Menjelajahi Tata Cara Adat Melayu Labuhanbatu Dalam Perkawinan, Kelahiran dan Kematian

 

Masyarakat Melayu, dengan akarnya yang dalam pada perpaduan Islam dan tradisi turun-temurun, dikenal memiliki kekayaan adat istiadat yang mempesona. Di berbagai pelosok Nusantara, termasuk di Labuhanbatu, Sumatera Utara, adat Melayu menjadi tiang penyangga kehidupan sosial, mencerminkan nilai-nilai luhur, filosofi hidup, serta identitas yang kuat. Memahami tata cara adat Melayu di Labuhanbatu berarti menyingkap lembaran kearifan lokal yang membentuk karakter dan harmoni masyarakatnya.

Adat Melayu di Labuhanbatu, seperti halnya di daerah Melayu lainnya, sangat kental dengan pengaruh agama Islam, sehingga seringkali ungkapan “Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah” menjadi landasan utama. Ini berarti bahwa setiap tata cara adat selalu berpegang teguh pada ajaran Islam, menjadikannya harmonis dengan nilai-nilai spiritual. Adat istiadat tidak hanya sekadar ritual formal, tetapi juga panduan moral dan etika dalam berinteraksi sesama manusia dan dengan lingkungan.

Salah satu aspek paling menonjol dari tata cara adat Melayu adalah dalam siklus kehidupan (adat daur hidup), yang meliputi kelahiran, perkawinan, dan kematian.

  • Adat Kelahiran: Dimulai dari masa kehamilan, ada tradisi seperti kenduri nujuh bulan (selamatan tujuh bulan kandungan) sebagai bentuk syukur dan doa. Setelah bayi lahir, proses azankan (mengumandangkan azan di telinga bayi) dan iqamatkan (mengumandangkan iqamah) adalah yang utama. Kemudian diikuti dengan aqiqah (penyembelihan hewan sebagai ungkapan syukur), tahnik (memberi rasa manis pada bayi), dan cukur rambut (pemotongan rambut bayi). Semua proses ini sarat makna religius dan sosial, menandai penerimaan anggota baru dalam keluarga dan masyarakat.
  • Adat Perkawinan: Ini adalah puncak dari pergelaran adat Melayu yang paling meriah dan kompleks. Tahapannya bisa sangat panjang, dimulai dari merisik (penjajakan), meminang (lamaran resmi), bertunang (pertunangan), hingga puncaknya pada akad nikah dan bersanding. Dalam prosesi bersanding, kedua mempelai duduk di pelaminan layaknya raja dan ratu, diiringi musik tradisional seperti kompang dan rebana, serta tarian-tarian Melayu. Hantaran berupa makanan, pakaian, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya juga memegang peranan penting, melambangkan penghormatan dan ikatan kedua belah pihak. Setiap tahapan memiliki ritual dan pantun-pantun adat yang kaya akan makna, menjaga marwah keluarga dan silaturahmi.
  • Adat Kematian: Meskipun sarat kesedihan, tata cara adat dalam kematian juga menunjukkan solidaritas dan kepedulian sosial yang tinggi. Masyarakat Melayu akan berkumpul untuk membantu keluarga yang berduka, mulai dari mengurus jenazah, memandikan, mengafankan, menyalatkan, hingga memakamkan. Tahlilan dan kenduri arwah yang dilakukan selama beberapa malam setelah kematian bertujuan untuk mendoakan almarhum dan menguatkan keluarga yang ditinggalkan.

Selain adat daur hidup, tata cara adat Melayu di Labuhanbatu juga terwujud dalam perilaku sosial sehari-hari dan sistem kekerabatan. Adat bertegur sapa, adat bertamu, dan adat bermusyawarah sangat dijunjung tinggi. Sikap hormat kepada orang tua (tua-tua), tetua adat, dan pemimpin (penghulu) adalah pondasi utama. Gotong royong atau tolong-menolong dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, baik saat suka maupun duka, adalah praktik nyata dari semangat kebersamaan. Bahasa Melayu, pantun, dan seni pertunjukan tradisional seperti zapin atau dendang juga merupakan bagian tak terpisahkan dari adat yang terus dilestarikan.

Meskipun zaman terus bergerak, masyarakat Melayu di Labuhanbatu tetap berusaha menjaga dan mewariskan tata cara adat ini kepada generasi muda. Tantangan modernisasi dan globalisasi memang ada, namun semangat untuk mempertahankan identitas budaya melalui adat istiadat tetap menjadi prioritas. Melalui upaya pelestarian ini, adat Melayu di Labuhanbatu tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga fondasi kokoh yang terus membentuk karakter, kebersamaan, dan jati diri masyarakatnya di masa kini dan masa depan. Keberadaan adat ini adalah pengingat akan kekayaan budaya Nusantara yang patut dibanggakan dan dijaga kelestariannya.

 

A.    Tata Cara Adat Perkawinan Melayu Labuhanbatu

I. Pendahuluan: Memahami Adat Perkawinan Melayu Labuhanbatu

Latar Belakang dan Signifikansi Budaya Pernikahan Melayu

Pernikahan dalam budaya Melayu di Labuhanbatu merupakan peristiwa yang sangat penting dan sarat makna, jauh melampaui sekadar ikatan dua individu. Prosesi pernikahan ini terkesan rumit karena melibatkan banyak tahapan yang harus dilalui. Kerumitan ini mencerminkan pandangan masyarakat Melayu bahwa pernikahan harus mendapatkan restu dari kedua orang tua serta pengakuan resmi dari tetangga dan masyarakat luas. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan tidak hanya dipandang sebagai urusan pribadi, tetapi juga sebagai peristiwa komunal yang mengukuhkan status sosial dan memperkuat hubungan kekerabatan dalam struktur masyarakat.

Banyaknya tahapan dan detail dalam adat perkawinan Melayu di Labuhanbatu tidak hanya berfungsi sebagai serangkaian upacara, melainkan sebagai mekanisme yang mendalam untuk kohesi sosial dan validasi. Setiap langkah dalam prosesi ini dirancang untuk memastikan keterlibatan dan investasi yang menyeluruh dari kedua belah keluarga dan komunitas yang lebih luas. Ini berfungsi sebagai semacam kontrak sosial yang memperkuat nilai-nilai komunal dan tanggung jawab kolektif terhadap keberhasilan pasangan yang baru menikah. Kerumitan ini, pada dasarnya, merupakan fitur yang disengaja untuk memastikan stabilitas dan dukungan kolektif bagi pernikahan, bertindak sebagai rekayasa sosial yang tertanam dalam praktik budaya.

 

Gambaran Umum Kerumitan dan Kekayaan Tahapan Adat

Prosesi perkawinan Melayu memiliki tradisi-tradisi tersendiri dalam pelaksanaannya. Di Desa Labusel, misalnya, tahapan dapat dimulai dengan pertunangan, dilanjutkan dengan akad nikah, khotam kaji, moukie pinang, menyambut pengantin laki-laki, acara adat di balairung sari, mengunteh cincin, Tepuk Tepung Tawar, dan sombah menyombah sebagai perkenalan kepada keluarga kedua belah pihak. Sumber lain juga menyebutkan tahapan seperti merisik-risik, menjarum-menjarum, melamar, mengantar tanda, menerima antaran, menggantung-gantung, mengukus (membuat tabak), berandam, bertomat (khatam alqur’an), akad nikah/ijab, cecah inai, berinai, hari langsung/resepsi pernikahan, makan nasi hadap-hadapan, mandi dan main suruk-surukan, mengantar nasi, dan menyembah berkunjung.

Sedikit variasi dalam daftar tahapan yang disebutkan di berbagai sumber (misalnya dibandingkan  atau , serta referensi umum untuk “Melayu Riau” dalam ) menunjukkan adanya adaptasi regional atau bahkan sub-regional dalam budaya Melayu yang lebih luas. Meskipun ritual inti seperti Merisik, Meminang, Tepung Tawar, dan Akad Nikah disebutkan secara konsisten, penyertaan atau pengecualian ritual minor tertentu (seperti moukie pinang atau mengunteh cincin dalam , atau Merasi, Mengantar Tanda, Mengantar Belanja dalam ) mengindikasikan bahwa lanskap budaya ini bersifat dinamis, bukan sekumpulan praktik yang kaku dan monolitik. Hal ini menyoroti sifat adat yang cair dan interpretasi lokal yang beragam dalam identitas Melayu yang lebih besar.

 

II. Prosesi Pra-Pernikahan: Menjalin Ikatan dan Mempersiapkan Diri

Merisik: Penyelidikan dan Perkenalan Keluarga

Tahap awal dalam adat perkawinan Melayu adalah Merisik, yang berasal dari kata ‘risik’ yang berarti menyelidiki. Ini merupakan acara perkenalan resmi antara dua keluarga, di mana perwakilan dari pihak laki-laki, seringkali seorang wanita paruh baya atau orang yang dituakan dan disegani, akan menyelidiki latar belakang dan perangai calon mempelai perempuan. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk menilai apakah gadis tersebut memiliki sifat dan latar belakang yang sesuai dan layak untuk dijadikan menantu. Dalam konteks keluarga sultan, proses

Merisik bahkan dipimpin oleh penghulu telangkai atau tetua yang dikenal arif dan bijaksana.

Penekanan pada peran “perisik” yang seringkali adalah seorang wanita tua yang dihormati menunjukkan pengaruh besar perempuan yang lebih tua dalam pengambilan keputusan keluarga tradisional Melayu, khususnya terkait pernikahan. Ini bukan sekadar peran pengamat, tetapi fungsi penjaga gerbang yang penting yang memastikan kompatibilitas sosial dan menjaga kehormatan keluarga sebelum prosesi formal dimulai. Praktik ini menggarisbawahi peran krusial perempuan yang lebih tua dalam menjaga harmoni sosial dan reputasi keluarga dalam masyarakat Melayu. Kebijaksanaan dan status sosial mereka dimanfaatkan untuk memastikan perjodohan yang sesuai, menunjukkan adanya pengaruh perempuan yang kuat, meskipun seringkali tidak formal, dalam keputusan pernikahan.

Merasi: Meramal Keserasian (Opsional/Variatif)

Beberapa tradisi Melayu juga menyertakan tahap Merasi, yaitu tindakan meramal keserasian antara kedua calon mempelai. Tahap ini umumnya melibatkan seorang ahli dari daerah setempat yang diyakini memiliki kemampuan khusus untuk memastikan kecocokan jodoh. Ahli tersebut akan berusaha mencari tahu apakah pasangan tersebut cocok untuk melangkah ke pelaminan atau tidak.

Penyebutan Merasi (ramalan untuk keserasian) bersamaan dengan ritual yang dipengaruhi ajaran Islam (seperti Akad Nikah dan Khatam Al-Quran) menunjukkan adanya praktik budaya sinkretis, di mana kepercayaan pra-Islam atau animisme hidup berdampingan dengan prinsip-prinsip Islam. Hal ini menyoroti sifat adaptif adat Melayu, yang mengintegrasikan praktik spiritual yang lebih tua ke dalam kerangka kerja yang didominasi Islam, seringkali dengan menafsirkan ulang tujuan atau simbolismenya agar selaras dengan nilai-nilai agama. Kehadiran Merasi ini menunjukkan bahwa meskipun integrasi Islam sangat kuat, elemen-elemen sistem kepercayaan yang lebih tua (kemungkinan animisme atau Hindu-Buddha) tetap tertanam dalam adat perkawinan. Ini menunjukkan sifat budaya Melayu yang dinamis dan adaptif, di mana tradisi berkembang melalui akulturasi, seringkali dengan menyelaraskan atau menafsirkan ulang praktik-praktik yang sudah ada dalam kerangka keagamaan yang baru.

 

Meminang: Permohonan dan Pengikatan (Tunangan)

Setelah proses Merisik selesai dengan hasil positif, proses selanjutnya adalah Meminang. Tahap ini merupakan permintaan persetujuan pihak perempuan untuk dipersunting oleh pihak laki-laki. Pihak keluarga laki-laki akan melakukan musyawarah internal untuk menentukan waktu yang dirasa paling tepat untuk melamar. Kemudian, mereka mengutus perwakilan dari orang yang dituakan untuk memberi kabar pada keluarga calon pengantin perempuan mengenai keinginan untuk melamar beserta tanggal yang telah disepakati. Apabila kedua pihak sudah sepakat, calon pengantin perempuan akan “diikat” oleh pihak calon pengantin laki-laki. Pengikatan ini dalam istilah umum yang diketahui masyarakat luas adalah tunangan, yang identik dengan penyerahan cincin emas oleh pihak calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan. Rombongan peminangan biasanya terdiri dari 5 orang dari pihak laki-laki yang datang membawa seperangkat alat meminang berupa tepak sirih, buah-buahan, dan kue. Sirih yang dibawa akan disuguhkan kepada yang tertua dan perwakilan pihak wanita, sedangkan kue dan buah-buahan diberikan pada keluarga wanita sebagai tanda persaudaraan.

Tindakan “pengikatan anak dara” dengan cincin tunangan, meskipun merupakan praktik yang mungkin sudah ada sebelum Islam, telah terintegrasi dengan mulus ke dalam tradisi perkawinan Melayu. Hal ini menggambarkan kemampuan budaya untuk menyerap dan mengontekstualisasikan kembali elemen-elemen, mengubahnya menjadi simbol komitmen formal yang mendahului akad nikah yang disahkan secara agama. Pelapisan praktik-praktik ini mencerminkan kesinambungan budaya di mana keyakinan baru dibangun di atas kerangka yang sudah ada daripada sepenuhnya menggantikannya.

Mengantar Tanda dan Mengantar Belanja: Simbol Keseriusan dan Persiapan Finansial

 

Apabila lamaran telah diterima dengan baik oleh keluarga calon mempelai wanita, tahap selanjutnya adalah Mengantar Tanda. Ritual ini umumnya dilakukan pada hari ke-4 atau ke-5 setelah acara peminangan. Rombongan keluarga laki-laki, yang terdiri dari kerabat dekat, tetangga, dan handai tolan, akan berkunjung kembali ke rumah calon pengantin wanita. Mereka datang sambil membawa seserahan adat Melayu berupa cincin, tepak sirih, bunga rampai, keris, hingga barang pengiring lainnya Isi dari tepak sirih yang perlu dipersiapkan biasanya meliputi kapur sirih, satu buah pinang, gambir, daun sirih, kacip, dan tembakau.

Setelah Mengantar Tanda, biasanya dilanjutkan dengan Mengantar Belanja. Prosesi ini adalah ketika keluarga calon mempelai pria datang ke rumah keluarga perempuan sambil membawa hantaran berupa kebutuhan pesta pernikahan hingga benda-benda khusus yang telah diminta oleh sang wanita. Hantaran tersebut bisa berupa seperangkat sandang, sejumlah uang, dan benda istimewa lainnya. Isi dari hantaran ini telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak jauh sebelum prosesi

 

Mengantar Belanja dilakukan.

Penyerahan barang-barang tertentu seperti tepak sirih, cincin, dan bunga rampai selama Mengantar Tanda, serta penyediaan finansial selama Mengantar Belanja, bukan sekadar transaksi, melainkan sangat simbolis. Pertukaran ini meresmikan komitmen, membangun rasa hormat timbal balik antar keluarga, dan secara publik menegaskan tanggung jawab ekonomi dan sosial keluarga mempelai pria. Pemilihan dan presentasi barang-barang ini dengan cermat menggarisbawahi pentingnya etiket sosial dan nilai yang diberikan pada representasi material dari ketulusan dan kemampuan dalam masyarakat Melayu.

Mengajak dan Menjemput: Musyawarah dan Penghargaan Sosial

Kedua belah pihak keluarga kemudian akan mengadakan pertemuan kembali untuk membahas prosesi selanjutnya, yaitu Mengajak dan Menjemput. Dalam sesi diskusi itu, nantinya diputuskan mengenai siapakah pihak yang akan mengajak dan siapa yang menjemput. Tahap pra-pernikahan ini dinilai sebagai persiapan untuk melaksanakan kegiatan di majelis nikah-kawin. Prosesi

Mengajak dan Menjemput biasanya melibatkan sepasang suami-istri yang telah berpengalaman dan begitu disegani oleh masyarakat setempat, karena mereka harus memiliki nilai moral dan etika yang tinggi dalam kehidupan sosial.

Menggantung-gantung: Persiapan Rumah dan Dekorasi

Pada hari ke-4 atau ke-5 sebelum momen pernikahan tiba, terdapat kegiatan Menggantung-gantung yang akan dilakukan di kediaman calon mempelai wanita. Ini merupakan ritual persiapan pernikahan yang dilakukan oleh keluarga besar calon pengantin wanita, mulai dari membersihkan rumah, merapikan dapur, menghias kamar pengantin, hingga mendekorasi setiap sudut kediaman pengantin wanita dengan berbagai ornamen yang telah direncanakan sebelumnya. Bagian kursi pelaminan pun menjadi titik fokus paling utama yang perlu dibuat dengan indah. Sebelum memulai kegiatan ini, diperlukan pembacaan doa selamat kepada para pekerja dengan menggunakan tepung mawar atau kenduri.

Malam Berinai dan Berandam: Pembersihan Diri dan Aura Pengantin

Malam Berinai merupakan prosesi yang dilakukan satu atau dua hari sebelum perhelatan utama pernikahan. Kegiatan ini dipersiapkan oleh ‘mak andam’, seorang ahli rias pengantin tradisional. Prosesi ini terkadang disebut ‘berinai curi’ karena peralatan yang digunakan untuk berinai calon pengantin laki-laki diambil secara diam-diam (dicuri) dari peralatan calon pengantin perempuan pada malam hari. Berinai tidak hanya memberikan warna pada tangan dan kuku, melainkan dipercaya oleh masyarakat Melayu memiliki makna tertentu, yaitu menolak bala, mencegah calon pengantin dari segala macam bentuk kejahatan, dan untuk membuat aura pengantin terlihat lebih berseri dan bercahaya. Inai di tangan dan kuku berfungsi sebagai pemanis dan penolak bala agar pengantin terhindar dari gangguan makhluk halus, inai di telapak tangan sebagai penjaga diri, dan inai di telapak kaki sebagai pertanda tidak boleh berjalan jauh.

Berandam, atau biasa disebut juga berdandan, merupakan kegiatan membersihkan muka dengan mencukur bulu roma yang terdapat di wajah, membersihkan anak rambut pada bagian wajah dan tengkuk, serta membentuk alis agar lebih cantik. Kegiatan ini dilakukan pada pagi hari, sehari setelah kegiatan

Malam Berinai atau Berinai Curi, di rumah pengantin perempuan dan dihadiri oleh seluruh kerabat terdekat yang dipimpin oleh ‘mak andam’. Maknanya adalah untuk memberikan penampilan yang indah sebagai lambang persiapan calon pengantin perempuan untuk menjadi istri yang sempurna lahir dan batinnya. Dilakukan pada pagi hari memiliki maksud tersendiri, yaitu untuk mengambil seri dari matahari pagi sepenggalah agar pengantin selalu bercahaya dan cerah seperti mentari pagi.

Ritual Malam Berinai dan Berandam melampaui persiapan estetika semata bagi calon pengantin. Makna yang mendasarinya, seperti penolak bala, peningkatan aura, dan simbol kesempurnaan lahir dan batin, mengungkapkan sistem kepercayaan yang mengaitkan perawatan fisik dengan kesejahteraan spiritual. Ritual “berinai curi” secara khusus menambahkan unsur simbolisme yang menyenangkan, menunjukkan bahwa bahkan tindakan kecil pun memiliki konotasi pelindung yang lebih dalam. Penekanan pada persiapan holistik ini mencerminkan pemahaman budaya bahwa pernikahan adalah perjalanan transformatif yang membutuhkan kesiapan fisik dan kemurnian spiritual.

Betangas: Ritual Pembersihan dan Pengharum Tubuh

Betangas adalah mandi uap yang dilakukan calon mempelai perempuan untuk mengharumkan dan menyegarkan badan. Peralatan dan bahan yang digunakan untuk

Betangas meliputi bangku, tapak bara, setanggi, serai wangi, dan kayu cendana. Prosesi ini penting untuk membuka aura pengantin sebelum melaksanakan pernikahan.

III. Upacara Inti Pernikahan: Puncak Sakralitas dan Kebersamaan

Khatam Al-Quran: Penguatan Nilai Religius

 

Pernikahan adat Melayu sarat akan nilai-nilai Islam. Salah satu tahapan penting adalah

Khatam Al-Quran, di mana tamu wanita dan pria berada di tempat terpisah dan bersama-sama membaca Al-Quran, yang dipimpin oleh guru mengaji calon wanita. Tradisi ini juga disebutkan sebagai bertomat.

 

Akad Nikah: Pengesahan Pernikahan Menurut Syariat Islam

 

Puncak dari semua prosesi pra-pernikahan adalah Akad Nikah.

Akad Nikah ini berfungsi sebagai penentu sah atau tidaknya pernikahan menurut hukum Islam. Masyarakat Melayu sering menyebutnya sebagai acara “turun nikah” karena calon pria turun dari rumahnya untuk menikah di rumah sang calon wanita. Dalam pelaksanaannya, harus ada dua saksi resmi, dan sertifikat pernikahan akan dikeluarkan oleh kadhi atau perwakilan Dewan Agama Negara setelah upacara, yang ditandatangani oleh mempelai pria, mempelai wanita, dan para saksi.

 

Tepung Tawar: Doa Restu dan Simbol Keselamatan

 

Setelah Akad Nikah, kedua pengantin didudukkan di atas pelaminan untuk dilakukannya upacara Tepung Tawar. Pada acara ini, dilakukan pula berinai di telapak tangan yang disaksikan oleh banyak orang dan dihadiri oleh ulama, sehingga acara ini disebut juga sebagai “Berinai Lebai”.

Tepuk Tepung Tawar ini dilakukan oleh orang tua-tua atau yang dituakan di kalangan keluarga maupun masyarakat dengan jumlah ganjil sesuai dengan tingkat sosialnya dalam masyarakat. Penepuk yang terakhir diharuskan memimpin pembacaan do’a.

Upacara Tepuk Tepung Tawar memiliki makna simbolis yang mendalam untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan yang diwujudkan dari orang-orang yang menepung tawari pasangan pengantin. Bagi masyarakat Melayu, tradisi ini merupakan simbol untuk mendoakan seseorang karena keberhasilan. Upacara ini melibatkan penepukan bedak pada punggung telapak tangan dan telapak tangan, memercikkan air mawar, serta menaburkan bunga rampai, beras putih, dan beras kuning ke seluruh badan orang yang bersangkutan.

Tradisi Tepung Tawar, dengan akarnya dalam animisme dan Hindu, telah dikontekstualisasikan kembali dalam kerangka Islam, berubah dari persembahan menjadi ritual berkah dan doa. Adaptasi budaya ini menunjukkan kemampuan masyarakat Melayu untuk mengintegrasikan berbagai pengaruh spiritual sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip inti Islam. Praktik

Tepung Tawar yang berkelanjutan menandakan pentingnya komunal yang abadi sebagai ekspresi publik dari harapan, keselamatan, dan kemakmuran bagi pengantin baru, memperkuat ikatan sosial dan harapan kolektif.

 

Tabel 1: Makna Simbolik Bahan-bahan Tepung Tawar

Bahan Tepung Tawar Makna Simbolik
Bedak Limau (Bedak Dingin) Melambangkan ketulusan, kemurnian hati, kesabaran dalam berumah tangga, dan penyejuk hati. Juga diartikan sebagai penghilang rasa dengki dan karat dari hati.
Air Percung (Air Mawar) Melambangkan pemeliharaan nama baik keluarga dan keharuman martabat. Sering diungkapkan sebagai “mengharumkan nama, mewangikan marwah”.
Beras Basuh (Beras yang Dicuci) Melambangkan penyucian lahir dan batin, membersihkan segala kotoran dan memurnikan segala kebusukan.
Beras Kunyit (Beras Kuning) Melambangkan rezeki yang melimpah, kesuburan, dan martabat. Sering diungkapkan sebagai “rezeki tak putus, keturunan tak habis, martabat tak mati”.
Bertih (Padi yang Digongseng) Melambangkan hidup bertetangga, senasib sepenanggungan, seaib dan semalu. Juga dianggap sebagai sajian bagi makhluk halus yang menyaksikan upacara dan penolak bala. Sering diungkapkan sebagai “direndang sama pecah, dibakar sama hangus”.
Daun Inai (Daun Pacar) Melambangkan kerukunan dan kesetiaan hidup berumah tangga, serta menjauhkan dari segala bencana. Sering diungkapkan sebagai “rukun rumah, jauhkan bencana”.
Bunga Rampai Melambangkan kesucian lahir dan batin, keharuman tuah dan marwah, serta nama baik keluarga dan diri sendiri.

 

Bersanding: Penyatuan di Pelaminan

 

Setelah Akad Nikah, kedua mempelai diundang untuk upacara Bersanding. Ini adalah upacara duduk di pelaminan, yang secara teoritis merupakan kali pertama pengantin wanita dan pria bertemu secara resmi. Mereka duduk di kursi pelaminan yang biasanya disusun dalam beberapa tingkatan, disebut “peterakne,” dengan jumlah tingkatan harus ganjil sesuai dengan budaya Islam yang sering menggunakan angka ganjil.

 

Tari Inai: Tarian Kehormatan dan Bimbingan Pernikahan

Tari Inai merupakan tradisi adat pernikahan masyarakat Melayu di beberapa daerah Labuhanbatu, seperti Desa Kuala Bangka, Kecamatan Kualuh Hilir, Kabupaten Labuhanbatu Utara. Tarian ini ditampilkan saat pengantin duduk di atas pelaminan setelah akad nikah. Umumnya, tarian ini dipersembahkan oleh golongan ekonomi yang relatif baik. Penelitian menunjukkan bahwa

Tari Inai muncul saat pemerintahan Kesultanan Lingga-Riau. Tarian ini berfungsi sebagai bimbingan pernikahan dalam Islam, mempromosikan keimanan, tanggung jawab, dan memperkuat tali silaturahmi untuk membentuk keluarga yang sakinah mawaddah warahmah (damai, penuh cinta, dan rahmat). Tradisi ini terus berkembang dan menyebar luas. Tari Inai juga diiringi oleh musik Bordah, dengan gerakan yang menyerupai pencak silat.

 

IV. Tradisi Pasca-Pernikahan: Mempererat Hubungan dan Memulai Hidup Baru

Makan Nasi Hadap-hadapan: Kebersamaan dan Pembelajaran Rumah Tangga

Tradisi Makan Nasi Hadap-hadapan adalah salah satu bagian penting dalam upacara perkawinan adat Melayu. Dalam tradisi ini, kedua mempelai pengantin dan sanak saudara duduk saling berhadapan. Pengantin wanita biasanya duduk bersimpuh, dan laki-laki duduk bersila, yang melambangkan kesopanan dan adat. Berbagai jenis makanan unik dihidangkan di depan kedua mempelai, termasuk satu ekor ayam utuh, berbagai halua, kue rasidah, dan makanan khas Melayu lainnya.

Tradisi ini dianggap sebagai simbol kebersamaan dan persatuan antara keluarga. Ada beberapa prosesi di dalamnya, seperti penyerahan diri istri kepada suami sebagai tanda sah pernikahan, permainan memilih bunga Melayu, dan mencari ayam di dalam nasi. Proses mencari ayam ini seringkali menjadi perebutan, dengan harapan laki-laki yang mendapatkan ayam lebih dulu sebagai simbol kepemimpinan dalam rumah tangga. Namun, jika pengantin wanita yang mendapat ayam lebih dulu, hal itu dimaknai bahwa laki-laki harus tunduk kepada istrinya dan lebih giat dalam segala hal.

Makan bersama dalam tradisi ini juga berfungsi untuk mengajarkan tata cara adab makan keluarga yang benar dari ajaran adat Melayu, serta mengajarkan kepada istri bagaimana cara menghidangkan makanan untuk suami. Istri diwajibkan menanyakan terlebih dahulu lauk-pauk apa yang diinginkan suami.

Tradisi Makan Nasi Hadap-hadapan, di mana pasangan dan keluarga berbagi makanan, berfungsi sebagai ritual didaktik bagi pengantin baru, khususnya mempelai wanita. Tindakan istri melayani suami dan “rebutan ayam” yang simbolis bukan hanya elemen yang menyenangkan, tetapi juga mengajarkan pelajaran tentang peran pernikahan, saling menghormati, dan pentingnya komunikasi dalam rumah tangga. Ritual ini berfungsi sebagai inisiasi praktis dan simbolis ke dalam kehidupan pernikahan, memperkuat peran gender dan harmoni keluarga melalui pengalaman bersama.

 

Menyembah Mertua: Penghormatan dan Mohon Restu

Menyembah Mertua adalah acara bersalaman dengan orang tua dan keluarga, baik dari pihak mempelai pria maupun wanita. Dalam adat Jawa, acara ini dikenal dengan sungkeman, yang bertujuan untuk memohon restu dan doa dari seluruh keluarga yang hadir. Makna dari proses ini adalah lambang kasih sayang antara menantu dan mertua, mengingatkan bahwa meskipun sudah mempunyai keluarga baru, kasih sayang terhadap keluarga masing-masing tidak boleh luntur. Dalam prosesi ini, mempelai wanita dianjurkan menyulangi ibu mertua, begitu juga dengan mempelai laki-laki.

 

Mandi Kumbo Taman: Syukur dan Kebahagiaan

Mandi Kumbo Taman adalah acara yang melambangkan kebahagiaan bagi keluarga pengantin karena upacara pernikahan berjalan dengan baik. Ini adalah mandi pengantin dengan air, bunga, dan beberapa bahan lainnya.

 

V. Elemen Pendukung Adat Perkawinan

Pakaian Adat Pengantin: Keanggunan dan Makna Filosofis

Pakaian pengantin merupakan salah satu elemen penting dalam pesta pernikahan adat Melayu, mencerminkan keanggunan dan kekhasan budaya. Pengantin wanita biasanya mengenakan baju kurung atau baju kebaya yang dihiasi dengan selendang atau penutup kepala dari kain songket atau tenun. Sementara itu, pengantin pria mengenakan baju Melayu lengkap dengan tanjak (penutup kepala khas Melayu) dan kain samping. Warna yang dipilih seringkali berani, seperti hijau zamrud atau merah marun, namun tetap dapat disesuaikan dengan warna-warna pastel untuk tampilan yang lebih modern.

Rincian dan komponen spesifik dari pakaian adat pernikahan Melayu, seperti perkakasan andam, gelang berkepala burung merak, dan sulaman benang emas, bukan sekadar hiasan. Elemen-elemen ini sangat sarat dengan makna simbolis yang berkaitan dengan kesuburan, kemakmuran, martabat, dan ikatan antar keluarga. Pemilihan warna-warna cerah dan jenis pakaian tertentu (misalnya, baju kurung teluk belanga, cekak musang) juga menyampaikan nilai-nilai budaya dan status sosial. Hal ini menunjukkan bagaimana pakaian dalam pernikahan tradisional Melayu berfungsi sebagai bahasa visual, mengkomunikasikan narasi budaya yang kompleks dan aspirasi untuk masa depan pasangan.

 

Tabel 2: Pakaian Adat Pengantin Melayu dan Perlengkapannya

Jenis Pakaian/Perlengkapan Pengantin Wanita Pengantin Pria Makna/Keterangan
Pakaian Utama Baju Kurung atau Kebaya Labuh Baju Kurung Teluk Belanga atau Cekak Musang Baju longgar, menutupi aurat, desain sederhana namun elegan. Baju Teluk Belanga memiliki 5 kancing yang melambangkan tauhid, Muhammad, Allah, Adam, dan rukun Islam.
Penutup Kepala Perkakasan Andam, Kerudung tebal Destar berbentuk mahkota, Songkok/Kopyah Melambangkan martabat dan kehormatan.
Kain Bawahan/Samping Kain Sarung Batik, Songket, atau Pelekat Kain Samping (motif senada dengan celana) Melengkapi busana, seringkali dengan motif yang kaya makna.
Perhiasan Kalung emas (rantai papan/dukoh bertingkat), Gelang berkepala burung merak, Canggai (jari tangan), Pending emas (pinggang), Gelang kaki emas/perak (kuntum bunga cempaka) Rantai panjang berbelit dua (leher), Pending/Bengkong kuning (pinggang), Canggai (jari tangan) Simbol kekayaan, kesuburan, kemakmuran, dan ikatan keluarga. Gelang merak melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
Aksesori Lain Tampan-tampan/Sebai (bahu kiri) Sebai (bahu kiri, kuning bersulam kelingan), Keris pendek berhulu burung serindit, Sirih telat/pemanis Melengkapi tampilan, keris melambangkan kewibawaan.
Alas Kaki Kasut/Selepa beludru dihiasi kelingkan dan manik Sepatu runcing/Capal kulit Melengkapi busana pengantin.

 

Dekorasi Pelaminan: Warna, Bentuk, dan Simbolisme

 

Dekorasi pelaminan khas Melayu identik dengan penggunaan warna kuning, hijau, dan merah yang sangat dominan. Warna dan bentuk pelaminan ini memiliki makna dan artinya tersendiri.10 Tempat bersanding bagi pengantin disusun dalam beberapa tingkatan, yang biasa disebut dengan “peterakne”. Kata “peterakne” berasal dari “pe” (peti/kotak), “rak” (bertingkat), dan “ne” (lebih dari satu). Jumlah tingkatan tersebut harus ganjil, sesuai dengan budaya Islam yang sering menggunakan angka-angka ganjil. Dekorasi pernikahan Melayu juga mengandalkan bahan-bahan alami seperti kayu, dedaunan, dan bunga-bunga segar, menciptakan suasana hangat dan alami. Unsur-unsur ini dipadukan dengan kain songket atau tenun khas Melayu, menciptakan latar belakang yang cantik dan sarat budaya.

 

Musik dan Pertunjukan Tradisional: Iringan Sakral dan Hiburan

Integrasi berbagai bentuk musik dan tarian tradisional seperti Bordah, Endeng-endeng, dan Silat dalam upacara pernikahan di Labuhanbatu melampaui sekadar hiburan. Kesenian Bordah, yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai qasidah, terdiri dari ayat-ayat tentang ibadah, pujian, dan doa kepada Nabi Muhammad SAW. Seni ini menggabungkan puisi, tarian, ritual tradisional, dan musik. Para pemain

Bordah biasanya berjumlah enam orang, menabuh gendang, dan kadang-kadang mengintegrasikan biola tanpa mengurangi nilai esensialnya. Mereka mengenakan pakaian khas Melayu yang sopan, seperti baju kurung cekak musang yang dipadukan dengan sarung dan kopyah.

Bordah memiliki beberapa fungsi penting dalam upacara pernikahan: sebagai hiburan bagi pengantin dan masyarakat, sebagai pengiring berbagai tradisi pernikahan (seperti kenduri, malam berinai, tepung tawar), dan secara historis sebagai sarana komunikasi untuk mengumumkan acara pernikahan. Kesenian ini juga merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah atas bersatunya kedua mempelai.

Selain Bordah, ada juga Endeng-endeng, suatu bentuk seni pertunjukan musik hiburan yang dimainkan saat ada acara Walimatul ‘Ursy (resepsi pernikahan). Awalnya,

Endeng-endeng merupakan kebudayaan adat Mandailing yang disertai gendang dan suling dengan lagu-lagu syair bahasa Mandailing, berisi doa bagi pengantin. Namun, di Labuhanbatu, khususnya di Panai Tengah,

Endeng-endeng telah mengalami perubahan, menggunakan alat organ, gendang, dan tamborin, serta menyanyikan lagu-lagu dangdut, Jawa, bahkan India, yang menunjukkan pergeseran dari hakikat aslinya menjadi lebih berorientasi pada hiburan.

Silat juga merupakan salah satu budaya orang Melayu di Labuhanbatu, di mana dua orang laki-laki memakai pakaian adat Melayu dan peci hitam menampilkan pencak silat sebagai tradisi Labuhanbatu, khususnya di Panai Tengah.

Integrasi berbagai bentuk musik dan tarian tradisional ini menunjukkan bahwa pertunjukan ini memiliki fungsi ganda: sebagai ekspresi rasa syukur, pengiring ritual sakral, sarana komunikasi (secara historis), dan platform untuk ekspresi diri. Evolusi mereka, seperti

Bordah yang kini ditampilkan di luar acara pernikahan atau Endeng-endeng yang menggabungkan musik modern, mencerminkan sifat dinamis praktik budaya yang beradaptasi dengan konteks kontemporer sambil tetap berupaya melestarikan nilai-nilai intinya.

 

Hidangan Khas: Kuliner dalam Perayaan Adat

Meskipun tidak ada daftar pasti hidangan wajib yang disebutkan secara spesifik untuk pernikahan adat Melayu Labuhanbatu, beberapa kuliner khas daerah ini seringkali disajikan dalam berbagai perayaan, termasuk pernikahan. Kuliner khas Labuhanbatu meliputi Anyang Terubuk (ikan terubuk yang diolah tanpa dimasak api), Gulai Asam Ikan Baung, Kue Ulame (dodol khas Labuhanbatu), Holat (ikan mas bakar dengan bumbu rempah), dan Pakkat (pucuk rotan muda yang dibakar). Pulut Balai, yang berisikan daging rendang atau pulut manis, juga merupakan hidangan penting dalam tradisi

Upah-upah dan Tepung Tawar pada acara adat Melayu di Asahan, yang mungkin juga relevan di Labuhanbatu mengingat kedekatan budaya.

 

VI. Variasi dan Adaptasi Adat di Era Modern

Pengaruh Akulturasi Budaya (Jawa, Mandailing)

Labuhanbatu, khususnya Labuhanbatu Utara, dikenal dengan kekayaan keragaman suku dan agama, yang mendorong terjadinya akulturasi budaya yang signifikan, terutama antara suku Mandailing dan Melayu. Akulturasi ini menghasilkan tradisi-tradisi baru seperti

Tepung Tawar, Upah-upah, dan Endeng-Endeng. Meskipun suku Mandailing memiliki adat istiadat yang kuat, proses pernikahan di Desa Simonis seringkali mencerminkan perpaduan dengan budaya lokal lainnya. Hal ini tidak hanya memengaruhi ritual adat yang dilaksanakan, tetapi juga berdampak pada pemilihan pasangan dan dinamika hubungan keluarga setelah pernikahan.

Kehadiran tradisi seperti Tepung Tawar, Upah-upah, dan Endeng-Endeng di Labuhanbatu, yang menunjukkan pengaruh dari budaya Mandailing dan bahkan Hindu, menggambarkan akulturasi budaya yang signifikan di wilayah tersebut. Perpaduan tradisi ini menciptakan permadani budaya yang unik dan dinamis, di mana elemen-elemen dari berbagai kelompok etnis diintegrasikan ke dalam prosesi pernikahan Melayu. Hal ini menyoroti bagaimana komunitas lokal beradaptasi dan memperkaya adat istiadat mereka melalui interaksi antar-etnis, yang mengarah pada bentuk-bentuk ekspresi budaya baru yang terhibridisasi.

 

Dampak Modernisasi: Pergeseran dan Pelestarian Tradisi

Era modernisasi telah banyak menyebabkan perubahan pada masyarakat, termasuk pada tahapan prosesi pernikahan. Beberapa tradisi pra-pernikahan mengalami pergeseran. Misalnya, peran orang tua dalam mencarikan jodoh untuk anak sudah tidak terlalu dominan, dan calon pengantin seringkali mencari pasangan sendiri. Proses penilaian calon juga dapat dilakukan melalui komunikasi modern seperti telepon genggam dan media sosial. Tradisi Gadai Cupak (memberikan takaran beras sebagai jaminan pinjaman) sebagian besar sudah tidak dilaksanakan lagi karena keluarga sudah mempersiapkan semua biaya pelaksanaan pernikahan.

Ritual Betangas juga mengalami perubahan, dilakukan dengan menggunakan peralatan dan bahan yang lebih modern, dan terkadang tanpa simbol dan makna aslinya, atau dilakukan oleh jasa perawatan modern. Prosesi Menggantung-gantung kini dapat menggunakan peralatan dan perlengkapan modern sebagai prestise, dan makanan disediakan sesuai kemampuan dan keinginan tuan rumah. Proses

Menjemput juga dapat dilakukan melalui media sosial dalam bentuk video atau undangan virtual untuk mempermudah penyampaian hajat kepada kerabat.

Pengaruh modern, seperti penggunaan media sosial untuk undangan atau layanan perawatan modern yang menggantikan Betangas tradisional, menyebabkan pergeseran dalam praktik pernikahan.  Meskipun beberapa elemen tradisional mungkin disederhanakan atau ditinggalkan demi efisiensi atau prestise, ritual inti dan nilai-nilai yang mendasarinya seringkali tetap bertahan, meskipun dalam bentuk yang dimodifikasi. Hal ini menunjukkan proses adaptasi selektif, di mana komunitas menyeimbangkan keinginan akan modernitas dengan pelestarian identitas budaya, yang mengarah pada evolusi dinamis daripada pengabaian total adat.

 

Perbedaan Regional dalam Adat Perkawinan Melayu Labuhanbatu Raya

Meskipun kerangka umum adat perkawinan Melayu banyak kesamaan, terdapat variasi regional yang signifikan di dalam wilayah Labuhanbatu Raya (termasuk Labuhanbatu Induk, Selatan, dan Utara). Misalnya, di Labuhanbatu Selatan, tradisi Tepung Tawar sangat dijunjung tinggi dan dianggap sakral. Praktik pemberian uang hantaran yang ditetapkan berdasarkan status boru (anak perempuan) masih dipertahankan di Kecamatan Kota Pinang, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, yang dianggap sebagai kebiasaan (urf) yang sudah melekat dari dulu.

Di sisi lain, di Labuhanbatu Utara, khususnya di Desa Simonis, terjadi akulturasi yang kuat antara suku Mandailing dan Melayu, yang memunculkan tradisi seperti Upah-upah dan Endeng-Endeng dalam prosesi pernikahan. Bahkan, ada praktik marlojong atau kawin lari di masyarakat etnis Mandailing di Labuhanbatu, yang merupakan jalan keluar jika ada kesulitan atau kendala yang tidak dapat diselesaikan secara adat. Kesenian

Silat juga menjadi bagian dari budaya Melayu Labuhanbatu, khususnya di Panai Tengah, meskipun yang melaksanakan pernikahan berasal dari berbagai etnis.

Meskipun kerangka umum adat pernikahan Melayu dibagi di seluruh wilayah Labuhanbatu yang lebih luas (termasuk Selatan dan Utara), nuansa spesifik dan penekanan pada ritual tertentu dapat bervariasi. Misalnya, praktik marlojong (kawin lari) di komunitas Mandailing di Labuhanbatu, atau komponen spesifik dari Tepung Tawar di Labuhanbatu Selatan, menyoroti interpretasi lokal dan pengaruh kelompok sub-etnis yang dominan. Variasi regional ini menggarisbawahi bahwa “adat Melayu” bukanlah monolitik, melainkan mozaik kaya tradisi lokal, masing-masing mencerminkan jalur sejarah yang berbeda dan interaksi antar-etnis.

 

VII. Kesimpulan: Warisan Budaya yang Dinamis

Tata cara adat perkawinan Melayu di Labuhanbatu merupakan sebuah warisan budaya yang kaya, kompleks, dan dinamis, mencerminkan perpaduan nilai-nilai tradisional, syariat Islam, serta adaptasi terhadap modernisasi dan akulturasi budaya. Setiap tahapan, mulai dari Merisik hingga tradisi pasca-pernikahan seperti Makan Nasi Hadap-hadapan, sarat dengan makna filosofis dan simbolis yang mendalam, bertujuan untuk memastikan keberkahan, keharmonisan, dan penerimaan sosial bagi pasangan pengantin.

Kerumitan tahapan adat ini berfungsi sebagai mekanisme kohesi sosial yang kuat, memastikan keterlibatan dan dukungan komunitas yang luas dalam setiap ikatan pernikahan. Peran penting perempuan yang dituakan dalam proses Merisik dan keberadaan ritual seperti Merasi menunjukkan adanya lapisan kepercayaan yang terintegrasi, di mana praktik-praktik pra-Islam hidup berdampingan dan diinterpretasikan ulang dalam kerangka Islam. Ritual-ritual utama seperti Tepung Tawar menjadi contoh nyata dari sinkretisme budaya ini, di mana tradisi kuno diubah menjadi ekspresi doa dan syukur yang selaras dengan ajaran Islam.

Pakaian adat yang dikenakan, dekorasi pelaminan, serta musik dan pertunjukan tradisional seperti Bordah dan Tari Inai tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika, tetapi juga sebagai bahasa visual dan auditif yang mengkomunikasikan nilai-nilai luhur, status sosial, dan harapan bagi kehidupan berumah tangga. Meskipun modernisasi membawa perubahan, seperti penggunaan media sosial dalam prosesi atau adaptasi ritual, masyarakat Melayu di Labuhanbatu menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi secara selektif, menjaga esensi tradisi sambil mengakomodasi tuntutan zaman.

Variasi regional dalam praktik adat perkawinan di Labuhanbatu Raya menyoroti bahwa “adat Melayu” bukanlah entitas tunggal yang kaku, melainkan sebuah mozaik dinamis yang diperkaya oleh interaksi antar-etnis dan sejarah lokal. Pelestarian adat perkawinan Melayu Labuhanbatu bukan hanya tentang menjaga ritual, tetapi juga tentang memahami dan meneruskan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, memastikan bahwa warisan budaya ini terus relevan dan beradaptasi bagi generasi mendatang.

 

A.Tata Cara Adat Melayu Labuhanbatu dalam Kelahiran Anak: Tinjauan Tradisi dan Akulturasi Budaya

 

Pendahuluan

Masyarakat Melayu secara universal memandang kelahiran seorang anak sebagai anugerah ilahi yang tak ternilai dari Allah SWT, sekaligus sebagai jaminan keberlanjutan zuriat atau keturunan. Dalam pandangan ini, perilaku anak yang berakhlak mulia sangat ditekankan sebagai penyejuk pandangan mata, sehingga seluruh proses yang terkait dengan kelahiran anak mendapatkan perhatian yang sangat cermat dalam adat istiadat mereka.

Adat istiadat Melayu kontemporer telah mengalami perkembangan dan berintegrasi secara mendalam dengan ajaran Islam. Ungkapan yang sering terdengar, “tidaklah ia disebut orang Melayu jika ia tidak beragama Islam,” secara jelas menunjukkan kuatnya korelasi antara identitas etnis Melayu dan agama Islam. Ini bukan sekadar penambahan elemen keagamaan pada praktik yang sudah ada, melainkan sebuah transformasi fundamental di mana prinsip-prinsip Islam telah menjadi landasan utama identitas dan adat Melayu. Integrasi yang mendalam ini berarti bahwa praktik adat bukan hanya warisan leluhur tetapi juga harus sejalan dengan syariat Islam. Konsekuensinya, ritual-ritual yang berkaitan dengan kelahiran anak dijiwai dengan makna spiritual, bertujuan untuk kesejahteraan anak secara holistik, mencakup aspek fisik, mental, dan spiritual. Pemahaman akan hubungan simbiotik ini sangat penting untuk memahami alasan di balik setiap ritual, karena semuanya berfungsi untuk menjaga kesinambungan budaya sekaligus memenuhi tuntutan keagamaan.

Di wilayah Labuhanbatu, budaya Melayu sangat dominan, khususnya di kalangan masyarakat pesisir. Meskipun terdapat keragaman suku dan akulturasi dengan etnis lain seperti Mandailing, bahasa, pakaian, dan adat istiadat Melayu yang diwariskan secara turun-temurun tetap menjadi ciri khas utama.

Signifikansi kelahiran anak dalam tradisi Melayu melampaui sekadar reproduksi biologis. Anak dipandang sebagai karunia Tuhan yang tak ternilai bagi setiap pasangan suami istri. Bagi masyarakat Melayu yang mayoritas beragama Islam, anak adalah berkah yang harus disambut dengan syukur dan perawatan yang cermat. Tujuan utama dari seluruh tradisi yang terkait dengan kelahiran adalah untuk memastikan anak yang lahir kelak memiliki kesehatan rohani dan jasmani yang baik, berbakti kepada orang tua, taat menjalankan ajaran Islam, dan tumbuh menjadi anak yang saleh, yang senantiasa mendoakan kebaikan bagi orang tuanya di dunia dan akhirat. Penekanan pada pembentukan anak yang saleh yang akan selalu mendoakan orang tua menunjukkan bahwa anak dipandang sebagai investasi spiritual bagi kehidupan orang tua di akhirat, menyoroti ikatan spiritual antar generasi yang mendalam. Selain itu, hal ini juga menggarisbawahi harapan komunitas agar anak-anak mewujudkan nilai-nilai moral dan religius, yang sangat penting untuk menjaga tatanan sosial dan identitas kolektif. Perspektif ini menempatkan ritual kelahiran bukan hanya sebagai perayaan, tetapi sebagai tindakan fundamental yang bertujuan untuk memelihara karakter anak dan memastikan warisan spiritual serta kedudukan sosial keluarga di dalam komunitas. Ini mencerminkan pandangan holistik tentang perkembangan manusia, di mana pertumbuhan spiritual sama krusialnya dengan kesejahteraan fisik.

 

Catatan Metodologi Data: Laporan ini menyajikan tata cara adat Melayu Labuhanbatu dalam kelahiran anak. Perlu dicatat bahwa data spesifik mengenai adat kelahiran di Labuhanbatu secara eksklusif sangat terbatas dalam materi riset yang tersedia. Oleh karena itu, laporan ini akan merujuk pada tradisi Melayu di Sumatera Utara dan Riau yang relevan, serta tradisi Mandailing di Labuhanbatu yang telah mengalami akulturasi, dengan penekanan pada elemen-elemen yang disebutkan secara eksplisit terkait Labuhanbatu. Pendekatan ini memungkinkan rekonstruksi praktik adat yang paling mungkin berlaku di Labuhanbatu, mengingat kesamaan budaya Melayu di wilayah Sumatera Timur.

Untuk memberikan gambaran umum yang terstruktur mengenai tahapan-tahapan adat kelahiran Melayu, tabel berikut disajikan:

 

Tabel 1: Tahapan Utama Adat Kelahiran Melayu (dengan Catatan Regional)

Tahapan Deskripsi Singkat Waktu Pelaksanaan Asal Regional/Catatan
Melenggang Perut (Mandi Tian) Upacara mendoakan keselamatan ibu dan janin pada kehamilan pertama. 7-8 bulan kehamilan Melayu Riau (kemungkinan relevan di Labuhanbatu)
Tradisi Jejamu Ritual berbagi makanan dan meletakkan alat di sungai/daratan. 7 bulan kehamilan Rokan Hilir, Riau
Meminang Bidan Meminta kesediaan bidan kampung untuk membantu persalinan dan perawatan. 7 bulan kehamilan hingga pasca-melahirkan Kelurahan Kerumutan, Melayu
Mandi ke Air (Nimbang Utang) Ritual pembersihan bidan, ibu, dan anak, serta balas jasa kepada bidan. 7 bulan setelah lahir Kelurahan Kerumutan, Melayu
Pembacaan Azan dan Iqamah Membisikkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi. Segera setelah lahir Umum Melayu
Pemotongan Tali Pusat Pemotongan tali pusat oleh bidan dengan sembilu bambu dan perawatan sisa tali pusat. Segera setelah lahir Umum Melayu
Adat Cuci Lantai (Basuh Lantai) Ritual pembersihan tempat melahirkan dan penolak bala. Setelah tali pusat tanggal (sekitar 1 minggu), disarankan Senin/Kamis Umum Melayu (detail dari Lingga, Kepri) 1
Cukur Rambut Bayi (Potong Jambul) Pencukuran rambut bayi sebagai simbol pemurnian dan awal kehidupan. Hari ke-7 setelah lahir (juga 40 hari-2 tahun) Umum Melayu (juga Melayu Sambas, Syariful Anam)
Akikah Penyembelihan hewan sebagai bentuk syukur dan awal kebajikan bagi bayi. Hari ke-7 setelah lahir (dapat dilakukan kemudian) Umum Islam (terintegrasi dalam Melayu); Barzanji di Labuhanbatu
Turun Mandi (Bayi dan Ibu) Memandikan ibu dan bayi di sungai/perigi sebagai pembersihan dan pengenalan lingkungan. Setelah anak berumur seminggu Umum Melayu
Naik Buai (Mengayun Anak) Mengayun anak di buaian, sering diiringi senandung syair. Setelah tali pusat tanggal (sekitar 1 minggu) Umum Melayu
Adat Turun Tanah Memperkenalkan anak ke bumi, diyakini melindungi dari penyakit dan bahaya. 40 hari atau setelah masa nifas ibu berakhir Melayu Sei Bilah, Langkat (kemungkinan adaptasi di Labuhanbatu)
Kesenian Bordah Pertunjukan musik tradisional sebagai ungkapan syukur. Acara syukuran kelahiran, pernikahan, dll. Melayu Pesisir Labuhanbatu Utara
Tradisi Mangupa Ritual pengembalian semangat, nasihat, dan doa dengan hidangan khusus. Kelahiran anak, pernikahan, dll. Mandailing di Rantau Prapat, Labuhanbatu (akulturasi)

 

Tradisi Pra-Kelahiran (Kehamilan)

 

Adab dan Pantang Larang Ibu Hamil (Tradisi Melayu Umum)

Selama masa kehamilan, seorang ibu dianjurkan untuk memperbanyak amal kebaikan dan ibadah, termasuk shalat, doa, membaca Al-Quran, dan zikir, serta menjaga tingkah laku dan tutur kata. Ini merupakan bagian dari keyakinan bahwa perilaku ibu selama hamil akan mempengaruhi kondisi spiritual dan moral anak yang dikandung.

Masyarakat Melayu memiliki berbagai pantang larang yang diyakini dapat mempengaruhi kondisi fisik atau karakter anak yang akan lahir, atau bahkan menyebabkan kesulitan dalam persalinan. Beberapa pantang larang ini mencakup larangan makan sambal dalam lesung batu, karena dipercaya bibir anak akan tebal. Mencicipi masakan dalam sendok juga dihindari, dikhawatirkan dahi atau kepala anak akan lapang atau jendul. Larangan membelit handuk di leher dipercaya dapat menyebabkan tali pusat anak terbelit. Selain itu, tidak boleh makan dalam mangkuk, agar anak tidak menjadi kuat makan.

Beberapa pantangan juga berkaitan dengan kelancaran persalinan dan karakter anak. Ibu hamil tidak boleh duduk di tengah pintu, karena dipercaya akan menyebabkan kesulitan dalam persalinan. Terlalu banyak tidur siang diyakini dapat membuat anak dalam perut menjadi besar. Ibu hamil juga dihindari untuk banyak menangis, agar anaknya tidak menjadi cengeng. Mengomel saat hamil dipercaya akan membuat anaknya kelak suka melawan orang tua. Berbohong diyakini dapat menyebabkan kepala anak besar, dan kemalasan ibu hamil dikhawatirkan akan membuat anaknya kelak kemayu atau gemulai.

Aspek perlindungan dari bahaya juga tercermin dalam pantang larang ini. Ibu hamil tidak boleh melihat gerhana bulan, dikhawatirkan anak akan mendapat tanda hitam di badan. Memaku atau memahat juga dihindari, karena dikhawatirkan bayi akan mengalami bibir sumbing Memasukkan kapuk ke dalam bantal dipercaya dapat menyebabkan sang ibu kesulitan saat melahirkan. Terkait makanan, memakan makanan yang gatal seperti sayur rebung diyakini dapat membuat bayi yang lahir kelak berbulu lebat, terutama di bagian wajah. Cara berpakaian juga diatur; tidak boleh memakai kain sarung dari kaki, melainkan harus dari atas kepala ke bawah, untuk menghindari posisi bayi songsang saat melahirkan. Selain itu, dilarang tidur saat memasuki waktu magrib, karena dipercayai syaitan, iblis, dan hantu mulai berkeliaran yang dapat mengganggu ibu hamil. Pantangan makan tape (dikhawatirkan keguguran), pisang kembar, telur itik, kepiting, dan terong (dikhawatirkan anak lahir menempel, nakal, atau gatal) juga berlaku.

Meskipun beberapa pantang larang ini mungkin tampak seperti takhayul, fungsi utamanya adalah sebagai sistem kontrol sosial informal yang secara halus membimbing perilaku dan pola makan wanita hamil untuk mendorong kesejahteraan yang dirasakan. Pantang larang ini juga berfungsi sebagai bentuk edukasi kesehatan tradisional, meskipun melalui asosiasi simbolis (misalnya, menghindari makanan atau tindakan tertentu yang diyakini menyebabkan kelainan fisik atau persalinan sulit). Dengan menghubungkan tindakan pribadi dengan karakteristik masa depan anak, pantang larang ini menanamkan rasa tanggung jawab dan perilaku moral yang kuat pada ibu hamil dan keluarganya. Kepatuhan komunal terhadap pantang larang ini memperkuat nilai-nilai bersama dan dukungan timbal balik dalam komunitas, menunjukkan sistem pengetahuan tradisional yang canggih di mana narasi budaya dan kepercayaan digunakan secara strategis untuk memastikan kesehatan ibu dan anak, menanamkan nilai-nilai etika, dan memperkuat kohesi sosial.

 

Ritual Kehamilan

Beberapa ritual penting juga dilakukan selama masa kehamilan untuk memastikan keselamatan dan keberkahan bagi ibu dan janin:

  • Melenggang Perut (Mandi Tian): Upacara ini dilakukan pada wanita yang mengandung anak sulung ketika usia kandungan mencapai sekitar tujuh atau delapan bulan. Tujuan utama dari ritual ini adalah untuk mendoakan keselamatan dan kesehatan ibu serta janin yang dikandungnya. Meskipun tradisi ini disebutkan dalam konteks Melayu Riau, praktik serupa kemungkinan besar juga ada di Labuhanbatu mengingat kesamaan budaya Melayu di Sumatera.
  • Tradisi Jejamu: Tradisi ini dilaksanakan saat seorang wanita hamil memasuki usia kehamilan tujuh bulanan.  Setelah selesai makan, sisa makanan dari ritual ini akan dibagikan kepada tetangga terdekat. Beberapa alat yang digunakan dalam jejamu dilayarkan ke sungai (disebut
    limeh), sementara yang lain diletakkan di daratan (disebut ancak). Tradisi ini disebutkan spesifik di Rokan Hilir, Riau.
  • Tradisi Meminang Bidan: Tradisi ini dilaksanakan ketika usia kandungan seorang wanita berumur tujuh bulan. Tujuannya adalah untuk memberikan tanggung jawab kepada bidan kampung agar memelihara dan membantu wanita hamil jika terjadi kesalahan selama masa kehamilan. Biasanya, dua orang bidan ditunjuk: satu bidan dengan posisi di atas untuk mengurut perut sampai melahirkan, dan bidan kedua berada di posisi bawah untuk menyambut bayi yang keluar dari rahim.

Mantar (seserahan atau hadiah) yang dibawa oleh pihak keluarga tetap diberikan kepada bidan sebagai sedekah, terlepas dari kesediaan bidan untuk membantu. Tradisi ini disebutkan di Kelurahan Kerumutan, yang merupakan bagian dari masyarakat Melayu.

  • Tradisi Mandi ke Air (Nimbang Utang): Tradisi ini dilaksanakan ketika anak telah berumur tujuh bulan setelah lahir. Tujuan utamanya adalah untuk menyucikan bidan kampung, ibu, dan anak yang telah dilahirkan dari darah kotor saat melahirkan. Selain itu, tradisi ini juga berfungsi sebagai bentuk balas jasa atau ucapan terima kasih kepada bidan kampung yang telah membantu proses kelahiran. Persiapan untuk ritual ini meliputi nasi kunyit (melambangkan keberuntungan dalam berladang), telur ayam rebus (melambangkan keberuntungan dalam beternak), cincin mas (melambangkan rezeki yang melimpah dalam berumah tangga), dan uang koin (melambangkan kemurahan rezeki). Tradisi ini disebutkan di Kelurahan Kerumutan, yang merupakan bagian dari masyarakat Melayu.

Tradisi “Meminang Bidan” dan “Mandi ke Air” menyoroti peran sentral bidan tradisional dalam masyarakat Melayu. Peran ini melampaui bantuan medis semata; ia membangun kontrak sosial yang berakar pada kepercayaan dan tanggung jawab komunitas. Aspek “nimbang utang” menggarisbawahi rasa timbal balik yang mendalam, di mana komunitas mengakui dan membalas jasa penting bidan. Barang-barang spesifik yang disiapkan (nasi kunyit, telur, emas, koin) bukan sembarangan; itu adalah persembahan simbolis yang menyampaikan harapan akan kemakmuran, kesuburan, dan keberuntungan bagi keluarga baru, menghubungkan tindakan kelahiran dengan keberhasilan dan kesejahteraan hidup di masa depan. Tradisi-tradisi ini menunjukkan bagaimana peristiwa penting dalam hidup seperti kelahiran dikelola melalui dukungan kolektif dan sistem pengetahuan tradisional, memupuk ikatan komunitas yang kuat dan tanggung jawab bersama untuk memelihara kehidupan baru. Hal ini juga mencerminkan penekanan budaya pada rasa syukur dan keyakinan bahwa kesejahteraan materi terkait dengan berkah spiritual dan harmoni komunal.

 

 

Prosesi Kelahiran dan Pasca-Kelahiran Awal

Setelah kelahiran, serangkaian ritual adat segera dilakukan untuk menyambut dan memberkahi bayi yang baru lahir:

  • Pembacaan Azan dan Iqamah: Segera setelah bayi lahir, suara azan dibisikkan pada telinga kanan bayi dan suara iqamah pada telinga kiri. Makna dari praktik ini adalah untuk memperkenalkan anak pada Tuhan sejak awal kehidupannya, dan sebagai syariat utama dalam agama Islam, sehingga anak memulai pendengarannya dengan nama Allah dan panggilan untuk menunaikan ibadah shalat. Pembacaan azan dan iqamah segera setelah lahir adalah tindakan fundamental integrasi Islam yang paling awal. Ini menandakan pengenalan formal anak pada ajaran Islam sedini mungkin, menetapkan identitas religius dan orientasi spiritual mereka sejak saat kedatangan. Praktik ini mewujudkan keyakinan bahwa landasan spiritual adalah yang terpenting dan harus ditanamkan tanpa penundaan, menggarisbawahi pentingnya iman dalam budaya Melayu, di mana perjalanan spiritual anak dianggap dimulai sejak lahir, mencerminkan Islam sebagai cara hidup yang komprehensif.
  • Pemotongan Tali Pusat: Proses pemotongan tali pusat dilakukan oleh bidan menggunakan sembilu bambu, dan seringkali dilengkapi dengan diletakkannya sepotong uang perak per dolar di atasnya. Sisa tali pusat pada perut bayi akan ditambahkan kunyit dan kapur, lalu dibungkus dengan daun sirih yang telah dilayukan di atas bara api, hingga tali pusat tersebut tanggal sendiri.1Penggunaan alat tradisional seperti sembilu bambu dan bahan alami seperti kunyit, kapur, dan daun sirih untuk perawatan tali pusat menunjukkan perpaduan antara kebersihan praktis dan perlindungan simbolis. Kunyit dikenal karena sifat antiseptiknya, sementara kapur dan daun sirih seringkali memiliki makna spiritual atau pelindung terhadap “bala” (kemalangan) dalam budaya Melayu. Penambahan “uang perak per dolar” mungkin melambangkan harapan akan kemakmuran atau “pembayaran” untuk menolak pengaruh negatif, memastikan awal yang diberkahi bagi kehidupan baru. Praktik ini menggambarkan bagaimana pengetahuan medis tradisional dan kepercayaan spiritual saling terkait untuk memberikan perawatan holistik bagi bayi baru lahir. Hal ini mencerminkan pandangan dunia di mana kesejahteraan fisik secara intrinsik terkait dengan harmoni spiritual dan perlindungan dari bahaya yang tidak terlihat, menekankan pentingnya ritual dalam menjaga kehidupan baru.
  • Adat Cuci Lantai (Basuh Lantai): Ritual ini umumnya dilakukan setelah bayi berumur seminggu, yaitu setelah tali pusatnya tanggal. Di beberapa tempat, adat ini juga dikenal sebagai “adat naik buai” karena bayi belum bisa dibuai sebelum tali pusatnya tanggal. Disarankan untuk dilakukan pada hari Senin atau Kamis.  Perlengkapan yang digunakan meliputi nasi kunyit dan lauk-pauk, seekor ayam hidup (jenis kelamin berlawanan dengan bayi), paku, buah keras, asam, garam, sirih pinang, serta hadiah berupa pakaian untuk bidan. Prosesi dimulai dengan kenduri doa selamat. Setelah itu, bidan akan memulai
    jampi serapah (mantra atau doa tradisional) sambil mengais-ngaiskan kaki ayam ke lantai tempat wanita hamil. Lantai kemudian dibedaki dan dilangi dengan campuran bedak, langi, dan limau purut, lalu disiram air bersih, diminyaki, disisir, dan diberi celak. Bidan juga meminyaki dirinya sendiri sebelum prosesi ini.

 

Makna simbolis dari setiap elemen dalam ritual ini, berdasarkan tradisi Lingga, Kepulauan Riau (yang relevan dengan Melayu umum), adalah sebagai berikut:

 

Tabel 2: Makna Simbolis Elemen Kunci dalam Ritual Kelahiran Melayu

Elemen Ritual Makna Simbolis Asal Regional/Catatan
Ayam (dalam Cuci Lantai) Melambangkan keseimbangan berpasangan (siang-malam, laki-laki-perempuan, baik-jahat) dan berfungsi sebagai pengganti darah yang keluar saat melahirkan untuk menolak gangguan jembalang (setan tanah) yang dipercaya dapat membuat bayi rewel atau sakit. Lingga, Kepulauan Riau
Padi Melambangkan semangat dan simbol laki-laki, sedangkan beras melambangkan perempuan. Keduanya diartikan sebagai rezeki dan keberadaan yang saling melengkapi. Lingga, Kepulauan Riau
Benang Melambangkan rintangan atau halangan dalam hidup. Proses memutus benang berarti harapan agar anak dapat melewati segala rintangan dan menyelesaikan masalah dalam hidupnya. Lingga, Kepulauan Riau
Lilin Sebagai lambang penerang dan pedoman dalam kegelapan, bermakna agar hidup anak selalu berada di jalan yang terang dan memiliki pegangan hidup. Lingga, Kepulauan Riau
Kelapa Simbol kehidupan, mudah tumbuh dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menggoncangkan kelapa ke telinga anak: air kelapa yang bergoncang kuat menandakan anak akan menjadi baik, sedangkan suara yang kurang berarti anak akan nakal. Lingga, Kepulauan Riau
Cermin, Sisir, Gunting Perlengkapan berdandan yang melambangkan kebersihan dan kerapian, yang juga berpengaruh pada kesehatan diri. Lingga, Kepulauan Riau
Bedak Limau (Tepung Tawar) Melambangkan ketulusan, kemurnian hati, kesabaran dalam pernikahan, dan penyejuk hati. Labuhanbatu Selatan (umum Melayu
Air Percung (Air Mawar) Melambangkan pemeliharaan nama baik keluarga dan keharuman martabat. Labuhanbatu Selatan (umum Melayu)
Beras Basuh Melambangkan pemurnian fisik dan spiritual. Labuhanbatu Selatan (umum Melayu)
Beras Kunyit Melambangkan rezeki berlimpah, kesuburan, dan martabat. Labuhanbatu Selatan (umum Melayu)
Bertih (Padi Goreng) Melambangkan hidup bertetangga, senasib sepenanggungan, dan penolak bala. Labuhanbatu Selatan (umum Melayu)
Daun Inai Melambangkan kerukunan dan kesetiaan dalam rumah tangga, serta penolak bencana. Labuhanbatu Selatan (umum Melayu)
Bunga Rampai Melambangkan kesucian lahir batin, keharuman tuah dan marwah, serta nama baik keluarga. Labuhanbatu Selatan (umum Melayu)

Ritual “Cuci Lantai” dengan langkah-langkahnya yang rumit dan berbagai bahan yang digunakan, merepresentasikan pemurnian yang komprehensif. Ini bukan hanya tentang kebersihan fisik tempat melahirkan, tetapi juga mencakup pembersihan spiritual (misalnya, pengorbanan ayam sebagai pengganti darah yang tumpah untuk menenangkan “jembalang”) dan perlindungan dari kekuatan negatif yang tidak terlihat. Makna simbolis dari setiap item—seperti padi untuk kemakmuran, benang untuk mengatasi rintangan, dan kelapa untuk kemampuan beradaptasi—mengungkapkan keinginan yang mendalam untuk kesejahteraan komprehensif dan keberhasilan masa depan anak. Penyertaan jampi serapah lebih lanjut menekankan dimensi perlindungan spiritual. Ritual ini menunjukkan pandangan dunia di mana alam fisik dan spiritual saling terkait erat. Praktik-praktik tradisional digunakan untuk memastikan harmoni, perlindungan, dan berkah bagi unit keluarga baru, mengatasi kecemasan seputar kelahiran dan masa depan anak dengan cara yang ditentukan secara budaya. Hal ini juga menyoroti upaya kolektif komunitas dalam menjaga kehidupan baru.

 

Ritual Penting Pasca-Kelahiran

Setelah periode awal pasca-kelahiran, beberapa ritual penting lainnya dilaksanakan untuk menandai pertumbuhan dan integrasi anak ke dalam komunitas:

  • Cukur Rambut Bayi (Potong Jambul) dan Pemberian Nama: Ritual ini umumnya dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi dilahirkan. Pada hari tersebut, diadakan kenduri nasi kunyit dan doa selamat sebagai bentuk syukur. Rambut bayi akan dicukur sepenuhnya oleh bidan atau anggota keluarga yang ditunjuk. Rambut yang telah dicukur kemudian dimasukkan ke dalam kelapa, dan kelapa tersebut ditanam di sekitar halaman rumah bersama dengan anak kelapa sebagai penanda dan peringatan akan kelahiran anak. Proses ini seringkali dilakukan bersamaan dengan upacara akikah dan pemberian nama kepada bayi. Di beberapa daerah, seperti yang disebutkan dalam konteks Melayu Sambas, tradisi potong rambut bayi juga dikenal sebagai “Tappong Tawar” dan sering diiringi dengan pembacaan Barzanji dan Marhaban. Ritual Syariful Anam adalah acara potong rambut untuk bayi berusia 40 hari hingga 2 tahun, yang mengisahkan kemuliaan Nabi Muhammad. Pencukuran rambut bayi pada hari ketujuh, yang sering bertepatan dengan pemberian nama dan akikah, adalah tindakan simbolis yang kuat. Ini melambangkan awal yang baru, pemurnian, dan masuknya anak secara formal ke dalam komunitas. Mengubur rambut bersama pohon kelapa melambangkan harapan akan pertumbuhan yang sehat, akar yang kuat, dan ikatan yang mendalam anak dengan tanah leluhur dan garis keturunan mereka. Keterkaitan dengan
    Syariful Anam dan pembacaan Barzanji/Marhaban lebih lanjut menempatkan ritual ini dalam kerangka Islam, menghubungkan perkembangan fisik anak dengan berkah spiritual dan hubungan dengan Nabi Muhammad. Ritual ini merupakan ritus peralihan penting yang secara formal mengintegrasikan anak ke dalam keluarga dan komunitas Melayu-Islam yang lebih luas, menekankan kemurnian, pertumbuhan yang diberkahi, dan pembentukan identitas religius sejak dini.
  • Akikah: Secara syarak (hukum Islam), akikah berarti menyembelih ternak pada hari ketujuh setelah anak dilahirkan. Hukumnya adalah sunnah (dianjurkan) bagi umat Islam yang mampu. Jumlah hewan yang disembelih adalah dua ekor kambing untuk bayi laki-laki dan satu ekor kambing untuk bayi perempuan. Hikmah dari pelaksanaan akikah adalah sebagai awal kebajikan dan kebaikan bagi pihak bayi yang baru lahir. Akikah dapat dilaksanakan bersamaan dengan upacara cukur rambut dan pemberian nama bayi. Di komunitas Labuhanbatu, tradisi pembacaan Barzanji sering dilakukan pada acara akikah, menunjukkan akulturasi budaya. Akikah secara eksplisit merupakan sunnah (tradisi kenabian) Islam. Adopsi luas dan integrasinya ke dalam adat kelahiran Melayu menggarisbawahi ketaatan yang kuat terhadap hukum Islam dalam komunitas. Praktik mendistribusikan daging kepada keluarga, teman, dan yang membutuhkan mengubah kewajiban agama menjadi perayaan komunal dan tindakan amal, sehingga memperkuat kohesi sosial dan mengungkapkan rasa syukur kepada Allah. Penyebutan khusus pembacaan Barzanji dalam upacara akikah di Labuhanbatu lebih lanjut menggambarkan bagaimana tindakan keagamaan Islam diresapi dengan ekspresi budaya lokal, menciptakan identitas Melayu-Islam yang unik. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam tidak hanya dipatuhi sebagai tugas keagamaan yang terpisah, tetapi sangat terjalin dalam struktur sosial dan budaya, menjadi kesempatan untuk ikatan komunitas, ekspresi syukur, dan tindakan kebajikan yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
  • Turun Mandi (Bayi dan Ibu): Upacara ini dapat dilakukan setelah anak berumur seminggu. Dalam ritual ini, ibu dan bayi dibawa ke sungai atau perigi (sumur) dan dimandikan oleh bidan. Bidan menggunakan berbagai bahan dan peralatan khusus dalam upacara ini. Terkadang, ada juga praktik memandikan ayam setelah ibu dan bayi dimandikan. Beberapa variasi ritual juga mencakup menghanyutkan patung, memasukkan lading ke dalam air, atau menanam keladi di tepian sungai/perigi. Upacara turun mandi di tepian biasanya berlangsung sekitar satu jam, setelah itu anak dan ibu kembali ke rumah. Setibanya di rumah, anak ditidurkan di atas buaian, dan makanan serta minuman (seringkali ketupat) dihidangkan kepada para hadirin sebagai tanda suka cita, diikuti dengan pembacaan doa syukur. Ritual “Turun Mandi”, khususnya pelaksanaannya di badan air alami seperti sungai atau sumur, melambangkan pembersihan mendalam dan pengenalan formal anak ke lingkungan alam mereka. Tindakan memandikan ibu dan anak bersama-sama menandakan perjalanan bersama mereka melalui proses kelahiran dan pemulihan. Tindakan simbolis seperti “menghanyutkan patung” atau “menanam keladi” kemungkinan besar melambangkan pelepasan kotoran atau pengaruh negatif dan harapan akan pertumbuhan dan kemakmuran di lingkungan baru. Pesta komunal dan doa berikutnya memperkuat aspek perayaan dan rasa syukur dari ritual tersebut. Ritual ini menandai transisi penting bagi ibu dan anak, memindahkan mereka dari ruang intim kelahiran ke keterlibatan yang lebih luas dengan lingkungan alam dan sosial mereka. Ini menyoroti keyakinan tradisional dalam menyelaraskan diri dengan alam dan mencari berkah dari lingkungan untuk perkembangan sehat anak.
  • Naik Buai (Mengayun Anak): Adat ini merupakan salah satu majelis yang masih diamalkan dan mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat Melayu hingga kini.  Upacara ini dilakukan setelah tali pusat bayi tanggal, biasanya setelah bayi berumur seminggu, karena sebelum itu bayi tidak bisa dibuai (diayun). Dalam etnik Melayu, ayunan atau buaian memiliki makna dan artian tersendiri dalam konteks pengasuhan anak. Menariknya, dalam perspektif Islam, ayunan ini sering dikaitkan dengan ibadah akikah, yang merupakan bentuk syukur orang tua kepada Allah SWT atas kelahiran bayi. Senandung syair yang dilantunkan saat bayi diayun atau hendak ditidurkan, terutama pada hari ketujuh, memiliki makna sebagai iringan penghantar tidur dan pendidikan awal. Tradisi “Naik Buai”, meskipun merupakan praktik budaya mengayun anak, secara eksplisit dikaitkan dengan konsep Islam tentang akikah. Ini menunjukkan bagaimana praktik budaya sering diinterpretasikan ulang atau diselaraskan dengan tugas-tugas keagamaan, menunjukkan integrasi Islam yang mendalam ke dalam adat Melayu. “Senandung syair” yang dilakukan selama ritual ini lebih lanjut menekankan aspek pengasuhan dan penanaman nilai-nilai sejak dini melalui tradisi lisan, menghubungkan kenyamanan fisik dengan perkembangan spiritual dan moral. Ini menyoroti tujuan ganda dari banyak adat Melayu: memenuhi harapan budaya sambil secara bersamaan mematuhi perintah agama. Praktik-praktik ini secara kolektif bertujuan untuk kesejahteraan holistik anak, meliputi kenyamanan fisik, berkah spiritual, dan pendidikan moral, memperkuat gagasan bahwa budaya dan agama tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan Melayu.
  • Adat Turun Tanah: Ini adalah tradisi yang dikenal pada masyarakat Melayu Sei Bilah di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Adat ini diyakini berfungsi untuk melindungi anak dari penyakit dan bahaya. Biasanya dilakukan ketika anak berusia 40 hari atau setelah masa nifas ibu berakhir. Tahapan dalam adat turun tanah meliputi:
    tepung tawar dan upah-upah (ritual persembahan dan doa), bercukur (mencukur rambut anak), memandikan anak, turun tanah (ritual memperkenalkan anak ke bumi untuk pertama kali), membawa anak jalan-jalan, dan mengayunkan anak. Tradisi ini masih sering dilakukan sebagai bentuk kepercayaan untuk memohon keselamatan dan kesehatan anak kepada Tuhan Yang Maha Esa. Meskipun spesifik Langkat, Labuhanbatu memiliki sejarah kerajaan yang menggunakan budaya Melayu secara umum , dan akulturasi budaya di Labuhanbatu Utara juga mencakup tradisi seperti tepung tawar dan upah-upah. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya praktik serupa atau adaptasi dari tradisi ini di Labuhanbatu, mengingat kedekatan geografis dan kesamaan akar budaya Melayu. Ritual “Turun Tanah”, yang melibatkan pengenalan anak secara formal ke bumi, dapat diinterpretasikan sebagai adaptasi ekologis. Ini melambangkan hubungan anak dengan lingkungan fisik mereka dan tanah yang menopang komunitas. Waktunya (40 hari atau setelah masa nifas ibu berakhir) selaras dengan peningkatan ketahanan anak dan pemulihan ibu. Keyakinan akan perlindungan dari penyakit dan bahaya melalui ritual ini mencerminkan pemahaman tradisional tentang pengaruh lingkungan terhadap kesehatan dan keinginan untuk menyelaraskan diri dengan alam. Penyertaan
    tepung tawar dan upah-upah lebih lanjut menghubungkannya dengan ritual berkah Melayu yang lebih luas. Ritual ini menggarisbawahi hubungan mendalam antara komunitas, tanah mereka, dan kepercayaan spiritual mereka. Dunia alam dipandang sebagai sumber tantangan dan berkah, yang memerlukan pengakuan ritual untuk memastikan perlindungan dan kemakmuran bagi generasi baru.

 

Ekspresi Syukur dan Peran Komunitas

Kelahiran anak tidak hanya dirayakan dalam lingkup keluarga inti, tetapi juga melibatkan seluruh komunitas melalui berbagai ekspresi syukur dan tradisi yang memperkuat ikatan sosial.

  • Kesenian Bordah dalam Syukuran Kelahiran (Spesifik Labuhanbatu Utara): Kesenian Bordah, yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai qasidah, berisi syair-syair tentang penyembahan, pujian, dan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Ini adalah seni yang memadukan syair, tari, ritual adat, dan musik. Para pelaku bordah biasanya terdiri dari enam orang (standar 11-15 orang), yang membacakan doa-doa dari buku dan menabuh gendang, kadang dikombinasikan dengan biola. Mereka mengenakan pakaian khas Melayu yang sopan, seperti baju kurung cekak musang, sarung yang indah di pinggang, dan kopyah (penutup kepala). Bordah ditampilkan dalam berbagai acara, termasuk festival,
    hagaf, syukuran kelahiran, sunatan, dan perkawinan.

Fungsi kesenian Bordah dalam syukuran kelahiran dan acara lainnya sangat beragam:

  • Hiburan: Sebagai hiburan bagi keluarga yang bersyukur dan masyarakat.
  • Iringan Tradisi: Mengiringi berbagai tradisi seperti kenduri, malam berinai, tepung tawar, upah-upah, dan acara naik pelaminan
  • Sarana Komunikasi: Dahulu, berfungsi sebagai sarana pemberitahuan acara kepada masyarakat luas, terutama saat pengantin wanita duduk di pelaminan.
  • Ungkapan Rasa Syukur: Merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah atas bersatunya kedua mempelai (dalam konteks pernikahan) atau atas kelahiran anak (dalam syukuran kelahiran).
  • Kesinambungan Budaya: Membantu melestarikan adat istiadat Melayu dan memperkaya budaya Melayu.
  • Sarana Ekspresi Diri: Memberikan wadah bagi para seniman untuk mengekspresikan diri dan mengaktualisasikan potensi mereka.

Kesenian Bordah juga mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang mendalam:

  • Nilai Religius: Syair-syairnya mengandung sholawat dan kisah Nabi Muhammad, mendorong menjauhi hawa nafsu dan godaan setan.
  • Nilai Artistik: Memiliki nilai seni yang tinggi melalui melodi, ritme, dan gerakan tari yang menyerupai pencak silat.
  • Nilai Solidaritas: Penampilan yang sinkron menunjukkan solidaritas antar pemain, dan keberhasilan tradisi bergantung pada kerja sama masyarakat.
  • Nilai Toleransi: Digunakan dalam berbagai etnis di Labuhanbatu (Melayu, Batak, Jawa), menunjukkan saling menghormati.
  • Nilai Kesopanan: Penari menunjukkan rasa hormat kepada “raja dan ratu sehari” (pengantin) dengan berlutut.
  • Nilai Edukasi: Mengajarkan masyarakat tentang puisi qasidah burdah, sejarah Nabi Muhammad, dan budaya kepada generasi muda.

 

Fungsi Bordah yang beragam dalam perayaan kelahiran—mulai dari hiburan dan iringan ritual hingga komunikasi, rasa syukur, dan pendidikan—menggarisbawahi signifikansi budayanya yang mendalam. Ini bertindak sebagai kekuatan kohesif yang kuat, secara mulus mengintegrasikan devosi spiritual (melalui shalawat) dengan perayaan komunal. Penekanan pada nilai-nilai kearifan lokal seperti solidaritas, toleransi, kesopanan, dan pendidikan menunjukkan bagaimana seni budaya secara aktif dimanfaatkan untuk mentransmisikan norma-norma moral dan sosial antar generasi. Peran historisnya sebagai alat komunikasi juga menyoroti kemampuannya beradaptasi dalam lanskap komunikasi pra-modern. Bordah bukan sekadar artefak budaya; ia adalah tradisi hidup yang secara aktif membentuk dan memperkuat identitas spiritual komunitas, mempererat ikatan sosial, dan mendidik generasi muda tentang warisan mereka. Praktiknya yang berkelanjutan di Labuhanbatu menyediakan konteks yang kaya dan dinamis untuk merayakan kehidupan baru, menunjukkan ketahanan dan kemampuan adaptasi budaya Melayu.

 

Tradisi Mangupa (Suku Mandailing di Rantau Prapat, Labuhanbatu): Tradisi Mangupa adalah bagian dari budaya Mandailing yang dikenal sebagai ritual paulak tondi tu tubuh (pengembalian semangat ke badan). Meskipun berasal dari Mandailing, tradisi ini diterapkan dalam berbagai acara, termasuk
lahiran daganak (kelahiran anak), di Rantau Prapat, Labuhanbatu. Ritual ini melibatkan pemberian pesan nasihat dan doa kepada individu yang di-upa, disertai dengan hidangan makanan pangupa. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, serta memohon berkah dan keselamatan. Di Rantau Prapat, tradisi ini telah mengalami perubahan dalam pelaksanaannya antara tahun 2005-2015, yang disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, akulturasi budaya, dan perkawinan antar-etnis. Meskipun demikian, tradisi ini masih dipraktikkan dan dipertahankan sebagai bagian dari identitas lokal. Integrasi
Mangupa, sebuah tradisi Mandailing, ke dalam upacara kelahiran di Labuhanbatu (khususnya Rantau Prapat) menunjukkan akulturasi budaya yang signifikan yang lazim di wilayah tersebut, seperti yang juga dicatat dalam konteks tradisi pernikahan. Fakta bahwa Mangupa telah beradaptasi karena faktor ekonomi, sosial, dan perkawinan antar-etnis menunjukkan bahwa tradisi budaya tidak statis tetapi cair dan responsif terhadap pergeseran demografi dan pengaruh modern. Adaptasi ini memastikan kesinambungan nilai-nilai inti (rasa syukur, berkah, solidaritas sosial) meskipun bentuk praktiknya berkembang. Fenomena ini menunjukkan bahwa praktik budaya, bahkan yang berakar dalam, tidaklah abadi. Mereka dinamis dan mampu menyerap serta mengintegrasikan elemen dari kelompok etnis lain, menghasilkan permadani budaya yang lebih kaya dan kompleks. Ini juga menunjukkan bahwa “adat Melayu Labuhanbatu” bukanlah entitas monolitik tetapi seperangkat praktik yang dinamis dan berkembang, mencerminkan pengalaman hidup populasinya yang beragam.

 

Dinamika dan Akulturasi Budaya

Budaya Melayu di Labuhanbatu, seperti banyak budaya tradisional lainnya, terus mengalami dinamika dan akulturasi yang signifikan, terutama dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam dan modernisasi.

  • Pengaruh Islam dalam Adat Kelahiran Melayu: Adat istiadat Melayu yang berlaku saat ini adalah adat yang telah hidup dan berkembang setelah kedatangan Islam, dan telah berintegrasi secara fundamental dengan ajaran Islam.  Setiap aspek kehidupan orang Melayu, termasuk adat istiadat, diharapkan sesuai dengan syariat Islam. Banyak tradisi kelahiran yang diselaraskan dengan syariat Islam, seperti praktik akikah , pembacaan azan dan iqamah segera setelah lahir , serta berbagai doa selamat yang menyertai setiap tahapan ritual. Penekanan yang konsisten pada pengaruh Islam yang meresap dalam adat Melayu, sampai pada titik menyatakan “tidaklah ia disebut orang Melayu jika ia tidak beragama Islam,” menunjukkan proses Islamisasi budaya yang mendalam dan telah berlangsung lama, bukan sekadar adopsi. Ini bukan hanya tentang menambahkan doa-doa Islam ke ritual yang sudah ada; ini menunjukkan penafsiran ulang fundamental terhadap pandangan dunia dan tujuan di balik tradisi-tradisi ini melalui lensa Islam. Ritual-ritual tersebut dilakukan tidak hanya untuk kesinambungan budaya tetapi sebagai tindakan devosi keagamaan dan rasa syukur. Integrasi yang mendalam ini berarti bahwa setiap studi komprehensif tentang adat Melayu harus mempertimbangkan landasan Islamnya, karena keduanya seringkali tidak dapat dipisahkan dalam praktik dan makna. Hal ini menyoroti bagaimana identitas keagamaan membentuk dan memperkuat praktik budaya, menyediakan kerangka moral dan spiritual untuk peristiwa-peristiwa kehidupan.
  • Adaptasi dan Perubahan Tradisi di Era Modern: Adat istiadat dan nilai-nilai kehidupan yang baik yang telah lama dipegang oleh masyarakat Labuhanbatu secara perlahan memudar atau bahkan hilang karena pengaruh perubahan zaman. Beberapa tradisi telah mengalami adaptasi signifikan. Misalnya, prosesi
    Menggantung-gantung (dekorasi rumah untuk acara) kini cenderung menggunakan peralatan dan perlengkapan modern, dan undangan acara dapat disebar melalui media sosial, mengurangi praktik gotong royong tradisional. Tradisi
    Betangas (mandi uap untuk calon pengantin, yang bisa dianalogikan dengan perawatan tubuh tradisional lainnya) kini sering dilakukan dengan peralatan modern dan oleh jasa perawatan profesional, yang menyebabkan hilangnya sebagian simbol dan makna aslinya. Faktor generasi muda yang kurang peka terhadap lingkungan budaya dan adat istiadat, serta perkembangan zaman yang membawa kemajuan teknologi dan gaya hidup dari luar, turut menyebabkan perubahan pola perilaku masyarakat. Laporan ini menyoroti dinamika kompleks di mana modernisasi bertindak sebagai kekuatan yang mengikis sekaligus katalis untuk adaptasi. Sementara beberapa tradisi “memudar” atau “kehilangan makna aslinya”, yang lain beradaptasi dengan menggabungkan elemen modern (misalnya, undangan media sosial, perawatan kecantikan modern untuk
    Betangas). Ini bukan penurunan sederhana tetapi proses yang bernuansa di mana tradisi disederhanakan, dikomersialkan, atau di-hibridisasi untuk tetap relevan dalam kehidupan kontemporer. “Kurangnya kepekaan” dari generasi muda adalah faktor penyebab, tetapi kemajuan teknologi juga menyediakan jalan baru untuk ekspresi dan transmisi budaya, meskipun dalam bentuk yang berubah. Kelangsungan hidup tradisi-tradisi ini di masa depan bergantung pada kapasitasnya untuk beradaptasi tanpa mengorbankan esensi dan maknanya. Ini juga menunjukkan adanya kesenjangan generasi yang semakin besar dalam pemahaman dan praktik adat, yang memerlukan upaya terarah dalam pendidikan dan revitalisasi untuk memastikan kesinambungannya.
  • Akulturasi dengan Budaya Lain (misalnya, Mandailing di Labuhanbatu): Kabupaten Labuhanbatu dikenal dengan kekayaan keragaman suku dan agama, yang telah mendorong terjadinya akulturasi budaya yang signifikan, khususnya antara suku Mandailing dan Melayu. Proses akulturasi ini telah menghasilkan tradisi-tradisi baru atau perpaduan tradisi, seperti
    tepung tawar, upah-upah, dan endeng-endeng dalam konteks pernikahan (yang dapat diinferensikan juga dalam konteks kelahiran atau syukuran). Meskipun suku Mandailing memiliki adat istiadat yang kuat dan terjaga, prosesi pernikahan (dan kemungkinan besar juga kelahiran) di Desa Simonis, Labuhanbatu Utara, sering mencerminkan perpaduan dengan budaya lokal lainnya. Tradisi
    Mangupa, yang merupakan tradisi Mandailing, di Rantau Prapat telah beradaptasi karena akulturasi budaya dan perkawinan antar-etnis. Ini menunjukkan bagaimana tradisi dapat berinteraksi dan berubah dalam lingkungan multi-etnis. Komposisi etnis Labuhanbatu yang beragam menjadikannya studi kasus yang unik untuk dinamisme budaya. Penyebutan eksplisit akulturasi Mandailing-Melayu yang mengarah pada tradisi hibrida baru (seperti
    tepung tawar, upah-upah, endeng-endeng dalam konteks pernikahan, dan Mangupa untuk kelahiran) menunjukkan bahwa pertukaran budaya bukanlah koeksistensi pasif melainkan proses sintesis yang aktif. Proses ini menciptakan bentuk-bentuk baru yang melayani kebutuhan masyarakat multi-etnis, memupuk harmoni dan identitas bersama. Adaptasi Mangupa karena perkawinan antar-etnis adalah contoh utama dari dinamika ini. Ini menyoroti ketahanan dan kemampuan beradaptasi tradisi budaya. Alih-alih terkikis oleh pengaruh eksternal, mereka sering menyerap dan mengintegrasikan elemen dari budaya lain, menghasilkan permadani budaya yang lebih kaya dan kompleks. Ini juga menunjukkan bahwa “adat Melayu Labuhanbatu” bukanlah entitas monolitik tetapi seperangkat praktik yang dinamis dan berkembang, mencerminkan pengalaman hidup populasinya yang beragam.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi Pelestarian Budaya

Kesimpulan:

Tata cara adat Melayu Labuhanbatu dalam kelahiran anak merupakan rangkaian tradisi yang kaya makna, berakar kuat pada nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. Tradisi ini mencerminkan pandangan masyarakat Melayu yang menganggap kelahiran sebagai anugerah ilahi dan investasi spiritual bagi keluarga. Meskipun data spesifik Labuhanbatu terbatas, pola umum tradisi Melayu di Sumatera Utara dan Riau, yang mencakup tahapan pra-kelahiran (seperti Melenggang Perut, Meminang Bidan, dan Jejamu), saat kelahiran (pembacaan azan/iqamah dan pemotongan tali pusat), dan pasca-kelahiran (seperti Cuci Lantai, Cukur Rambut, Akikah, Turun Mandi, Naik Buai, dan Turun Tanah), memberikan gambaran komprehensif.

Tradisi-tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai ritual seremonial, tetapi juga sebagai sistem kontrol sosial, edukasi moral, penguat ikatan komunitas, dan ekspresi syukur kepada Tuhan, yang semuanya bertujuan untuk memastikan kesejahteraan lahir dan batin anak serta keluarga. Adanya akulturasi dengan budaya lain (terutama Mandailing) dan pengaruh modernisasi menunjukkan dinamika budaya yang terus berlangsung di Labuhanbatu. Beberapa tradisi beradaptasi dengan memasukkan elemen modern, sementara beberapa lainnya menghadapi tantangan pelestarian karena pergeseran nilai dan kurangnya kepekaan generasi muda.

 

Rekomendasi Pelestarian Budaya:

Mengingat kekayaan dan dinamika adat kelahiran Melayu di Labuhanbatu, upaya pelestarian yang terencana dan berkelanjutan sangatlah penting.

  • Dokumentasi dan Penelitian Lebih Lanjut: Mengingat keterbatasan data spesifik yang hanya berfokus pada Labuhanbatu, diperlukan penelitian etnografi mendalam yang berfokus langsung pada komunitas Melayu di Labuhanbatu. Penelitian ini harus bertujuan untuk mendokumentasikan variasi lokal, praktik kontemporer, dan dinamika perubahan yang terjadi secara lebih rinci, serta mengidentifikasi praktik yang mungkin belum tercatat.
  • Edukasi dan Sosialisasi Berbasis Komunitas: Mengadakan program edukasi yang terstruktur dan menarik bagi generasi muda tentang makna filosofis dan pentingnya tradisi kelahiran. Ini dapat dilakukan melalui integrasi dalam kurikulum pendidikan lokal, lokakarya interaktif, atau kegiatan komunitas yang melibatkan tokoh adat dan agama.
  • Revitalisasi dan Adaptasi Kreatif: Mendorong upaya revitalisasi tradisi agar tetap relevan dan menarik di era modern tanpa kehilangan esensi maknanya. Ini bisa dilakukan melalui penyelenggaraan festival budaya yang menampilkan ritual kelahiran, atau adaptasi kreatif dalam bentuk seni pertunjukan yang lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.
  • Kolaborasi Antar-Etnis: Mempromosikan pemahaman dan apresiasi terhadap tradisi lintas etnis di Labuhanbatu untuk memperkuat harmoni budaya dan mendorong pertukaran praktik terbaik dalam pelestarian. Inisiatif bersama dapat menciptakan rasa kepemilikan kolektif terhadap warisan budaya bersama.
  • Pemanfaatan Teknologi Digital: Membangun arsip digital atau platform daring untuk mendokumentasikan dan menyebarkan informasi tentang adat kelahiran Melayu Labuhanbatu, sehingga dapat diakses oleh generasi mendatang dan masyarakat luas.

 

C.     Tata Cara Adat Kematian Masyarakat Melayu Labuhanbatu

1. Pendahuluan

Latar Belakang: Pentingnya Adat Kematian dalam Budaya Melayu dan Integrasinya dengan Islam

Masyarakat Melayu, sebagai salah satu entitas budaya yang kaya di Nusantara, memiliki adat istiadat yang telah hidup dan berkembang seiring dengan masuknya ajaran Islam. Integrasi ini membentuk sebuah identitas budaya yang unik, di mana syariat Islam menjadi landasan utama bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menghadapi kematian. Filosofi yang mendalam, “Adat bersandi Syara’, Syara’ bersandi Kitabullah,” secara fundamental menegaskan bahwa seluruh adat istiadat Melayu berlandaskan pada syariat Islam dan Al-Qur’an. Prinsip ini menempatkan ajaran Islam sebagai pilar utama yang membentuk dan memvalidasi setiap praktik adat, memastikan bahwa tradisi yang dipertahankan selaras dengan keyakinan agama.

Kematian dalam pandangan masyarakat Melayu tidak hanya dipandang sebagai akhir dari eksistensi di dunia fana, melainkan sebagai transisi yang sakral menuju kehidupan yang lebih abadi. Proses perpisahan ini dihormati melalui serangkaian ritual dan upacara adat yang bertujuan mendoakan agar arwah almarhum diterima di sisi Allah dan mendapatkan tempat yang baik di alam barzakh. Upacara-upacara ini juga berfungsi sebagai sarana bagi keluarga yang ditinggalkan untuk mengekspresikan duka, mempererat tali silaturahmi, dan melestarikan nilai-nilai budaya yang diwariskan dari leluhur.

Laporan ini disusun untuk menguraikan secara komprehensif tata cara adat kematian masyarakat Melayu, dengan fokus pada praktik-praktik yang relevan di Labuhanbatu. Analisis akan mencakup tahapan-tahapan ritual, makna filosofis yang terkandung di dalamnya, serta bagaimana pengaruh Islam dan dinamika modernisasi membentuk evolusi tradisi ini.

 

1.2 Tujuan Laporan

Laporan ini memiliki beberapa tujuan utama:

  • Menguraikan tahapan dan ritual adat kematian masyarakat Melayu, dengan mengintegrasikan informasi spesifik untuk Labuhanbatu jika tersedia, atau mengacu pada praktik Melayu umum yang relevan sebagai konteks.
  • Menganalisis makna filosofis dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap tahapan, termasuk nilai-nilai pendidikan Islam yang diinternalisasi.
  • Mengkaji dinamika dan perubahan yang terjadi pada adat kematian akibat akulturasi budaya dan pengaruh modernisasi, khususnya dalam konteks masyarakat Melayu di Labuhanbatu dan sekitarnya.

 

Prinsip Dasar Adat Kematian Melayu

Keterkaitan Adat dengan Syariat Islam: “Adat bersandi Syara’, Syara’ bersandi Kitabullah”

Filosofi inti masyarakat Melayu, “Adat bersandi Syara’, Syara’ bersandi Kitabullah,” merupakan landasan fundamental yang menegaskan bahwa seluruh adat istiadat mereka berlandaskan pada syariat Islam dan Al-Qur’an. Prinsip ini menempatkan ajaran Islam sebagai pilar utama yang membentuk dan memvalidasi setiap praktik adat, termasuk yang berkaitan dengan kematian. Adat yang “sebenar adat” didefinisikan sebagai inti adat yang berdasar pada ajaran agama Islam, yang tidak boleh diubah atau dihilangkan. Kerangka normatif ini memastikan bahwa tradisi yang dipertahankan selaras dengan keyakinan agama.

Ungkapan “Adat bersandi Syara’, Syara’ bersandi Kitabullah” bukan sekadar pepatah, melainkan prinsip fundamental yang menunjukkan proses akulturasi yang disengaja dan berlangsung lama. Ini berarti adat istiadat pribumi Melayu telah diadaptasi agar selaras dengan ajaran Islam atau digantikan sepenuhnya olehnya. Proses ini memberikan legitimasi budaya terhadap praktik-praktik yang mungkin dulunya dianggap murni tradisional, dengan mengintegrasikannya ke dalam kerangka keagamaan. Harmonisasi ini memastikan kelangsungan tradisi sambil tetap berpegang pada identitas agama yang dominan dalam komunitas Melayu. Oleh karena itu, prinsip ini mengindikasikan bahwa setiap adat kematian tradisional di Labuhanbatu (atau wilayah Melayu lainnya) kemungkinan besar telah diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam, atau jika bertentangan, secara bertahap ditinggalkan atau ditafsirkan ulang. Hal ini membentuk ekspektasi terhadap jenis praktik yang akan ditemukan dalam laporan ini.

 

Pandangan Kematian dalam Masyarakat Melayu

Kematian dipandang bukan sebagai akhir eksistensi, melainkan sebagai transisi menuju kehidupan yang lebih abadi. Proses perpisahan ini dianggap sakral, di mana penghormatan kepada almarhum dilakukan melalui berbagai ritual yang bertujuan mendoakan agar arwah diterima di sisi Allah. Masyarakat Melayu percaya bahwa jodoh, rezeki, dan kematian sepenuhnya adalah rahasia Ilahi , menekankan penerimaan takdir dan penyerahan diri kepada Tuhan.

Memandang kematian sebagai “transisi menuju kehidupan abadi” secara mendalam membentuk ritual-ritual yang ada. Ini mengubah duka menjadi serangkaian tindakan yang bertujuan memastikan kesejahteraan almarhum di akhirat dan menjaga hubungan spiritual. Perspektif ini juga memperkuat kohesi sosial, karena ritual kolektif memberikan penghiburan dan menegaskan kembali ikatan komunitas dalam menghadapi kehilangan. Kesakralan transisi ini meningkatkan pentingnya kepatuhan terhadap prosedur yang benar. Pandangan dunia ini mendorong pelaksanaan upacara pasca-kematian yang rumit, seperti kenduri arwah, yang berfungsi tidak hanya sebagai peringatan tetapi juga sebagai doa berkelanjutan bagi perjalanan almarhum, mengintegrasikan yang hidup dan yang mati dalam kesinambungan spiritual.

 

Tahapan Pra-Pengebumian

Adab Sakaratul Maut (Menjelang Kematian)

Saat seseorang dalam keadaan sakaratul maut, disarankan untuk mengingatkan mereka agar mengingat Allah SWT dengan membacakan zikir atau syahadat di telinga mereka. Praktik ini merupakan sunnah dalam Islam. Penekanan pada pembimbingan orang yang sekarat untuk mengingat Allah menyoroti pentingnya persiapan spiritual yang paling utama pada saat kematian. Praktik ini, yang berakar pada sunnah Islam, menunjukkan bahwa saat-saat terakhir sangat penting bagi transisi jiwa, dan peran komunitas adalah memfasilitasi kesiapan spiritual ini. Hal ini menggarisbawahi keyakinan bahwa bahkan dalam penderitaan fisik, roh tetap sangat sadar dan responsif terhadap zikir. Praktik ini menetapkan nada untuk seluruh proses kematian, menekankan perawatan spiritual dan kepatuhan pada pedoman agama sejak awal, mengesampingkan praktik-praktik yang murni sekuler atau pra-Islam yang mungkin pernah ada.

 

Persiapan Jenazah

Memandikan Jenazah (Mandi Mayat)

Mayat dibersihkan secara tertib dan cermat oleh tukang mandi mayat. Penting untuk dicatat bahwa jenazah perempuan dimandikan oleh tukang mandi mayat perempuan, dan sebaliknya. Secara tradisional, jenazah diletakkan di atas balai-balai dengan bantal dari batang pohon pisang yang ditarah, namun seiring perkembangan zaman, alat-alat tradisional ini telah diganti dengan peralatan khusus yang disediakan oleh paguyuban rukun kematian setempat. Prosesnya meliputi pembersihan bagian pelepasan (dubur) dan kemaluan jenazah (istinjak) dengan tangan kiri yang dibalut kain, dilanjutkan dengan menyiram dan menggosok tubuh berulang kali hingga bersih menggunakan sabun dan air. Selama prosesi, jenazah ditutupi kain putih kecuali muka dan kaki.

Pergeseran dari penggunaan alat tradisional seperti “balai-balai” dan “batang pohon pisang” ke “peralatan khusus” modern yang disediakan oleh “paguyuban rukun kematian” menunjukkan adaptasi pragmatis terhadap perubahan zaman dan ketersediaan sumber daya. Meskipun inti ritual (membersihkan jenazah) tetap dipertahankan, cara pelaksanaannya berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa aspek simbolis dan religius tetap dijaga, sementara budaya material di sekitar ritual bersifat fleksibel, didorong oleh kenyamanan dan ketersediaan, dan mungkin dipengaruhi oleh faktor ekonomi atau organisasi komunitas. Fleksibilitas ini memastikan kelangsungan ritual dalam konteks modern, mencegahnya menjadi usang karena tidak tersedianya bahan tradisional. Hal ini juga menyoroti peran organisasi komunitas dalam memfasilitasi praktik keagamaan dan budaya.

 

Mengkafani Jenazah (Kafan)

Setelah dimandikan, jenazah dikafani. Jumlah kain kafan yang digunakan berbeda berdasarkan jenis kelamin: tiga helai untuk laki-laki dan lima helai untuk perempuan. Setiap lapisan kain menutupi seluruh badan jenazah.

Penggunaan jumlah lapisan ganjil untuk kain kafan (tiga untuk laki-laki, lima untuk perempuan) adalah cerminan langsung dari ajaran Islam, yang seringkali menganjurkan angka ganjil, seperti yang juga terlihat dalam ritual Melayu lainnya seperti “tepung tawar”. Ini memperkuat integrasi mendalam prinsip-prinsip Islam ke dalam adat kematian Melayu, menekankan kemurnian dan kepatuhan pada norma-norma agama dalam mempersiapkan jenazah untuk akhirat. Praktik ini menggarisbawahi kesucian religius dari proses pengafanan, memastikan jenazah dipersiapkan sesuai dengan petunjuk ilahi, dan secara halus memperkuat identitas Islam dalam komunitas.

Menyalatkan Jenazah (Salat Jenazah)

Salat jenazah dilakukan setelah jenazah diletakkan terlentang dengan kepala menghadap utara. Dalam masyarakat Melayu, minimal 40 orang laki-laki disyaratkan untuk menyalatkan jenazah, karena diyakini doa salah satu dari 40 orang tersebut akan makbul. Untuk memenuhi jumlah ini, keluarga bahkan tidak jarang mengundang orang dari luar kampung, seringkali dengan imbalan uang. Posisi imam berbeda berdasarkan jenis kelamin jenazah: searah kepala untuk jenazah laki-laki, dan searah pinggang untuk jenazah perempuan.

Persyaratan “minimal 40 laki-laki” untuk Salat Jenazah dan praktik mengundang orang dari luar kampung, bahkan dengan “imbalan berupa uang,” menunjukkan interaksi kompleks antara keyakinan agama, kohesi sosial, dan ekonomi praktis. Keyakinan bahwa “doa salah satu dari empat puluh orang tersebut makbul” meningkatkan efektivitas spiritual dari salat berjamaah. Untuk mencapai hal ini, keluarga memobilisasi sumber daya dan jaringan, menunjukkan komitmen komunitas terhadap kesejahteraan spiritual almarhum. “Imbalan” tersebut menunjukkan bentuk dukungan timbal balik atau kompensasi dalam layanan keagamaan berbasis komunitas, menyoroti struktur sosial dan ekonomi yang mendasari praktik keagamaan. Praktik ini memperkuat solidaritas komunitas dan dukungan timbal balik di masa duka. Hal ini juga menunjukkan bahwa kewajiban agama terkadang dapat mengarah pada pengaturan sosio-ekonomi, meskipun informal, untuk memastikan manfaat spiritual bagi almarhum.

 

Tabel 1: Tahapan Utama Adat Kematian Melayu dan Makna Simbolisnya

Tahapan Utama Deskripsi Singkat Makna Simbolis / Tujuan
Pra-Pengebumian
Sakaratul Maut Mengingatkan orang yang sekarat untuk mengingat Allah SWT dengan zikir/syahadat. Prioritas persiapan spiritual, memfasilitasi transisi jiwa, keyakinan bahwa roh responsif terhadap zikir.
Memandikan Jenazah Membersihkan mayat secara tertib dan cermat (perempuan oleh perempuan, laki-laki oleh laki-laki). Menggunakan peralatan modern saat ini. Pemurnian tubuh dari kotoran, kesucian sebelum menghadap Ilahi, adaptasi pragmatis budaya material.
Mengkafani Jenazah Membungkus jenazah dengan kain kafan (3 helai untuk laki-laki, 5 helai untuk perempuan). Kepatuhan pada ajaran Islam (angka ganjil), kemurnian, persiapan untuk akhirat.
Menyalatkan Jenazah Salat berjamaah minimal 40 laki-laki, dipimpin imam dengan posisi sesuai jenis kelamin jenazah. Efektivitas doa kolektif, kohesi sosial, dukungan spiritual bagi almarhum, mobilisasi sumber daya komunitas.
Pengebumian
Pengusungan Jenazah Memasukkan jenazah ke keranda berhias, diangkat beramai-ramai. Berhenti di pintu rumah untuk perpisahan simbolis. Anak kecil melintas di bawah keranda. Penghormatan terakhir, perpisahan dari dunia fana, menjaga ikatan batin yang hidup dan yang mati, fungsi perlindungan.
Prosesi Pemakaman Mengarak keranda ke kuburan, menguburkan, membaca talkin dan doa, menyiram air dan menabur bunga di atas kubur. Konsolidasi iman, bimbingan spiritual terakhir, penutupan bagi keluarga, penandaan kuburan.

 

Tahapan Pengebumian

Pengusungan Jenazah (Keranda)

Jenazah dimasukkan ke dalam keranda yang ditutup dengan kain batik dan kain khusus berwarna hijau tua yang disulam dengan kaligrafi Arab, seperti kalimat La ilaha illa Allah, Muhammad rasul Allah atau Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Keranda ini seringkali dihiasi untaian bunga. Keranda kemudian diangkat beramai-ramai untuk segera diberangkatkan ke pekuburan. Jika jenazah merupakan seorang tokoh masyarakat, para pelayat biasanya berebut untuk mengusung keranda sebagai bentuk penghormatan dan penghormatan terakhir.

Sebelum bergerak menuju kuburan, para pengusung keranda akan berhenti sejenak di dekat pintu rumah. Pada saat berhenti, salah seorang membisiki jenazah agar memandang rumah dan melihat anak cucu serta kerabatnya untuk yang terakhir kalinya, dengan pesan agar setelah itu tidak usah dikenang lagi. Ritual berhenti di pintu dan membisiki jenazah adalah perpisahan simbolis yang mengharukan, mengakui perpisahan terakhir dari rumah duniawi dan orang-orang terkasih. Jika si mati memiliki anak yang belum dewasa, anak tersebut disuruh melintas di bawah tandu sebanyak tiga kali. Praktik “lalu di bawah keranda” untuk anak-anak kecil ini bertujuan agar si anak tidak sakit-sakitan karena ikatan batin antara ayah dan anak, atau sebaliknya, dan atau keduanya saling mengingat. Tujuan ini mengungkapkan keyakinan akan hubungan spiritual yang masih ada antara orang tua yang meninggal dan anak, serta fungsi perlindungan, hampir seperti jimat, dari ritual tersebut untuk memutuskan atau mengelola ikatan ini dengan cara yang mencegah bahaya bagi yang hidup. Ini menunjukkan perpaduan penerimaan Islam terhadap kematian dengan kepercayaan animisme yang lebih tua tentang pengaruh spiritual. Ritual ini menyoroti kepedulian komunitas terhadap kesejahteraan anggota keluarga yang masih hidup, terutama anak-anak, dan mencerminkan pemahaman budaya tentang duka dan keterikatan yang melampaui kerangka murni agama. Ini adalah mekanisme koping dan cara untuk memastikan kelangsungan hidup meskipun ada kehilangan.

 

Prosesi Pemakaman

Keranda diarak menuju tempat pemakaman, dipikul secara bergantian. Setelah dikuburkan, diadakan pembacaan doa atau talkin oleh masyarakat.

Talkin adalah proses mengingatkan kembali jenazah yang baru dikubur dengan kalimat-kalimat tertentu, menegaskan keyakinan dasar Islam. Setelah talkin dan doa selesai dibaca, air disiram di atas kubur dari bagian kepala sampai kaki, lalu ditabur bunga rampai.

Pembacaan talkin dan doa di kuburan berfungsi sebagai instruksi spiritual terakhir dan permohonan bagi almarhum. Praktik ini memperkuat keyakinan Islam akan kehidupan setelah kematian dan pentingnya membimbing jiwa bahkan setelah penguburan. Tindakan menyiram air dan menabur bunga dapat dilihat sebagai tindakan simbolis pemurnian dan penghiasan, isyarat terakhir kepedulian dan penghormatan bagi yang telah tiada, kemungkinan merupakan kelanjutan dari praktik pra-Islam yang ditafsirkan ulang dalam konteks Islam (seperti yang terlihat pada Tepung Tawar). Ritus terakhir ini memberikan penutupan bagi keluarga yang berduka dan menegaskan kembali kepatuhan komunitas terhadap norma-norma agama dan budaya mengenai perlakuan terhadap orang mati.

 

Tradisi Pasca-Kematian dan Peringatan Arwah

Kenduri Arwah dan Peringatan Hari Kematian

Kenduri arwah dan doa selamat diadakan oleh keluarga si mati setelah jenazah dikebumikan. Peringatan ini umumnya dilakukan pada hari pertama, ketiga, ketujuh, kedua puluh lima (Nyalawe), keempat puluh (Matang Puluh), dan keseratus hari setelah kematian. Tujuan utama peringatan ini adalah mendoakan kesejahteraan si mati di alam barzakh , mempererat hubungan antar keluarga dan masyarakat, serta melestarikan nilai-nilai budaya Melayu.

Peringatan 100 hari (Nyeratus) dianggap sebagai puncak dan peringatan terakhir yang paling meriah, dengan persiapan yang meliputi membersihkan rumah, mengundang kerabat dari jauh dan dekat, serta menyiapkan berbagai hidangan. Pada malam setelah pemakaman (Ta’ziyah), orang-orang berkumpul di rumah duka untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan dan mendoakan almarhum/almarhumah, dengan membaca Al-Qur’an (khususnya Surah Yasin) dan tahlil.

Rangkaian peringatan pasca-kematian (3, 7, 25/40, 100 hari) secara eksplisit diidentifikasi memiliki asal-usul animistik-Hinduistik yang mengalami “akulturasi dan asimilasi dengan budaya Islam”. Ini adalah contoh utama sinkretisme adaptif, di mana kerangka budaya yang sudah ada dipertahankan tetapi dikontekstualisasikan ulang dan diisi dengan makna Islam (misalnya, melalui Yasin, tahlil, zikir, shalawat). Ketahanan ritual-ritual ini, meskipun bukan berasal dari Islam, menyoroti ketahanan praktik budaya dan fleksibilitas strategis penyebaran Islam di Nusantara. Sifat “meriah” dari peringatan 100 hari semakin menekankan fungsi sosialnya di luar sekadar berkabung, berfungsi sebagai pertemuan komunitas yang signifikan dan penanda status sosial atau komitmen. Peringatan-peringatan ini sangat penting untuk ikatan sosial, proses berduka, dan transmisi nilai-nilai budaya dan agama antargenerasi. Mereka mewakili perpaduan unik antara pengabdian spiritual dan solidaritas komunitas yang mendefinisikan identitas Melayu.

 

Tabel 2: Peringatan Pasca-Kematian dalam Adat Melayu dan Tujuannya

Jenis Peringatan Waktu Pelaksanaan (Setelah Kematian) Tujuan/Makna Unsur Kesenian/Ritual Tambahan
Kenduri Arwah (Umum) Berbagai waktu, termasuk hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-25, ke-40, ke-100 Mendoakan kesejahteraan si mati, mempererat silaturahmi, pelestarian budaya. Pembacaan Al-Qur’an (Yasin), Tahlil, Zikir, Shalawat.
Peringatan Hari ke-1 Hari pertama setelah kematian Penghiburan keluarga, doa awal untuk almarhum. Pembacaan Yasin, Tahlil.
Peringatan Hari ke-3 Hari ketiga setelah kematian Doa berkelanjutan untuk almarhum. Pembacaan Yasin, Tahlil.
Peringatan Hari ke-7 Hari ketujuh setelah kematian Doa berkelanjutan untuk almarhum. Pembacaan Yasin, Tahlil.
Peringatan Hari ke-25 (Nyalawe) Hari kedua puluh lima setelah kematian Doa berkelanjutan untuk almarhum. Pembacaan Yasin, Tahlil.
Peringatan Hari ke-40 (Matang Puluh) Hari keempat puluh setelah kematian Doa berkelanjutan untuk almarhum. Pembacaan Yasin, Tahlil.
Peringatan Hari ke-100 (Nyeratus) Hari keseratus setelah kematian Puncak peringatan, doa terakhir yang meriah, perpisahan dalam ingatan. Pembacaan Yasin, Tahlil, penampilan kesenian bernafaskan Islam (Hikayat Hasan dan Husin, Nazam Kanak-kanak, Bordah).

Tradisi “Turun Batu” dan Pembangunan Pagar Kubur

Beberapa masyarakat Melayu melakukan adat “turun batu”, yaitu menimbun kubur si mati dengan batu-batu kecil dan membangun pagar kecil di sekeliling pusara setelah seratus hari meninggal dunia.  Tradisi “turun batu” adalah tindakan nyata untuk mengingat dan merawat tempat peristirahatan terakhir almarhum. Membangun pagar kecil dan menambahkan batu setelah 100 hari menandakan penandaan kuburan yang lebih permanen, mungkin mencerminkan finalitas periode berkabung dan pembentukan “rumah spiritual” almarhum. Tindakan fisik ini memperkuat komitmen komunitas untuk menghormati orang mati dan menjaga ingatan mereka, memadukan penandaan kuburan praktis dengan ritual simbolis. Praktik ini berkontribusi pada lanskap pemakaman tradisional, menjadikannya tidak hanya tempat pemakaman tetapi juga situs koneksi budaya dan keluarga yang berkelanjutan.

 

Peran Kesenian Bernafaskan Islam dalam Peringatan

Pada peringatan 100 hari, selain doa dan hidangan, seringkali ditampilkan kesenian bernafaskan Islam seperti Hikayat Hasan dan Husin, Nazam Kanak-kanak, dan Berdah. Kesenian Bordah, yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai qasidah, berisi syair tentang penyembahan, pujian, dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Bordah umumnya dimainkan oleh 6 hingga 15 orang dengan gendang, kadang dikombinasikan dengan biola.

Fungsi Bordah dalam upacara pernikahan (dan dapat dianalogikan untuk kematian) meliputi hiburan, iringan tradisi, sarana komunikasi, ungkapan rasa syukur, dan sarana ekspresi diri. Syair-syair Bordah mengandung pesan moral dan nilai-nilai religius. Integrasi seni bernafaskan Islam seperti Bordah ke dalam peringatan kematian adalah mekanisme yang canggih untuk pelestarian budaya dan pendidikan agama. Pertunjukan ini bukan sekadar hiburan; mereka berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral, narasi sejarah (seperti Hikayat Hasan dan Husin), dan pengabdian agama. Pergeseran Bordah dari hanya untuk pernikahan ke ritual lain menunjukkan adaptabilitasnya sebagai ekspresi komunal iman dan solidaritas, memperkuat identitas budaya melalui pengalaman artistik dan spiritual bersama. Penurunan penggunaannya di beberapa daerah juga mengisyaratkan tantangan kehidupan modern yang memengaruhi seni tradisional. Ekspresi artistik ini sangat penting untuk menjaga suasana emosional dan spiritual peringatan, menumbuhkan rasa identitas kolektif, dan mendidik generasi muda tentang warisan mereka.

 

Pengaruh dan Dinamika Adat Kematian di Labuhanbatu

Akulturasi Budaya dan Ajaran Islam

Adat istiadat masyarakat Melayu yang ada saat ini adalah adat yang hidup dan berkembang sesudah Islam serta telah berintegrasi dengan ajaran Islam. Ini menunjukkan proses akulturasi yang mendalam dan berkelanjutan. Islam memiliki peran sentral dalam tatanan budaya Nusantara, dengan akulturasi yang terjadi melalui kaidah “al-‘Adah muhakkamah” (adat kebiasaan bisa dijadikan sumber hukum), menghasilkan perpaduan nilai lokal dengan nilai Islam.

Penekanan berulang pada integrasi adat Melayu dengan ajaran Islam  bukanlah sekadar pernyataan fakta, melainkan ciri khas yang mendefinisikan identitas Melayu. Sinkretisme yang mendalam ini berarti bahwa “Melayu” seringkali identik dengan “Muslim,” dan praktik budaya mereka secara inheren dibentuk oleh lensa agama ini. Konsep “al-‘Adah muhakkamah”  memberikan justifikasi teologis untuk mempertahankan adat pra-Islam yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, memfasilitasi transisi dan penerimaan Islam yang lebih lancar. Memahami adat kematian Melayu di Labuhanbatu memerlukan pengakuan dimensi religius yang inheren ini. Setiap praktik, meskipun terlihat sekuler, kemungkinan besar dilihat melalui kerangka Islam, atau setidaknya dievaluasi terhadapnya.

 

Praktik yang Disesuaikan atau Ditinggalkan di Labuhanbatu

Meskipun banyak adat Melayu telah berintegrasi dengan Islam, terdapat beberapa praktik di Labuhanbatu yang secara eksplisit dianggap “melanggar ajaran Islam” oleh ulama setempat.  Contoh praktik yang diidentifikasi di Labuhanbatu yang mungkin tidak selaras dengan ajaran Islam meliputi:

  • Memotong ayam hitam setelah kematian keluarga.
  • Mendatangi kuburan untuk menunaikan hajat dan meminta ke kuburan.
  • Memelihara jin dengan alasan pusaka/puak.

 

Ulama di Labuhanbatu memiliki peran penting dalam memberikan solusi dan arahan untuk mengatasi praktik-praktik yang dianggap melanggar ajaran Islam ini, melalui sosialisasi, edukasi, dan contoh pribadi. Penyebutan eksplisit praktik-praktik di Labuhanbatu seperti “memotong ayam hitam setelah kematian,” “meminta ke kuburan,” dan “memelihara jin,” yang dianggap “melanggar ajaran Islam” oleh ulama setempat, mengungkapkan dinamika internal yang sedang berlangsung dalam budaya Melayu. Ini bukanlah akulturasi yang statis, melainkan proses negosiasi berkelanjutan antara kepercayaan tradisional (kemungkinan sisa-sisa animisme) dan interpretasi Islam yang lebih ketat. Peran ulama dalam menangani praktik-praktik ini menyoroti otoritas agama sebagai pendorong utama evolusi budaya, mendorong pemurnian atau penafsiran ulang adat agar lebih selaras dengan Islam ortodoks. Ini menunjukkan adanya ketegangan antara tradisi yang diwarisi dan pemahaman agama yang berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua praktik tradisional diterima atau dipertahankan secara seragam. Ada proses evaluasi aktif dan, dalam beberapa kasus, penolakan atau pengabaian adat yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip inti Islam. Ini adalah aspek penting dari identitas budaya Melayu kontemporer.

 

Dampak Modernisasi dan Perubahan Sosial

Secara umum, perkembangan zaman menyebabkan perubahan dalam siklus kehidupan manusia, termasuk tradisi dan budaya. Generasi muda mungkin kurang peka terhadap lingkungan budaya dan adat istiadat, cenderung terbuai dengan kemajuan zaman, teknologi, dan gaya hidup dari luar. Faktor ekonomi dan efisiensi waktu juga dapat mempengaruhi pelaksanaan upacara adat, menyebabkan beberapa tradisi ditinggalkan atau disederhanakan.

Observasi umum tentang modernisasi yang memengaruhi tradisi menunjukkan bahwa adat kematian Melayu Labuhanbatu tidak kebal terhadap kekuatan ini. Penurunan keterlibatan dari generasi muda dan prioritas efisiensi serta pertimbangan ekonomi dapat menyebabkan penyederhanaan, modifikasi, atau bahkan pengabaian ritual tertentu. Ini menyoroti tren yang lebih luas dari erosi budaya atau, sebagai alternatif, adaptasi pragmatis, di mana esensi tradisi mungkin dipertahankan sementara bentuk-bentuknya yang rumit disederhanakan. Tren ini menimbulkan tantangan bagi pelestarian penuh adat kematian tradisional. Upaya di masa depan mungkin perlu berfokus pada pendidikan generasi muda dan menemukan cara-cara inovatif untuk mempertahankan semangat tradisi dalam batasan modern.

 

Tabel 3: Praktik Adat Kematian di Labuhanbatu: Selaras vs. Tidak Selaras dengan Ajaran Islam (Pandangan Ulama)

Jenis Praktik Kesesuaian dengan Islam (Menurut Ulama Labuhanbatu) Implikasi / Pandangan Ulama
Memotong ayam hitam setelah kematian keluarga Tidak Selaras Dianggap melanggar ajaran Islam, kemungkinan sisa kepercayaan pra-Islam.
Mendatangi kuburan untuk menunaikan hajat dan meminta ke kuburan Tidak Selaras Dianggap melanggar ajaran Islam, karena permintaan hanya kepada Allah SWT.
Memelihara jin dengan alasan pusaka/puak Tidak Selaras Dianggap melanggar ajaran Islam, karena dapat mengarah pada syirik.
Mandi mayat sesuai syariat Selaras Dianggap sesuai dengan ajaran Islam dan kewajiban fardhu kifayah.
Mengkafani jenazah dengan jumlah ganjil Selaras Sesuai sunnah Islam yang menganjurkan angka ganjil.
Salat jenazah berjamaah 40 orang laki-laki Selaras (dengan catatan) Sesuai ajaran Islam, namun praktik imbalan uang perlu disikapi bijak agar tidak menjadi wajib.
Pembacaan Yasin, Tahlil, Zikir, Shalawat Selaras Bentuk ibadah dan doa yang sangat dianjurkan dalam Islam.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Ringkasan Temuan Utama

Adat kematian masyarakat Melayu Labuhanbatu, serupa dengan adat Melayu pada umumnya, sangat terintegrasi dengan ajaran Islam, tercermin dalam setiap tahapan dari adab sakaratul maut hingga peringatan pasca-kematian. Ritual-ritual inti seperti memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan jenazah dilakukan sesuai syariat Islam, dengan adaptasi material yang pragmatis seiring waktu.

Tradisi pasca-kematian seperti kenduri arwah dan peringatan hari-hari tertentu (3, 7, 40, 100 hari) merupakan bentuk akulturasi antara kepercayaan pra-Islam dan nilai-nilai Islam, berfungsi sebagai sarana doa, silaturahmi, dan pelestarian budaya. Terdapat praktik spesifik di Labuhanbatu, seperti memotong ayam hitam atau meminta ke kuburan, yang dianggap tidak selaras dengan ajaran Islam oleh ulama setempat, menunjukkan dinamika internal dan peran otoritas agama dalam membentuk adat. Modernisasi dan perubahan sosial juga mempengaruhi kelangsungan dan bentuk pelaksanaan adat kematian, mendorong adaptasi atau penyederhanaan praktik.

 

Rekomendasi untuk Pelestarian dan Pemahaman Adat

Untuk memastikan kelangsungan dan relevansi adat kematian Melayu Labuhanbatu di tengah perubahan zaman, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:

  • Edukasi dan Sosialisasi Berkelanjutan: Mengintensifkan program edukasi dan sosialisasi mengenai makna filosofis dan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam adat kematian, khususnya bagi generasi muda. Hal ini penting untuk memastikan pemahaman yang benar dan mencegah praktik yang menyimpang dari syariat.  Program ini dapat mencakup lokakarya interaktif, seminar, atau penyebaran materi edukasi yang mudah diakses.
  • Dokumentasi dan Penelitian Etnografi: Melakukan penelitian etnografi yang lebih mendalam dan spesifik di wilayah Labuhanbatu untuk mendokumentasikan variasi lokal dari adat kematian, termasuk praktik yang mungkin terancam punah atau telah beradaptasi. Dokumentasi ini akan menjadi aset penting bagi warisan budaya dan dapat menjadi dasar untuk pengembangan kurikulum lokal atau materi pendidikan.
  • Kolaborasi Tokoh Adat dan Ulama: Mendorong dialog dan kolaborasi yang erat antara tokoh adat dan ulama untuk terus menyelaraskan praktik tradisional dengan syariat Islam, serta memberikan panduan yang jelas dan konsisten kepada masyarakat. Ini akan membantu meminimalisir konflik interpretasi dan memperkuat legitimasi budaya.
  • Inovasi Kultural dan Digitalisasi: Mengembangkan cara-cara inovatif untuk melestarikan kesenian bernafaskan Islam (seperti Bordah) yang terkait dengan adat kematian, agar tetap relevan dan menarik di tengah modernisasi. Pemanfaatan media digital untuk dokumentasi dan diseminasi juga dapat dipertimbangkan, seperti pembuatan video dokumenter atau platform daring yang menjelaskan tradisi ini.
  • Penguatan Lembaga Komunitas: Memperkuat peran paguyuban rukun kematian atau organisasi komunitas serupa dalam memfasilitasi pelaksanaan adat kematian yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama, serta memberikan dukungan praktis dan emosional kepada keluarga yang berduka. Lembaga ini dapat menjadi pusat informasi dan koordinasi bagi masyarakat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.