Sistem perpajakan Indonesia telah menempuh perjalanan panjang dan transformatif sejak awal kemerdekaan. Berawal dari warisan sistem kolonial yang bersifat ekstraktif dan meninggalkan kesan negatif, sistem ini secara fundamental direformasi menjadi pilar utama pembiayaan negara. Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai evolusi historis, perubahan regulasi, dan modernisasi administrasi perpajakan yang telah terjadi.
Pergeseran paling krusial adalah transisi dari Official Assessment System—di mana pemerintah menentukan jumlah pajak—menjadi Self Assessment System pada tahun 1983, yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak mereka sendiri. Perubahan ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan sebuah revolusi filosofis yang menempatkan partisipasi masyarakat sebagai fondasi utama. Meskipun demikian, implementasi sistem baru ini menghadapi tantangan besar, seperti rendahnya kesadaran wajib pajak, yang kemudian memicu serangkaian reformasi administratif lanjutan.
Melalui tiga jilid reformasi birokrasi dan administrasi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara sistematis bertransformasi dari sebuah birokrasi manual menjadi organisasi yang modern dan berbasis digital. Puncaknya, proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Coretax System kini mengintegrasikan seluruh proses perpajakan, memanfaatkan teknologi canggih untuk meningkatkan efisiensi, akuntabilitas, dan kepatuhan. Bersamaan dengan itu, regulasi seperti Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tahun 2021 merefleksikan adaptasi kebijakan terhadap dinamika ekonomi global dan tuntutan pembangunan berkelanjutan, seperti pengenalan pajak karbon. Secara keseluruhan, evolusi ini menggambarkan upaya berkelanjutan Indonesia untuk membangun sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan andal sebagai tulang punggung kemandirian fiskal.
Pajak memiliki peran yang fundamental dalam arsitektur keuangan suatu negara. Lebih dari sekadar sumber penerimaan, pajak berfungsi sebagai tulang punggung pembiayaan pembangunan nasional (fungsi budgetair) dan instrumen kunci untuk stabilisasi harga, pengendalian inflasi, serta redistribusi pendapatan guna menciptakan keadilan sosial. Dalam konteks Indonesia, peran ini telah berkembang secara signifikan, seiring dengan evolusi sistem perpajakan itu sendiri.
Sejarah perpajakan di Nusantara berakar jauh sebelum kemerdekaan, bahkan sejak zaman kerajaan-kerajaan. Namun, periode yang paling berpengaruh adalah era kolonial Belanda, di mana sistem pajak, seperti landrente (pajak pertanahan), dirancang untuk mengekstrak kekayaan alam dan tenaga kerja demi kepentingan penjajah. Praktik ini, yang sering kali diwarnai penyelewengan, meninggalkan kesan negatif yang mendalam di benak masyarakat, mengasosiasikan pajak dengan pungutan paksa dan eksploitasi.
Tulisan ini mengupas secara komprehensif perjalanan sistem perpajakan Indonesia, menelusuri transformasinya dari warisan kolonial hingga sistem modern saat ini. Analisis ini terbagi menjadi tiga pilar utama: evolusi regulasi (undang-undang), perubahan sistem pemungutan, dan modernisasi administrasi. Dengan menganalisis setiap era, laporan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang bernuansa mengenai bagaimana kebijakan perpajakan merespons tantangan ekonomi dan sosial di setiap dekade, serta bagaimana fondasi yang dibangun di masa lalu terus membentuk arsitektur fiskal saat ini.
Fondasi Awal dan Tantangan di Masa Kemerdekaan (1945-1966)
Warisan Sistem Kolonial
Sebelum kemerdekaan, Indonesia telah memiliki sistem perpajakan yang diwarisi dari pemerintah kolonial Belanda. Sistem ini berfungsi sebagai alat untuk membiayai infrastruktur dan administrasi pemerintahan kolonial. Beberapa jenis pajak utama yang diberlakukan di antaranya adalahhuistaks (pajak bangunan), landrente atau pajak pertanahan yang dimulai sejak era VOC, Inkomstenbelasting (Pajak Penghasilan) yang diperkenalkan pada tahun 1920, Vennootschapbelasting (Pajak Perseroan) tahun 1925, dan Pajak Kekayaan tahun 1932. Sistem yang berlandaskan pada Indische Comptabiliteitswet (ICW) ini bersifat ekstraktif dan tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Hal ini meninggalkan kesan bahwa pajak adalah instrumen paksaan yang merugikan rakyat, sebuah persepsi yang harus diubah secara fundamental di masa depan.
Langkah Awal Pasca-Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan, babak baru era perpajakan Indonesia dimulai. Pemerintah yang baru dibentuk menyadari pentingnya memiliki sistem fiskal yang mandiri. Pada tahun 1946, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pajak Pertama yang mengatur berbagai jenis pajak, termasuk pajak penghasilan dan pajak penjualan. Pada masa awal ini, struktur organisasi perpajakan juga mulai dibentuk. Awalnya, lembaga ini terdiri dari beberapa unit organisasi, seperti Unit Pajak yang bertugas memungut pajak, Unit Lelang, dan Unit Pajak Hasil Bumi. Unit Pajak Hasil Bumi, yang bertugas memungut pajak atas hasil bumi dan tanah, kemudian berevolusi menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) pada tahun 1965, yang menunjukkan upaya awal dalam mengatur keuangan daerah.
Tantangan Ekonomi dan Administrasi Orde Lama
Periode Orde Lama diwarnai oleh gejolak ekonomi dan ketidakstabilan yang parah. Kondisi ini mencapai puncaknya dengan inflasi yang meroket, mencapai 500-600% pada akhir era tersebut. Dalam konteks perpajakan, sistem yang berlaku pada saat itu adalah Official Assessment System. Dalam sistem ini, otoritas pajak memiliki wewenang penuh untuk menentukan jumlah pajak yang terutang bagi wajib pajak, yang posisinya cenderung pasif dan hanya menunggu surat ketetapan pajak dikeluarkan. Meskipun terdapat beragam jenis pajak baru yang muncul, seperti pajak sepeda dan pajak anjing, banyak di antaranya berangsur-angsur dihapus karena keterbatasan sumber daya pemerintah dalam memantau dan mengadministrasikannya secara efektif. Hal ini menunjukkan kesulitan administrasi perpajakan yang masih sangat manual dan birokratis.
Sistem perpajakan warisan kolonial yang diadaptasi pada masa ini dirancang untuk mengekstrak kekayaan, bukan untuk membangun kemandirian fiskal. Hal ini menciptakan ketidaksesuaian fundamental antara struktur dan tujuan. Aturan yang dibangun di atas fondasi eksploitasi tidaklah ideal untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kesenjangan filosofis inilah yang menjadi salah satu penyebab kegagalan sistem official assessment pada era tersebut dan mendorong kebutuhan akan perombakan besar di masa depan.
Reformasi Fundamental: Lahirnya Sistem Modern (1966-1998)
Latar Belakang Ekonomi dan Kebijakan Orde Baru
Ketika rezim Orde Baru berkuasa, mereka mewarisi kondisi ekonomi yang tidak stabil dengan inflasi yang sangat tinggi. Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah mengambil langkah strategis dengan menekan inflasi melalui utang luar negeri dan mengoptimalkan penerimaan negara. Pada dekade 1970-an, sektor minyak dan gas (migas) menjadi sumber pendapatan utama negara, sehingga pemungutan pajak masih menggunakan peraturan warisan kolonial. Namun, pada awal 1980-an, situasi ekonomi global yang tidak menentu, termasuk penurunan drastis harga minyak, menyebabkan pendapatan migas anjlok. Kondisi ini memaksa pemerintah mencari alternatif untuk menopang anggaran negara. Pembaharuan sistem perpajakan kemudian dipandang sebagai solusi utama untuk mengatasi ketergantungan pada sektor migas dan meningkatkan penerimaan negara.
Reformasi Perpajakan 1983: Sebuah Revolusi Senyap
Menanggapi krisis ekonomi dan kebutuhan akan kemandirian fiskal, pemerintah Orde Baru meluncurkan reformasi perpajakan pertama dan terbesar pada tahun 1983. Presiden Soeharto menyebutnya sebagai “momentum nasional”. Reformasi ini menggantikan 13 undang-undang perpajakan warisan kolonial yang rumit dan memiliki 262 jenis komponen tarif dengan lima undang-undang baru yang lebih sederhana, berisi 156 pasal dan 9 macam tarif.
Kelima undang-undang fundamental tersebut adalah:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Melalui undang-undang ini, pemerintah menyederhanakan tarif pajak penghasilan dari rentang yang luas menjadi tiga jenis tarif progresif, yaitu 10%, 25%, dan 35%. Perubahan ini bertujuan untuk membangun kembali dasar perpajakan yang lebih adil dan sesuai dengan kondisi masyarakat.
Peralihan Sistem: Dari Official Assessment ke Self Assessment
Inti dari reformasi 1983 adalah pergeseran filosofis dari Official Assessment System menjadi Self Assessment System.
Tabel 1: Perbandingan Sistem Pemungutan Pajak: Official Assessment vs. Self Assessment
Kriteria Perbandingan | Sistem Official Assessment | Sistem Self Assessment |
Peran Wajib Pajak | Pasif. Menunggu surat ketetapan pajak dari otoritas. | Aktif. Menghitung, membayar, dan melaporkan pajak secara mandiri. |
Peran Otoritas Pajak | Berwenang penuh menentukan jumlah pajak terutang. | Berfungsi sebagai pengawas dan penegak hukum. |
Dasar Hukum | Ordonansi warisan kolonial (mis. Ordonansi PPs 1925, Ordonansi PPd 1944) | UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan |
Kelebihan | Potensi kepastian hukum yang tinggi jika otoritas efektif. | Mendorong partisipasi masyarakat, mengurangi beban administratif otoritas, dan meningkatkan arus kas negara. |
Kekurangan | Wajib pajak tidak termotivasi, birokratis, dan tidak efisien seiring pertumbuhan ekonomi. | Dapat membuka celah untuk manipulasi data dan penghindaran pajak jika kesadaran wajib pajak rendah. |
Pergeseran ini adalah respons strategis untuk meningkatkan kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan. Wajib pajak didorong untuk mengambil peran aktif dan proaktif. Namun, implementasinya menghadapi tantangan yang tidak terduga. Sistem yang secara filosofis ideal ini bergantung pada kesadaran hukum dan kejujuran wajib pajak, yang ternyata masih rendah. Temuan ini menunjukkan bahwa kepercayaan yang diberikan oleh undang-undang tidak serta-merta diimbangi dengan kesiapan wajib pajak, yang kemudian membuka celah untuk manipulasi data dan penghindaran pajak. Hal ini menjelaskan mengapa reformasi perpajakan di era selanjutnya tidak lagi berfokus pada perubahan undang-undang fundamental, melainkan pada penguatan administrasi dan pengawasan.
Tabel 2: Kronologi Reformasi Perpajakan Utama di Indonesia (1945-Sekarang)
Tahun | Nama/Periode Reformasi | Undang-Undang Kunci | Pergeseran Sistem/Fokus Utama |
1946 | Pembentukan Sistem Awal | UU Pajak Pertama | Adaptasi sistem kolonial untuk membiayai negara baru. |
1983 | Reformasi Undang-Undang Perpajakan | UU 6/1983 (KUP), UU 7/1983 (PPh), UU 8/1983 (PPN/PPnBM), dll. | Peralihan dari Official Assessment ke Self Assessment. Penyederhanaan dan modernisasi regulasi. |
2000-2001 | Reformasi Birokrasi | – | Persiapan administrasi untuk reformasi jilid I. Penetapan visi dan misi DJP. |
2002-2008 | Reformasi Perpajakan Jilid I | – | Modernisasi organisasi dan layanan (one-stop services), restrukturisasi KPP. |
2009-2014 | Reformasi Perpajakan Jilid II | – | Peningkatan kontrol internal dan kualitas pelayanan (SOP, NPWP 1 hari). |
2017-2024 | Reformasi Perpajakan Jilid III | UU 7/2021 (UU HPP) | Reformasi terbesar, mencakup 5 pilar (Organisasi, SDM, IT, Proses Bisnis, Regulasi) untuk menghadapi era digital. |
2021 | Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) | UU No. 7 Tahun 2021 | Respons terhadap pandemi, pengenalan PPN final, dan pajak karbon. |
Modernisasi Berkelanjutan dan Adaptasi Era Digital (1998-Sekarang)
Reformasi Administrasi Perpajakan (Jilid I, II, dan III)
Sistem self assessment yang diperkenalkan pada tahun 1983 menuntut reformasi administrasi yang sejalan untuk dapat berfungsi secara optimal. Inilah yang memicu serangkaian upaya modernisasi yang berlangsung hingga saat ini. Reformasi birokrasi dimulai pada tahun 2000-2001 sebagai persiapan untuk menghadapi Reformasi Perpajakan Jilid I.
- Reformasi Jilid I (2002-2008): Fokus utama pada modernisasi organisasi dan layanan. Hal ini diwujudkan dengan pengenalan layanan satu atap (one-stop services) dan restrukturisasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) menjadi berbagai jenis, seperti KPP Wajib Pajak Besar, KPP Khusus, KPP Madya, dan KPP Pratama. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan kepada wajib pajak.
- Reformasi Jilid II (2009-2014): Menitikberatkan pada peningkatan kontrol internal dan pelayanan publik. Ini dicapai melalui reformasi proses bisnis dan teknologi informasi, termasuk penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) baku. Salah satu produk unggulannya adalah janji pembuatan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam satu hari kerja, yang secara signifikan memangkas birokrasi.
- Reformasi Jilid III (2017-2024): Reformasi ini dianggap sebagai yang terbesar dalam sejarah perpajakan Indonesia, melibatkan perubahan pada lima pilar utama: organisasi, sumber daya manusia (SDM), IT dan basis data, proses bisnis, serta peraturan perpajakan. Inisiatif ini didorong oleh perkembangan ekonomi digital dan basis data yang semakin besar sebagai hasil dari program Tax Amnesty dan program Automatic Exchange of Information (AEoI). Basis data yang masif ini menuntut sistem administrasi yang jauh lebih canggih dan terintegrasi, yang tidak dapat ditangani oleh sistem manual yang lama. Oleh karena itu, modernisasi IT menjadi pilar krusial dari reformasi ini.
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) 2021
Menghadapi tantangan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang melebar akibat pandemi COVID-19 , pemerintah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Regulasi ini merupakan kelanjutan dari reformasi sebelumnya yang bertujuan untuk konsolidasi fiskal dan peningkatan rasio pajak.
Perubahan-perubahan kunci dalam UU HPP mencakup:
- Pajak Penghasilan (PPh): Merevisi tarif PPh bagi wajib pajak orang pribadi menjadi lebih progresif. Di sisi lain, UU ini memberikan insentif penting bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan menetapkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) hingga Rp500 juta per tahun.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Menaikkan tarif umum PPN dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022, sebuah langkah yang sejalan dengan rata-rata tarif PPN di negara-negara OECD dan BRICS. Selain itu, diperkenalkan juga tarif PPN
final sebesar 1%, 2%, atau 3% dari peredaran usaha untuk jenis barang/jasa tertentu. Skema ini bertujuan untuk mempermudah administrasi bagi pengusaha kecil, karena mereka tidak perlu lagi mengkompilasi pajak masukan, meskipun mereka juga tidak dapat mengkreditkannya. - Pajak Karbon: UU HPP memperkenalkan pajak karbon sebagai instrumen fiskal baru yang bertujuan untuk mengubah perilaku pelaku ekonomi agar beralih ke aktivitas yang lebih rendah karbon dan ramah lingkungan.
- Program Pengungkapan Sukarela (PPS): Untuk mendorong kepatuhan wajib pajak, program ini memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mengungkapkan harta mereka yang belum dilaporkan kepada negara.
Transformasi Digital: PSIAP dan Core Tax System
Digitalisasi merupakan bagian tak terpisahkan dari Reformasi Jilid III. Salah satu proyek strategis terbesarnya adalah Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau yang dikenal sebagai Core Tax System. Proyek ini merupakan langkah pemerintah untuk mengadopsi konsep Tax Administration 3.0 (TA 3.0), yang bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien, efektif, dan berbasis data.
Sistem Coretax memiliki fitur-fitur esensial yang akan merevolusi administrasi perpajakan, di antaranya: sinkronisasi akun wajib pajak, penyederhanaan proses melalui integrasi data yang lebih efisien, pembayaran pajak melalui satu kode billing, dan otomatisasi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Dengan memanfaatkan teknologi seperti Application Programming Interfaces (APIs) dan big data, sistem ini memungkinkan data transaksi dari sistem pembukuan perusahaan terhubung secara otomatis ke otoritas pajak, mengurangi beban administratif dan risiko kesalahan manual. Keberadaan layanan digital lain seperti DJP Online juga mempermudah wajib pajak, terutama generasi muda, untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dari mana saja dan kapan saja.
Analisis Tematik tentang Evolusi Jenis Pajak Utama
Evolusi Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan di Indonesia memiliki sejarah panjang, berawal dari Ordonansi Pajak Penghasilan tahun 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944 warisan Belanda. Pasca-reformasi 1983, PPh diatur pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. Sejak itu, UU PPh telah mengalami serangkaian amandemen, termasuk pada tahun 1991, 1994, 2000, 2008, 2020 (melalui UU Cipta Kerja), dan 2021 (melalui UU HPP). Perubahan-perubahan ini, yang disesuaikan dengan perkembangan perekonomian, telah menambah dan merevisi objek pajak serta tarif yang dikenakan. Konsep PPh Final, misalnya, terus mengalami perkembangan dan perluasan jenis penghasilan yang dikenakan, termasuk pengenaan pajak atas honorarium pejabat negara dan bunga deposito. Khususnya untuk UMKM, pemerintah memperkenalkan skema PPh Final dengan tarif 0,5% yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan PP Nomor 23 Tahun 2018, yang kemudian disempurnakan lagi dalam UU HPP.23
Evolusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Sistem PPN di Indonesia diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dengan tarif tunggal sebesar 10%. Sejak awal, pemerintah juga mengenakan tarif 0% untuk ekspor guna mendorong daya saing produk Indonesia di pasar global dan memenuhi prinsip konsumsi di luar daerah pabean (destination principle). PPN telah menjadi salah satu tumpuan penerimaan negara. Namun, kondisi fiskal yang tertekan pasca-pandemi COVID-19 dan rendahnya efisiensi pemungutan PPN memicu perubahan. Melalui UU HPP, tarif PPN umum dinaikkan menjadi 11% per 1 April 2022, sebuah langkah yang juga dilihat sebagai kompensasi atas penurunan tarif PPh Badan dan penyesuaian dengan standar global. UU HPP juga memperkenalkan skema PPN final untuk menyederhanakan administrasi bagi UMKM, menggantikan skema deemed pajak masukan.
Tabel 3: Evolusi Tarif Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Undang-Undang | Tahun Berlaku | Tarif PPh Orang Pribadi | Tarif PPh Badan | Tarif PPN Umum |
Ordonansi (Warisan Kolonial) | pra-1983 | Hingga 50% | Bervariasi | – |
UU No. 7 & 8 Tahun 1983 | 1984 | 10%, 25%, 35% | 35% | 10% |
UU No. 17 Tahun 2000 | 2000 | 5%, 15%, 25%, 35% | 30% | 10% |
UU No. 36 Tahun 2008 | 2009 | 5%, 15%, 25%, 30% | 28% (turun) | 10% |
UU No. 7 Tahun 2021 (UU HPP) | 2022 | 5%, 15%, 25%, 30%, 35% | 22% (turun) | 11% |
Evolusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Sejarah PBB di Indonesia dapat ditarik kembali ke era kolonial dengan nama landrente atau pajak pertanahan. Setelah kemerdekaan, PBB diatur melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985. Dalam perkembangannya, PBB diklasifikasikan menjadi dua jenis utama, yaitu PBB P2 (Perdesaan dan Perkotaan) dan PBB P3 (Sektor Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, dll.). PBB P2 dikelola oleh pemerintah daerah dan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah terbesar untuk membiayai infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik lainnya. Sementara itu, PBB P3, yang mencakup sektor-sektor strategis, dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak.
Tantangan dan Prospek Masa Depan
Perjalanan sistem perpajakan Indonesia tidak lepas dari tantangan. Meskipun reformasi telah membawa perubahan fundamental, rasio pajak Indonesia masih perlu ditingkatkan agar penerimaan negara dapat lebih optimal. Selain itu, tantangan untuk menumbuhkan kepatuhan sukarela di tengah kebebasan yang diberikan oleh system self assessment masih menjadi pekerjaan rumah.
Namun, dengan Peta Jalan Kebijakan Perpajakan yang bersifat dinamis dan proyek digitalisasi Coretax yang terus berjalan, prospek masa depan terlihat cerah. Modernisasi layanan dan integrasi data diharapkan dapat mengurangi beban administratif wajib pajak, meminimalkan celah manipulasi, dan pada akhirnya, mendorong kepatuhan secara alami karena proses menjadi lebih mudah dan transparan. Keterkaitan antara keberhasilan program Tax Amnesty yang menghasilkan basis data masif dan urgensi Reformasi Jilid III menunjukkan bahwa kebijakan yang sukses di satu area dapat memicu transformasi di area lain. Ini adalah indikasi bahwa sistem perpajakan Indonesia terus belajar dan beradaptasi untuk memenuhi tuntutan zaman.
Kesimpulan
Sejarah sistem perpajakan di Indonesia adalah narasi evolusi yang kompleks dan berani. Dari sebuah instrumen eksploitatif warisan kolonial, pajak telah bertransformasi menjadi pilar utama kemandirian fiskal. Transformasi ini didukung oleh tiga pilar utama yang saling terkait: perubahan regulasi (Reformasi 1983 dan UU HPP), pergeseran sistem pemungutan (official ke self assessment), dan modernisasi administrasi (Reformasi Jilid I, II, dan III).
Pergeseran ke sistem self assessment pada tahun 1983 merupakan langkah revolusioner yang menempatkan kepercayaan pada masyarakat, meskipun tantangan implementasinya membutuhkan upaya modernisasi administrasi yang berkelanjutan. Jilid-jilid reformasi birokrasi dan administrasi yang berfokus pada layanan, kontrol internal, dan teknologi informasi adalah jawaban sistematis terhadap tantangan ini. Puncak dari upaya ini, yaitu proyek PSIAP, akan menjadi fondasi bagi sistem perpajakan yang lebih efisien dan akuntabel di masa depan. Dengan adaptasi yang terus-menerus terhadap perkembangan ekonomi digital dan kebutuhan fiskal, sistem perpajakan Indonesia berpotensi untuk menjadi lebih adil dan kredibel, serta berfungsi sebagai tulang punggung yang kokoh untuk pembiayaan pembangunan nasional di masa depan.
Daftar Pustaka :
- PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PAJAK … – Jurnal DPR RI, accessed August 18, 2025, https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/75/42
- Sejarah Pajak di Indonesia, Sejak Zaman Kerajaan – PAJAK.COM, accessed August 18, 2025, https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/sejarah-pajak-di-indonesia-sejak-zaman-kerajaan/
- Menengok Sejarah Perpajakan di Indonesia : Bagian Kedua – Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 18, 2025, https://www.pajak.go.id/artikel/menengok-sejarah-perpajakan-di-indonesia-bagian-kedua
- Mengenal Sejarah Perpajakan di Indonesia – Pajak.io, accessed August 18, 2025, https://pajak.io/mengenal-sejarah-perpajakan/
- Mengurai Sejarah APBN Indonesia – Media Keuangan, accessed August 18, 2025, https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/mengurai-sejarah-apbn-indonesia
- Sejarah Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 18, 2025, https://artikel.pajakku.com/sejarah-direktorat-jenderal-pajak
- Learning About the Types of Taxation Systems in Indonesia – MUC Consulting, accessed August 18, 2025, https://muc.co.id/en/article/learning-about-the-types-of-taxation-systems-in-indonesia
- View of Self Assessment In Tax Law | Devotion : Journal of …, accessed August 18, 2025, https://devotion.greenvest.co.id/index.php/dev/article/view/292/613
- Pajak-Pajak yang Hilang | Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 18, 2025, https://www.pajak.go.id/id/artikel/pajak-pajak-yang-hilang
- pembaharuan sistem perpajakan nasional (pspn) era orde baru tahun 1983-1988 sebma nidia dariati – E-Journal Unesa, accessed August 18, 2025, https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/14705/13347
- Jejak Reformasi Pajak – Media Keuangan, accessed August 18, 2025, https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/jejak-reformasi-pajak
- Empat Belas Juli, Awal Sejarah Reformasi Perpajakan – Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 18, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/empat-belas-juli-awal-sejarah-reformasi-perpajakan
- Empat Belas Juli, Awal Sejarah Reformasi Perpajakan | Direktorat …, accessed August 18, 2025, https://www.pajak.go.id/artikel/empat-belas-juli-awal-sejarah-reformasi-perpajakan
- UU NO 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN (HPP) – Wonosari – Kabupaten Kendal, accessed August 18, 2025, https://wonosari.kendalkab.go.id/potensidetail/eXVFekRMeVJLeE1iMWNIaTNKWUNjQT09/uu-no-7-tahun-2021-tentang-harmonisasi-peraturan-perpajakan–hpp-.html
- UU No. 7 Tahun 2021 – Peraturan BPK, accessed August 18, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/details/185162/uu-no-7-tahun-2021
- OPTIMALISASI DAN PENGUATAN PERPAJAKAN INDONESIA – DPR RI, accessed August 18, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public-42.pdf
- REFORMASI PERPAJAKAN DAN PEMBERLAKUAN … – DPR RI, accessed August 18, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat-XIII-20-II-P3DI-Oktober-2021-206.pdf
- Dibalik Kenaikan 1% Tarif PPN | Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 18, 2025, https://pajak.go.id/index.php/id/artikel/dibalik-kenaikan-1-tarif-ppn
- Peta Jalan Kebijakan Perpajakan – Direktorat Jenderal Strategi …, accessed August 18, 2025, https://fiskal.kemenkeu.go.id/kajian/2023/12/27/2457-peta-jalan-kebijakan-perpajakan
- asal mula ppn dan perkembangannya di indonesia – PPA&K, accessed August 18, 2025, https://www.ppak.co.id/artikel/asal-mula-ppn-dan-perkembangannya-di-indonesia
- Coretax Dalam Evolusi Sistem Administrasi Perpajakan | kumparan …, accessed August 18, 2025, https://kumparan.com/oca-julistya/coretax-dalam-evolusi-sistem-administrasi-perpajakan-24RS1X5wbxG
- Era Digital, Urusan Pajak Serba Mudah buat Generasi Muda | Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 18, 2025, https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/era-digital-urusan-pajak-serba-mudah-buat-generasi-muda
- Sejarah PPh Final di Indonesia, accessed August 18, 2025, https://artikel.pajakku.com/sejarah-pph-final-di-indonesia
- PBB P2 dan PBB P3, Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang …, accessed August 18, 2025, https://www.pajakku.com/read/63452119b577d80e80d5d8f4/PBB-P2-dan-PBB-P3-Objek-Pajak-Bumi-dan-Bangunan-yang-Dikelola-Pusat-
Manfaat Membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan – Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta, accessed August 18, 2025, https://bapenda.jakarta.go.id/artikel/manfaat-membayar-pajak-bumi-dan-bangunan-perdesaan-dan-perkotaan