Oleh : Ade P. Nasution
Ekonomi sejak berdirinya republik ini belum menemukan bentuk yang tepat dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meletakkan posisi Indonesia di tataran ekonomi internasional.sudah hampir 69 tahun berlalu namun kerangka dasar ekonomi Indonesia belum menemukan fondasi yang kuat, dikatakan sektor pertanian sebagai basis, juga bukan bahkan dengan jumlah penduduk dan jumlah lahan yang luas, demikian juga sektor industry, yang digadang-gadangkan oleh birokrat ternyata juga bukan, hal ini dapat dilihat dari nilai transaksi berjalan yang selalu defisit, yang dapat kita artikan tidak ada konstribusi sektor industri secara signifikan terhadap pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat.bahkan menurut Sritua Arief (1990) sektor industri terutama sektor industri penanaman modal asing tak lain tak lebih keuntungannya hanya sekedar penyerapan tenaga kerja murah belaka.
Sedangkan industri domestik kegiatannya, baik segaja maupun tidak sengaja hanya di arahkan pada pemenuhan konsumsi dalam negeri dan industri yang bersifat subsitusi import, yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan kompetitif dalam merebut pangsa pasar internasional. Bahkan dalam perjalanannya, industri domestik ini juga dihantam permasalahan baik mengenai pasarnya juga mengenai kelangsungan produksinya melalui instrument dan regulasi dalam negeri yang tidak berfihak, hal ini dapat kita lihat pada struktur pasar gula dan beras di Indonesia, yang secara hitung-hitungan adalah lebih menguntungkan kalau import dari luar negeri. Namun tentu saja kebijakan import ini justru akan mematikan industri dalam negeri dan berakibat pada banyak hal seperti pertambahan angka pengangguran dan secara signifikan menyumbang pada persoalan defisit transaksi berjalan.
Secara teori, system ekonomi yang dianut oleh Indonesia sampai sekarang adalah system kapitalis liberalism, yang membuka diri dan pasarnya lebar-lebar kepada dunia internasional dan mengkaitkan seluruh kebijakan ekonomi pada instrument-instrumen yang di tentukan oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, Bank Dunia,WTO dan badan-badan kerjasama ekonomi lainnya. Selanjutnya kemudian, system ini sendiri dan lembaga-lembaga internasional pendukungnya justru yang sedikit demi sedikit menggerogoti kekuatan ekonomi Indonesia melalui aturan dan konvensi yang diikuti didalam segala bidang perekonomian baik itu perdagangan, industry, pertanian, komunikasi, perkebunan, pelayaran dan sector-sektor lainnya. Kita sangat mengerti sekali bahwa Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat patuh terhadap aturan-aturan dan konvensi dari lembaga dunia yang sebenarnya sangat merugikan Negara Indonesia sendiri, sikap berlainan justru ditunjukkan oleh Brazil dan India yang berani menyuarakan keberatan mereka, karena mereka anggap kebijakan lembaga-lembaga internasional seperti WTO dan Bank Dunia merugikan negaranya sendiri.
Menurut Bank Dunia, sebenarnya Indonesia dikategorikan sebagai negara agraris (pertanian) dan dimasukkan kedalam kelompok negara sedang berkembang. Namun dalam pelaksanaannya, justru Indonesia secara prematur sudah masuk dalam tahapan negara industri. Hal ini sangat tidak sesuai dengan teori tahapan pembangunan W.W. Rostow yang ketika Indonesia masih belum lepas dari tahapan pertanian justru memaksakan diri masuk ke tahapan berikutnya yaitu industry, seharusnya industri yang ada adalah untuk membuat nilai tambah hasil pada periode tahapan sebelummya yaitu tahapan pertanian. Tentu saja akibat kebijakan banting setir ini banyak sekali lahan pertanian harus dirubah paksa menjadi kawasan industri dan perdagangan jasa sehingga tidak heran pada saat ini banyak sekali produk-produk pertanian seperti beras, sayuran dan buah-buahan Indonesia harus import dari negara lain dan ini adalah paradoks bagi Indonesia yang terkenal pada zaman orde baru sebagai negara agraris terkemuka di asia tenggara.
Berbagai jargon mengenai fondasi ekonomi Indonesia sudah banyak kita dengar, di zaman orde lama kita mendengar ekonomi berdikari, di zaman orde baru dan reformasi kita mendengar istilah ekonomi pancasila sampai istilah ekonomi kerakyatan. Namun kesemuanya itu hanya tinggal semboyan belaka, tidak ada perubahan yang mendasar tentang sistem perekonomian yang kita anut. Setiap peristiwa atau perubahan di Indonesia, baik pergantian presiden maupun persitiwa jatuhnya penguasa orde baru berubah menjadi orde reformasi, kebijakan ekonomi sama sekali tidak tersentuh dan tidak pernah berupaya untuk membangun fondasi yang kokoh, semua pemimpin Indonesia hanya berdebat masalah politik dan hukum, untuk persoalan ekonomi, rata-rata presiden Indonesia hanya meneruskan apa yang telah dijalankan oleh presiden sebelumnya.
Sementara itu dalam waktu yang tidak berapa lama, Negara-negara tetangga Indonesia yang dulu dibawah indonesia sudah banyak yang berganti status dari negara sedang berkembang menjadi negara maju seperti Singapura dan Malaysia dan pencapaiannya melampaui apa yang dicapai oleh Indonesia. Dan sangat memungkinkan bahawa Negara seperti Thailand dan Vietnam akan segera berubah status menjadi Negara berkembang
Memang diakui, bahwa ada juga data-data/indikator menunjukkan terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi pada periode tertentu dan juga peningkatan PDRB dan GNP, namun anehnya, peristiwa ini merupakan anomali ekonomi yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara signifikan. Dan yang terjadi adalah ketidak merataan penyebaran hasil pertumbuhan ekonomi tersebut yang sering kita sebut dengan kesenjangan (gap), baik kesenjangan struktural maupun kesenjangan regional. Perlu diketahui bahwa kesenjangan-kesenjangan yang terjadi sangat lebar terutama kesenjangan pusat – daerah dan kesenjangan kota – desa. Namun kita ketahui bersama bahwa untuk menutup kesenjangan ini, pemerintah justru tidak mengeluarkan kebjakan ekonomi baru untuk memperbaikinya namun malah mengeluarkan paket kebijakan politik yaitu kebijakan otonomi daerah yang sampai saat ini hasilnya belum dapat dilihat dan tidak dapat diukur secara signifikan dan malah melahirkan kesenjangan-kesenjangan baru yang sama sekali tidak diprediksi pada waktu pembuatan kebijakan tersebut.
Menurut sejarah ekonomi, kebijakan ekonomi suatu negara tidak selalu harus sama dengan negara lain ataupun harus sama dengan pendapat tokoh ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi diciptakan oleh ahli ekonomi bukan untuk mengatasi permasalahan negara berkembang,tapi teori-teori yang ada baik kapitalismenya Adam Smith maupun jalan tengahnya Keynes dibuat untuk mengatasi permasalahan ekonomi di negara meraka masing-masing, jadi teori ini harus dimodikasi sesuai dengan kultur dan karakter masyarakat bangsa. Ada kesan, bahwa proses kebijakan ekonomi di Indonesia di paksakan sama dengan teori dan pemahaman menteri ekonominya yang kebetulan beraliran liberalism kapitalisme. Disamping itu juga dibutuhkan keberanian bertindak dan sikap melindungi industri dan perekonomian dalam negeri dari pemimpin bangsa/Negara sebagaimana yang ditunjukkan oleh Malaysia dengan kebijakan berfihak pada masyarakat pribumi atau kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di negara-negara Amerika Latin.
Tahun 2014 ini adalah tahun yang menentukan bagi bangsa indonesia, karena di tahun ini akan terjadi pergantian pemimpin negeri ini yaitu pemilihan presiden. Dari berbagai tahapan debat calon presiden dan wakil presiden sebanyak 5 putaran, setidaknya kedua kandidat mempunyai pandangan yang sama terhadap apa yang harus dilakukan pada sistem ekonomi Indonesia yaitu perubahan sistem secara konsisten dan berani dan kedua kandidat presiden ini juga sama-sama mengetahui secara baik persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi bangsa ini.
Kita hanya berharap, debat bukan tinggal debat, tapi berharap ada perubahan yang mendasar dalam struktur dan fondasi ekonomi Indonesia yang selama ini kita tunggu-tunggu. Semoga…