BAB I
1.1. Latar Belakang
Keberhasilan mengembangkan Batam sebagai daerah industri, perdagangan, galangan kapal dan pariwisata sejak dikeluarkannya Keppres No 41 tahun 1973 dan Keppres No 05 tahun 1983 tidak bisa disangkal lagi oleh siapapun juga.
Batam yang sebelumnya daerah kecil yang hanya dihuni oleh sekitar 6.000 jiwa, kini tampil sebagai daerah industri bertaraf Internasional dengan 460 Penanaman Modal Asing (PMA) dan tidak kurang dari 1.440 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan nilai investasi mencapai 6,8 milliar dolar AS.
Tidak salah, jika Pemerintah Pusat menjadikan Batam sebagai lokomotif perekonomian nasional yang kini sedang melakukan pemulihan ekonomi (recovery). Diproyeksikan, hingga akhir tahun 2000 ini kontribusi dari pajak penghasilan sebesar Rp 1 triliun dan diharapkan target pertumbuhan ekonomi Batam tahun ini sebesar 4,5 persen bisa diwujudkan.
Akan tetapi, keberhasilan sektor ekonomi secara makro di Batam seperti itu belum disertai dengan meningkatnya kesejahteraan warganya, ratusan ribu warga Batam masih tinggal di rumah-rumah liar yang kumuh dengan anak-anak usia sekolah yang terpaksa harus bekerja membantu meringankan beban orang tuanya. Hal ini antara lain disebabkan belum cukupnya akses warga Batam untuk aktif terlibat dalam kegiatan ekonomi sektor formal yang menuntut berbagai persyaratan tertentu seperti keterampilan dan pendidikan.
Hingga Juni 1999, dari sekitar 400.000 penduduk Batam, tenaga kerja yang dapat ditampung di sembilan sektor usaha formal hanya sekitar 143.000 orang, selebihnya sebagian besar bekerja di sektor informal. Kontribusi sektor ini bagi penyerapan tenaga kerja sangatlah besar (melebihi penyerapan tenaga kerja sektor formal). Mereka bekerja di seluruh sektor yang dikerjakan oleh ekonomi sektor formal seperti sektor perdagangan, pertanian, peternakan, industri kecil (home industry), dan industri kecil yang mendukung pariwisata.
Dengan kontribusi yang besar dari ekonomi kerakyatan ini terhadap penyediaan lapangan kerja, ekonomi kerakyatan dengan sendirinya ikut andil dalam meningkatkan kesejahteraan warga Batam. Padahal, sektor ini selama ini tumbuh secara alami, tidak banyak mendapatkan proteksi, baik dari sisi peraturan yang memihak secara konkrit maupun kemudahan fasilitas permodalan.
Memang, di sisi lain, tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan terkadang menyalahi ketentuan yang ditetapkan pemerintah setempat, khususnya dalam pengalokasian lahan. Banyak daerah-daerah di Batam yang semestinya digunakan untuk berusaha disektor ini, terpaksa disalahgunakan. Tentunya, hal ini akan berdampak negatif pada faktor yang lain dan menimbulkan masalah yang harus dihadapi oleh pemerintah. Kasus-kasus yang membuktikan akan hal itu, sudah sering muncul ke permukaan.
Sektor usaha ekonomi informal seperti itu merupakan ciri utama ekonomi kerakyatan, mereka berusaha tanpa adanya badan hukum yang jelas, mudah dipindah-pindahkan, modal dan penggunaan teknologi yang relatif sederhana.
Koperasi yang seharusnya bisa menjembatani warga Batam untuk ikut aktif terlibat di ekonomi sektor formal, karena bergerak di berbagai bidang usaha dan mempunyai keanggotaan yang besar, ternyata belum bisa menjalankan fungsinya secara optimal yang disebabkan oleh beberapa faktor. Dari sekitar 280 koperasi yang ada di Batam, sebagiannya belum berfungsi secara optimal.
Di sisi lain, tantangan era perdagangan bebas yang tinggal sesaat lagi yang diwarnai tingginya tingkat persaingan, menuntut setiap pelaku ekonomi apapun bentuknya mempunyai daya saing yang tinggi dengan produktivitas yang tinggi pula.
Jika mulai saat ini sektor ekonomi kerakyatan tidak secara serius dan sungguh-sunguh dikelola dan diberdayakan secara profesional, dalam perdagangan bebas nanti, kemungkinan terbesarnya adalah sebagian besar warga hanya menjadi objek dari pelaku usaha dari luar negeri yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan dirinya. Ekonomi kerakyatan mempunyai potensi yang sedemikian besar bagi upaya peningkatan pendapatan masyarakat, jika sektor itu bisa dikelola dengan manajemen yang baik dan profesional.
Oleh karena itu, perlu dipikirkan langkah konkrit untuk memberdayakan ekonomi kerakyatan di Batam, pintu perdagangan bebas dimulai dari Batam sebelum masuk ke daerah-daerah lain di Indonesia. Artinya, keberhasilan dan kegagalan ekonomi kerakyatan di Batam, akan sangat berpengaruh terhadap ekonomi kerakyatan di daerah lain, karena mereka mempunyai keterkaitan yang cukup erat dengan Batam.
1.2. Pembatasan Masalah
Krisis ekonomi Indonesia mendorong angkatan kerja yang semakin bertambah akan mencari alternatif daerah lain yang masih memberikan harapan hidup lebih baik. Salah satu daerah yang menjadi pilihan angkatan kerja di Indonesia itu adalah Pulau Batam, karena di daerah ini imbas krisis ekonomi belum separah daerah lain. Pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja masih positif. Sebagai ilustrasi, tahun 1998 lalu, saat perekonomian Nasional mengalami pertumbuhan ekonomi negatif sebesar 14 persen, ternyata ekonomi Batam masih tumbuh sekitar 3,5 persen. Hal itu jelas diiringi dengan masih terbukanya peluang kerja dan peluang berusaha di pulau perbatasan ini.
Dengan dijadikannya Pulau Batam sebagai alternatif pencari kerja tersebut secara otomatis pertumbuhan penduduk yang ada di Pulau Batam sangat tinggi, yang rata-rata mencapai 18 %. Namun pertumbuhan penduduk itu tidak sebanding dengan pertumbuhan lapangan kerja yang ada (6 % ), khususnya disektor formal. Laju tingkat pertumbuhan penduduk yang demikian pesatnya bila dibandingkan dengan lapangan pekerjaan yang ada sudah sangat tidak seimbang. Hal ini berdampak buruk pada tingginya tingkat pengangguran dengan berbagai polemiknya. Selain itu, untuk menunjang kehidupan pencari kerja agar tetap survive sasarannya adalah sektor informal.
Sektor ini mampu menampung ratusan ribu pencari kerja di Batam, karena untuk membuka usaha di sektor ini relatif lebih mudah dibanding ekonomi sektor formal yang menuntut banyak persayaratan baik keterampilan, regulasi, finansial maupun masalah lainnya di luar jangkauan pencari kerja tersebut. Hanya dengan sedikit keterampilan dan modal mereka dapat melakukan usaha disektor ini. Akibatnya pertumbuhan sektor informal disatu sisi begitu pesat dan mampu meningkatkan kesejahteraan pelaku usahanya, tetapi dilain pihak menciptakan berbagai masalah baru.
Tujuan dari pembangunan mempunyai dimensi yang sangat luas, antara lain adalah meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan pemerataan [keseimbangan]. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan pemerataan sering terbentur dengan kurang atau tidak tepatnya langkah atau kebijaksanaan yang dilaksanakan. Kurang tepatnya langkah-langkah atau kebijaksanaan yang dilaksanakan disebabkan oleh tidak tersedia atau kurangnya data / informasi tentang sumber dan potensi pembangunan suatu daerah.
1.3. Tujuan Dan Sasaran Penelitian
Sasaran studi ini adalah menyusun informasi yang memberikan gambaran ringkas atau profil tentang potensi dan peluang ekonomi kerakyatan Kota Batam.
Secara umum tujuan studi ini adalah :
- Melihat gambaran tentang sumber dan potensi pembangunan pulau-pulau di wilayah Kota Batam dengan berlatar belakang pada perkembangan sosial ekonomi termasuk faktor pendorong dan penghambat wilayah tersebut.
- Mengetahui kondisi kegiatan ekonomi kerakyatan di Batam, serta langkah-langkah apa yang harus diambil agar ekonomi kerakyatan tersebut dapat diberdayakan sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan serta memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian Batam secara keseluruhan.
- Mengidentifikasi ciri-ciri perekonomian pada masa lalu dan sekarang sehingga dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan rencana pengembangan pada masa yang akan datang.
1.4 . Keluaran dan Manfaat penelitian
Keluaran yang diharapkan dari studi ini adalah sebuah profil potensi dan peluang ekonomi kerakyatan Kota Batam yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan Pulau Batam. Laporan hasil studi ini berbentuk diskriptif dan kwantitatif.
Dengan tersusunnya profil ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
- Sebagai pedoman dan informasi bagi para pengambil keputusan yang berkaitan dengan potensi ekonomi kerakyatan Pulau Batam dalam merumuskan kebijakan.
- Sebagai rekomendasi dari peluang yang ada di lapangan untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan di Batam dalam menumbuhkembangkan perekonomian Batam yang berbasis pada ekonomi kerakyatan
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Studi ini difokuskan pada penyusunan profil potensi dan peluang ekonomi kerakyatan di Kota Batam. Untuk itu fokus pembahasan akan berkisar pada beberapa aspek, yaitu : Lokasi/tempat berusaha, jumlah pelaku usaha ekonomi kerakyatan dan bidang yang dikelola serta tingkat keahliannya, aspek permodalan / akses dengan lembaga keuangan, kelayakan dan risiko usaha, kemampuan managerial, proses produksi, pemasaran, dampak dari usaha yang dijalankan, serta akses terhadap informasi dan teknologi.
Adapun bidang yang akan dianalisis adalah, tata guna tanah/lahan yang menyangkut sektor ekonomi, pertanian, perikanan, peternakan, industri kecil dan industri kecil yang mendukung pariwisata di Batam.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Pendekatan Penelitian
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa pada studi penelitian ini bertujuan untuk menyusun informasi yang memberikan gambaran ringkas / profil tentang potensi dan peluang ekonomi kerakyatan Kota Batam. Sesuai dengan tujuan tersebut maka pendekatan penelitian ini mengacu pada studi pustaka, studi data primer, hasil survey lapangan, serta wawancara mendalam yang semuanya didasarkan pada kerangka analisis ekonomi.
Dalam menyusun profil potensi dan peluang ekonomi kerakyatan Kota Batam ini diperlukan studi kepustakaan yang diharapkan akan memberikan berbagai informasi, metode dan teori, serta data sekunder yang kemudian akan dianalisis dengan berbagai peralatan analisis ekonomi. Sementara pendekatan analisis data primer dan hasil survey lapangan dimaksudkan untuk memberikan gambaran mikro dari karakteristik ekonomi kerakyatan yang ada di Pulau Batam. Selain itu wawancara mendalam dengan nara sumber adalah penting sebagai bahan bagi peneliti untuk mempertajam kemampuan analisisnya.
2.2. Studi Kepustakaan
Ekonomi rakyat, selain merupakan sokoguru perekonomian Nasional, sejarah juga mencatat dan membuktikan keandalannya, baik selama masa penjajahan maupun pada 25 tahun pertama kemerdekaan dengan tetap bertumpu pada kekuatan ekonomi kerakyatan, (Mubyarto, 1997).
Selanjutnya, ekonomi kerakyatan juga berfungsi sebagai kunci ketahanan ekonomi nasional, konglomerasi usaha besar yang selama ini selalu dianggap sebagai contoh usaha-usaha yang efisien, profesional dan bisa diandalkan dalam menghadapi era persaingan global, belum mampu membuktikan dirinya seperti yang diharapkan sebelumnya .
Kwik Kian Gie (1999), menggambarkan bahwa sistem ekonomi kerakyatan harus mengedepankan sektor ekonomi rakyat, yang ditunjukkan dari kehidupan para petani, nelayan, buruh dan kaum papa yang diprioritaskan. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sisitem ekonomi yang memihak kepada kepentingan rakyat secara adil, manusiawi dan demokratis.
2.3. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan cara mengunjungi semua pelaku ekonomi kerakyatan yang telah dipilih sebagai sampel studi
2.4. Wawancara Mendalam
Untuk lebih memperdalam pemahaman penelitian terhadap berbagai aspek bahasan, maka digunakan wawancara mendalam. Wawancara mendalam ini perlu dilakukan untuk melengkapi data yang ada sehingga diperoleh bahan untuk dilakukan pengkajian secara komprehensif. Hal ini bisa dilakukan karena dalam waktu yang relatif singkat bisa dikumpulkan berbagai informasi dan persepsi dari nara sumber pada bidang-bidang keilmuan yang sesuai dengan kajian penelitian.
Dalam wawancara mendalam penentuan jumlah nara sumber ditentukan oleh lengkap atau dalamnya informasi yang diperoleh. Untuk menentukan cukup tidaknya informasi tersebut, lebih dahulu disusun suatu pedoman wawancara untuk menampung hal-hal yang belum terjangkau oleh studi kepustakaan dan survey lapangan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
4.1. Hasil Penelitian
Dalam penelitian Studi Potensi dan Peluang Ekonomi Kerakyatan Kota Batam ini diambil 110 responden yang tersebar di delapan kecamatan wilayah Kota Batam. Angka 110 dalam menentukan responden ini diperoleh dari data Sensus Ekonomi 1996 yang menyatakan jumlah usaha tidak berbadan hukum sebanyak 34.026. Dengan data ini diasumsikan tahun 2000 terjadi peningkatan sebesar 300 %, sehingga diperoleh jumlah usaha kecil menengah sebanyak 102.000. Menurut Teori Gay untuk penelitian deskriptif sampel yang diambil minimal 10 %, tetapi jika memakai teori ini, hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan teknis dan sumberdaya lainnya sehingga diambil sampel 1 0 / 00 dengan hasil sebanyak 102 sampel yang dibulatkan menjadi angka 110 sampel yang tersebar di delapan kecamatan. 110 responden sebagai pelaku ekonomi kerakyatan yang ditentukan melalui formula statistik itu dibagi dalam lima sektor (sesuai dengan TOR yang diberikan), yakni sektor pertanian, perikanan, peternakan, industri kecil dan industri kecil yang mendukung pariwisata. Satu sektor yang cukup potensial, tidak dimasukkan menjadi objek penelitian adalah sektor perdagangan.
Seluruh data hasil penelitian ini disajikan dalam persentase. Seperti yang direncanakan, dalam penelitian ini diperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian, yakni data dan informasi seputar usaha ekonomi kerakyatan yang meliputi data tentang waktu dimulainya usaha, jenis produksi usaha (sektor usaha), modal awal usaha, daerah pemasaran, cara pemasaran, jumlah karyawan yang dimiliki, omset penjualan, pesaing usaha sejenis, organisasi, peran pemerintah dan upaya peningkatan pemasaran hasil produksi.
4.1.1. Karakteristik Usaha
- 1. Berdasarkan Tahun Dimulainya Usaha
Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh data bahwa 33% responden mengaku usaha mereka dimulai sebelum tahun 1995, kemudian, 5,61 % responden memulai usaha pada tahun 1995, selanjutnya 3,74 % responden memulai usaha tahun 1996, lalu 6.54 % usaha responden dimulai tahun 1997. Sebanyak 14,95 % usaha ekomi kerakyatan responden dimulai tahun 1998, kemudian, 25,23 % usaha responden dimulai tahun 1999 dan 10,28 % responden memulai usaha tahun 2000. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa persentase terbesar usaha responden dimulai sebelum tahun 1995, persentase untuk tahun-tahun selanjutnya berfluktuasi pada kisaran 3 % hingga 4 % pada tahun 1995 hingga 1997. Setelah tahun 1997 usaha ekonomi kerakyatan mengalami peningkatan persentase dimulainya usaha tersebut sampai dengan tahun 1999.
Pelaku ekonomi kerakyatan yang memulai usahanya sebelum tahun 1995, sebagian besar adalah warga Batam asli yang menghuni pulau ini sejak sebelum dikembangkan sekitar tahun 1970-an. Hal ini, ditandai dengan usaha ekonomi kerakyatan yang sifatnya masih sangat subsisten di pulau-pulau sekitar Batam seperti Belakangpadang, Galang, Lubukbaja dan Nongsa yang dihuni oleh sebagian Suku Jawa, Bugis dan Melayu.
Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, terlihat ekonomi kerakyatan di Batam belum memperlihatkan gejala perkembangan yang cukup tinggi. Diperoleh informasi, penyebab terjadinya hal itu adalah masih cukup terbukanya peluang kerja di sektor formal di Kota Batam.
Setelah krisis ekonomi pertengahan tahun 1997, tampak sekali perkembangan ekonomi kerakyatan. Hal itu antara lain disebabkan adanya arus migrasi yang masuk setelah terjadi gelombang PHK besar-besaran di Indonesia. Batam, yang sebagian produknya berorientasi ekspor, tidak terlalu berdampak dengan adanya krisis ekonomi tersebut. Bukti dari hal tersebut di atas ditampilkan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.1.1.
Tahun Mulai Usaha Ekonomi Kerakyatan di Batam (dalam persen)
Kecamatan |
2000 |
1999 |
1998 |
1997 |
1996 |
1995 |
<1995 |
Blk Padang |
8.33 |
– | – | – | – | 8.33 | 83.33 |
Bulang |
20.00 |
60.00 | – | – | – | – | 20.00 |
Galang |
11.11 |
11.11 | 33.33 | 11.11 | – | – | 33.33 |
Sei-Beduk |
15.00 |
25.00 | 15.00 | 5.00 | 10.00 | 5.00 | 25.00 |
Nongsa |
– |
22.22 | 27.78 | 16.67 | – | 5.56 | 27.78 |
Sekupang |
7.69 |
46.15 | 15.38 | – | – | 15.38 | 15.38 |
Lubuk Baja |
– |
10.00 | 10.00 | 10.00 | – | – | 70.00 |
Batu Ampar |
20.00 |
26.67 | 13.33 | 6.67 | 13.33 | 6.67 | 13.33 |
- 2. Berdasarkan Sektor Usaha
Dari data hasil penelitian yang diperoleh, ternyata sektor industri kecil menduduki persentase terbesar dari responden yang telah ditentukan yaitu 54,43 %. Kemudian diikuti sektor perikanan 38,02 %, sektor pertanian 5,46 %, sedangkan sektor usaha yang terkecil adalah sektor peternakan sebesar 2,08 %.
Diketahui, salah satu penyebab tingginya persentase besarnya sektor industri kecil adalah karena jika dibandingkan dengan berusaha sektor lain, sektor ini lebih mudah. Dan yang lebih penting adalah dengan status Batam sebagai kota industri yang membutuhkan logistik dalam jumlah besar, sektor indsutri ini mudah dipasarkan. (supporting industry).
Tabel 4.1.2
Distribusi Sektor Usaha Ekonomi Kerakyatan di Batam
(dalam Persen)
Kecamatan |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Blk Padang |
0.00 |
33.33 |
0.00 |
66.67 |
0.00 |
Bulang |
0.00 |
100.00 |
0.00 |
0.00 |
0.00 |
Galang |
11.11 |
77.78 |
11.11 |
0.00 |
0.00 |
Sei-Beduk |
5.00 |
20.00 |
0.00 |
75.00 |
0.00 |
Nongsa |
5.56 |
33.33 |
5.56 |
55.56 |
0.00 |
Sekupang |
15.38 |
23.08 |
0.00 |
61.54 |
0.00 |
Lubuk Baja |
0.00 |
10.00 |
0.00 |
90.00 |
0.00 |
Batu Ampar |
6.67 |
6.67 |
0.00 |
86.67 |
0.00 |
Total |
5.46 |
38.02 |
2.08 |
54.43 |
0.00 |
Dilihat dari setiap kecamatan, sektor industri kecil, jumlah terbesar di Kecamatan Lubukbaja 90 %, selebihnya tiga sektor yang lain. Peringkat kedua yang persentase sektor industri kecilnya besar berada di Kecamatan Batuampar yakni 86,67 %. Selanjutnya kecamatan Seibeduk 75 %, Belakang Padang 66,67 %, Sekupang 61,54 % dan Nongsa 55,56 %. Sedangkan Kecamatan Bulang dan Galang tidak mempunyai sektor industri kecil, namun usaha dibidang perikanan cukup menjanjikan seperti di Pulau Bulang sektor perikanannya 100 %.
- 3. Berdasarkan Lokasi Usaha
Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh data bahwa 40 % usaha ekonomi kerakyatan berlokasi di sekitar pantai/laut, 29 % responden berlokasi di pinggir jalan raya, 27 % responden di kawasan perumahan dan 3 % responden berlokasi pada lokasi sentra industi sedangkan di pusat kota hanya 1 % responden yang berlokasi di pusat kota. Data diatas menunjukkan bahwa daerah-daerah hinterland mempunyai potensi untuk dikembangkan dan dibina pemerintah bagi para pelaku usaha ekonomi kerakyatan
Tabel 4.1.3
Distribusi Lokasi Usaha Ekonomi Kerakyatan di Batam
Kecamatan |
Sentra Industri |
Kawasan perumahan |
Pinggir Jalan Raya |
Sekitar Laut/Pantai |
Pusat Kota |
Blk Padang |
0 |
8 |
3 |
5 |
|
Bulang |
0 |
0 |
0 |
10 |
|
Galang |
0 |
0 |
1 |
8 |
|
Sei-Beduk |
0 |
8 |
7 |
5 |
|
Nongsa |
0 |
3 |
3 |
12 |
|
Sekupang |
1 |
1 |
9 |
0 |
|
Lubuk Baja |
0 |
4 |
4 |
2 |
|
Batu Ampar |
2 |
5 |
4 |
3 |
1 |
Total |
3 |
29 |
31 |
43 |
1 |
- 4. Jumlah Modal Awal
Untuk memulai usaha, modal awal yang dibutuhkan para pelaku ekonomi kerakyatan kota Batam sangat bervariatif. Dari data penelitian, didapatkan bahwa pelaku ekonomi kerakyatan yang membutuhkan modal awal di bawah Rp. 1.000.000,- sebanyak 27 %, antara Rp 1.000.000,- sampai dengan Rp. 5.000.000,- 39.25%, 6 – 10 juta 14.02 %, 11-15 juta 4.67 %, 16-20 juta 2.8 %, sedangkan di atas 21 juta 12.15 % .
Dilihat per kecamatan, Kecamatan Nongsa dan Belakangpadang merupakan kecamatan yang modal ekonomi kerakyatannya paling sedikit, yakni mencapati 50% dan 41,67 % dari seluruh pelaku ekonominya mempunyai modal awal kurang dari Rp1 juta. Sebaliknya, Kecamatan Bulang, Batuampar dan Lubukbaja mempunyai kemampuan permodalan yang cukup baik, yakni sebagian respondennya mempunyai permodalan di atas Rp 21 juta. Di Kecamatan Sekupang, bagian terbesar pelaku ekonomi kerakyatannya mempunyai permodalan antara Rp1-5 juta. Hal itu juga terjadi di Kecamatan Galang, Seibeduk dan Belakangpadang.
Tabel 4.1.4.
Persentase Modal Awal Usaha Ekonomi Kerakyatan di Batam
Kecamatan | <1 juta | 1- 5 juta | 6-10 juta | 11 – 15 juta | 16 – 20 juta | > 21 juta |
Blk Padang | 41.67 | 41.67 | 8.33 | – | – | 8.33 |
Bulang | – | 20.00 | – | 20.00 | 20.00 | 40.00 |
Galang | 22.22 | 55.56 | 22.22 | – | – | – |
Sei-Beduk | 15.00 | 45.00 | 20.00 | – | 5.00 | 15.00 |
Nongsa | 50.00 | 33.33 | 11.11 | – | – | 5.56 |
Sekupang | 30.77 | 61.54 | 7.69 | – | – | – |
Lubuk Baja | 30.00 | 30.00 | 20.00 | 10.00 | – | 10.00 |
Batu Ampar | 20.00 | 26.67 | 20.00 | 13.33 | – | 20.00 |
Total | 27.10 | 39.25 | 14.02 | 4.67 | 2.80 | 12.15 |
3.a. Sumber Permodalan
Dari modal awal yang berasal seperti modal sendiri, laba yang ditahan, perbankan, lembaga keuangan lainnya, pinjaman saudara atau kenalan dan campuran. Campuran disini maksudnya penggunaan modal tidak dari satu jenis sumber modal saja tetapi dari beberapa sumber seperti modal sendiri dan pinjaman saudara. Dari hasil survey modal awal yang mereka butuhkan untuk memulai usaha, lebih dari 70 % menggunakan modal sendiri, sedangkan peranan lembaga keuangan maupun perbankan dalam mendukung perekonomian rakyat ini masih sangat minim tidak sampai 10 %. Pengusaha ekonomi kerayatan di Kecamatan Sekupang seluruh modal awal usahanya dengan modal sendiri. Sebaliknya, di Kecamatan Bulang, pengusaha ekonomi kerakyatannya mempunyai hubungan permodalan dengan pihak lain tertinggi, yakni 40 %.
Rendahnya persentase modal Bank yang digunakan oleh pelaku usaha ekonomi kerakyatan ini disebabkan karena selain proses kredit itu sendiri yang berbelit-belit juga keterbatasan jaminan pelaku usaha. Ada dua alternatif yang bisa dikembangkan untuk permasalahan permodalan bagi usaha ekonomi kerakyatan ini. Pertama, pemberdayaan koperasi yang sudah ada untuk mengayomi atau membina sekaligus dapat menjadi penjamin dalam hal pencairan dana pinjaman tersebut. Alternatif kedua, dengan mengembangkan sistem perekonomian syariah (bagi hasil) sehingga baik kreditur atau debitur bekerja sama dalam menghasilkan keuntungan yang kemudian dibagi hasilnya. Dengan dua alternatif ini, kesulitan dana atau permodalan bagi pengusaha ekonomi kerakyatan akan dapat dikurangi.
Tabel 4.1.4.a.
Persentase Perbandingan jenis modal yang digunakan
Kecamatan |
Modal sendiri |
Laba yang ditahan |
Perbankan |
Lembaga keuangan |
Pinjaman saudara |
Pinjaman kenalan |
Campuran |
Blk Padang | 75.00 | – | 8.33 | 8.33 | – | – |
8.33 |
Bulang | 60.00 | – | – | – | – | – |
40.00 |
Galang | 55.56 | – | – | – | – | 11.11 |
33.33 |
Sei-Beduk | 55.00 | – | – | – | 15.00 | 5.00 |
25.00 |
Nongsa | 88.89 | – | – | – | – | – |
11.11 |
Sekupang | 100.00 | – | – | – | – | – |
0.00 |
Lubuk Baja | 50.00 | 10.00 | – | – | 10.00 | 20.00 |
10.00 |
Batu Ampar | 66.67 | – | – | – | 6.67 | – |
26.67 |
Total | 70.09 | 0.93 | 0.93 | 0.93 | 4.67 | 3.74 |
18.69 |
3.b. Sumber Modal Per Sektor
Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa sektor peternakan, seluruh modal yang digunakan adalah modal sendiri, yakni 100 %, selanjutnya sektor pertanian menggunakan modal sendiri 40 % dan sektor industri kecil 71,4 %.
Tabel 4.1.4.b.
Sumber Modal usaha ekonomi kerakyatan (dalam persen)
Sumber Modal | Pertanian | Perikanan | Peternakan | Industri Kecil | Pariwisata | Total | |
Sendiri |
40.0% |
75.0% |
100.0% |
71.4% |
0.0% |
70.1% |
|
Laba |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.6% |
0.0% |
0.9% |
|
Bank |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.6% |
0.0% |
0.9% |
|
Lembaga lain |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.6% |
0.0% |
0.9% |
|
Saudara |
0.0% |
3.1% |
0.0% |
6.3% |
0.0% |
4.7% |
|
Kenalan |
0.0% |
6.3% |
0.0% |
3.2% |
0.0% |
3.7% |
|
Rentenir |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
|
Campuran |
60.0% |
15.6% |
0.0% |
14.3% |
0.0% |
18.7% |
|
Total |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
0.0% |
100.0% |
5 .Segmentasi Pemasaran Produk
Target pasar yang menjadi sasaran dari pengusaha ekonomi kerakyatan ini seperti pasar lokal, domestik, luar negeri dan campuran (bisa lokal dengan domestik, lokal dengan luar negeri atau lainnya). Sektor usaha kecil ini hampir 80 % hanya mampu menembus pasar lokal, artinya sangat besar peluang pasar yang masih dapat ditembus oleh para pelaku perekonomian rakyat ini baik pasar domestik maupun pasar luar negeri. Dilihat per sektornya, 70 % hasil pertanian, dijual di Batam. Kemudian, 68,8 % hasil produksi perikanan juga masih dikonsumsi warga Batam. Produk ekonomi kerakyatan yang tertinggi dipasarkan di luar negeri baru hasil industri kecil yang jumlahnya pun relatif kecil, yakni hanya 1,6 % dari total produknya.
Tabel 4.1.5
Tujuan pemasaran usaha ekonomi kerakyatan
Pasar |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Total |
Lokal |
70.0% |
68.8% |
50.0% |
85.7% |
0.0% |
78.5% |
Domestik |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.6% |
0.0% |
0.9% |
Luar negeri |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.6% |
0.0% |
0.9% |
Campuran |
30.0% |
31.3% |
50.0% |
11.1% |
0.0% |
19.6% |
6. Mekanisme Pemasaran Produk
Dalam melakukan pemasaran, para pelaku ekonomi rakyat menggunakan cara yang bervariasi baik dengan cara langsung, melalui perantara, ataupun pesanan. Hasil produksi sektor pertanian, 30 % menjual produknya secara langsung, sektor peternakan, mempunyai tingkat yang hampir sama dengan sektor pertanian, yakni menjual hasil produksinya secara langsung. Persentase tertinggi dalam menjual produksinya diperoleh dari sektor peternakan, yakni 50% menjual langsung produknya ke konsumen, sedangkan sektor industri kecil cara pemasaran terbesarnya dengan 28,6 % menjual produknya berdasarkan dari pesanan konsumen.
Tabel 4.1.6
Cara pemasaran usaha ekonomi kerakyatan
Cara pemasaran |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Total |
Langsung |
30.0% |
31.3% |
50.0% |
25.4% |
0 |
28.0% |
Perantara |
20.0% |
56.3% |
0.0% |
17.5% |
0 |
29.0% |
Pesanan |
0.0% |
9.4% |
0.0% |
28.6% |
0 |
19.6% |
Lainnya |
50.0% |
3.1% |
50.0% |
28.6% |
0 |
23.4% |
7. Omset Hasil Penjualan Produk
Omset penjualan per bulan di setiap sektor ekonomi kerakyatan ini sangat beragam untuk masing-masing sektor, sektor pertanian dan perikanan misalnya, omset perbulan sampai dengan Rp. 2.000.000,- berkisar 43 % s/d 44 %, khusus sektor pertanian 22 % mampu mencapai omset perbulan di atas Rp. 50.000.000,-. Sedangkan omset penjualan per bulan terkecil berada di sektor peternakan, semua responden hanya mampu mencapai omset per bulan di bawah Rp. 2.000.000,-.
Tabel 4.1.7
Rata-rata Omset perbulan
Omset/bulan |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Total |
<2 juta |
44.4% |
43.3% |
100.0% |
33.9% |
0.0% |
36.4% |
2-10 juta |
22.2% |
23.3% |
0.0% |
42.4% |
0.0% |
31.8% |
11 – 18 juta |
0.0% |
6.7% |
0.0% |
8.5% |
0.0% |
6.5% |
19 – 26 juta |
0.0% |
6.7% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.9% |
27 – 34 juta |
0.0% |
3.3% |
0.0% |
10.2% |
0.0% |
6.5% |
35 – 42 juta |
11.1% |
3.3% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.9% |
43 – 50 juta |
0.0% |
6.7% |
0.0% |
3.4% |
0.0% |
3.7% |
51 – 58 juta |
22.2% |
6.7% |
0.0% |
1.7% |
0.0% |
4.7% |
> 59 juta |
11.1% |
6.7% |
0.0% |
6.8% |
0.0% |
6.5% |
Total |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
0.0% |
100.0% |
8. Peralatan Yang Digunakan
Dari hasil penelitian, diperoleh data bahwa penggunaan peralatan dalam proses produksi tidak sama untuk masing-masing sektor usaha. Adapun jenis peralatan yang digunakan seperti peralatan manual, mesin atau campuran (yakni menggunakan alat manual dan juga mesin dalam proses produksinya). Sektor pertanian seluruhnya masih menggunakan peralatan manual, dari sektor perikanan 84.4 % masih menggunakan peralatan manual sedangkan 15.6 % lainnya menggunakan peralatan manual dan peralatan mesin, sementara sektor peternakan 50 % responden masih menggunakan peralatan manual sementara 50 % lainnya menggunakan manual dan mesin, sedangkan untuk sektor indusrtri kecil 39.7 % responden menggunakan peralatan manual, 28.6 % menggunakan mesin dan 31.7 % lainnya menggunakan peralatan manual sekaligus menggunakan mesin.
Tabel 4.1.8
Peralatan yang dipakai dalam produksi
Jenis Alat |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Manual |
70.0% |
84.4% |
50.0% |
39.7% |
0.0% |
Mesin |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
28.6% |
0.0% |
Campuran |
30.0% |
15.6% |
50.0% |
31.7% |
0.0% |
Total |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
0.0% |
9. Perkembangan Tenaga Kerja
Dari hasil penelitian, diperoleh data bahwa setelah tahun 1999 terjadi sedikit penurunan penyerapan tenaga kerja kelima sektor yang menjadi objek penelitian. Secara umum, Tahun 1997, penyerapan tenaga kerja 28,6 persen yang meningkat jauh dari tahun 1996 yang hanya 7,3 %. Tahun 1998, penyerapan tenaga kerja 23,3 % yang kemudian meningkat kembali tahun 1999 yang mencapai 27 %. Diperoleh informasi, penurunan perkembangan tenaga kerja ini berhubungan dengan sektor perdagangan. Dalam kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja, sektor perdagangan mempunyai kontribusi yang cukup besar.
Tabel 4.1.9
Perkembangan tenaga kerja per sektor usaha ekonomi kerakyatan
Tahun |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Total |
1999 |
16.7% |
17.3% |
0.0% |
32.2% |
0.0% |
27.0% |
1998 |
50.0% |
34.2% |
33.3% |
17.2% |
0.0% |
23.3% |
1997 |
14.3% |
2.8% |
0.0% |
43.2% |
0.0% |
28.6% |
1996 |
0.0% |
18.3% |
0.0% |
3.5% |
0.0% |
7.3% |
4.1.2. Permasalahan Usaha
Dari penelitian ini diperoleh data bahwa permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha perekonomian rakyat antara lain masalah bahan baku, pemasaran dan permodalan. Masalah bahan baku merupakan masalah utama yang dihadapi semua sektor usaha . Dari responden yang dipilih ternyata diatas 65 % responden seluruh sektor menghadapi permasalahan bahan baku, bahkan untuk sektor perternakan 100 % reponden menyatakan bahwa masalah utama mereka terletak pada masalah bahan baku. Adapun untuk jenis permasalahan bahan baku, seperti harga bahan baku yang tidak stabil, ongkos transport untuk bahan baku yang tinggi dan lainnya. Sehingga walaupun tidak sampai menghambat produksi dan terputusnya pasokan bahan baku namun untuk mendapatkan bahan baku tersebut menjadi sangat sulit yang merupakan masalah tersendiri bagi pengusaha ekonomi kerakyatan ini.
Sedangkan untuk masalah pemasaran sektor pertanian, hanya 10 % yang mengaku mengalami kesulitan, sedangkan sektor perikanan dan sektor industri kecil masing-masing 6.3 %. Sementara 20 % sektor pertanian menyatakan menghadapi masalah permodalan, 18.8 % pada sektor perikanan dan 9.5 % pada sektor industri kecil.
Walaupun data mengenai manajemen dan kendala sdm serta informasi dilapangan tidak dimunculkan dalam tabel, bukan berarti tidak terdapat masalah. Dari observasi yang dilakukan diketahui bahwa kondisi ekonomi kerakyatan di Kota Batam masih dikelola secara tradisional. Unsur-unsur manajemen usaha modern belum diikutsertakan dalam menjalankan usaha. Hal ini terlihat dari pertimbangan yang dipakai dalam memilih sektor ekonomi kerakyatan, yang belum sepenuhnya berorientasi kepada kebutuhan pasar.
Tabel 4.2
Permasalahan yang dihadapi pengusaha ekonomi kerakyatan
Permasalahan |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Total |
Bahan baku |
70.0% |
65.6% |
100.0% |
76.2% |
0 |
72.9% |
Pemasaran |
10.0% |
6.3% |
0.0% |
6.3% |
0 |
6.5% |
Produksi |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.6% |
0 |
0.9% |
Modal |
20.0% |
18.8% |
0.0% |
9.5% |
0 |
13.1% |
Manajemen |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0 |
0.0% |
SDM |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0 |
0.0% |
Infomasi |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0 |
0.0% |
Lainnya |
0.0% |
9.4% |
0.0% |
6.3% |
0 |
6.5% |
4.1.3. Peranan Pemerintah Terhadap Perkembangan Usaha
Dari penelitian yang dilakukan, diperoleh data bahwa peranan pemerintah terhadap perkembangan usaha kecil masih sangat minim jika dilihat dari bentuk bantuan yang diberikan. Bentuk bantuan tersebut hanya berkisar pada pemberian kredit lunak, keringanan pajak, teknik produksi, dan lokasi.
Sektor pertanian misalnya, 100 % mengaku hanya pernah mendapat bentuk bantuan pemerintah dalam bentuk kredit lunak, Sedangkan pada sektor perikanan, 75 % menyatakan bahwa bentuk bantuan tersebut berupa kredit lunak, dan 25 % menyatakan bentuk bantuan pemerintah tersebut dalam bentuk tempat usaha. Pada sektor industri kecil, bentuk bantuan tersebut lebih banyak lagi yaitu 71.4 % dalam bentuk kredit lunak, 14.3 % dalam bentuk keringanan pajak, dan 14.3 % lainnya dalam bentuk teknik produksi. Sementara dari yang terpilih pada sektor perternakan belum tersentuh bantuan sama sekali.
Tabel 4.3.
Bentuk bantuan Pemerintah terhadap usaha ekonomi kerakyatan
Bentuk Bantuan |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Total |
Modal |
100.0% |
75.0% |
0.0% |
71.4% |
0.0% |
75.0% |
Pajak ringan |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
14.3% |
0.0% |
8.3% |
Manajemen |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
Produksi |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
14.3% |
0.0% |
8.3% |
Desain |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
Lokasi |
0.0% |
25.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
8.3% |
Pemasaran |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
Bahan baku |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
Informasi |
0% |
0% |
0% |
0% |
0% |
0% |
4.1.4. Organisasi Dan Jaringan Usaha
Dalam penelitian ini juga didapatkan data tentang keikutsertaan para pelaku ekonomi rakyat pada asosiasi atau organisasi tertentu. Lebih dari 90 % di semua sektor menyatakan tidak menjadi anggota asosiasi atau organisasi usaha tertentu, sedangkan yang ikut anggota asosiasi hanya di bawah 10 %.
Tabel 4.4.1
Keikutsertaan pelaku ekonomi kerakyatan pada asosiasi tertentu
Kerja sama |
Ikut serta |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Total |
Asosiasi |
Ya |
10.0% |
6.3% |
0.0% |
7.9% |
0.0% |
7.5% |
Tidak |
90.0% |
93.8% |
100.0% |
92.1% |
0.0% |
92.5% |
|
Mitra kerja |
Ya |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
Tidak |
0.0% |
3.1% |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
0.9% |
Banyaknya pelaku ekonomi rakyat yang tidak menjadi anggota asosiasi disebabkan ketidaktahuan mereka tentang bagaimana menjadi anggota asosiasi serta kurangnya informasi tentang asosiasi itu sendiri. Sedangkan keinginan mereka untuk menjadi anggota asosiasi sangat besar, ini dapat dilihat dari harapan mereka jika menjadi anggota asosiasi atau organisasi tertentu. Antara lain kerja sama dalam bidang pemasaran, tukar informasi tentang kegiatan produksi, tentang bagaimana memenuhi kebutuhan modal, serta keinginan mereka untuk meningkatkan keuntungan.
Tabel 4.4.2
Manfaat yang diharapkan dengan menjadi anggota asosiasi/ mitra kerja
Jenis Manfaat | Pertanian | Perikanan | Peternakan | Industri Kecil | Pariwisata | Total |
Produksi |
0.0% |
3.1% |
0.0% |
3.2% |
0.0% |
2.8% |
Pemasaran |
10.0% |
6.3% |
0.0% |
19.0% |
0.0% |
14.0% |
Keuntungan |
10.0% |
12.5% |
0.0% |
3.2% |
0.0% |
6.5% |
Modal |
0.0% |
12.5% |
0.0% |
1.6% |
0.0% |
4.7% |
4.1.5. Pesaing dan Persaingan
Dalam hal persaingan, hanya 8,4 % responden yang menganggap bahwa usaha sejenis yang dilakukan oleh pihak lain dianggap sebagai pesaing. Sedangkan 57 % menyatakan usaha sejenis yang dilakukan oleh pihak lain merupakan mitra kerja. Sebanyak 34,6 % menyatakan usaha sejenis tidak dianggap baik sebagai pesaing maupun mitra kerja.
Pelaku ekonomi kerakyatan yang menganggap 100 % pengusaha sejenis merupakan mitra usaha adalah pengusaha bidang peternakan. Sebaliknya, industri kecil merupakan sektor yang mempunyai anggapan terbesar bahwa pengusaha sejenis merupakan pesaing, yakni 11,1 % dibanding sektor lainnya.
Tabel 4.5.1
Pengaruh Usaha sejenis terhadap usaha ekonomi kerakyatan
Pengaruh | Pertanian | Perikanan | Peternakan | Industri Kecil | Pariwisata | Total |
Pesaing |
10.0% |
3.1% |
0.0% |
11.1% |
0.0% |
8.4% |
Mitra |
30.0% |
59.4% |
100.0% |
58.7% |
0.0% |
57.0% |
Lainnya |
60.0% |
34.4% |
0.0% |
22.2% |
0.0% |
29.0% |
Tidak tahu |
0.0% |
3.1% |
0.0% |
7.9% |
0.0% |
5.6% |
Total |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
Output atau hasil produksi yang dihasilkan oleh para pelaku ekonomi kerakyatan, ternyata dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, yakni 80.4 %. Di lapangan, diperoleh informasi adanya kesulitan pelaku ekonomi kerakyatan untuk membedakan segmentasi pasarnya. Jika dilihat per sektor, diketahui 50 % hasil produksi peternakan yang mempunyai segmentasi pasar tersendiri, yakni 50 % outputnya dikonsumsi oleh masyarakat kelas atas.
Tabel 4.5.2
Konsumen Produksi usaha ekonomi kerakyatan (dalam persen)
Konsumen |
Pertanian |
Perikanan |
Peternakan |
Industri Kecil |
Pariwisata |
Total |
Rendah |
0.0% |
3.1% |
0.0% |
3.2% |
0.0% |
2.8% |
Menengah |
10.0% |
0.0% |
0.0% |
9.5% |
0.0% |
6.5% |
Atas |
0.0% |
3.1% |
50.0% |
0.0% |
0.0% |
1.9% |
Semua lapisan |
90.0% |
90.6% |
50.0% |
74.6% |
0.0% |
80.4% |
Lainnya |
0.0% |
3.1% |
0.0% |
12.7% |
0.0% |
8.4% |
Total |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
0.0% |
100.0% |
Hal yang tidak kalah pentingnya dari hasil penelitian ini adalah, diketahuinya informasi tentang upaya pelaku ekonomi kerakyatan untuk memperbesar jangkauan pemasarannya. Secara umum diketahui, untuk memperbesar pemasaran outputnya, pelaku ekonomi kerakyatan akan meningkatkan kualitas produksinya agar masyarakat sebagai konsumen puas atau mendapatkan nilai utilitas yang lebih tinggi setelah mengkonsumsi hasil produknya. Ini ditunjukkan dengan angka 37,4 % responden yang melakukan hal itu.
Sedangkan usaha lain yang dilakukan adalah dengan diversivikasi produk, yakni membuat produknya beragam, hal ini dilakukan oleh 21,5 % masyarakat. Sedangkan langkah ketiga yang ditempuh agar pemasarannya bertambah adalah dengan menurunkan harga jual hasil produksinya sebesar 16,8 %.
Dilihat berdasarkan sektor usaha, diketahui 40 % petani, untuk menambah output pemasarannya dengan menurunkan harga jual. Di lapangan, diketahui petani melakukan hal itu karena saat menghasilkan produksi pertaniannya, petani menghadapi saat panen yang bersamaan dengan petani lainnya. Ini berhubungan dengan sifat umum petani di Indonesia yang masih cenderung bersifat tradisional. Sedangkan 54 % dari sektor industri kecil, untuk menambah pemasarannya melalui diversivikasi produk dan untuk mempengaruhi harga jual hanya 27 %.
Hal lain yang cukup layak diamati adalah sedikitnya prosentase pelaku ekonomi kerakyatan yang memberikan baik komisi maupun promosi untuk menunjang pemasaran. Ini dibuktikan hanya 1,9 % pelaku ekonomi kerakyatan yang memberikan komisi dan 0,9 % yang melakukan promosi produknya.
Tabel 4.5.3
Cara menembus/ memperbesar pasar pada usaha ekonomi kerakyatan
(dalam persen)
Strategi |
Pertanian | Perikanan | Peternakan | Industri Kecil | Pariwisata | Total |
Harga murah |
40.0% |
18.8% |
0.0% |
12.7% |
0.0% |
16.8% |
Kualitas Produksi |
10.0% |
12.5% |
50.0% |
54.0% |
0.0% |
37.4% |
Promosi |
0.0% |
0.0% |
0.0% |
1.6% |
0.0% |
0.9% |
Komisi |
0.0% |
3.1% |
0.0% |
1.6% |
0.0% |
1.9% |
Saudara |
0.0% |
3.1% |
0.0% |
4.8% |
0.0% |
3.7% |
Ragam produksi |
20.0% |
40.6% |
50.0% |
4.8% |
0.0% |
17.8% |
Lainnya |
30.0% |
21.9% |
0.0% |
20.6% |
0.0% |
21.5% |
Total |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
100.0% |
0.0% |
100.0% |
4.2. Analisa Data
Dari tabel 4.1.1 mengenai tahun mulai usaha ekonomi kerakyatan di Batam, terlihat pertumbuhan yang cukup tajam sejak timbulnya krisis moneter dan krisis ekonomi yang mengimbas Batam. Hal ini menandai bahwa sektor usaha ekonomi kerakyatan ini selain lahan baru juga merupakan alternatif lain dalam mengembangkan dan menggerakkan roda perekonomian Batam.
Oleh sebab itu wajar, jika Pemerintah setempat dituntut berperan lebih aktif dalam menumbuh kembangkan usaha ekonomi kerakyatan ini karena usaha ini dapat berkembang dengan baik disaat usaha-usaha besar lainnya terpuruk.
Dari distribusi usaha yang dilakukan seperti terlihat dalam tabel 4.1.2, dari masing-masing kecamatan memiliki sektor usaha khas atau yang dominan dilakukan. Hal ini erat kaitannya dengan potensi yang ada pada daerah tersebut dan juga letak geografisnya serta kekuatan lain yang ada pada daerah yang bersangkutan. Kecamatan Belakang Padang kita lihat usaha yang berkembang adalah industri kecil 66,67 % kemudian disusul oleh perikanan 33,33 %. Sedangkan Bulang 70 % merupakan sektor perikanan. Di Kecamtan Galang Perikanan menempati posiisi tertinggi dengan 66,67 %. Di Sei-Beduk usaha yang dominan adalah industri kecil yang diikuti dengan perikanan sebesar 20 %. Di Nongsa perkembangan usaha industri kecil mendominasi usaha ekonomi kerakyatan yang diikuti dengan perikanan. Sekupang primadona usaha yang dilakukan adalah industri kecil dan perikanan. Lubuk Baja 90 % industri kecil. Batu ampar selain industri kecil sektor perikanan juga layak diperhitungkan. Hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan usaha ekonomi kerakyatan serta bidang – bidang usahanya.
Dari sebaran modal awal yang digunakan pelaku usaha ekonomi kerakyatan ini mayoritas menggunakan modal awal Rp 1 hingga Rp 5 juta rupiah (Tabel 4.1.3 hampir 40 %). Hal ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah setempat dalam pengalokasian dana pinjaman untuk mengembangkan usaha ini kelak.
Dari tabel 4.1.3.a mengenai persentase perbandingan jenis modal terlihat lemahnya peran serta perbankan dan lembaga keuangan permodalan lainnya untuk menumbuh kembangkan usaha ekonomi kerakyatan ini. Hal ini dapat menjadi suatu ancaman kelak bagi perkembangan usaha dibidang ini jika tercemari oleh tangan-tangan rentenir jika tidak dicermati oleh lembaga keuangan resmi lainnya.
Dari tujuan pemasaran terlihat masih terbukanya tujuan pasar yang belum digarap seperti pasar domestik dan luar negeri. Hal ini merupakan peluang yang sangat potensial didalam mengembangkan usaha ekonomi kerakyatan untuk mengembangkan usaha yang berorientasi ekspor dan pasar domestik. Ditambah lagi dengan kedekatan Pulau Batam dengan Singapura yang merupakan jendela perdagangan ekspor dunia.
Dari kelima sektor usaha yang menjadi objek penelitian, terlihat dalam tabel 4.1.6 omset dengan nilai yang tinggi. Antara lain seperti pertanian 22,2 % beromset Rp 51 – Rp 58 juta / bulan. Kemudian industri kecil dan perikanan sebesar 42,4 % dan 23, 3 % dengan omset Rp 2- Rp 10 juta / bulan. Hal ini menandakan bahwa jenis usaha diatas dengan omset tersebut memberikan laba yang cukup tinggi, dengan demikian masih terbuka kesempatan atau peluang untuk masuk kedalam jenis usaha rtersebut.
Lambatnya mengadopsi teknologi, yang ditunjukkan dari minimnya penggunaan mesin dalam berproduksi (seperti pada tabel 4.1.7). Dikhawatirkan usaha yang dilakukan akan lambat pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh sebab itu teknik-teknik dan mesin produksi yang canggih dan tepat guna agar segera diperkenalkan dan dikembangkan pada pelaku usaha ekonomi kerakyatan ini, agar tidak tertinggal seandainya FTZ diberlakukan kelak.
Dari data pertumbuhan PER terlihat bahwa peluang untuk tumbuh masih cukup baik, terlihat pertumbuhan usaha sekitar 4.22 % dan pertumbuhan tenaga kerja 5.38 %.
Tahun |
Laju Pertumbuhan |
|
Usaha PER |
Tenaga Kerja PER |
|
1995 |
14.3% |
|
1996 |
8.7% |
7.3% |
1997 |
13.2% |
28.6% |
1998 |
23.2% |
23.3% |
1999 |
28.1% |
27.0% |
2000*) |
30.2% |
35.0% |
2001*) |
34.4% |
40.4% |
2002*) |
38.6% |
45.8% |
*) Angka prediksi
Berdasarkan data penelitian LPPM PTB mengenai Studi daya dukung SDM terhadap perkembangan industri diperoleh angka pertumbuhan tenaga kerja disektor industri (formal) pada tahun 2001 sebesar 15.29 %. Terlihat bahwa penyerapan sektor informal dengan adanya PER sangat menjanjikan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Walaupun data mengenai manajemen dan kendala sumber daya manusia dilapangan tidak dimunculkan dalam bab sebelumnya, dari observasi yang dilakukan dapat disimpulkan, bahwa kondisi ekonomi kerakyatan di Kota Batam masih dikelola secara tradisional. Unsur-unsur manajemen usaha modern belum diikutsertakan dalam menjalankan usaha. Hal ini terlihat dari pertimbangan yang dipakai dalam memilih sektor ekonomi kerakyatan, yang belum sepenuhnya berorientasi kepada kebutuhan pasar.
Dilihat dari tahun memulai usaha, terlihat bahwa sektor ekonomi kerakyatan di Batam mengalami pertumbuhan yang signifikan setelah tahun 1997, yakni semenjak krisis ekonomi melanda Bangsa Indonesia. Dikhawatirkan sektor ekonomi kerakyatan ini hanya dijadikan pelarian saja, yang tentunya untuk jangka panjang kurang bisa diandalkan dalam menghadapi ketatnya persaingan pasar bebas.
Diketahui bahwa 33 % lebih ekonomi kerakyatan telah dimulai sebelum tahun 1995. Tetapi, penyebaran pelaku ekonomi kerakyatan pada saat itu belum merata, karena yang melakukan kegiatan ekonomi tersebut berada di daerah-daerah kepulauan dan mereka menjalankan usaha tanpa berorientasi pasar dan laba. Orientasi masih berupa pemenuhan kebutuhan dalam kelompok mereka sendiri.
Dari distribusi lokasi usaha ekonomi kerakyatan 45 % berlokasi di pinggir pantai/laut atau kawasan hinterland, hal ini menunjukkan gejala bahwa kawasan pinggir pantai dan laut ini perlu diarahkan untuk pengembangan ekonomi kerakyatan di Kota Batam, karena biasanya penduduk yang tinggal disekitar laut dan pantai adalah penduduk marginal
Dari segi permodalan, ekonomi kerakyatan di Batam masih sangat jauh aksesnya ke lembaga permodalan, ini terlihat lebih dari 95 % pelaku ekonomi kerakyatan menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya. Penyebab hal itu adalah masih kurangnya informasi mereka terhadap lembaga perbankan dan keberanian berhubungan dengan perbankan. Selain itu, image tentang terlalu berbelit-belitnya urusan dengan perbankan juga menjadi penghalang bagi mereka untuk berurusan dengan lembaga perbankan ini. Akibat dari semua itu, mayoritas pengusaha ekonomi kerakyatan hanya memiliki modal usaha dan omset masih di bawah Rp 2.000.000.
Dalam keadaan demikian, peran pemerintah selaku mediator untuk mempertemukan mereka dengan perbankan sangat diharapkan, sehingga terjalin komunikasi dua arah antara kereditur dan debitur tersebut. Tetapi, pelaku usaha kecil itu selama ini mengaku peranan pemerintah masih belum optimal, padahal mereka berharap peranan pemerintah yang sangat mereka butuhkan. Peranan pemerintah yang diharapkan adalah peranannya sebagai sumber informasi, peranan dalam hal pembinaan, dan pemberian bantuan kredit lunak
Selain itu, banyaknya asosiasi atau perkumpulan pengusaha-pengusaha kecil yang ada di Batam juga belum dimanfaatkan untuk berbagi informasi di antara mereka. Mereka mengaku kesulitan untuk ikut masuk menjadi anggota perkumpulan-perkumpulan tersebut. Padahal, mereka seandainya ikut asosiasi-asosiasi itu berharap banyak dapat memperoleh informasi tentang pemasaran, akses ke sumber permodalan, dan akses ke pemerintah.
Seperti dalam asosiasi, program kemitraan yang digalakkan pemerintah melalui BUMN-BUMN, juga belum terlalu banyak menyentuh mereka. Permasalahan yang dihadapi pun sama, yakni ketidaktahuan mereka tentang bagaimana cara atau prosedur yang harus dihadapinya.
Tentang pemasaran, terlihat pelaku ekonomi kerakyatan tidak terlalu menghadapi masalah yang cukup serius, artinya produk mereka diterima pasar, meski dilihat dari jumlahnya relatif sedikit. Dari lima sektor ekonomi kerakyatan yang menjadi objek penelitian, mereka sudah mempunyai segmentasi pasar sendiri-sendiri. Kebijakan menurunkan harga untuk mencari pasar, dilakukan oleh 20 % pengusaha ekonomi kerakyatan ini, selebihnya, untuk mencari pasar, mereka cenderung melakukan diversifikasi usaha, meski dalam tingkat yang relatif rendah.
Dalam memasarkan produknya, mereka menyukai langsung bertemu konsumennya. Ini memang salah satu ciri yang menonjol dalam sistem yang masih subsisten. Artinya, pengusaha, bertindak dalam segala hal, mulai pembelian bahan baku, mengolah produk hingga memasarkannya.
Meski demikian, jika dikaitkan dengan bisnis modern, sebetulnya pelaku ekonomi kerakyatan di Batam masih tertinggal. Dengan kondisi Batam sebagai kota industri yang terletak di daerah perbatasan pusatnya perdagangan dunia, Singapura, ternyata mereka belum mampu menjual outputnya tersebut ke Singapura atau ke negara lain. Bahkan, dilihat dari sesama pelaku ekonomi kerakyatan sejenis, terkesan mereka terdesak. Buktinya hingga kini barang-barang yang mereka hasilkan belum memenuhi kebutuhan pasar di Batam yang terus meningkat.
Dengan kondisi demikian, tentu saja bisa dimaklumi jika permasalahan yang menonjol dan dihadapi oleh mereka adalah terbatasnya bahan baku. Ini berkaitan dengan keterbatasan modal dan informasi yang mereka miliki. Kekurangan informasi dan bahan baku itu juga, berdampak pada proses transfer teknologi mereka. Data hasil penelitian menunjukkan untuk memproses produk keluarannya, pelaku ekonomi kerakyatan masih manual dan penggunaan mesin-mesin baru masih mempunyai tingkat persentase yang relatif rendah.
Secara makro dari hasil observasi dilapangan permasalahan SDM ini akan memberikan efek yang buruk dikemudian hari. Walaupun responden dalam hal ini tidak menyadari permasalahan yang mereka hadapi. Namun dari tingkat produksi dan kinerja yang ditunjukkan tampaklah permasalahan SDM tersebut. Diketahui ekonomi kerakyatan mempunyai permasalahan seperti terbatasnya kemampuan SDM. SDM ini tentunya dalam kaitannya dengan pekerja yang digunakan dalam proses ekonomi kerakyatan tersebut. Minimnya kualitas SDM, otomatis diikuti dengan rendahnya produktivitas, rendahnya produktivitas akan disertai dengan minimnya kompensasi yang mampu diberikan pada pekerja di sektor ini. Meskipun demikian, di sisi lain, jika dilihat dari kuantitas, sektor ekonomi kerakyatan, mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar.
Tentang persaingan, 80 % lebih pelaku ekonomi kerakyatan di Batam menganggap di antara mereka bukan sebagai pesaing. Sebaliknya, mereka menganggap mereka adalah mitra yang dapat saling memberikan keuntungan.
Itulah gambaran umum dari hasil data questioner maupun dari observasi yang dilakukan tentang kondisi ekonomi kerakyatan di Batam. Hal-hal terpenting yang bisa dijadikan kesimpulan dari penggambaran umum diatas sebagai berikut:
- Selama ini, sektor ekonomi kerakyatan di Batam masih dikelola secara tradisional. Asas-asas bisnis dan manajemen modern yang harus dikuasai mereka menghadapi persaingan yang semakin ketat, belum diadopsi mereka. Bahkan, dikhawatirkan, ekonomi kerakyatan hanya menjadi pelarian karena pelaku usahanya tidak tertampung di sektor formal.
- Keterbatasan mengembangkan ekonomi kerakyatan selama ini adalah keterbatasannya terhadap sumber informasi. Hal ini mencangkup informasi tentang permodalan, pengembangan SDM, jaringan pemasaran dan informasi tentang berbagai kebijakan pemerintah, khususnya dalam bidang pengmbangan usaha kecil dan menengah.
- Peranan pemerintah dalam bidang ekonomi kerakyatan, dinilai mayoritas pelaku ekonomi kerakyatan belum optimal dan belum menyentuh langsung pada usaha mereka. Padahal, mereka mengakui peranan pemerintah sangat membantu mengembangkan usahanya.
- Sektor ekonomi kerakyatan, masih menyimpan potensi yang sangat besar, baik dilihat dari besarnya penyerapan tenaga kerja, upaya meningkatkan pendapatn per kapita masyarakat maupun secara makro meningkatkan pendapatan Kota Batam. Hal ini terlihat dari masih terbukanya pasar dalam penyerapan produk-produk yang dihasilkan ekonomi kerakyatan ini. Jika sektor ini tidak dikelola sejak sekarang secara profesional, sangat dikhawatirkan, sektor ini akan digarap oleh pelaku pasar bebas yang sebentar lagi tidak lagi terbendung kedatangannya.
5.2. Saran
Dengan melihat diskripsi hasil penelitian seperti yang disebutkan dalam kesimpulan di atas, perlu diberikan beberapa saran yang sekiranya dapat dijadikan masukan dalam proses pembuatan kebijakan dalam mengembangkan usaha ekonomi kerakyatan di Kota Batam.
- Jika ekonomi kerakyatan ini hendak dikembangkan, hanya ada satu alternatif yakni sektor ini saatnya dikelola oleh pelakunya secara profesional dengan mengadopasi manajemen bisnis yang modern. Asas efektif dan efektivitas, mutlak diterapkan dalam mengembangkan sektor ini.
- Kemauan pelaku ekonomi kerakyatan mengembangkan sektor ini, tidak banyak artinya jika tidak didukung oleh pihak lain, yakni aparat pemerintah, lembaga permodalan dan masyarakat sendiri. Kebijakan pemerintah pusat saat ini yang kurang mendukung ekonomi kerakyatan dengan menghapus beberapa kredit lunak, harus digantikan oleh pemerintah daerah.
- Kebijakan yang dibuat pemerintah daerah dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan harus dibuat yang paling dapat menyentuh pelaku usahanya. Saatnya janji-janji yang sering disampaikan dalam berbagai forum, bisa direalisasikan ke tengah-tengah mereka. Kebijakan-kebijakan yang sebelumnya berpihak pada pelaku ekonomi kerakyatan bisa diefektifkan lagi, sedangkan kebijakan yang merugikan golongan ini, bisa ditinjau ulang.
- Keterbatasan sumber informasi mereka selama ini, yang membuat mereka sulit untuk tumbuh dan berkembang harus segera dicarikan alternatifnya. Saatnya, sarana – sarana komunikasi modern bisa dikenalkan pada mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, dikhawatirkan, kebijakan lain yang telah ditempuh kurang memberikan hasil yang optimal.
@article{nasution2016studi, title={STUDI POTENSI DAN PELUANG EKONOMI KERAKYATAN DI KOTA BATAM}, author={Nasution, Ade P}, journal={Jurnal Dimensi}, volume={22}, number={22}, year={2016} }