Yang Terjajah yang Terhutang : Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949: Penyerahan Kedaulatan dan Sejarah yang Kompleks
Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah sebuah pertemuan bersejarah yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, mulai dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. KMB merupakan puncak dari serangkaian perundingan antara Indonesia dan Belanda, yang diwarnai oleh agresi militer Belanda (Agresi Militer I dan II) serta tekanan internasional, khususnya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Latar Belakang dan Tujuan
Setelah Agresi Militer II (Desember 1948) yang menawan para pemimpin Republik Indonesia termasuk Soekarno dan Hatta, tekanan internasional terhadap Belanda semakin meningkat. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menuntut penghentian permusuhan dan pembebasan pemimpin RI. Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI) memainkan peran mediasi penting.
Sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik, Perjanjian Roem-Roijen (Mei 1949) disepakati sebagai jembatan menuju KMB. Perjanjian ini menetapkan pemulihan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta dan kesediaan kedua belah pihak untuk berpartisipasi dalam konferensi yang bertujuan untuk “penyerahan kedaulatan yang nyata dan penuh kepada Republik Indonesia Serikat tanpa syarat”.
Tujuan utama KMB adalah:
- Mengakhiri konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda.
- Mencapai pengakuan kedaulatan penuh dan tanpa syarat atas Indonesia.
- Membentuk pemerintahan transisi yang disepakati.
Delegasi yang Hadir
Para pihak yang terlibat dalam KMB adalah:
- Delegasi Indonesia (Republik Indonesia): Dipimpin oleh Mohammad Hatta. Anggota penting lainnya termasuk Mr. Mohammad Roem, Dr. Soepomo, dan Mr. Ali Sastroamidjojo.
- Delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg – Pertemuan Permusyawaratan Federal): Merupakan perwakilan dari negara-negara bagian federal bentukan Belanda di Indonesia. Meskipun bentukan Belanda, BFO menunjukkan otonomi terbatas dan bahkan ada elemen-elemen yang bersimpati pada Republik. Dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak).
- Delegasi Belanda: Dipimpin oleh Mr. J.H. van Maarseveen.
- UNCI (United Nations Commission for Indonesia): Sebagai mediator dan pengawas, dipimpin oleh Chritchley (Australia).
Proses Perundingan dan Poin-Poin Utama
Perundingan KMB berlangsung selama lebih dari dua bulan dan sangat alot, terutama karena perbedaan kepentingan yang mendalam antara Indonesia dan Belanda. Beberapa isu kunci yang menjadi pokok perdebatan:
- Pengakuan Kedaulatan: Ini adalah poin krusial. Belanda akhirnya setuju untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) secara penuh dan tanpa syarat. Tanggal penyerahan kedaulatan ditetapkan pada 27 Desember 1949. Ini adalah kemenangan diplomatik terbesar bagi Indonesia.
- Bentuk Negara: Disepakati bahwa Indonesia akan berbentuk negara federal, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS), bukan Republik Indonesia yang unitaris. Republik Indonesia (yang berpusat di Yogyakarta) akan menjadi salah satu negara bagian dalam RIS. Pembentukan RIS ini adalah kompromi yang harus diterima Indonesia, yang pada dasarnya ingin negara kesatuan. Belanda berharap bentuk federal ini akan memudahkan mereka mempertahankan pengaruh.
- Masalah Hutang Hindia Belanda: Ini adalah salah satu isu paling kontroversial dan berat bagi Indonesia. Belanda menuntut agar RIS menanggung seluruh hutang pemerintah kolonial Hindia Belanda yang terkumpul sejak tahun 1942. Awalnya Belanda meminta 6,5 miliar gulden, tetapi setelah tawar-menawar sengit, disepakati bahwa RIS akan menanggung hutang sebesar 4,3 miliar gulden. Hutang ini mencakup biaya yang dikeluarkan Belanda untuk operasi militer (agresi) terhadap Indonesia sendiri, yang tentu saja sangat memberatkan dan tidak adil di mata Indonesia. Poin ini sering disebut sebagai “harga” kemerdekaan.
- Uni Indonesia-Belanda: Disepakati pembentukan Uni Indonesia-Belanda yang bersifat sukarela, dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni. Uni ini dimaksudkan sebagai ikatan simbolis antara kedua negara, meskipun pada praktiknya tidak memiliki kekuatan signifikan dan akhirnya dibubarkan.
- Masalah Irian Barat (Papua Barat): Ini menjadi ganjalan terbesar yang tidak terselesaikan dalam KMB. Belanda bersikeras mempertahankan Irian Barat, sementara Indonesia menuntut penyerahannya sebagai bagian integral dari wilayahnya. Akhirnya disepakati bahwa status Irian Barat akan dibahas dan diselesaikan dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan. Kegagalan menyelesaikan masalah ini menjadi pemicu konflik diplomatik berkepanjangan di kemudian hari, bahkan berujung pada konfrontasi.
- Militer dan Keamanan: Disepakati penarikan pasukan Belanda dari Indonesia. Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) akan dibentuk, dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai intinya.
Hasil dan Dampak KMB
KMB ditutup pada 2 November 1949 dengan penandatanganan hasil kesepakatan. Penyerahan kedaulatan secara resmi dilaksanakan pada 27 Desember 1949.
Dampak Positif bagi Indonesia:
- Pengakuan Kedaulatan Penuh: Ini adalah pencapaian terbesar. Indonesia diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat oleh Belanda dan komunitas internasional.
- Akhirnya Konflik Bersenjata: KMB mengakhiri permusuhan skala besar antara Indonesia dan Belanda, meskipun ketegangan masih ada.
- Membangun Fondasi Negara: Indonesia dapat mulai fokus pada pembangunan pasca-kemerdekaan.
Dampak Negatif bagi Indonesia:
- Beban Hutang yang Sangat Besar: Hutang 4,3 miliar gulden menjadi beban ekonomi yang mencekik bagi negara yang baru merdeka dan harus membangun dari awal. Sebagian besar hutang ini dibatalkan secara sepihak oleh Indonesia pada tahun 1956.
- Bentuk Negara Federal (RIS): Pembentukan RIS yang terdiri dari negara-negara bagian bentukan Belanda memicu ketegangan dan pemberontakan di kemudian hari (misalnya APRA, Andi Azis, RMS), karena rakyat Indonesia mayoritas menginginkan negara kesatuan. RIS hanya bertahan kurang dari setahun sebelum akhirnya kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950.
- Masalah Irian Barat yang Menggantung: Kegagalan menyelesaikan masalah Irian Barat menjadi duri dalam daging hubungan Indonesia-Belanda selama lebih dari satu dekade, memuncak pada Trikora (Tri Komando Rakyat) dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada awal 1960-an.
Secara keseluruhan, KMB adalah peristiwa penting yang mengakhiri periode revolusi fisik Indonesia dan membawa pengakuan kedaulatan. Namun, harga yang harus dibayar Indonesia cukup mahal, terutama dalam bentuk beban hutang dan masalah Irian Barat yang tidak tuntas. KMB adalah bukti kompleksitas dekolonisasi, di mana kemerdekaan seringkali harus diraih melalui kompromi yang berat dan tidak selalu adil.
Berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Indonesia diwajibkan menanggung utang pemerintah Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden. Proses pelunasan utang ini berlangsung dalam dua fase utama dengan dinamika politik yang kompleks:
- Fase Pembayaran Awal (1950–1956)
- Pembayaran Parsial: Pemerintah Indonesia di bawah Sukarno membayar sekitar 4 miliar gulden dari total utang selama periode 1950–1956. Sisa utang yang belum dilunasi pada akhir 1956 tercatat Rp 1,982 miliar (setara 0,3 miliar gulden).
- Penghentian Pembayaran: Pada 1956, Indonesia secara sepihak membatalkan kewajiban utang sisa karena Belanda gagal menyerahkan Papua Barat sesuai kesepakatan KMB (yang mewajibkan penyelesaian dalam satu tahun pasca-KMB). Pembatalan ini disertai nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia .
- Fase Penyelesaian Akhir (1966–2003)
- Kesepakatan Baru di Era Soeharto: Setelah pergantian kekuasaan ke Orde Baru, Indonesia menjalani negosiasi dengan Belanda pada 1966. Sebagai syarat mendapatkan bantuan ekonomi dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Indonesia setuju melunasi sisa utang KMB ditambah ganti rugi nasionalisasi perusahaan Belanda dengan total $2,4 miliar USD
- Mekanisme Pembayaran: Utang dilunasi melalui dua entitas keuangan:
- Claimindo (Perusahaan Klaim Indonesia): Menangani pembayaran ganti rugi nasionalisasi.
- Belindo (Perusahaan Klaim Belanda): Mengelola sisa utang KMB 5.
- Durasi dan Akhir Pembayaran: Pembayaran cicilan dilakukan selama 35 tahun (1968–2003). Pelunasan terakhir diselesaikan pada tahun 2003, sekaligus menandai pembubaran Claimindo dan Belindo dari bursa efek Amsterdam .
Ironi dan Kontroversi
- Utang Kolonial sebagai “Harga” Kedaulatan: Utang ini mencakup biaya agresi militer Belanda (1945–1949) untuk menekan Republik Indonesia, sehingga dinilai sebagai bentuk ketidakadilan sejarah .
- Reaksi Publik: Pada 2003, pelunasan akhir menimbulkan protes di Indonesia. Masyarakat mempertanyakan mengapa Indonesia harus membayar utang penjajah, sementara Belanda tidak memberikan kompensasi atas pendudukan 350 tahun .
Lini Masa Kritis
Periode | Peristiwa | Nilai | Status |
1949 | Kesepakatan utang KMB | 4,3 miliar gulden | Dimulai |
1950–1956 | Pembayaran oleh Sukarno | ≈4 miliar gulden | 93% lunas |
1956 | Pembatalan utang (sengketa Papua) | Sisa 0,3 miliar gulden | Dihentikan |
1966 | Kesepakatan baru + ganti rugi nasionalisasi | $2,4 miliar USD | Dimulai |
1968–2003 | Cicilan Orde Baru | $2,4 miliar USD | Dilunasi |
2003 | Pelunasan akhir | – | Selesai |
Kesimpulan
Hutang KMB secara resmi selesai pada tahun 2003, setelah 54 tahun perjalanan diplomatik dan ekonomi yang sarat kontroversi. Proses ini mencerminkan kompleksitas dekolonisasi, di mana kemerdekaan politik Indonesia “dibayar” melalui beban ekonomi jangka panjang .