermayoritas yang tinggi dalam proses pemakzulan merupakan fitur desain konstitusional yang disengaja untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan melindungi masa jabatan tetap eksekutif.
Sebaliknya, dalam sistem parlementer, pemberhentian perdana menteri didorong oleh hilangnya kepercayaan politik dari legislatif, yang diwujudkan melalui mosi tidak percaya. Mekanisme ini bersifat politis dan mencerminkan akuntabilitas langsung eksekutif kepada parlemen. Variasi seperti “mosi tidak percaya konstruktif” di Spanyol menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan responsivitas politik dengan stabilitas pemerintahan. Selain itu, dinamika internal partai seringkali menjadi faktor penentu yang lebih langsung dalam penggantian perdana menteri dibandingkan dengan mosi tidak percaya formal.
Studi kasus historis menunjukkan bahwa proses pemberhentian eksekutif jarang bersifat biner. Hasilnya dapat mencakup pengunduran diri, kelumpuhan politik, atau bahkan pemulihan jabatan, yang menyoroti interaksi kompleks antara prosedur hukum, kemauan politik, dan tekanan publik. Korupsi muncul sebagai alasan universal untuk pemberhentian di berbagai sistem, menunjukkan konsensus global tentang pelanggaran serius ini. Namun, kasus-kasus ini juga seringkali mengungkap masalah struktural yang lebih dalam dalam tata kelola, di mana pemberhentian seorang pemimpin mungkin hanya menjadi solusi parsial untuk krisis politik yang lebih luas.
Secara keseluruhan, meskipun mekanisme pemakzulan dan pemberhentian berfungsi sebagai pengaman penting terhadap penyalahgunaan kekuasaan, penerapannya dapat memicu ketidakpastian politik, berdampak pada pertumbuhan ekonomi, dan mengikis kohesi sosial, terutama dalam lingkungan politik yang terpolarisasi. Ini menggarisbawahi pentingnya tidak hanya desain konstitusional yang kuat tetapi juga budaya politik yang matang dan institusi yang tangguh untuk memastikan bahwa mekanisme ini berfungsi sebagai alat akuntabilitas yang efektif tanpa secara tidak sengaja memperburuk ketidakstabilan.