Pendahuluan dan Konteks Makroekonomi Target 8%
Target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% di tahun 2026 merupakan sebuah aspirasi yang ambisius dan mendesak, yang berakar pada visi jangka panjang negara. Angka pertumbuhan ini bukan sekadar indikator statistik, melainkan prasyarat fundamental untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045, sesuai dengan Visi Indonesia Emas 2045. Tujuan strategis utama di balik target ini adalah untuk melepaskan diri dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) yang telah lama membayangi perkembangan ekonomi nasional. Pertumbuhan yang diarahkan ini harus menghasilkan sebuah struktur ekonomi yang tidak hanya kuat, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan.
Pencapaian laju pertumbuhan 8% memerlukan pergeseran paradigma ekonomi yang signifikan. Analisis menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tidak dapat lagi bergantung secara dominan pada konsumsi domestik dan pengeluaran pemerintah sebagai motor utama pertumbuhan. Sebaliknya, Pemerintah berkomitmen untuk mengedepankan investasi berkualitas yang berorientasi ekspor dan berbasis nilai tambah. Untuk mengakomodasi percepatan ini, strategi ekonomi 2026 menuntut sebuah transformasi fundamental yang digambarkan sebagai perubahan yang “dahsyat”. Hal ini menggarisbawahi bahwa target 8% menuntut lebih dari sekadar penyesuaian kebijakan, melainkan perombakan struktural total yang didorong oleh sinergi kebijakan makro yang terkoordinasi erat.
Analisis Kesenjangan Proyeksi (The Expectation Gap)
Ambisi mencapai 8% harus dievaluasi berdasarkan proyeksi makroekonomi dari otoritas dan lembaga internasional. Saat ini, terdapat kesenjangan ekspektasi yang signifikan antara target politik ambisius dan asumsi teknokratis yang lebih konservatif.
Dokumen resmi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 menetapkan asumsi dasar pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) berada dalam kisaran moderat, yaitu 5,2% hingga 5,8%. Proyeksi ini mencerminkan landasan perencanaan fiskal yang berhati-hati. Bappenas menetapkan proyeksi yang sedikit lebih tinggi, yakni 6,3% untuk tahun 2026. Sementara itu, lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan Indonesia akan tetap stabil di angka 5,1% pada tahun 2026, meskipun mengakui ketahanan ekonomi Indonesia di tengah lingkungan eksternal yang penuh tantangan.
Selisih antara batas atas proyeksi teknokratis (5,8%) dan target ambisius (8%)—yakni sekitar 2,2%—adalah selisih yang harus ditutup melalui intervensi kebijakan yang sangat kuat. Untuk mencapai batas atas target KEM-PPKF 5,8%, Menteri Keuangan telah menggarisbawahi bahwa setiap komponen pertumbuhan harus memberikan kontribusi yang lebih besar, dengan Konsumsi Rumah Tangga (RT) harus tumbuh minimal 5,5% dan Investasi (PMTB) harus mendekati 6%.
Jika pertumbuhan 5,8% membutuhkan investasi 6%, maka pencapaian 8% memerlukan akselerasi investasi yang eksponensial, jauh melampaui pertumbuhan historis. Sektor swasta, melalui Kamar Dagang dan Industri (KADIN), telah memproyeksikan bahwa target investasi total 2024-2029 harus mencapai sekitar Rp13.032 Triliun, dengan target pertumbuhan tahun 2026 diproyeksikan naik 14% dibandingkan tahun 2025.
Selisih antara proyeksi teknokratis (5,1%-5,8%) dan target ambisius (8%) tidak dapat ditutupi hanya dengan kebijakan inkremental atau pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang biasa. Pencapaian 8% mengindikasikan bahwa Pemerintah harus mengaktifkan kebijakan “gelombang kejut” (shock policy) yang mampu melipatgandakan dampak (multiplier effect) investasi secara cepat. Modal investasi asing (FDI) skala besar hanya akan masuk dengan kecepatan yang dibutuhkan jika terdapat reformasi kelembagaan yang kredibel. Upaya aksesi Indonesia ke Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) , yang bertujuan menyesuaikan standar kebijakan ekonomi dengan praktik internasional, dapat dipandang sebagai bagian dari strategi untuk membangun kredibilitas kelembagaan ini.
Pembelajaran Historis dan Kondisi yang Berbeda
Target 8% bukanlah angka yang mustahil bagi Indonesia. Secara historis, Indonesia pernah mencapai laju pertumbuhan yang melampaui 8% pada periode 1973, 1977, dan 1995. Pendorong utama di masa lalu adalah deregulasi besar-besaran, industrialisasi, modernisasi, dan akumulasi modal di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Firman, dalam komentarnya, mengingatkan bahwa deregulasi adalah salah satu kunci pada masa itu, mencakup sektor perbankan, perpajakan, investasi, hingga pasar modal.
Namun, konteks global saat ini sangat berbeda. Periode pertumbuhan 8% di tahun 1995 terjadi di tengah puncak globalisasi. Sementara itu, pencapaian target saat ini harus berhadapan dengan tren fragmentasi global, meningkatnya kebijakan proteksionisme, eskalasi perang dagang, dan ketegangan geopolitik yang signifikan (seperti konflik Rusia-Ukraina dan dinamika di Timur Tengah). Kondisi ini telah mengubah lanskap tata kelola global dan menciptakan ketidakpastian yang parah, yang secara langsung meningkatkan risiko pasar terhadap investasi yang berorientasi ekspor, seperti inisiatif Hilirisasi.
Sinergi Kebijakan Makroekonomi 2026: Fondasi Stabilitas dan Reformasi
Sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter, ditambah dengan reformasi struktural yang ambisius, menjadi fondasi utama untuk menciptakan lingkungan yang stabil dan kredibel bagi investasi yang diperlukan untuk mencapai target 8%. Strategi ekonomi 2026 secara eksplisit menekankan sinkronisasi kebijakan ini.
Pilar Fiskal: Sinkronisasi APBN dan Fokus Belanja
Strategi ekonomi 2026 berfokus pada sinkronisasi APBN dengan Mesin Pertumbuhan Baru untuk memperkuat fondasi pertumbuhan nasional. APBN 2026 disusun untuk memberikan dampak nyata bagi masyarakat dan perekonomian, demi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
Total anggaran yang disiapkan untuk tahun 2026 adalah Rp3.842 Triliun, di mana Rp2.567,9 Triliun dialokasikan sebagai belanja prioritas. Alokasi prioritas ini diarahkan untuk mendukung delapan agenda pembangunan utama: (i) ketahanan pangan, (ii) ketahanan energi, (iii) Program Makan Bergizi Gratis (MBG), (iv) program pendidikan, (v) program kesehatan, (vi) pembangunan desa, koperasi, dan UMKM, (vii) pertahanan semesta, serta (viii) akselerasi investasi dan perdagangan global.
Salah satu injeksi fiskal paling signifikan yang disiapkan adalah program MBG, dengan anggaran sebesar Rp335 Triliun yang ditargetkan mencapai hingga 80 juta penerima. Program ini berfungsi sebagai stimulus sisi permintaan (demand-side) yang sangat kuat, dirancang untuk mendorong pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga di atas ambang batas 5,5% yang dibutuhkan untuk mencapai PDB 5,8%. Selain itu, Pemerintah terus memberikan dukungan fiskal untuk meningkatkan produksi domestik, termasuk perpanjangan PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk perumahan dan perluasan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi UMKM.
Untuk menjaga daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi utama, Pemerintah memastikan bahwa berbagai insentif fiskal transformasional akan tetap tersedia. Insentif ini mencakup Tax Holiday, Tax Allowance, dan fasilitas impor.
Meskipun belanja prioritas bertujuan untuk akselerasi investasi, alokasi anggaran yang sangat besar untuk program berbasis konsumsi (MBG, Rp335 T) menimbulkan kebutuhan akan manajemen fiskal yang cermat. Alokasi ini berisiko menciptakan crowding out terhadap belanja modal yang benar-benar transformasional, atau setidaknya membatasi fleksibilitas fiskal di tengah ketidakpastian global. Agar target 8% dapat tercapai secara berkelanjutan, stimulus konsumsi harus dipasangkan dengan lonjakan produktivitas yang dihasilkan dari investasi infrastruktur dan sektor-sektor strategis, bukan hanya peningkatan daya beli yang didorong oleh transfer. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan ketat terhadap efisiensi implementasi belanja daerah untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan benar-benar mendukung pertumbuhan PDB dan tidak menjadi sumber inefisiensi.
Sinergi Moneter dan Manajemen Stabilitas
Dalam kerangka ambisi pertumbuhan 8%, peran Bank Indonesia (BI) sangat sentral dalam menjaga stabilitas makroekonomi agar laju pertumbuhan tinggi tidak memicu gejolak yang merusak. BI berkomitmen untuk memperkuat sinergi dengan Pemerintah guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berdaya tahan.
Asumsi makroekonomi dalam KEM-PPKF 2026 menetapkan jangkar stabilitas yang harus dijaga: inflasi diharapkan terkendali antara 1,5% sampai 3,5% , dan nilai tukar Rupiah diperkirakan bergerak antara Rp16.500 sampai Rp16.900 per dolar Amerika.
Stabilitas ini sangat penting. Kombinasi kebijakan fiskal yang agresif (terutama melalui MBG) dan target pertumbuhan investasi yang tinggi (14%) secara inheren berisiko memicu tekanan inflasi demand-pull serta pelebaran defisit transaksi berjalan. Oleh karena itu, sinergi kebijakan moneter dan fiskal, termasuk kerja sama dalam menjaga inflasi 2025 , harus terus diperkuat untuk memastikan bahwa ambisi pertumbuhan 8% tidak mengancam batas atas inflasi 3,5% yang ditetapkan. Kestabilan moneter adalah pra-kondisi yang harus dipertahankan untuk memberikan ruang bagi kebijakan suku bunga yang mendukung investasi dan menjaga daya beli masyarakat.
Reformasi Struktural untuk Kredibilitas Global
Reformasi struktural yang saat ini sedang diupayakan Pemerintah, terutama proses aksesi ke OECD dan eksplorasi kerja sama dalam Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) , memiliki implikasi mendalam terhadap target pertumbuhan 8%.
Langkah-langkah ini penting untuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global dan menyesuaikan standar kebijakan ekonomi nasional dengan praktik internasional. Melalui peningkatan standar kelembagaan, transparansi, dan tata kelola yang disyaratkan oleh OECD, Indonesia secara tidak langsung meningkatkan kredibilitas kelembagaan di mata investor global. Peningkatan kredibilitas ini, seperti yang ditekankan oleh IMF , merupakan “asuransi” utama terhadap risiko domestik dan eksternal. Kredibilitas kelembagaan yang kuat menarik FDI berkualitas tinggi yang berorientasi ekspor, yang sangat dibutuhkan untuk mencapai laju pertumbuhan 8%. Reformasi struktural ini adalah pilar yang memastikan bahwa target ambisius tersebut didukung oleh fondasi kelembagaan yang tepercaya dan berstandar internasional.
Eksplorasi Mesin Pertumbuhan Baru: Kunci Akselerasi 2026
Pencapaian pertumbuhan PDB 8% di tahun 2026 tidak mungkin terwujud tanpa Mesin Pertumbuhan Baru (MPB) yang berfungsi pada skala dan efisiensi yang belum pernah dicapai sebelumnya. MPB ini meliputi Hilirisasi, Ekonomi Hijau, dan Ekonomi Digital.
Hilirisasi dan Peningkatan Kualitas Investasi
Hilirisasi dan industrialisasi telah ditegaskan sebagai kunci bagi Indonesia untuk naik kelas menjadi negara maju pada tahun 2045. Sektor Hilirisasi terus menunjukkan perkembangan yang signifikan , namun akselerasi menuju 8% menuntut peningkatan kualitas investasi. Menteri Investasi/BKPM menekankan bahwa kunci untuk mencapai target 8% adalah peningkatan investasi yang berorientasi ekspor dan berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi 8% harus didukung oleh investasi yang difokuskan pada sektor-sektor strategis, seperti manufaktur berbasis nilai tambah dan teknologi tinggi (high-tech), termasuk pengembangan industri kendaraan listrik (EV) dan semikonduktor. Investasi pada sektor-sektor ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dan meningkatkan daya saing global.
KADIN Indonesia memproyeksikan kebutuhan investasi yang masif untuk mendukung target ini. Total investasi kumulatif selama periode 2024-2029 harus mencapai sekitar Rp13.032 Triliun, dengan target pertumbuhan investasi tahun 2026 diproyeksikan naik 14% dibandingkan tahun 2025.
Data menunjukkan adanya momentum yang mendukung ambisi ini. Di tengah gejolak ekonomi global, realisasi investasi Indonesia pada Kuartal I-2025 tercatat tumbuh sebesar 15,9%. Angka pertumbuhan ini sedikit melampaui target kenaikan 14% yang diproyeksikan oleh KADIN untuk 2026. Momentum pertumbuhan investasi yang tinggi ini harus dijaga. Namun, fokus hilirisasi, terutama pada komoditas sumber daya alam seperti nikel, juga menghadapi tantangan terkait keberlanjutan lingkungan dan isu sosial, termasuk pengelolaan transmigrasi dan keadilan lingkungan. Oleh karena itu, sinergi kebijakan harus memastikan bahwa laju pertumbuhan investasi yang agresif ini tidak mengorbankan kualitas lingkungan hidup, sekaligus mendukung pilar Ekonomi Hijau.
Ekonomi Hijau dan Transisi Energi (Green Engine)
Transformasi menuju ekonomi hijau kini dianggap sebagai fondasi utama penguatan pertumbuhan nasional. Ekonomi Hijau bukan hanya kewajiban lingkungan, tetapi juga mesin modal baru yang krusial untuk mencapai target investasi 14% di 2026.
Indonesia memiliki keunggulan kompetitif global yang unik: gudang karbon terbesar di Asia dengan potensi penyimpanan hingga 600 gigaton. Aset strategis ini menjadi nilai tawar utama dalam kerja sama global. Pemerintah mendorong monetisasi aset ini melalui pengembangan super green corridor, pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS), dan peningkatan investasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Komitmen internasional terhadap transformasi energi Indonesia ditegaskan melalui investasi besar dari pihak-pihak seperti Jepang, BP, dan ExxonMobil. Sektor swasta nasional, diwakili oleh KADIN, juga berkomitmen menjadi mitra strategis pemerintah, mendorong monet green investment dan memfasilitasi transisi energi bersih.
Ekonomi Hijau menawarkan dualitas manfaat: ia adalah mitigasi risiko dan sumber modal. Dengan mengkapitalisasi potensi 600 gigaton CCS, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai solusi global untuk mitigasi iklim, menarik green finance berskala besar yang sangat dibutuhkan untuk membiayai target investasi 14%. Namun, implementasi menghadapi kendala struktural, termasuk kesenjangan dalam insentif keuangan dan kebijakan utama yang membatasi ruang lingkup “Hijau”, terutama bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kerangka regulasi dan insentif keuangan harus segera diperjelas untuk memfasilitasi percepatan investasi hijau ini.
Ekonomi Digital dan Pengembangan Talenta
Sektor Ekonomi Digital diproyeksikan mencapai nilai USD600 miliar pada tahun 2030 , menjadikannya salah satu kontributor utama dalam akselerasi pertumbuhan PDB. Pemerintah berupaya mempercepat pertumbuhan sektor ini melalui integrasi sistem pembayaran regional dan perluasan pemanfaatan teknologi melalui Digital Economic Framework Agreement.
Kebutuhan akan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas tinggi di sektor digital sangat mendesak. Pemerintah mengatasi tantangan ini dengan mendorong peningkatan talenta digital, termasuk melalui program magang berskala nasional yang menargetkan 100 ribu peserta setiap tahun. Program ini, yang juga bertujuan mendukung pengembangan startup berbasis teknologi dan Kecerdasan Buatan (AI), merupakan bagian dari upaya menciptakan wirausaha dan tenaga kerja berkualitas melalui pendidikan vokasi.
Penciptaan 100 ribu talenta digital per tahun harus dievaluasi terhadap kebutuhan riil industri Hilirisasi high-tech (seperti semikonduktor) dan sektor digital itu sendiri untuk mencapai target $600 miliar. Vokasi harus disinkronkan secara ketat dengan kebutuhan industri yang didanai oleh pertumbuhan investasi 14%. Jika kualitas dan spesialisasi lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan industri 4.0, maka bottleneck SDM akan membatasi kapasitas pertumbuhan MPB, meskipun modal investasi tersedia.
Peta Jalan Mesin Pertumbuhan Baru 2026
Peta jalan berikut merangkum elemen-elemen kunci yang harus diakselerasi di tahun 2026 untuk mendukung target pertumbuhan PDB yang ambisius.
Peta Jalan Mesin Pertumbuhan Baru 2026
| Mesin Pertumbuhan Baru | Target Kuantitatif/Strategis | Kebutuhan Investasi 2026 | Aksi Kebijakan Prioritas | Tantangan Implementasi |
| Hilirisasi (High-Tech) | Peningkatan manufaktur berbasis nilai tambah; Pengembangan EV dan Semikonduktor. | Pertumbuhan Investasi 14% YoY ; Investasi berorientasi ekspor. | Pemberian Insentif Fiskal (Tax Holiday, Allowance) ; Reformasi Birokrasi dan Perizinan. | Kesenjangan SDM Vokasi ; Tekanan Geopolitik pada Ekspor. |
| Ekonomi Hijau & Transisi Energi | Monetisasi potensi 600 GT gudang karbon ; Peningkatan EBT. | Menarik Green FDI (Jepang, BP, ExxonMobil) ; Komitmen KADIN green investment. | Finalisasi Kerangka Regulasi CCS; Pengurangan Kesenjangan Insentif Hijau untuk UMKM. | Keberlanjutan Hilirisasi yang Berbasis SDA; Ketidakjelasan Regulasi Green Finance. |
| Ekonomi Digital & Inovasi | Mencapai proyeksi nilai USD600 M (2030) ; Integrasi pembayaran regional. | Investasi Startup dan AI; Peningkatan Kapasitas Teknologi. | Program Magang 100k Talenta Digital/tahun ; Digital Economic Framework Agreement. | Kesenjangan Kualitas Talenta; Kebutuhan harmonisasi Vokasi dengan Industri. |
Tantangan Struktural, Risiko, dan Peta Jalan Inklusivitas
Meskipun strategi dan mesin pertumbuhan telah ditetapkan, terdapat tantangan struktural dan risiko makro yang signifikan yang dapat menghambat pencapaian target 8% dan harus dikelola secara proaktif.
Risiko Eksternal dan Ketidakpastian Global
Konteks global kontemporer ditandai dengan perubahan dahsyat dan fundamental. Globalisasi bergeser menjadi fragmentasi dan persaingan sengit. Risiko utama yang dihadapi Indonesia adalah eskalasi perang dagang, kebijakan proteksionisme, ketegangan geopolitik (konflik di Timur Tengah, Rusia-Ukraina), dan disrupsi rantai pasok.
IMF memperingatkan bahwa risiko global cenderung mengarah ke bawah (downside risk), dengan risiko eksternal utama meliputi eskalasi ketegangan perdagangan dan volatilitas pasar keuangan global. Resesi global, jika terjadi, dapat secara serius mengganggu rencana pertumbuhan Indonesia. Ketergantungan target 8% pada ekspor yang kuat (terutama dari Hilirisasi) menuntut bahwa ekonomi global harus bersikap kooperatif. Strategi aksesi OECD dan eksplorasi CPTPP adalah mitigasi strategis untuk memperkuat posisi dagang dan investasi Indonesia di tengah fragmentasi ini.
Tantangan Domestik Kelembagaan dan Regulasi
Di tingkat domestik, pencapaian pertumbuhan tinggi memerlukan ekosistem kebijakan yang kuat, didukung oleh investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Tantangan kelembagaan terkait erat dengan efisiensi birokrasi dan risiko implementasi. Deregulasi masif, yang secara historis menjadi kunci pertumbuhan 8% , harus dilanjutkan dan disempurnakan. Namun, target ambisius 8% dapat terancam oleh risiko fiskal di tingkat daerah, terutama risiko implementasi belanja yang belum sepenuhnya efisien.
Kredibilitas kelembagaan memainkan peran sentral. IMF menekankan bahwa melindungi kredibilitas dan ruang kebijakan Indonesia tetap krusial di tengah ketidakpastian eksternal. Target pertumbuhan 8% yang didukung oleh lonjakan investasi 14% hanya akan dianggap kredibel jika didukung oleh konsistensi kebijakan moneter dan fiskal, serta jaminan bahwa reformasi struktural (seperti aksesi OECD) akan diimplementasikan secara tegas. Setiap pergeseran kebijakan besar yang tidak diimplementasikan dengan pengamanan (guardrails) yang kuat dapat menimbulkan kerentanan. Kredibilitas ini diperlukan untuk meyakinkan investor, domestik maupun asing, bahwa target investasi Rp13.032 Triliun dapat dicapai tanpa gejolak.
Implikasi Inklusivitas dan Pemerataan Ekonomi
Komitmen Pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan berarti bahwa target 8% harus berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan, penurunan tingkat kemiskinan, dan pemerataan pendapatan. Strategi untuk mencapai pemerataan ditekankan melalui delapan agenda pembangunan.
Kebijakan pemerataan ekonomi diwujudkan melalui beberapa inisiatif utama:
- Pengembangan UMKM:Pembangunan koperasi dan UMKM menjadi strategi utama , didukung oleh perluasan akses KUR. Menko Airlangga secara spesifik mendorong KADIN untuk membangkitkan UMKM konstruksi , mengintegrasikan sektor kerakyatan dalam rantai nilai investasi infrastruktur dan pembangunan.
- Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja:Program vokasi ditekankan untuk meningkatkan tenaga kerja berkualitas dan menciptakan wirausaha.
- Keseimbangan Regional:Penguatan konektivitas antar wilayah dan reforma agraria diperlukan untuk mendukung pemerataan ekonomi nasional.
Meskipun realisasi investasi hingga September telah berhasil menyerap 1,95 juta tenaga kerja , terdapat dualitas yang harus diwaspadai. Sektor MPB, terutama Hilirisasi high-tech (semikonduktor, EV), cenderung padat modal. Pertumbuhan 8% yang didominasi oleh MPB mungkin menciptakan pekerjaan dengan upah lebih tinggi, tetapi jumlahnya mungkin terbatas jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang didorong oleh industri padat karya.
Oleh karena itu, diperlukan evaluasi mendalam mengenai apakah sektor high-tech dan Ekonomi Hijau dapat menyerap surplus tenaga kerja yang ada di pasar. Dalam konteks ini, program demand-side seperti MBG dan dukungan UMKM harus berfungsi ganda sebagai jaring pengaman (safety net) dan inkubator kewirausahaan. Hal ini memastikan bahwa manfaat dari pertumbuhan yang didorong oleh investasi besar (14%) terdistribusi secara luas, mencegah pelebaran jurang pendapatan, dan menjaga pertumbuhan tetap inklusif.
Kesimpulan
Target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8% pada tahun 2026 merupakan sebuah aspirasi politik yang memerlukan transformasi struktural radikal, melampaui kemampuan pertumbuhan organik yang diproyeksikan (5,1%–5,8%). Pencapaian angka ini bergantung pada tiga pilar utama yang saling bersinergi:
- Akselerasi Investasi Supply-Side:Keharusan untuk merealisasikan target pertumbuhan investasi tahunan sebesar 14% yang berorientasi ekspor, berkelanjutan, dan berbasis teknologi tinggi.
- Keseimbangan Fiskal-Moneter:Sinkronisasi kebijakan yang ketat antara stimulus sisi permintaan (Program MBG Rp335 T) dan manajemen stabilitas makroekonomi oleh Bank Indonesia, dengan batas inflasi 3,5% sebagai batas keamanan.
- Kredibilitas Kelembagaan Global:Penguatan posisi melalui reformasi struktural, terutama aksesi OECD , untuk menarik FDI berkualitas tinggi di tengah fragmentasi global.
Rekomendasi Kebijakan Berlapis (Multi-layered Recommendations)
Untuk menutup kesenjangan pertumbuhan dan mewujudkan target 8% secara inklusif dan berkelanjutan, laporan ini merekomendasikan tiga lapisan kebijakan strategis:
- Struktural dan Kelembagaan (Fokus Kredibilitas)
Pemerintah harus memanfaatkan momentum ambisi aksesi OECD untuk memberikan jaminan implementasi reformasi yang kredibel kepada pasar:
- Penyederhanaan Regulasi Investasi:Melakukan perombakan radikal untuk menyederhanakan regulasi investasi di tingkat pusat hingga daerah, mengatasi risiko inefisiensi belanja yang dapat menghambat aliran modal 14%.
- Harmonisasi Pasar Tenaga Kerja:Program Vokasi 4.0 harus direformasi untuk disinkronkan secara ketat dengan kebutuhan spesifik industri Hilirisasi high-tech (semikonduktor, AI). Target 100 ribu talenta digital per tahun harus difokuskan pada kualitas dan relevansi keahlian untuk menghindari bottleneck SDM yang membatasi kapasitas MPB.
- Fiskal dan Moneter (Fokus Keseimbangan)
Diperlukan strategi untuk memaksimalkan multiplier effect fiskal sambil mempertahankan stabilitas makroekonomi:
- Optimalisasi Belanja MBG:Memastikan alokasi MBG senilai Rp335 Triliun dirancang untuk memaksimalkan multiplier effect lokal, misalnya dengan memprioritaskan penyedia bahan baku dan jasa dari UMKM konstruksi dan pangan di tingkat daerah.
- Mekanisme Konsultasi Stabilitas:Memperjelas mekanisme konsultasi antara otoritas fiskal dan moneter (Kemenkeu/Kemenko dan BI) untuk secara proaktif mengelola risiko overheating (inflasi demand-pull) yang mungkin timbul dari target investasi 14% dan stimulus konsumsi, dengan batas inflasi 3,5% sebagai batas toleransi yang tidak boleh dilampaui.
- Sektoral (Fokus Monetisasi Green Economy)
Ekonomi Hijau harus diakselerasi sebagai sumber modal baru:
- Finalisasi Kerangka CCS Agresif:Perlu segera finalisasi kerangka regulasi Carbon Capture and Storage (CCS) untuk secara agresif mengkapitalisasi potensi penyimpanan karbon 600 gigaton. Ini adalah kunci untuk memfasilitasi investasi internasional skala besar (BP, ExxonMobil) dan memposisikan Indonesia sebagai pemimpin solusi iklim global, menarik green finance untuk membiayai kebutuhan investasi.
- Insentif Hijau Terukur:Menciptakan kerangka insentif keuangan yang jelas, menarik, dan terukur, khususnya untuk mendukung transisi UMKM dan industri kecil ke praktik berkelanjutan, menutup kesenjangan insentif yang saat ini membatasi ruang lingkup “Hijau”. Hal ini penting untuk memastikan komitmen KADIN pada green investment terakselerasi menjadi aksi nyata di lapangan pada tahun 2026.