PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki banyak ciri khas tersendiri masih relatif mudah mendapat dampak globalisasi, baik dampak positif maupun dampak negatif. Sejalan dengan perkembangan jaman yang semakin pesat dan mengglobal menjadikan perpindahan transisi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak terkecuali di kalangan para masyarakat nelayan.
Perilaku konsumtif merupakan suatu fenomena yang banyak melanda kehidupan masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan bahkan masyarakat nelayan. Fenomena ini menarik untuk dikaji mengingat perilaku konsumtif juga banyak melanda kehidupan masyarakat nelayan.
Perhatian pada masyarakat nelayan, nampaknya juga menjadi suatu kajian menarik bagi kaum akademis Indonesia. Hal ini didasarkan atas fakta-fakta yang ditemukan dari beberapa laporan penelitian mengenai masyarakat nelayan, juga mempunyai tuntutan kebutuhan konsumtif yang semakin meningkat, dimana kedua tuntutan tersebut tidak dapat dijalankan secara bersama-sama oleh masyarakat nelayan.
Mengkaji masyarakat nelayan merupakan persoalan yang khas dan bukan persoalan yang mudah, yang sekaligus perlu mendapatkan perhatian serius. Salah satu masyarakat nelayan yang luput dari pantauan kita adalah masyarakat nelayan di Labuhan Bilik merupakan salah satu wilayah pantai yang terdapat di Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara.
Labuhan Bilik terletak di Kecamatan Panai Tengah dikategorikan sebagai wilayah pantai memberi peluang pada sektor ekonomi yang tidak hanya dari pertanian, perdagangan dan jasa tapi dilengkapi dengan sektor perikanan laut. Perikanan laut merupakan sektor ekonomi yang bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Baik dari lapisan tingkat umur dan status sosial masyarakat yang berbeda-beda. Selain itu sektor perikanan laut merupakan salah satu sektor yang memberi stimulus berkembangnya industri pengolahan ikan masyarakat (Harahap, 2006).
Produksi perikanan laut yang cukup tinggi di Kecamatan Panai Tengah Labuhan Bilik menjadikan perekonomian masyarakat nelayan cukup sejahtera dan cukup terpandang secara ekonomi. Namun pada saat ini, nelayan identik dengan sekelompok masyarakat miskin, tinggal di wilayah kumuh pinggiran pantai, yang sulit untuk bisa naik kelas menjadi masyarakat sejahtera. Hal ini sejalan dengan pandangan Lewis (1988), mengungkapkan bahwa masalah kemiskinan bukanlah masalah ekonomi, bukan pula masalah ketergantungan antarnegara atau masalah pertentangan kelas. Memang hal-hal tersebut merupakan penyebab kemiskinan itu sendiri tetapi menurutnya, kemiskinan itu sendiri adalah budaya atau sebuah cara hidup.
Selajutnya menurut Kusnadi (2003), masyarakat nelayan dapat dilihat dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat nelayan seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan insfrastruktur. Di samping itu kesempatan berusaha, kurang akses terhadap informasi, teknologi, permodalan budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Masalah kemiskinan yang dialami nelayan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial (Suharto, 2005).
Kondisi lain yang turut berkontribusi memperburuk tingkat kesejahteraan nelayan masyarakat Labuhan Bilik yakni mengenai kebiasaan atau pola hidup konsumtif. Perilaku konsumtif masyarakat nelayan tercermin dari perilaku membeli kebutuhan sekunder, sebaliknya bukan ditabung sehingga ketika penghasilan menipis dan sewaktu musim paceklik ikan menyebabkan banyak diantara nelayan harus berhutang kepada lintah darat sehingga semakin memperberat kondisi.
Kebiasaan buruk lainnya seperti penghasilan melaut selalu digunakan untuk mengkonsumsi kebutuhan-kebutuhan diluar kebutuhan pokok menyebabkan setoran pendapatan untuk rumah tangga menjadi ikut berkurang, ditambah lagi rendahnya tingkat pendidikan atau pengetahuan seorang nelayan, lingkungan sosial tempat tinggal nelayan yang semakin berkembang, arus informasi yang tinggi dan banyaknya perusahaan seperti perusahaan pembiayaan yang melakukan pasar dengan masuk pelosok daerah untuk mempromosikan produk perusahaan sehingga masyarakat nelayan tersebut tergiur untuk menerima produk dan jasa perusahaan tersebut.
Tinjauan Pustaka
Masyarakat Nelayan
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/ binatang air/ tanaman. Orang yang hanya melakukan pekerjaan, seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat/ perlengkapan kedalam perahu/kapal, mengangkut ikan dari perahu/kapal tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin, juru masak yang bekerja diatas kapal dimasukkan kedalam nelayan. Dari pengertian itu tersirat jelas, nelayan dipandang tidak lebih sebagai kelompok kerja yang tempat bekerjanya di air; yaitu sungai, danau atau laut. Karena mereka dipandang sebagai pekerja, maka kegiatannya-kegiatannya refleksi dari kerja itu sendiri dan terlepas dari filosofi kehidupan nelayan, bahwa sumber penghidupannya terletak dan berada dilautan.
Sumber kehidupan yang berada dilaut mempunyai makna bahwa manusia yang akan memanfaatkan sumber hidup yang tersedia dilaut tidak mempertentangkan dirinya dengan hukum-hukum alam kelautan yang telah terbentuk dan terpola sepeti yang mereka lihat dan rasakan. Ataupun nelayan boleh diartikan orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, sedangkan masyarakat nelayan adalah kelompok atau sekelompok orang yang bekerja sebagai nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan dan pembudi daya ikan kecil yang bertempat tinggal disekitar kawasan nelayan (Masri, 2010).
Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat Nelayan
Dalam sektor perikanan, dibedakan antara budi daya ikan dan penangkapan ikan. Penangkapan ikan di lain pihak bergantung pada kemudahan bersama. Para nelayan yang mempunyai hak yang sama terhadap sumber daya karena tangkapan tergolong liar berpindah dari satu tempat ke tempat lain tempat ada elemen risiko yang dihadapi, dan nelayan harus berpindah-pindah (Mulyadi, 2005).
Secara sederhana masyarakat nelayan memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat lainnya, diantaranya adalah:
- Masyarakat nelayan memiliki sifat homogen dalam hal mata pencaharian, nilai dan kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku.
- Cenderung berkepribadian keras.
- Memiliki sifat yang toleransi dengan terhadap yang lainnya.
- Memiliki gairah seksual yang relatif tinggi.
- Hubungan sesama anggota lebih intim dan memiliki rasa tolong menolong yang tinggi.
- Dalam berbicara, suara cenderung meninggi.
Masyarakat desa nelayan secara umum lebih merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi strata sosial ekonomi yang sangat rendah. Pendidikan yang dimiliki masyarakat nelayan secara umum rendah, dan sering dikategorikan sebagai masyarakat yang biasa bergelut dengan kemiskinan dan keterbelakangan (Imron, 2012).
Kehidupan Sosial Masyarat Nelayan
Sipahelut (2002), mengemukakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial. Oleh karena itu, tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu interaksi sosial dimulai pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktifitas-aktifitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial.
Di Indonesia masyarakat nelayan dikenal sebagai masyarakat terbelakang dalam segala hal, mereka juga digolongkan sebagai masyarakat yang kurang mampu berkomunikasi ataupun berinteraksi dengan lingkunganya secara baik, hal ini disebabkan oleh beberapa hal :
- Tingkat pendidikan dan keterampilan masih rendah, pola berpikir yang statis dan tradisional.
- Tempat-tempat nelayan yang terbesar, terpencil dan jauh dari keramaian sehingga tersisih dari kehidupan dan lingkungan yang lebih maju untuk mengadakan kontak masih terbatas.
- Mempunyai keluarga besar, sehingga hasil tangkapanya jarang mencakupi keluarganya (Kusnadi, 2003).
Menurut Kusnadi (2000), dalam bukunya berjudul Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial menjelaskan tentang kehidupan dan strategi adaptasi masyarakat nelayan, dan berbagai permasalahan yang dihadapi para nelayan tradisional dengan pendekatan antropologi-sosiologis. Intensitas tekanan sosial-ekonomi dan kemiskinan yang membawa akibat dan mempersulit kehidupan rumah tangga di desa nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari disebaban oleh faktor-faktor yang sangat kompleks.
Konteks Masyarakat Nelayan
Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kawasan nelayan, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan wilayah laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kekuatan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor budaya ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok masyarakat lainnya. Sebagian besar masyarakat nelayan, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritim Indonesia (Kusnadi, 2009).
Menurut Kusnadi (2003), ada dua sebab yang menyebabkan kemiskinan nelayan, yaitu sebab yang bersifat internal dan bersifat eksternal. Kedua sebab tersebut saling berinteraksi dan melengkapi. Sebab kemiskinan yang bersifat internal berkaitan erat dengan kondisi internal sumber daya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Sebab-sebab internal ini mencakup masalah : (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan, (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan, (3) hubungan kerja (pemilik perahu-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh, (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan, (5) ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut, dan (6) gaya hidup yang dipandang boros sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Sebab kemiskinan yang bersifat eksternal berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan. Sebab-sebab eksternal ini mencakup masalah : (1) kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial, (2) sistim pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara, (3) kerusakan ekosistem nelayan dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktik penangkapan dengan bahan kimia, pengrusakan terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan nelayan, (4) penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, (5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pascapanen, (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa- desa nelayan, (8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun, dan (9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia (Nasution dkk, 2005).
Selanjutnya Mulyadi (2005), mengatakan bahwa sesungguhnya, ada dua hal utama yang terkandung dalam kemiskinan, yaitu kerentanan dan ketidak berdayaan. Dengan kerentanan yang dialami, orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk keperluan melaut. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak ada hasil tangkapan yang bisa dijual, dan tidak ada dana cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan yang mendesak. Hal yang sama juga dialami oleh nelayan buruh, mereka merasa tidak berdaya dihadapan para juragan yang telah mempekerjakannya, meskipun bagi hasil yang diterimanya dirasakan tidak adil (Mulyadi, 2005).
Keterbatasan kepemilikan aset adalah ciri umum masyarakat nelayan yang miskin, hal ini tergambar dari kondisi rumah. Rumah nelayan terletak di pantai, di pinggir jalan kampung umumnya merupakan bangunan non parmanen atau semi parmanen, berdinding bambu, berlantai tanah, ventilasi rumah kurang baik sehingga sehari-hari bau anyir ikan menyengat dan meskipun siang hari, di dalam rumah cukup gelap, sementara juru mudi atau juragan jauh lebih baik berbentuk parmanen (Imron, 2012).
Sebagai suatu masyarakat yang tinggal di kawasan nelayan, masyarakat nelayan mempunyai karakteristik sosial tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daratan. Di beberapa kawasan nelayan yang relatif berkembang pesat, struktur masyarakatnya bersifat heterogen, memiliki etos kerja tinggi, solidaritas sosial yang kuat, serta terbuka terhadap perubahan dan interaksi sosial. Sekalipun demikian, masalah kemiskinan masih mendera sebagaian masyarakat nelayan, sehingga fakta sosial ini terkesan ironi di tengah-tengah kekayaan sumber daya nelayan dan lautan (Kusnadi, 2009).
Seperti juga masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah masalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang setiap saat.
2. Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar, sehingga mempengaruhi dinamika usaha.
3. Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada.
4. Kualitas SDM yang rendah sebagai akibat keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik.
5. Degradasi sumberdaya lingkungan, baik di kawasan nelayan, laut maupun pulau-pulau kecil.
6. Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional (Kusnadi, 2009).
Pola Kemiskian Nelayan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2006). Sedangkan menurut Depsos, kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kilo per kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (Suharto, 2005).
Pada dasarnya kemiskinan terbagi kedalam berbagai ciri (Suharto, 2005), sebagai berikut:
- Ketidakmampuan memenuhi konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan)
- Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan tansportasi)
- Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)
- Kerentanan terhadap goncangan yang bersidat individual maupun missal.
- Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam
- Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat
- Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan
- Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
- Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
Selain itu, kemiskinan terkategorikan kedalam kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Suharto, 2005). Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jika pun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan.
Sedangkan kemiskinan kultural menurut merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja (Suharto, 2005). Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Kebudayaan kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi (Aulia, 2009), yaitu :
- Dimensi ekonomi yakni kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
- Dimensi sosial dan budaya yakni kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
- Dimensi sosial dan politik yakni rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.
Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat nelayan, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya. Menurut Panayotou (1982), mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif disebut metode interpretative karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan dilapangan. Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif, dimana data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka
(Sugiyono, 2010). Metode penelitian berfungsi untuk memberikan penjelasan mengenai tahapan-tahapan penelitian, menyajikan fakta dan mendeskripsikan data yang telah diperoleh, menentukan faktor-faktor terkait yang mempengaruhi terjadi kemiskinan pesisir di Labuhan Bilik Kabupaten Labuhan Batu.
Dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu : wawancara dan observasi. Jenis data dalam penelitian ini adalah: Data primer merupakan data yang langsung dikumpulkan oleh penulis dari sumber utama untuk kemudian diolah dan dianalisis berupa hasil pengisian kuesioner yang berisikan pertanyaan tentang variabel yang diteliti. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Labuhanbatu.
Teknik penentuan sampel yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah teknik Purposive Sampling. Purposive sampling menurut Sugiyono (2010), adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang dimaksudkan yaitu merupakan masyarakat nelayan yang berdomisili di Labuhan Bilik Kecamatan Panai Tengah sebanyak 100 orang.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Profil
Panai Tengah adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, Indonesia. Pemerintahannya di atur oleh Camat. Luas wilayah Kecamatan ini kira-kira 483,74 km², jumlah penduduk 25.568 jiwa (2001), kepadatan 53 jiwa/km², terdapat 10 desa/kelurahan diantaranya adalah: Bagan Bilah, Labuhan Bilik, Pasar Tiga, Sei Merdeka, Sei Nahodaris, Sei Pelancang, Sei Rakyat, Sei Siarti, Selat Beting Dan Telaga Suka. Terletak di antara 2°27’42.78 “N Lintang Utara dan 100°14’31.49 “E Lintang Selatan. Bertetangga dengan Kecamatan lain, seperti: Kecamatan Panai Hilir sebelah Barat laut, Kecamatan Pasir Limau sebelah Tenggara, Kecamatan Panai Hulu sebelah Barat Daya. Mayoritas penduduk nya memakai bahasa daerah yg disebut dengan bahasa PANE. Penghidupan di kota pane berbagai macam, mulai dari Nelayan, Bertani dan berbagai macam lainnya.
Hasil Penelitian
Berikut ini hasil penelitian deskriptif statistik demografi responden penelitian yang berjumlah 100 orang akan diuraikan sebagai berikut :
- Diagram Responden Berdasarkan Usia
Gambar 1. Responden Berdasarkan Usia
Secara umum mayoritas usia responden dalam penelitian ini paling dominan berkisar antara 41-50 tahun yang sudah termaksud dalam kategori tingkatan umur produktif. Hal ini terjadi karena usia tersebut memiliki pengalaman kerja yang tinggi. Hal ini juga menggambarkan bahwa sebagian responden nelayan hampir seluruh hidupnya dicurahkan untuk bekerja sebagai nelayan. Selanjutnya usia terendah dalam penelitian ini berusia 50 tahun keatas yang masih aktif bekerja sebagai nelayan, hal ini dikarenakan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
- Diagram Responden Berdasarkan Pendidikan
Gambar 2. Responden Berdasarkan Usia
Masyarakat nelayan memiliki persentase yang paling tinggi berada pada pendidikan yang tidak bersekolah sebanyak 54 responden. Tingkat pendidikan yang masih rendah ini disebabkan oleh beberapa faktor penghambat, diantaranya biaya pendidikan yang tinggi dan tidak terjangkau oleh penduduk yang sehari-harinya hanya bekerja sebagai nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu. Faktor penghambat lain yaitu masih banyaknya penduduk yang beranggapan bahwa bisa bekerja dan menghasilkan uang itu lebih penting dari pada sekolah. Banyak sarjana yang menjadi pengangguran sehingga sekolah yang tinggi tidak menjamin akan memperoleh posisi pekerjaan yang lebih tinggi. Selanjutnya fenomena kehidupan nelayan yang sangat tergantung dengan laut, secara tidak langsung juga ikut mempengaruhi pendidikan anak-anak nelayan. Dimana ketika musim ikan biasanya anak-anak khususnya anak-anak lelaki lebih memilih ikut membantu orangtua mereka untuk melaut.
- Diagram Responden Berdasarkan Lama Bekerja
Gambar 3. Responden Berdasarkan Lama Bekerja
Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner mengenai lama bekerja sebagai nelayan dalam penelitian ini paling dominan sebanyak 44 responden lama bekerja di atas 21 tahun, selanjutnya sebanyak 34 responden lama bekerja 11-20 tahun, terakhir sebanyak 22 responden lama bekerja 1-10 tahun. Waktu selama itu hanya bekerja sebagai nelayan, semakin menunjukkan bahwa masyarakat nelayan hampir seluruh hidupnya sangat bergantung pada laut.
- Diagram Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
Gambar 3. Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner pada masing-masing desa maka diperoleh jumlah tanggungan keluarga bervariasi. Dalam penelitian ini diperoleh jumlah tanggungan yang paling dominan sebanyak 50 responden kategori besar yakni lebih dari 4 orang, selanjutnya sebanyak 38 responden kategori sedang yakni 3-4 orang, sebanyak 7 responden kategori tidak ada tanggungan dan terakhir sebanyak 5 responden kategori kecil yakni kurang 2 orang. Dapat disimpulkan bahwa nelayan jumlah tanggungan keluarga masuk dalam kategori besar, dimana dalam satu keluarga nelayan memiliki > 4 orang tanggungan.
- Diagram Penghasilan Melaut Nelayan
Gambar 5. Responden Berdasarkan Penghasilan
Penghasilan melaut nelayan sebulan dalam penelitian ini paling dominan sebanyak 38 responden atau sebesar 38,0% menyatakan tinggi yakni di atas > Rp. 2.100.000 dalam sebulan, selanjutnya sebanyak 32 responden atau 32,0% menyatakan sedang Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000 dalam sebulan, terakhir sebanyak 30 responden atau 30,0% menyatakan sedang Rp 1.000.000- Rp. 1.500.000 dalam sebulan. Dapat disimpulkan bahwa penghasilan yang didapat perbulan dapat kita katakan bahwa nelayan tersebut mempunyai penghasilan yang tinggi. Tetapi adapun sifat dari pendapatan tidak tetap karena penghasilan yang diperoleh masyarakat setempat bergantung pada musim, cuaca dan tingkat kebutuhan konsumen terhadap ikan.
- Diagram Kegunaan Penghasilan
Gambar 6. Responden Berdasarkan Kegunaan Penghasilan
Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner mengenai hal yang dilakukan nelayan jika penghasilan meningkat dalam penelitian ini paling dominan sebanyak 34 responden atau sebesar 34,0% menyatakan membayar kredit, selanjutnya sebanyak 29 responden atau 29,0% menyatakan menambah kebutuhan pokok pangan, sebanyak 26 responden atau 26,0% menyatakan menambah kebutuhan perabotan rumah tangga, terakhir sebanyak 11 orang atau 11,0% menyatakan disimpan atau ditabung. Kebanyakan responden dalam penelitian ini menagku hal yang dilakukan nelayan jika memperoleh penghasilan lebih digunakan untuk membayar kredit, umumnya kredit yang dikomsumsi nelayan adalah kredit motor dan untuk modal kerja.
- Diagram Pengeluaran Pangan Dalam Sebulan
Gambar 7. Responden Berdasarkan Pengeluaran Pangan
Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner mengenai pengeluaran sandang nelayan selama sebulan dalam penelitian ini paling dominan sebanyak 57 responden atau sebesar 57,0% menyatakan > Rp 760.000, selanjutnya sebanyak 30 responden atau 30,0% menyatakan Rp 510.000- Rp. 750.000 dan sebanyak 13 responden atau 13,0% menyatakan < Rp 500.000. Dapat disimpulkan bahwa pengeluaran sandang yang paling dominan dalam penelitian ini adalah sebesar Rp. 760.000 perbulan.
- Diagram Kegiatan Lain Nelayan Saat Paceklik
Gambar 8. Responden Berdasarkan Kegiatan Saat Paceklik
Kegiatan lain nelayan saat paceklik dalam penelitian ini paling dominan sebanyak 39 responden atau sebesar 39,0% menyatakan memperbaiki kapal dan jaring ikan, selanjutnya sebanyak 30 responden atau 30,0% menyatakan melakukan pekerjaan sampingan, sebanyak 17 responden atau 17,0% menyatakan meminjam uang kepada rentenir dan sebanyak 14 orang atau 14,0% menyatakan menganggur. Dalam ini penelitian ini umumnya nelayan dalam mengisi waktu luang ketika musim paceklik tiba adalah memperbaiki kapal dan jaring ikan yang rusak akibat melaut, namun menariknya kegiatan lain yang dilakukan nelayan adalah melakukan pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan.
Pembahasan
Masyarakat kawasan pesisir cenderung agresif, hal ini dikemukakan oleh Suharto (2005), karena kondisi lingkungan pesisir yang panas dan terbuka, keluarga nelayan mudah diprovokasi dan salah satu kebiasaan yang jamak di kalangan nelayan (masyarakat pesisir) adalah karena kemudahan mendapatkan uang menjadikan hidup mereka lebih konsumtif. Menurut Zomroni (1992) menyatakan bahwa prilaku sosial merupakan hubungan antara tingkah laku masyarakat dengan tingkah laku lingkungan.
Berdasarkan dari analisis dan data yang telah terkumpul berikut ini dapat dilihat faktor-faktor konsumtif masyarakat nelayan setempat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
- Apabila nelayan memiliki penghasilan meningkat lebih digunakan untuk membayar kredit motor dan membeli kebutuhan pangan pokok, kelebihan peningkatan nelayan dapat bersumber dari adanya hutang kepada rentenir, karena tidak semua penghasilan nelayan mampu menutupi keperluan.
- Faktor lain yang menyebabkan konsumtif, karena nelayan memiliki penghasilan tambahan dari pekerjaan sampingan, pekerjaan sampingan dapat dilakukan nelayan saat musim paceklik ikan tiba cukup bervariasi yang penting bagi mereka menghasilkan seperti bekerja sebagai buruh, kuli bangunan, tukang perbaiki kapal, dan bertani.
- Perkembangan globalisasi dan teknologi yang terus berkembang serta menghiasi kehidupan nelayan yang bersumber dari misalnya iklan-iklan ditelevisi menyebabkan masyarakat tertarik untuk membeli atau mengkonsumsi barang-barang yang dilihatnya tersebut dan didukung mudahnya masyarakat nelayan memperoleh sumber informasi.
- Semakin banyaknya perusahaan leasing yang melakukan ekspansi bisnis ke daerah-daerah, hal ini mengakibatkan perekonomian daerah tersebut semakin bergairah atau hidup karena ada daya beli dan permintaan yang tinggi dari masyarakat pesisir.
- Pendapatan lebih ataupun penghasilan yang diperoleh nelayan yang meningkat dalam hukum ekonomi akan meningkatkan jumlah penawaran atas barang atau adanya daya beli masyarakat atas barang-barang. Sebagian nelayan memperoleh tambahan pendapatan dari akivitas mereka sebagai nelayan jika musim paceklik ikan, nelayan akan beralih profesi mencari pekerjaan alternative seperti kuli bangunan, pekerja perkebunan dan petani. Makin tinggi pendapatan seseorang makin tinggi pula daya belinya dan semakin beraneka ragam kebutuhan yang harus dipenuhi, dan sebaliknya.
- Salah satunya timbul konsumtif adalah rendahnya pendidikan nelayan, bagi mereka pendidikan tidak begitu penting. Nelayan adalah pekerjaannya sangat bergantung pada alam, pendapatan melaut yang melimpah merupakan kesempatan nelayan untuk memperbaiki sisi kehidupan yang perlu dibenahi, namun kesempatan yang dialami lebih menjurus kepada pembelian barang-barang non pangan yang terkadang barang tersebut tidak memberikan dampak langsung. Pemahaman nelayan mengenai kebutuhan lebih didasarkan hal yang tampak didepannya tanpa dipertimbangkan terlebih dahulu sehingga menyebabkan mereka harus mengutang karena pendapatan telah habis dan tidak digunakan sebaik-baiknya, ini menandakan bahwa peran pendidikan sangat penting bagi tiap orang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang berkaitan dengan kebutuhan.
- Karena lingkungan dimana merupakan suatu bentuk ekologi sosial dengan sesama tetangga, sifat kecemburuan sosial dalam masyarakat merupakan suatu hal yang mudah ditemukan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini antara lain :
- Pola konsumtif yang terjadi di Labuhan Bilik Kabupaten Labuhan Batu disebabkan oleh faktor rendahnya kualitas sumber daya manusia, minimnya kepemilikan modal usaha dan teknologi, dan gaya hidup masyarakat.
- Rendahnya kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dengan rendahnya tingkat pendidikan mayoritas masyarakat yaitu tidak bersekolah hingga sampai Sekolah Dasar (SD) dan ketrampilan yang dimiliki oleh masyarakat Labuhan Bilik.
- Pekerjaan nelayan yang sangat tergantung pada musim dan alam mengakibatkan para nelayan harus memiliki pekerjaan sampingan untuk memperoleh tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Didalam pekerjaan nelayan memang tidak dibutuhkan pendidikan dan ketrampilan khusus, namun hanya dibutuhkan kekuatan fisik serta pengalaman.
- Gaya hidup masyarakat ditandai dengan pengalokasian pendapatan dan waktu para masyarakat pesisir. Dengan kondisi ekonomi yang dapat dikatakan rendah, banyak masyarakat pesisir yang bersifat konsumtif merokok.
- Selain itu pengalokasian waktu bagi para nelayan yang tidak sedang melaut. Jika para nelayan tidak melaut biasanya mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktunya menganggur dirumah atau sekedar memperbaiki alat tangkap mereka. Mereka mencoba untuk mencari pekerjaan sampingan untuk memperoleh pendapatan lebih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Perbandingan pengeluaran dengan penghasilan yang diperoleh nelayan, pengeluaran pangan dan sandang yang berbeda tipis menunjukkan ada perilaku konsumtif, hal ini terlihat pembelian seperti perobatan rumah tangga dan sepeda motor yang dimiliki keluarga nelayan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa hal yang dapat diusulkan sebagai saran adalah:
- Sebaiknya pemerintahan daerah serius dalam menangani kemiskinan dengan membangun prasarana pendidikan yang lebih memadai dan membantu keluarga miskin agar anak putus sekolah dapat menurun.
- Sebaiknya pemerintah setempat mengembangkan pembangunan-pembangunan seperti kantor cabang perusahaan bank guna membantu nelayan memperoleh pinjaman dengan bunga rendah, serta menghindarkan nelayan dari pinjaman bunga tinggi rentenir.
- Sebagai tambahan informasi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti hal yang sama.
Implikasi
Implikasi dari analisis dan pembahasan mengenai pola konsumtif dan dampaknya, antara lain:
- Meningkatkan kualitas pendidikan keluarga nelayan, pendidikan merupakan gerbang untuk memperoleh berbagai ilmu terutama mengenai pemahaman pendidikan agar para nelayan dapat mengendalikan dan mengelola keuangan mereka dengan baik.
- Perlunya merubah pola kehidupan nelayan, hal ini terkait dengan pola pikir dan kebiasaan. Pola hidup konsumtif harus dirubah agar nelayan tidak terpuruk ekonominya saat panceklik. Selain itu membiasakan budaya menabung supaya tidak terjerat rentenir.
- Meningkatkan kualitas perlengkapan nelayan dan fasilitas pemasaran. Perlunya dukungan kelengkapan teknologi dalam penangkapan ikan dengan teknologi yang lebih baik.
- Perlunya sebuah kebijakan sosial dari pemerintah yang berisikan program yang memihak nelayan. Adanya kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Tessa . F. 2009.Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan Aspek Sosial Budaya”. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI.
BPS. 2011. Labuhanbatu Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Labuhanbatu.
Harahap, M. 2006. Analisis Peran Gender Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut (Studi Kasus Di Kecamatan Panai Hilir Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Imron, A. 2012. Strategi dan Usaha Peningkatan Kesejahteraan Hidup Nelayan Tanggusari Mangunharjo Tugu Semarang dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Riptek Vol. 6, No. 1, Tahun 2012. Hal: 27-37.
Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adoptasi dan jaringan Sosial. LKIS. Yogyakarta.
Kusnadi. 2003. Akar Kemiskinan Nelayan. LKIS. Yogyakarta.
Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Lewis, Oscar. 1988. Kisah Lima Keluarga. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Masri. 2010. Identifikasi Karakteristik Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Nelayan Sungai Limau Di Kabupaten Padang Pariaman Dalam Penyediaan Perumahan Permukiman. Tesis. Pascasarjana Universitas Diponegoro. Diponegoro.
Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nasution, A., Badaruddin, dan Subhilhar. 2005. Isu-isu Kelautan dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Soekanto, S. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Refika Aditama. Bandung.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfabeta. Bandung.
Sipahelut, M., B. Wiryawan, dan T.W. Nurani. 2002. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Vol. 25: 377-388.
Panayotou, T. 1982. Management Concepts for Small-scale Fisheries : Economic and Social Aspect. FAO Fish Tech.Pap.,(228) : 53p.