Jejak Hegemoni dan Pengaruh Kesultanan Aceh di Kesultanan Melayu Pantai Timur Sumatera

Oleh : Ade Parlaungan Nasution

 

Abstrak

Esai ini menganalisis jejak-jejak signifikan Kesultanan Aceh Darussalam terhadap kesultanan-kesultanan Melayu di Pantai Timur Sumatera, meliputi Deli, Serdang, Langkat, Siak, dan Asahan. Sebagai kekuatan regional yang dominan pada abad ke-16 dan ke-17, Aceh tidak hanya memperluas wilayah kekuasaannya melalui penaklukan, tetapi juga menyebarkan pengaruh politik, ekonomi, agama, dan budaya yang mendalam. Laporan ini menguraikan bagaimana dominasi politik Aceh membentuk struktur awal beberapa kesultanan, mengendalikan jalur dan komoditas perdagangan maritim, serta menjadi pusat penyebaran Islam dan keilmuan yang membentuk identitas keagamaan dan adat istiadat di wilayah tersebut. Meskipun pengaruh Aceh mengalami dinamika seiring waktu, banyak aspek warisan Aceh masih terinternalisasi dalam struktur sosial dan budaya Melayu di Pantai Timur Sumatera.

 

1. Pendahuluan

A. Latar Belakang Historis Kesultanan Aceh sebagai Kekuatan Regional

Kesultanan Aceh Darussalam, yang didirikan oleh Ali Mughayat Syah sekitar tahun 1520, dengan cepat muncul sebagai kekuatan maritim dan politik terkemuka di Asia Tenggara pada abad ke-16 dan ke-17. Ekspansinya dimulai dengan kampanye militer untuk memperluas kekuasaannya ke Sumatera bagian utara, termasuk penaklukan wilayah-wilayah strategis seperti Deli, Pedir, Pasai, dan serangan terhadap Aru. Pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), kekuasaan Aceh mencapai puncaknya, meluas hampir di seluruh Sumatera dan bahkan mampu memaksa kesultanan Johor di Semenanjung Melayu untuk mengakui kedaulatannya, meskipun bersifat sementara.

Selain kekuatan militer dan politik, Aceh juga dikenal sebagai “Serambi Mekkah”, sebuah julukan yang mencerminkan perannya sebagai pusat penting bagi penyebaran Islam di Nusantara. Aceh mengambil alih peran misionaris Islam dari Malaka setelah kejatuhannya ke tangan Portugis, aktif menerjemahkan Al-Qur’an dan teks-teks Islam ke dalam bahasa Melayu.  Ini menegaskan posisi Aceh tidak hanya sebagai kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga sebagai otoritas keagamaan dan intelektual yang tak terbantahkan di kawasan tersebut. Kejatuhan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 Masehi memberikan peluang emas bagi Aceh untuk menguasai jalur perdagangan internasional yang beralih ke Laut Merah, menjadikannya maestro perdagangan rempah-rempah yang disegani di Nusantara dan Asia Tenggara. Transformasi geopolitik ini, yang melibatkan penguasaan jalur perdagangan dan peran sebagai pusat keilmuan Islam, secara langsung memungkinkan hegemoni Aceh selanjutnya atas kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur. Aceh mampu mengintegrasikan kekuatan militer, ekonomi, dan spiritual untuk mendominasi wilayah tersebut.

2, Gambaran Umum Kesultanan Melayu di Pantai Timur Sumatera

Kesultanan-kesultanan Melayu di Pantai Timur Sumatera, seperti Deli (berdiri 1632), Langkat (1568), Asahan (1630), Serdang (1723), dan Siak, memiliki sejarah panjang interaksi dengan Kesultanan Aceh. Wilayah ini secara geografis sangat strategis karena kedekatannya dengan Selat Malaka, menjadikannya jalur lalu lintas perdagangan internasional yang penting. Banyak sungai di daerah ini, seperti Sungai Deli, Sungai Langkat, dan Sungai Belawan, juga berfungsi sebagai prasarana vital untuk transportasi barang dagangan dari pedalaman ke pelabuhan.

Kedekatan geografis dan nilai strategis wilayah ini menjadikannya target alami bagi ekspansi dan pengaruh Aceh. Lokasi yang menguntungkan untuk perdagangan, yang merupakan salah satu pilar kekuatan Aceh, menjadi faktor penentu. Sistem sungai yang ada juga memfasilitasi perdagangan internal, menjadikan wilayah ini aset ekonomi berharga bagi kekuatan dominan mana pun. Dengan demikian, geografi bukan hanya latar belakang, tetapi faktor utama yang menjelaskan mengapa wilayah ini menjadi arena pengaruh Aceh.

3. Tujuan dan Ruang Lingkup Esai

Tujuan esai ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara mendalam berbagai “jejak” atau bentuk pengaruh Kesultanan Aceh terhadap Kesultanan Melayu di Pantai Timur Sumatera, mencakup aspek politik, ekonomi, agama, dan budaya, serta mendiskusikan signifikansinya dalam pembentukan identitas Melayu di wilayah tersebut.

 

II. Jejak Politik dan Administratif

A. Ekspansi dan Dominasi Aceh di Wilayah Pantai Timur Sumatera

Dominasi Aceh di Pantai Timur Sumatera dimulai sejak awal pendiriannya. Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1520 telah melancarkan kampanye untuk memperluas kekuasaannya ke Sumatera Utara, termasuk menaklukkan Deli dan menyerang Aru. Di bawah Sultan Iskandar Muda, ekspansi ini semakin masif, mencakup sebagian besar wilayah Sumatera. Pelabuhan Deli ditaklukkan dalam waktu enam minggu, dan Kerajaan Aru menyerah pada awal 1613. Kerajaan Aru (yang kemudian menjadi cikal bakal Langkat) dan Gasip (Siak) juga berada di bawah kendali Aceh pada pertengahan abad ke-16. Langkat sendiri berada di bawah taklukan Aceh hingga awal abad ke-19. Kesultanan Asahan, yang didirikan sekitar tahun 1630 oleh Raja Abdul Jalil, putra Sultan Iskandar Muda dari Aceh, tetap berhutang budi kepada Aceh hingga awal abad ke-19, menunjukkan hubungan vasal yang kuat. Penaklukan ini bukan acak; Deli dikenal subur dan memiliki minyak tanah, sementara wilayah Langkat memiliki cadangan minyak dan perkebunan. Ini menunjukkan bahwa ekspansi Aceh adalah langkah strategis untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan kunci dan daerah-daerah kaya sumber daya. Militer digunakan untuk mengamankan kepentingan ekonomi dan mengkonsolidasikan hegemoni regional. Dengan demikian, ekspansi Aceh merupakan strategi geopolitik yang diperhitungkan untuk mengamankan aset ekonomi vital, bukan sekadar perebutan wilayah sederhana.

B. Struktur Pemerintahan dan Pengangkatan Pejabat

Pengaruh Aceh terlihat jelas dalam pembentukan dan administrasi Kesultanan Deli. Tuanku Panglima Gocah Pahlawan, seorang komandan Kesultanan Aceh, menaklukkan wilayah Aru (yang kemudian menjadi Deli) pada masa Sultan Iskandar Muda dan mendirikan Kesultanan Deli pada tahun 1632. Gocah Pahlawan diangkat sebagai wazir (menteri) di Deli oleh Kerajaan Aceh dengan kekuasaan penuh. Tujuan penempatan Gocah Pahlawan ini adalah untuk menghancurkan sisa perlawanan Haru yang dibantu Portugis dan menyebarkan Islam ke pedalaman. Hikayat Deli mencatat bahwa pengaruh Aceh sangat kuat, ditandai dengan pemberian gelar “Panglima” kepada para pemimpin Kesultanan Deli. Pemberian gelar “Panglima” oleh Aceh bukan sekadar penunjukan administratif, melainkan tindakan simbolis untuk menegaskan kedaulatan dan mengintegrasikan elit lokal ke dalam hierarki Aceh.

Hubungan politik antara Aceh dan kesultanan-kesultanan Melayu di Pantai Timur Sumatera seringkali kompleks, seperti yang tercermin dalam ungkapan “Beraja ke Aceh, Bertuan ke Siak” yang menggambarkan loyalitas ganda Kesultanan Deli dan Serdang kepada Aceh dan Siak untuk mengurangi pertikaian.15 Loyalitas ganda yang ditunjukkan oleh Deli dan Serdang bukan tanda kelemahan, melainkan strategi bertahan hidup yang cerdas. Kesultanan-kesultanan kecil ini menavigasi antara dua kekuatan besar, memanfaatkan pengaruh keduanya untuk mempertahankan otonomi sambil tetap mengakui kekuasaan yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa jejak politik Aceh tidak hanya berupa dominasi, tetapi juga memicu adaptasi dan diplomasi yang kompleks dari kesultanan lokal.

C. Dinamika Kekuasaan dan Pelemahan Pengaruh Aceh

Meskipun dominan, pengaruh Aceh di Kesultanan Pantai Timur Sumatera tidak statis. Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda dan kemudian Sultan Iskandar Thani, Aceh mengalami kemunduran karena suksesi oleh serangkaian sultanah dan keinginan kerajaan taklukan untuk merdeka. Kesultanan Deli, di bawah Tuanku Panglima Perunggit, menyatakan kemerdekaan dari Aceh pada tahun 1669, meskipun Aceh mengklaim hanya memberikan otonomi penuh. Kesultanan Siak, yang sebelumnya diambil alih oleh Aceh pada pertengahan abad ke-16, lepas dari pengaruh Aceh pada akhir abad ke-16 dan menjadi kekuatan dominan di pesisir timur Sumatera pada abad ke-18. Langkat juga mulai melepaskan diri dari Aceh, menandatangani perjanjian dengan Belanda pada tahun 1869 dan diakui sebagai Sultan pada tahun 1877.  Asahan menyatakan kemerdekaannya dari Aceh pada awal abad ke-19.

Pelemahan kekuasaan pusat Aceh menciptakan peluang bagi kesultanan lokal untuk menegaskan otonomi mereka. Ini menggambarkan pola historis umum di mana periode kontrol pusat yang kuat diikuti oleh fragmentasi ketika kekuatan hegemon melemah. Munculnya Siak sebagai kekuatan dominan lebih lanjut menunjukkan pergeseran dinamika kekuasaan regional, di mana pengaruh tidak bersifat satu arah tetapi merupakan negosiasi berkelanjutan. Dengan demikian, jejak politik Aceh adalah bagian dari siklus yang lebih besar, di mana dominasinya membuka jalan bagi perkembangan otonom kesultanan Melayu di Pantai Timur Sumatera.

Tabel 1: Linimasa Pengaruh Politik Aceh di Kesultanan Melayu Pantai Timur Sumatera (Abad ke-16 hingga ke-19)

Kesultanan Periode Pengaruh Aceh Peristiwa Kunci
Deli 1632-1669 Didirikan oleh komandan Aceh, Gocah Pahlawan; menjadi protektorat Aceh; menyatakan kemerdekaan pada 1669.
Serdang Awal abad ke-19 (loyalitas ganda) Beraja ke Aceh, Bertuan ke Siak.
Langkat 1612 – Awal abad ke-19 Berada di bawah taklukan Aceh; Aceh mendekati Langkat pada 1850; menandatangani perjanjian dengan Belanda pada 1869.
Siak Pertengahan abad ke-16 – Akhir abad ke-16 Diambil alih oleh Aceh; lepas dari Aceh pada akhir abad ke-16; menjadi kekuatan dominan pada abad ke-18.
Asahan 1630 – Awal abad ke-19 Didirikan oleh putra Sultan Iskandar Muda; berhutang budi kepada Aceh hingga awal abad ke-19; menyatakan kemerdekaan pada awal abad ke-19.

 

III. Jejak Ekonomi dan Perdagangan

A. Aceh sebagai Pusat Perdagangan Maritim

Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511 Masehi, Aceh dengan cepat memanfaatkan pergeseran jalur perdagangan ke Laut Merah, menjadikannya pusat perdagangan rempah-rempah internasional yang vital. Aceh menerapkan kebijakan monopoli perdagangan lada di Pantai Barat Sumatera untuk melawan pengaruh Portugis, memperketat izin bagi pedagang asing yang ingin berdagang di pelabuhan di bawah kendalinya. Banda Aceh kemudian berkembang menjadi kota terbesar dan termakmur di Sumatera, berfungsi sebagai titik transit bagi ratusan kapal dari Eropa dan berbagai wilayah Nusantara setiap tahunnya. Kebijakan monopoli ini bukan hanya tentang keuntungan finansial, tetapi juga alat strategis untuk menekan pesaing Eropa (Portugis) dan menegaskan kontrol atas wilayah penghasil komoditas. Dengan mengendalikan aliran komoditas berharga dan mengatur pedagang asing, Aceh memperkuat dominasi regionalnya, secara langsung memengaruhi lanskap ekonomi negara-negara anak sungai dan wilayah sekitarnya. Dengan demikian, jejak ekonomi Aceh adalah cerminan dari strategi geopolitik yang lebih besar, di mana perdagangan digunakan sebagai instrumen kekuatan dan kontrol.

B. Komoditas Perdagangan antara Aceh dan Kesultanan Melayu

Aceh memiliki beragam komoditas perdagangan yang diekspor, termasuk lada, sutra, kapur barus, timah, dan emas. Minyak tanah dari Deli secara eksplisit disebutkan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan oleh Aceh. Ini menunjukkan bahwa wilayah Pantai Timur Sumatera, khususnya Deli, merupakan sumber daya penting bagi ekonomi Aceh. Pidie berfungsi sebagai lumbung beras bagi Kesultanan Aceh. Aceh juga menguasai tambang timah di Perak dan Kedah , menunjukkan jangkauan ekonominya melampaui Sumatera dan mengintegrasikan sumber daya dari Semenanjung Melayu. Kesultanan Langkat memiliki cadangan minyak di Pangkalan Brandan dan perkebunan, yang berkontribusi pada kemakmurannya. Jalur perdagangan melalui sungai-sungai di Deli, Serdang, dan Langkat sangat penting untuk membawa barang dagangan dari pedalaman ke pelabuhan, memfasilitasi aliran komoditas ke pusat perdagangan Aceh.

Komoditas seperti minyak tanah dari Deli dan beras dari Pidie menjadi bagian dari perdagangan Aceh, menunjukkan bahwa Aceh tidak hanya mengekstraksi sumber daya, tetapi juga mengorganisir rantai pasokan regional, mengintegrasikan kemampuan produksi wilayah-wilayah yang dikuasainya. Kesultanan Melayu di Pantai Timur Sumatera menjadi bagian integral dari sistem ekonomi maritim Aceh yang lebih besar, dengan peran sebagai pemasok komoditas penting. Ini menciptakan interdependensi ekonomi, di mana kemakmuran lokal terikat pada jaringan perdagangan yang dikendalikan Aceh. Jejak ekonomi Aceh adalah tentang penciptaan ekosistem perdagangan regional yang terintegrasi, yang memengaruhi produksi dan distribusi di kesultanan Melayu.

C. Dampak Ekonomi terhadap Kesultanan Melayu

Tanah Deli yang subur memberikan keuntungan ekonomi dari hasil pertanian, yang menarik perhatian dan menjadi alasan Aceh ingin menguasainya. Kemakmuran Langkat juga didorong oleh pembukaan perkebunan karet dan penemuan cadangan minyak, yang menjadikannya wilayah yang kaya. Kepentingan ekonomi Belanda di Deli (terutama untuk parfum, cendana, kapur barus, beras, tekstil) mendorong mereka untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa Deli. Kemakmuran ini, meskipun kemudian dimanfaatkan oleh Belanda, awalnya berkembang di bawah pengaruh dan dalam kerangka sistem perdagangan yang dibangun oleh Aceh. Kebijakan ekonomi Aceh dalam mengintegrasikan dan mengembangkan sumber daya di wilayah taklukannya secara tidak langsung meletakkan dasar bagi eksploitasi ekonomi kolonial di masa depan. Ini adalah efek riak di mana struktur ekonomi historis memiliki konsekuensi jangka panjang yang tidak disengaja. Dengan demikian, jejak ekonomi Aceh tidak hanya membentuk ekonomi lokal pada masanya, tetapi juga menciptakan kondisi yang menarik bagi kekuatan kolonial selanjutnya.

Tabel 2: Komoditas Perdagangan Utama antara Aceh dan Pantai Timur Sumatera

Komoditas Asal Wilayah Peran Aceh
Lada Aceh, Aru, Jambi, Malaya, Pasaman, Tiku Eksportir utama, pengendali jalur perdagangan
Minyak Tanah Deli Komoditas dagang Aceh
Emas Pantai Barat Sumatera, Padang Komoditas dagang Aceh
Timah Perak, Kedah Dikendalikan Aceh melalui penaklukan
Beras Pidie Lumbung beras bagi Kesultanan Aceh
Kapur Barus Singkil, Barus Komoditas dagang Aceh
Sutra Banda Aceh, Pidie Komoditas dagang Aceh
Karet Langkat Sumber kemakmuran lokal
Minyak Bumi Langkat (Pangkalan Brandan) Sumber kemakmuran lokal

 

IV. Jejak Agama dan Intelektual

A.Peran Aceh sebagai “Serambi Mekkah” dan Pusat Penyebaran Islam

Aceh adalah titik awal penyebaran Islam di Nusantara, memainkan peran kunci dalam islamisasi Asia Tenggara sejak sekitar tahun 1250 Masehi. Pada abad ke-17, Kesultanan Aceh menjadi pusat utama pembelajaran Islam di wilayah barat Nusantara, dari mana Islam menyebar ke seluruh kepulauan. Aceh secara aktif menyebarkan ajaran Islam ke wilayah pedalaman Sumatera Timur, seperti yang terlihat dari tujuan penempatan Gocah Pahlawan di Deli, yaitu untuk menyebarkan ajaran Islam ke daerah pedalaman. Status Aceh sebagai “Serambi Mekkah” bukan hanya gelar, melainkan peran fungsional sebagai saluran utama pengetahuan dan praktik Islam ke kepulauan. Otoritas spiritual ini menjadi landasan bagi pengaruh politik dan budaya Aceh. Adopsi norma dan institusi Islam di kesultanan Sumatera Timur menjadi perpanjangan alami dari keunggulan agama Aceh, bukan semata-mata pemaksaan politik. Dengan demikian, jejak Aceh dalam agama adalah tentang bagaimana otoritas spiritualnya memfasilitasi penyebaran dan internalisasi Islam di wilayah Melayu.

B. Ulama Aceh dan Jaringan Keilmuan di Kesultanan Melayu

Aceh menghasilkan ulama-ulama terkemuka seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin dari Pasai, Abdurrauf Singkil, dan Nuruddin ar-Raniri, yang karya-karyanya menjadi rujukan penting. Syekh Abdurrauf Singkil, seorang ahli tasawuf dan fikih yang disegani, dikenal di seluruh ranah Melayu dan dunia Islam internasional. Ia bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan mengajar di setiap kesultanan Pantai Timur Sumatera dalam data yang tersedia, pengaruh jaringannya sangat luas di Nusantara, termasuk Sumatera Barat dan Selatan. Abu Keumala, seorang ulama Aceh, secara langsung menyebarkan Islam di Medan dan mendirikan pesantren di Deli Serdang, menunjukkan jejak konkret penyebaran keilmuan agama. Kesultanan Langkat juga menunjukkan komitmen terhadap pendidikan Islam dengan membangun madrasah dan memberikan beasiswa untuk belajar di luar negeri, khususnya ke negara-negara Islam di Semenanjung Arab, mencerminkan etos keilmuan Islam yang kuat yang dipromosikan oleh Aceh. Kesultanan Siak juga dikenal sebagai tempat kunjungan bagi banyak ulama besar.

Kehadiran ulama Aceh dan dukungan kesultanan lokal terhadap pendidikan Islam menunjukkan adanya jaringan intelektual yang saling terhubung. Ini bukan sekadar transmisi satu arah, melainkan pertukaran dinamis di mana ulama Aceh berfungsi sebagai penghubung dalam lingkup intelektual Islam regional yang lebih besar. Hal ini memupuk identitas keagamaan dan kerangka hukum yang sama di seluruh kesultanan Melayu. Jejak Aceh dalam bidang intelektual adalah tentang pembentukan jaringan keilmuan yang melampaui batas-batas kesultanan, menciptakan kesatuan pemahaman keagamaan.

C. Pengaruh Hukum Islam (Syariat) dan Adat Aceh

Aceh dikenal sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara resmi menerapkan hukum syariat Islam, yang sangat terintegrasi dengan hukum adatnya (“adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah”). Pada masa keemasan Iskandar Muda, Aceh menerapkan hukum yang kuat dan kebijakan budaya yang selaras dengan syariat, dengan Qanun (peraturan daerah berbasis syariat) sebagai dasar hukumnya. Di Kesultanan Deli, terdapat mufti (Tuan Haji Cut) dan pejabat agama lainnya yang menangani masalah keagamaan. Kesultanan Langkat juga memiliki mufti yang bertanggung jawab atas dakwah, penetapan hari raya, zakat, wakaf, fikih munakahat, dan mahkamah syariah. Siak juga menunjuk imam jajahan sebagai hakim syariah. Tarekat Syattariyah, yang disebarkan oleh Syekh Abdurrauf Al-Singkili dari Aceh, menyebar luas di Nusantara, termasuk Sumatera Barat dan Selatan. Meskipun tidak disebutkan secara spesifik di Deli, Langkat, Siak, atau Asahan dalam data yang tersedia, penyebaran luas ini mengindikasikan potensi pengaruh di wilayah tersebut mengingat hubungan historisnya.

Penekanan kuat Aceh pada hukum Islam dan integrasinya dengan adat kemungkinan besar menjadi model bagi tata kelola di kesultanan Sumatera Timur. Penunjukan mufti dan hakim syariah menunjukkan bahwa kesultanan ini mengadopsi struktur serupa untuk melegitimasi kekuasaan mereka melalui otoritas agama, mencerminkan pendekatan “konstitusional” Aceh dengan Qanun-nya.  Ini menunjukkan kerangka ideologis bersama yang dipengaruhi oleh peran perintis Aceh dalam pemerintahan Islam. Jejak Aceh dalam hukum Islam adalah tentang penyediaan model tata kelola yang menggabungkan agama dan adat, yang kemudian diadopsi untuk melegitimasi kekuasaan di kesultanan Melayu.

Tabel 3: Ulama Aceh dan Jaringan Keilmuan di Sumatera Timur

Nama Ulama Asal/Pusat Kegiatan Utama Wilayah Pengaruh di Sumatera Timur (jika spesifik) Bidang Keilmuan/Kontribusi
Hamzah Fansuri Fansur Singkil, Aceh Sufisme, Fikih, Filsafat, Sastra
Syamsuddin As-Sumatrani Aceh Sufisme, Fikih, Penasihat Sultan
Abdurrauf Singkil Singkil, Aceh Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat Sufisme (Tarekat Syattariyah), Fikih
Nuruddin ar-Raniri India (mengajar di Aceh) Sufisme, Fikih
Abu Keumala Aceh Medan, Deli Serdang Penyebaran Islam, Pendirian Pesantren

 

V. Jejak Sosial dan Budaya

A. Hubungan Genealogis dan Perkawinan Antar Dinasti

Salah satu jejak paling konkret adalah hubungan genealogis, seperti pendirian Kesultanan Asahan oleh Raja Abdul Jalil, putra Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang menikah dengan Putri Raja Simargolang. Ini adalah contoh langsung pewarisan dinasti dari Aceh yang menunjukkan integrasi politik melalui ikatan keluarga. Perkawinan antar bangsawan sering digunakan sebagai jalur damai untuk menjalin aliansi, seperti perkawinan antara bangsawan Serdang dan Perbaungan. Meskipun tidak selalu langsung dengan Aceh, pola perkawinan dinasti ini mungkin mencerminkan strategi politik yang juga dipraktikkan oleh Aceh. Perkawinan dinasti bukan hanya peristiwa keluarga, tetapi manuver politik strategis. Perkawinan ini berfungsi sebagai alat yang ampuh bagi Aceh untuk mengintegrasikan wilayah taklukan atau sekutu, memperkuat ikatan politik, memperluas pengaruh budaya, dan memastikan loyalitas melalui ikatan darah. Strategi ini memupuk budaya elit bersama dan berpotensi memfasilitasi adopsi norma dan praktik Aceh dalam keluarga penguasa baru. Dengan demikian, jejak Aceh dalam hubungan sosial adalah tentang penggunaan ikatan keluarga untuk memperkuat pengaruh politik dan budaya.

Gelar kebangsawanan Aceh seperti “Teuku” dan “Cut” diturunkan melalui garis keturunan dan perkawinan antar bangsawan. Di Langkat, gelar “Tengku” dan “Wan” juga menunjukkan stratifikasi sosial bangsawan, meskipun ada sedikit perbedaan dalam penyebutan bangsawan di Tamiang Aceh dibandingkan daerah Aceh lainnya.

B. Pengaruh Bahasa dan Sastra

Bahasa Melayu digunakan di Aceh, termasuk untuk penerjemahan Al-Qur’an. Hikayat Aceh, sebuah karya sejarah abad ke-17 yang ditulis dalam bahasa Melayu (aksara Jawi), mengisahkan Sultan Iskandar Muda dan telah diakui UNESCO. Keberadaan hikayat sebagai bentuk sastra Melayu klasik yang kaya moral dan sejarah  menunjukkan tradisi sastra yang kuat di Aceh yang mungkin memengaruhi atau setidaknya berbagi genre dengan sastra di kesultanan Melayu lainnya. Aksara Jawi, yang digunakan dalam Hikayat Aceh , juga digunakan oleh berbagai bahasa Melayu lainnya di Nusantara, termasuk Banjar, Betawi, Minangkabau, dan Melayu. Ini menunjukkan adanya kesamaan dalam sistem penulisan yang memfasilitasi penyebaran karya sastra dan keagamaan.

Dialek Melayu Langkat sangat erat kaitannya dengan dialek Melayu Pantai Timur Sumatera lainnya seperti Deli dan Serdang, dengan tingkat kesamaan leksikal yang tinggi (misalnya 90% dengan Melayu Deli). Prominensi Hikayat Aceh dan penggunaan aksara Jawi menunjukkan bagaimana bentuk sastra dan sistem penulisan menjadi kendaraan penting untuk transmisi budaya. Meskipun pengaruh leksikal langsung pada dialek lisan mungkin tidak eksplisit dalam data ini, tradisi sastra bersama dan penggunaan Jawi akan memfasilitasi penyebaran pengetahuan Islam, narasi moral, dan estetika istana dari Aceh ke kesultanan Melayu, membentuk lanskap intelektual dan budaya mereka. Jejak Aceh dalam bahasa dan sastra adalah tentang penyebaran ide dan nilai melalui media tertulis yang melampaui batas-batas lisan.

C. Pengaruh Adat Istiadat dan Tradisi

Pernikahan Melayu umumnya kompleks dan sarat makna, membutuhkan restu orang tua dan masyarakat. Banyak tahapan pra-pernikahan dan pasca-pernikahan yang memiliki kesamaan di berbagai daerah Melayu, termasuk Riau dan Labuhanbatu (Sumatera Utara), seperti Merisik, Meminang, Mengantar Tanda, Berandam, Berinai, Tepung Tawar, dan Makan Berhadapan. Tradisi Tepung Tawar, meskipun berakar dari kepercayaan Animisme dan Hindu, telah diselaraskan dengan syariat Islam dan menjadi ritual doa untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, sekaligus sebagai sarana memperkenalkan keluarga. Tradisi ini juga ada dalam pernikahan Batak Muslim Labuhanbatu Utara melalui akulturasi.  Tari Inai, tarian khas Melayu Labuhanbatu Utara, merupakan akulturasi budaya lokal dan Arab (Islam), yang dulunya sakral namun kini mengalami perubahan.  Makan Berhadapan, tradisi unik dalam pernikahan Melayu, melambangkan penyatuan keluarga dan kebersamaan suami istri. Tradisi Aceh sendiri dalam pernikahan meliputi peusijuk (tepung tawari), boh gaca (inai), dan intat linto/preh dara baro (mengantar/menjemput pengantin), yang sarat nilai Islami seperti ketaatan, kebersamaan, dan tanggung jawab.

Mengingat peran Aceh sebagai “Serambi Mekkah” dan pusat penyebaran Islam , sangat mungkin Aceh memainkan peran penting dalam mempopulerkan dan melegitimasi kerangka “adat bersendikan syarak” ini. Ini menunjukkan bahwa kesamaan adat istiadat bukan hanya kebetulan, tetapi hasil dari difusi adaptasi budaya Islam yang spesifik dari Aceh ke kesultanan Melayu lainnya. Aceh menjadi katalisator bagi internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam praktik adat. Jejak Aceh dalam adat istiadat adalah tentang bagaimana ia membentuk dan memperkuat sintesis antara tradisi lokal dan ajaran Islam di wilayah Melayu.

D. Jejak Arsitektur (Masjid dan Istana)

Arsitektur tradisional Aceh, seperti Rumoh Aceh, memiliki ciri khas rumah panggung kayu dengan atap berundak dan orientasi arah kiblat (barat).  Masjid-masjid lama di Aceh juga seringkali memiliki atap multi-tingkat berbentuk piramida, mirip dengan gaya Tajug Jawa, namun melebar ke bawah.

Namun, data yang tersedia mengenai arsitektur masjid dan istana di Kesultanan Deli, Langkat, dan Siak menunjukkan perpaduan gaya yang lebih luas, termasuk Melayu lokal, Arab/Timur Tengah, Mughal India, dan Eropa (Belanda, Spanyol) [ (Deli);  (Langkat);  (Siak)]. Istana Maimun di Deli, misalnya, mengadopsi gaya arsitektur Islam Timur Tengah, Mughal India, dan Eropa, serta ornamen khas Melayu.  Masjid Azizi di Langkat memiliki pilar tinggi dengan pelengkung seperti masjid Timur Tengah, namun tetap kental nuansa Melayunya dengan warna kuning dan hijau. Istana Siak juga memadukan gaya Melayu, Arab, dan Eropa.

Ini menunjukkan bahwa meskipun Aceh memiliki pengaruh budaya dan agama yang kuat, pengaruh arsitektur langsung pada bangunan megah di kesultanan Melayu Timur Sumatera tidak sejelas di bidang lain. Arsitektur di kesultanan-kesultanan ini lebih merupakan produk dari interaksi global dan regional yang lebih luas, mungkin mencerminkan kemakmuran ekonomi mereka di kemudian hari dan keterlibatan langsung dengan kekuatan asing lainnya (misalnya, Belanda). Ini menunjukkan bahwa “jejak” pengaruh bisa sangat kuat di beberapa domain (misalnya agama, politik awal) tetapi lebih menyatu atau terdiversifikasi di domain lain (misalnya seni visual, arsitektur monumental). Jejak arsitektur Aceh di kesultanan Melayu Pantai Timur Sumatera lebih bersifat tidak langsung atau merupakan bagian dari pengaruh Islam yang lebih luas, daripada adopsi gaya Aceh yang spesifik.

 

VI. Kesimpulan

A. Rekapitulasi Jejak-Jejak Utama Aceh

Secara politik, Aceh mendominasi Pantai Timur Sumatera melalui penaklukan dan penetapan penguasa vasal, yang paling jelas terlihat pada pembentukan Kesultanan Deli dan hubungan vasal dengan Asahan. Secara ekonomi, Aceh mengintegrasikan wilayah ini ke dalam jaringan perdagangan maritimnya yang luas, memanfaatkan komoditas lokal seperti minyak tanah dari Deli dan beras dari Pidie. Secara agama dan intelektual, Aceh berfungsi sebagai pusat penyebaran Islam dan keilmuan, dengan ulama-ulamanya yang menyebarkan ajaran dan tarekat, serta membentuk kerangka hukum Islam yang terinternalisasi dalam adat setempat. Secara sosial dan budaya, jejak Aceh terlihat dalam hubungan genealogis (misalnya pendirian Asahan), penggunaan aksara Jawi, dan sinkretisme adat-Islam dalam tradisi seperti pernikahan (contohnya Tepung Tawar dan Berinai).

B. Signifikansi Pengaruh Aceh dalam Pembentukan Identitas Melayu Pantai Timur Sumatera

Pengaruh Aceh tidak hanya membentuk struktur politik awal beberapa kesultanan, tetapi juga memberikan fondasi ideologis dan keagamaan yang kuat bagi masyarakat Melayu di Pantai Timur Sumatera. Konsep “adat bersendikan syarak” menjadi pilar utama identitas mereka, yang dipelopori dan disebarkan dari Aceh. Jaringan ulama dan penyebaran tarekat dari Aceh turut memperkaya khazanah intelektual dan spiritual wilayah ini, menciptakan keseragaman dalam praktik keagamaan dan pemikiran.

C. Implikasi Historis dan Relevansi Kontemporer

Meskipun dominasi politik Aceh berkurang seiring waktu, warisan politik, agama, dan budaya yang ditinggalkan tetap menjadi bagian integral dari identitas Melayu di Pantai Timur Sumatera hingga kini. Keberlanjutan “jejak” Aceh menunjukkan bahwa pengaruh tersebut bukan sekadar pemaksaan, melainkan asimilasi dan reinterpretasi oleh budaya Melayu setempat. Ini menyiratkan bahwa fondasi budaya dan agama yang diletakkan oleh Aceh cukup kuat untuk bertahan dan berkembang secara independen, daripada hanya memudar seiring dengan kekuatan politik. Ini juga menunjukkan bahwa pengaruh historis tidak statis tetapi terus membentuk identitas kontemporer melalui praktik budaya yang berkelanjutan. Dinamika hubungan ini menunjukkan kompleksitas interaksi antar kerajaan di Nusantara, di mana pengaruh dapat bersifat hegemonik namun juga memicu adaptasi dan otonomi lokal, menghasilkan budaya yang kaya dan berlapis.

 

Daftar Pustaka :

  1. Aceh Sultanate – Wikipedia, diakses Juni 16, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Aceh_Sultanate
  2. Aceh – Wikipedia, diakses Juni 16, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Aceh
  3. SEKRETARIAT MAJELIS ADAT ACEH | Berita PERISTIWA SEJARAH, BUDAYA DAN ADAT, diakses Juni 16, 2025, https://maa.acehprov.go.id/berita/kategori/pendidikan-dan-litbang-adat/peristiwa-sejarah-budaya-dan-adat
  4. Peran Sultan/ah di Kesultanan Aceh Darussalam dalam Perniagaan Jalur Maritim Tahun 1596-1675 M, diakses Juni 16, 2025, https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/historia/article/download/27479/11027
  5. Kontribusi Kesultanan Aceh Darussalam terhadap Kemajuan Kemaritiman dan Perdagangan di Nusantara Abad XVI-XVII M, diakses Juni 16, 2025, https://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/viewFile/2308/1014
  6. Berita Kerajaan Poli Aceh – SEKRETARIAT MAJELIS ADAT ACEH, diakses Juni 16, 2025, https://maa.acehprov.go.id/berita/kategori/pusaka-dan-khasanah-aceh/kerajaan-poli-aceh
  7. ACEH DAN PERDAGANGAN DI SELAT MALAKA ACEH AND TRADE IN THE STRAITS OF MALACCA Yasir Maulana Rambe – OJS-Universitas Riau Kepulauan Batam, diakses Juni 16, 2025, https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/journalhistoria/article/download/4981/pdf
  8. Sejarah Kerajaan Islam di Sumatera – Gramedia Literasi, diakses Juni 16, 2025, https://www.gramedia.com/literasi/sejarah-kerajaan-islam-di-sumatera/
  9. sejarah pertumbuhan pemerintahan kesultanan langkat, deli, dan serdang, diakses Juni 16, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/52125/1/Book.pdf
  10. Sultanate of Deli – Wikipedia, diakses Juni 16, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Sultanate_of_Deli
  11. 29 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam dan Mata Uangnya Bangkitnya Kesultanan Aceh Darussalam dan, diakses Juni 16, 2025, http://repository.uinsu.ac.id/23978/5/SKRIPSI_TAMIMI_WM_TTD_%28BAB_IV%29.pdf
  12. Kesultanan Langkat Di Sumatera Utara Pada Masa Sultan Abdul Aziz (1897-1927 M) | PDF, diakses Juni 16, 2025, https://www.scribd.com/document/563516295/Kesultanan-Langkat-Di-Sumatera-Utara-Pada-Masa-Sultan-Abdul-Aziz-1897-1927-M
  13. Kesultanan Langkat – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 16, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Langkat
  14. Asahan Sultanate – Wikipedia, diakses Juni 16, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Asahan_Sultanate
  15. KONTESTASI POLITIK ANTARA KESULTANAN DELI DAN SERDANG DI SUMATERA TIMUR TAHUN 1800-1865 SKRIPSI FACHRI SYAUQII NIM, diakses Juni 16, 2025, http://repository.uinsu.ac.id/15546/1/Skripsi%20Syauqii%20full.pdf
  16. Kesultanan Aceh – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 16, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh
  17. Peran Kesultanan Langkat Dalam Perkembangan Pendidikan Agama Islam Di Kabupaten Langkat (Studi Tokoh Pendiri Dan Pengurus, diakses Juni 16, 2025, https://journal-stiayappimakassar.ac.id/index.php/srj/article/download/213/220
  18. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Langkat adalah salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Letaknya, diakses Juni 16, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/18413/2/7.%20NIM%203103121066%20CHAPTER%201.pdf
  19. Kesultanan Deli: Sejarah Pendirian hingga Keruntuhannya | kumparan.com, diakses Juni 16, 2025, https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/kesultanan-deli-sejarah-pendirian-hingga-keruntuhannya-22jILLYh2ya
  20. Kesultanan Siak Sri Inderapura – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 16, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Siak_Sri_Inderapura
  21. (PDF) MARITIME AND TRADE POLICIES OF THE ACEH SULTANATE ON THE WEST COAST OF SUMATRA DURING 16 TH -17 TH CENTURIES – ResearchGate, diakses Juni 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/373689079_MARITIME_AND_TRADE_POLICIES_OF_THE_ACEH_SULTANATE_ON_THE_WEST_COAST_OF_SUMATRA_DURING_16_TH_-17_TH_CENTURIES
  22. Kerajaan Aceh | PDF – Scribd, diakses Juni 16, 2025, https://id.scribd.com/document/386250748/Kerajaan-Aceh
  23. Berita Kota Banda Aceh – SEKRETARIAT MAJELIS ADAT ACEH, diakses Juni 16, 2025, https://maa.acehprov.go.id/berita/kategori/pusaka-dan-khasanah-aceh/kota-banda-aceh
  24. Biografi Singkat Syekh Abdurrauf Singkil – RADAR NUSANTARA NEWS, diakses Juni 16, 2025, http://www.radarnusantara.com/2018/11/biografi-singkat-syekh-abdurrauf-singkil.html
  25. PENGARUH TAREKAT SYATTARIYAH HABIB MUDA SEUNAGAN …, diakses Juni 16, 2025, https://repository.ar-raniry.ac.id/37342/1/Jailani%2C%20170501065%2C%20FAH%2C%20SKI%2C.pdf
  26. Abu Keumala, Ulama Aceh Penyebar Islam di Medan – KBA.ONE, diakses Juni 16, 2025, https://www.kba.one/news/sepenggal-kisah-abu-keumala-ulama-aceh-penyebar-islam-di-medan/index.html
  27. Dampak Kerajaan Siak Sri Indrapura terhadap Kebudayaan Melayu di Riau – ResearchGate, diakses Juni 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/387080709_Dampak_Kerajaan_Siak_Sri_Indrapura_terhadap_Kebudayaan_Melayu_di_Riau
  28. Perubahan Tari Endeng-endeng Dari Sakral Menuju Hedonisme …, diakses Juni 16, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/46878/
  29. REVITALISASI HUKUM ADAT DI ACEH Oleh – Pusat Jurnal UIN Ar-Raniry, diakses Juni 16, 2025, https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/Justisia/article/download/2562/1823
  30. Dinamika Sistem Peradilan Hukum Aceh Melalui Lembaga Peradilan Adat – Westscience Press, diakses Juni 16, 2025, https://wnj.westscience-press.com/index.php/jhhws/article/download/722/617
  31. E-ISSN: 2828-402x Sharia: Jurnal Kajian Islam Volume 1, No 2, 2024, 139-156 DOI: 10.59757/sharia.v1i2.46 PERAN SULTAN ISKANDA, diakses Juni 16, 2025, https://journal.staialandina.ac.id/index.php/sharia/article/download/45/17/164
  32. The Implementation of Islamic Qanun Law in the Modern Aceh Society – ResearchGate, diakses Juni 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/347222955_The_Implementation_of_Islamic_Qanun_Law_in_the_Modern_Aceh_Society
  33. Kesultanan Deli – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 16, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Deli
  34. ISLAM DAN SISTEM PEMERINTAHAN DI ACEH MASA KERAJAAN ACEH DARUSSALAM – UIN – Ar Raniry Repository, diakses Juni 16, 2025, https://repository.ar-raniry.ac.id/28825/1/Buku%20Islam%20dan%20Sistem%20pemerintahan.pdf
  35. 4 Ulama Aceh yang Sangat Berpengaruh – SINDOnews.com, diakses Juni 16, 2025, https://daerah.sindonews.com/berita/1303528/29/4-ulama-aceh-yang-sangat-berpengaruh
  36. Pernikahan Sultan Iskandar Muda dan Putri Raja Simargolang Jadi Cikal Bakal Kesultanan Asahan – INewsMedan, diakses Juni 16, 2025, https://medan.inews.id/read/456065/pernikahan-sultan-iskandar-muda-dan-putri-raja-simargolang-jadi-cikal-bakal-kesultanan-asahan
  37. Kesultanan Asahan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 16, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Asahan
  38. 9 Urutan Gelar Bangsawan Aceh, Ada yang Masih Digunakan hingga Saat Ini – iNews, diakses Juni 16, 2025, https://aceh.inews.id/berita/urutan-gelar-bangsawan-aceh
  39. SISTEM PEMERINTAHAN KESULTANAN LANGKAT – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses Juni 16, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=810688&val=13268&title=SISTEM%20PEMERINTAHAN%20KESULTANAN%20LANGKAT
  40. PERUBAHAN SOSIAL EKOLOGI DAN PERUBAHAN BUDAYA LINGUAL DALAM SISTEM KEKERABATAN MELAYU LANGKAT – Universitas Negeri Medan, diakses Juni 16, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/458/1/Fulltext.pdf
  41. ADAPTASI ETNIS MELAYU TAMIANG DALAM DINAMIKA SOSIAL DAN CULTURE MASYARAKAT ACEH – Universitas Malikussaleh, diakses Juni 16, 2025, https://ojs.unimal.ac.id/dialektika/article/view/10215/pdf
  42. Hikayat Aceh – Wikipedia, diakses Juni 16, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Hikayat_Aceh
  43. Naskah Hikayat Aceh Mendunia – RM.ID, diakses Juni 16, 2025, https://rm.id/baca-berita/humaniora/173524/catatan-agus-sutoyo-naskah-hikayat-aceh-mendunia
  44. Peran Cerita Hikayat Hang Tuah Mewujudkan Nilai Budaya dan Karakter Bangsa – JURNAL TARBIYAH UINSU, diakses Juni 16, 2025, https://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/eunoia/article/viewFile/4214/1692
  45. Abjad Jawi – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses Juni 16, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Abjad_Jawi
  46. Langkat Malay – Wikipedia, diakses Juni 16, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Langkat_Malay
  47. abdulganijamoranasution @gmail.com TEPUNG TAWAR PADA …, diakses Juni 16, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=3515062&val=30791&title=TEPUNG%20TAWAR%20PADA%20PERNIKAHAN%20ADAT%20MELAYU%20%20STUDI%20TERHADAP%20MASYARAKAT%20MELAYU%20DI%20LABUHAN%20BATU%20SELATAN
  48. Sebelum Akad Nikah, Ini Rangkaian Prosesi yang Sarat Makna dari …, diakses Juni 16, 2025, https://www.diamondnco.id/news-detail/sebelum-akad-nikah-ini-rangkaian-prosesi-yang-sarat-makna-dari-tradisi-pernikahan-melayu
  49. Susunan Prosesi Pernikahan Adat Melayu Riau Beserta Maknanya – Tirto.id, diakses Juni 16, 2025, https://tirto.id/susunan-prosesi-pernikahan-adat-melayu-riau-beserta-maknanya-g8rR
  50. Mau Menikah Adat Melayu Riau, Ini 9 Tahapan yang Harus Dijalani – melayupedia.com, diakses Juni 16, 2025, https://www.melayupedia.com/berita/111/mau-menikah-adat-melayu-riau-ini-9-tahapan-yang-harus-dijalani
  51. Budaya Melayu dan Pengaruh Islam dalam Upacara Pernikahan di …, diakses Juni 16, 2025, https://jurnal.penerbitdaarulhuda.my.id/index.php/MAJIM/article/download/1589/1631
  52. ADAT PERNIKAHAN MELAYU KEPULAUAN RIAU – DisBud Kepri, diakses Juni 16, 2025, https://disbud.kepriprov.go.id/adat-pernikahan-melayu-kepulauan-riau-2/
  53. Pra Nikah Melayu Riau, Ini Tahapan Prosesinya – infoPKU, diakses Juni 16, 2025, https://infopku.com/pra-nikah-melayu-riau-ini-tahapan-prosesinya/39271/
  54. 18 Tata Cara Pernikahan Adat Melayu Riau & Segala Persiapannya – V&CO Jewellery, diakses Juni 16, 2025, https://vncojewellery.com/artikel/18-tata-cara-pernikahan-adat-melayu-riau-dan-segala-persiapannya-2023-12-09/
  55. Penggunaan Tradisi Adat Melayu pada Pesta Perkawinan Masyarakat Desa Mekar Tanjung Kabupaten Asahan – Jurnal Pendidikan Tambusai, diakses Juni 16, 2025, https://jptam.org/index.php/jptam/article/download/3468/2954/6681
  56. Akulturasi Pernikahan Etnik Mandailing di Desa Simonis …, diakses Juni 16, 2025, https://jurnal.medanresourcecenter.org/index.php/HIJ/article/download/1416/1425/7698
  57. 29 Tari Inai: Identitas Budaya Masyarakat Desa Kuala Bangka …, diakses Juni 16, 2025, https://mahesainstitute.web.id/ojs2/index.php/warisan/article/download/707/361
  58. TRADISI TARI INAI DALAM UPACARA ADAT PERNIKAHAN MASYARAKAT MELAYU DESA KUALA BANGKA KECAMATAN KUALUH HILIR KABUPATEN LABUHAN BAT, diakses Juni 16, 2025, http://repository.uinsu.ac.id/12111/1/RIAH%20HASIBUAN-dikonversi.pdf
  59. Makna Simbolik Tradisi Makan Hadap-Hadapan pada Suku Melayu di Kota Binjai – Jurnal Pendidikan Tambusai, diakses Juni 16, 2025, https://jptam.org/index.php/jptam/article/download/4775/4049/9128
  60. Jurnal Serunai Ilmu Pendidikan Vol.9No.1, Juli 2023 e-ISSN 2621 – E-Journal STKIP Budidaya, diakses Juni 16, 2025, https://ejournal.stkipbudidaya.ac.id/index.php/ja/article/download/947/580/3531
  61. (PDF) Adat Pernikahan dan Nilai-Nilai Islami dalam Masyarakat Aceh Menurut Hukum Islam, diakses Juni 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/343728607_Adat_Pernikahan_dan_Nilai-Nilai_Islami_dalam_Masyarakat_Aceh_Menurut_Hukum_Islam
  62. Traditional architecture of Rumoh Aceh. | Download Scientific Diagram – ResearchGate, diakses Juni 16, 2025, https://www.researchgate.net/figure/Traditional-architecture-of-Rumoh-Aceh_fig1_356181154
  63. Rumoh Aceh – Wikipedia, diakses Juni 16, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Rumoh_Aceh
  64. Aceh’s Old Mosques: Reconciling Old and New Architecture, diakses Juni 16, 2025, https://heritage.kemenag.go.id/index.php/heritage/article/download/732/439/2731
  65. THE TYPOLOGY OF MOSQUE ARCHITECTURE IN WEST ACEH – Mosqpedia, diakses Juni 16, 2025, https://mosqpedia.org/wp-content/uploads/2024/09/60OOrwTAXLJEgrbAuehufsTvvC80I9tfOHfhrCBn.pdf
  66. Uji Signifikansi Bangunan Istana Maimun Sebagai Bangunan Cagar Budaya – Talenta Conference Series, diakses Juni 16, 2025, https://talentaconfseries.usu.ac.id/ee/article/download/409/354/
  67. Cagar Budaya Nasional dari Langkat: Masjid Azizi Tanjung Pura | Direktorat Pelindungan Kebudayaan, diakses Juni 16, 2025, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/dpk/cagar-budaya-nasional-dari-langkat-masjid-azizi-tanjung-pura/
  68. Mengenal Istana Siak Sri Indrapura, Salah satu Kerajaan yang pernah berdiri dan berkuasa di Pulau Sumatera, diakses Juni 16, 2025, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-rsk/baca-artikel/14803/Mengenal-Istana-Siak-Sri-Indrapura-Salah-satu-Kerajaan-yang-pernah-berdiri-dan-berkuasa-di-Pulau-Sumatera.html
  69. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Istana Maimun Medan 1. Sejarah Istana Maimun Tahun 1780, Kesultanan Deli, diakses Juni 16, 2025, http://repository.uinsu.ac.id/21262/5/BAB_IV_Skripsi_Icha_Anggraeni_Setia_Ningrum.pdf
  70. Gaya Arsitektur Rumah Istri Sultan Amaluddin Tengku Khalijah di Kota Maksum – Penerbit, diakses Juni 16, 2025, https://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/ganaya/article/download/3511/1662/12879
  71. Potensi Arsitektur Melayu Sebagai Warisan Budaya Di Sumatera Utara, diakses Juni 16, 2025, https://talentaconfseries.usu.ac.id/ee/article/download/866/660/

ISTANA SIAK DALAM FOTOGRAFI ARSITEKTUR, diakses Juni 16, 2025, https://oaj.jurnalhst.com/index.php/jpmt/article/download/9067/10216/11471

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.