Kawasan Asia, khususnya Asia Timur dan Tenggara, telah lama dirayakan karena pertumbuhan ekonomi yang spektakuler. Sejak paruh kedua abad ke-20, kawasan ini menjalankan apa yang sering disebut sebagai “Keajaiban Asia,” di mana laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang cepat disertai dengan distribusi keuntungan yang relatif merata, sebuah model yang dikenal sebagai ‘growth with equity’. Asia Tenggara, khususnya, dikenal sebagai salah satu kawasan paling dinamis dan paling cepat berkembang di dunia, dengan PDB gabungan sebesar 2,767 triliun USD dan arus masuk Investasi Asing Langsung (FDI) yang signifikan. Indonesia sendiri mencatatkan peningkatan PDB hingga empat kali lipat dalam dua dekade terakhir.
Konteks Historis dan Kegagalan Model “Pertumbuhan dengan Pemerataan”
Sayangnya, memasuki abad ke-21, model pertumbuhan inklusif tersebut menunjukkan erosi yang signifikan. “Pertumbuhan tanpa Pemerataan” (Growth Without Equity) didefinisikan sebagai kondisi di mana kenaikan agregat output ekonomi (PDB) terus terjadi, namun manfaatnya—terutama pendapatan dan kekayaan—semakin terkonsentrasi pada segelintir kelompok, memperlebar jurang sosial ekonomi.
Klaim kunci yang muncul dari analisis data dekade terakhir adalah pergeseran struktural: laju pertumbuhan yang pesat yang dialami oleh banyak negara Asia saat ini gagal mereplikasi keajaiban ‘pertumbuhan dengan pemerataan’ yang dicapai pada masa lampau. Fenomena ini menjadi paradoks ekonomi sentral di Asia, di mana kemakmuran agregat meningkat, tetapi konsekuensi besarnya terhadap stabilitas sosial, mobilitas sosial, dan potensi pertumbuhan jangka panjang semakin mengkhawatirkan.
Dokumentasi Pergeseran: Dari Pemerataan ke Ketimpangan yang Meningkat
Kegagalan distribusi keuntungan ekonomi secara otomatis terjadi karena perubahan mendasar dalam mekanisme pertumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi masa kini tidak lagi sekadar didorong oleh penambahan faktor-faktor produksi atau modal yang sama. Sebaliknya, kenaikan output semakin bergantung pada adanya inovasi dan perubahan teknologi yang dilakukan oleh dunia usaha.
Perubahan teknologi ini seringkali bersifat skill-biased (bias terhadap keterampilan). Inovasi yang membutuhkan keterampilan tinggi secara intrinsik menguntungkan kelompok yang sudah memiliki akses terhadap modal atau pendidikan berkualitas. Akibatnya, pertumbuhan PDB yang tinggi di kawasan ASEAN, misalnya, yang ditunjukkan oleh persentase pertumbuhan yang kuat di negara-negara seperti Vietnam (11,25%) dan Singapura (12,04%) pada periode tertentu, hanya mencerminkan kenaikan agregat dan bukan kualitas distribusi keuntungannya. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi kawasan Asia secara keseluruhan dinamis, tantangan terbesarnya adalah memastikan agar dinamisme tersebut dapat menopang pembangunan yang inklusif.
Dokumentasi Empiris dan Dimensi Ketimpangan di Asia
Bukti empiris menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan telah meningkat di sebagian besar Asia, berlawanan dengan tren di banyak kawasan lain di dunia. Data yang tersedia menggarisbawahi urgensi masalah ini, terutama dalam kaitannya dengan Koefisien Gini.
Tren Pertumbuhan PDB vs. Koefisien Gini di Developing Asia
Ketimpangan parah terjadi pada negara-negara berpenduduk terbesar yang juga mencatatkan pertumbuhan tercepat. Dari 30 negara Asia berkembang yang memiliki data komparatif, sembilan negara (mewakili lebih dari 80% populasi Asia pada tahun 2016) mengalami pemburukan Koefisien Gini antara tahun 1990-an dan awal 2010-an.
Koefisien Gini pendapatan per kapita memburuk secara signifikan di tiga raksasa ekonomi Asia:
- Tiongkok (PRC): Koefisien Gini meningkat tajam dari 32 menjadi 40 dari awal 1990-an hingga 2013. Meskipun ada sedikit penurunan sejak 2008, level ini tetap termasuk yang tertinggi di Asia.
- Indonesia: Koefisien Gini meningkat dari 31 menjadi 38 pada periode yang sama.
- India: Koefisien Gini meningkat dari 32 menjadi 35.
Meskipun tingkat ketimpangan Asia secara umum masih di bawah beberapa kawasan berkembang lainnya, rentang Koefisien Gini untuk Developing Asia berkisar antara 26 hingga 46, dengan median 37 pada tahun 2013. Sebagai perbandingan, median Koefisien Gini untuk negara-negara OECD adalah 32, menunjukkan bahwa tantangan distribusi Asia berada pada skala yang lebih tinggi.
Tabel 1: Perbandingan Koefisien Gini di Negara Utama Asia (Awal 1990-an vs. Awal 2010-an)
Negara (Developing Asia) | Gini Awal 1990-an | Gini Awal 2010-an | Peningkatan Gini (Titik) |
RRT (PRC) | 32 | 40 | +8 |
Indonesia | 31 | 38 | +7 |
India | 32 | 35 | +3 |
Dimensi Spasial Ketimpangan: Kesenjangan Urban-Rural dan Regional
Ketimpangan di Asia tidak hanya bersifat antar-individu tetapi juga sangat didorong oleh dimensi geografis, yang merupakan hasil interaksi antara peluang baru (melalui perdagangan, teknologi, dan reformasi pasar) dengan struktur geografis dan infrastruktur yang ada.
Kesenjangan pendapatan rural-urban menyumbang sekitar 40% dari disparitas pendapatan nasional di beberapa negara. Kesenjangan yang melebar antara provinsi/negara bagian dan antara wilayah perkotaan dan pedesaan ini merupakan pendorong utama ketimpangan geografis.
Di Tiongkok, kontribusi gabungan ketimpangan spasial (antara-wilayah dan urban-rural) terhadap ketimpangan nasional secara keseluruhan mencapai lebih dari separuh (lebih dari 50%). Bahkan di negara-negara seperti Filipina dan Vietnam, ketimpangan antar-wilayah menyumbang 20% hingga 30% dari ketimpangan nasional pada akhir tahun 2000-an. Meskipun India baru-baru ini mencatat adanya penurunan dalam kesenjangan pendapatan rural-urban, penting untuk dicatat bahwa ketimpangan di dalam wilayah rural maupun di dalam wilayah urban terus meningkat di Tiongkok dan India.
Tingginya ketimpangan spasial mengindikasikan adanya konsentrasi modal dan peluang yang parah di pusat-pusat aglomerasi ekonomi. Hal ini menciptakan risiko ekonomi yang signifikan yang menghambat pembangunan berkelanjutan. Konsentrasi ini berarti bahwa sumber daya manusia di wilayah pedesaan tidak dimanfaatkan secara optimal, yang pada gilirannya membatasi ukuran pasar domestik dan mobilitas tenaga kerja, sehingga menghambat laju dan keberlanjutan pertumbuhan agregat secara keseluruhan.
Mekanisme Pendorong Ketimpangan: Tiga Pilar Penentu
Ketidakmerataan yang meluas di Asia disebabkan oleh interaksi sinergis dari tiga kekuatan struktural: globalisasi, perubahan teknologi, dan liberalisasi pasar.
Peran Globalisasi dan Liberalisasi Pasar
Globalisasi dan deregulasi yang berorientasi pasar telah terbukti efektif dalam mendorong pertumbuhan PDB yang pesat. Namun, implikasi distribusionalnya sangat jelas: kekuatan-kekuatan ini cenderung menguntungkan pemilik modal daripada tenaga kerja, dan pekerja terampil daripada pekerja tidak terampil.
Salah satu manifestasi langsung dari ketimpangan faktor ini adalah turunnya porsi pendapatan tenaga kerja dalam total pendapatan nasional. Deregulasi pasar seringkali mencakup liberalisasi pergerakan modal, yang meningkatkan mobilitas kapital. Tanpa diimbangi oleh peningkatan mobilitas buruh atau perlindungan tenaga kerja yang kuat, modal mendapatkan daya tawar yang lebih besar untuk menuntut keuntungan yang lebih tinggi dan menekan biaya tenaga kerja.
Meskipun analisis di ASEAN-4 (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina) menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan secara agregat dapat menurunkan kesenjangan pendapatan, terdapat aspek perdagangan lain yang berkorelasi positif dengan ketimpangan. Ini menunjukkan bahwa dampak perdagangan internasional terhadap distribusi pendapatan adalah kompleks dan bergantung pada bagaimana perdagangan tersebut dikelola dan sektor mana yang dominan.
Skill-Biased Technological Change (SBTC) sebagai Penggerak Utama
Perubahan teknologi merupakan pendorong ketimpangan yang semakin kuat. Kemajuan pesat dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) memicu fenomena Perubahan Teknologi Skill-Biased (SBTC). SBTC secara inheren meningkatkan permintaan akan tenaga kerja terampil, yang mampu mengoperasikan atau memanfaatkan teknologi baru, sehingga menciptakan premi keterampilan yang semakin tinggi.
Beberapa penelitian bahkan melaporkan bahwa efek dari perubahan teknologi dalam mendorong ketimpangan dapat lebih besar daripada efek globalisasi itu sendiri.
Bukti empiris di sektor manufaktur Indonesia mendukung argumen ini. Pergeseran permintaan tenaga kerja yang mendukung pekerja terampil tidak hanya didorong oleh realokasi antar-industri tetapi juga oleh perubahan di dalam industri manufaktur. Difusi teknologi baru yang terjadi melalui impor bahan dan Investasi Asing Langsung (FDI) menyebabkan permintaan yang jauh lebih besar untuk tenaga kerja terampil dan, akibatnya, ketimpangan upah yang lebih tinggi. Teknologi yang diimpor seringkali dirancang untuk lingkungan yang padat modal dan tinggi keterampilan di negara maju. Penerapannya di negara berkembang secara otomatis meninggalkan pekerja yang tidak terampil, memperlebar jurang upah, dan menciptakan ketidakcocokan antara kebutuhan pasar dan ketersediaan tenaga kerja.
Liberalisasi Keuangan dan Akses Modal
Pengembangan sistem keuangan (financial deepening), diukur misalnya dari rasio liabilitas likuid terhadap PDB, adalah salah satu tantangan strategis abad ke-21 di Asia. Secara konseptual, pengembangan finansial memiliki potensi untuk mengurangi ketimpangan dengan meningkatkan akses kelompok miskin terhadap layanan keuangan, yang memungkinkan mereka menjadi lebih produktif dan keluar dari jeratan kemiskinan.
Namun, hubungan antara pengembangan finansial dan ketimpangan bersifat ambigu. Jika sistem keuangan yang baru dikembangkan hanya melayani segmen masyarakat yang sudah mapan atau elit, alih-alih memberikan inklusi finansial yang luas, hal ini justru akan memperburuk ketimpangan. Hal ini karena keuntungan dari akses modal baru hanya dinikmati oleh rumah tangga yang sudah memiliki koneksi dan modal awal, bukan oleh masyarakat miskin yang terpinggirkan.
Konsekuensi Multidimensi dari Ketimpangan Tinggi
Ketimpangan pendapatan yang struktural dan persisten di Asia memiliki dampak yang jauh melampaui masalah etika; ia merupakan hambatan serius terhadap pembangunan dan stabilitas regional.
Dampak Makroekonomi dan Keberlanjutan
Tingkat ketimpangan yang tinggi telah diidentifikasi sebagai penghambat laju dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi [5]. Pertumbuhan PDB yang stabil haruslah inklusif agar dapat efektif dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan.
Secara ekonomi, ketimpangan yang parah membatasi permintaan konsumen agregat. Ketika pendapatan terkonsentrasi di puncak, kemampuan konsumsi massal rumah tangga menurun, yang pada gilirannya menekan pasar domestik. Lebih lanjut, ketidaksetaraan membatasi mobilitas sosial, yang menghambat akumulasi human capital potensial dan, oleh karena itu, membatasi prospek pertumbuhan jangka panjang. Jika mayoritas populasi tidak dapat mencapai potensi produktivitas penuhnya, potensi pertumbuhan nasional akan stagnan.
Dampak Sosial dan Human Capital: Kegagalan Mobilitas Sosial
Ketimpangan sosial dan ekonomi adalah faktor utama yang memengaruhi akses terhadap pendidikan, terutama di kalangan komunitas marginal. Pendidikan adalah hak fundamental dan tolok ukur kemajuan bangsa. Namun, ketimpangan ekonomi menciptakan lingkaran setan kemiskinan antargenerasi.
Keluarga dengan kapasitas ekonomi yang lemah menghadapi hambatan material yang signifikan dalam membiayai pendidikan anak-anak mereka, termasuk biaya sekolah, akses transportasi, dan fasilitas belajar yang memadai. Ketimpangan akses pendidikan akan terus eksis selama kondisi sosial-ekonomi masyarakat belum sejahtera. Jika pasar tenaga kerja didominasi oleh Perubahan Teknologi Skill-Biased (SBTC), dan mayoritas populasi tidak dapat mengakses pendidikan berkualitas untuk memenuhi permintaan keterampilan tersebut, maka ketimpangan hari ini menjamin kekurangan tenaga kerja terampil di masa depan, yang pada akhirnya menghambat pembangunan ekonomi yang sejati (yaitu, kenaikan output yang didorong oleh inovasi).
Risiko Stabilitas Sosial-Politik dan Ancaman Multiplier
Ketimpangan pendapatan memiliki konsekuensi besar terhadap kohesi sosial dan stabilitas politik. Kesenjangan ekonomi yang lebar berpotensi berkontribusi pada destabilisasi keamanan daerah dan bahkan dikaitkan dengan peningkatan tingkat kriminalitas.
Lebih lanjut, ketimpangan struktural meningkatkan kerentanan Asia terhadap guncangan eksternal. Laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) menyoroti bahwa krisis iklim dapat menyebabkan penurunan PDB yang drastis di Asia-Pasifik, yang diproyeksikan mencapai 17% pada tahun 2070 dalam skenario emisi tinggi. Dampak terburuk dari kenaikan permukaan laut dan kerugian produktivitas tenaga kerja akan paling memukul ekonomi berpendapatan rendah dan penduduk termiskin di kawasan ini. Dengan demikian, ketimpangan yang tinggi mengubah ancaman lingkungan menjadi bencana sosial yang masif.
Strategi Menuju Pertumbuhan Inklusif: Kerangka Kebijakan Transformasional
Untuk mengatasi paradoks pertumbuhan tanpa pemerataan, Asia harus mengadopsi kerangka kebijakan terpadu yang berfokus pada pemerataan kesempatan di hulu dan redistribusi fiskal yang kuat di hilir.
Memperbaiki Ketimpangan Kesempatan: Investasi pada Sumber Daya Manusia
Kebijakan harus ditujukan untuk mengatasi ketimpangan kesempatan, yang merupakan akar masalah struktural. Penting untuk memperluas akses ke pendidikan, kesehatan, dan layanan keuangan, terutama bagi masyarakat yang paling rentan.
Intervensi kebijakan spesifik yang diperlukan meliputi:
- Pendidikan Inklusif: Merumuskan kebijakan yang menargetkan kelompok rentan melalui subsidi pendidikan, beasiswa afirmatif, dan program yang meningkatkan akses transportasi serta fasilitas belajar yang memadai. Komitmen politik yang kuat dari pemimpin negara sangat penting untuk mempercepat pengurangan angka kemiskinan yang multidimensi.
- Inklusi Finansial: Mendorong inklusi keuangan merupakan strategi penting untuk memerangi ketimpangan. Hal ini harus dilakukan secara hati-hati, dengan tetap menjaga stabilitas finansial, untuk memastikan bahwa pengembangan sistem keuangan benar-benar dapat diakses oleh masyarakat miskin.
Reformasi Fiskal dan Redistribusi Pendapatan
Kebijakan fiskal berfungsi sebagai alat penting untuk mengoreksi hasil yang tidak merata dari pasar. Kebijakan ini harus digunakan secara efektif untuk memerangi ketimpangan yang meningkat.
- Pajak Progresif: Reformasi fiskal harus mencakup peningkatan progresivitas pajak dan penguatan kepatuhan. Pajak berfungsi sebagai fungsi redistribusi penting, menyumbang sebagian besar penerimaan negara (antara 65% hingga 71,5% di Indonesia) yang digunakan untuk mendanai pengeluaran publik.
- Jaring Pengaman Sosial (JPS): Penting untuk memperluas dan memperkuat cakupan belanja sosial. Pengalaman selama pandemi Covid-19 di Indonesia menunjukkan efektivitas JPS (seperti Program Keluarga Harapan/PKH dan Kartu Sembako yang diperluas) dalam menjaga sisi demand konsumsi rumah tangga dan melindungi masyarakat miskin dan rentan, bahkan mencakup masyarakat di atas desil keempat. Namun, efektivitas fiskal harus diimbangi dengan penghapusan distorsi, seperti dukungan berkelanjutan terhadap subsidi bahan bakar fosil, yang menghambat implementasi mekanisme penetapan harga karbon yang krusial untuk mitigasi iklim.
Mengelola Dimensi Spasial dan Keberlanjutan
Ketimpangan spasial memerlukan intervensi yang menyeimbangkan konsentrasi ekonomi di wilayah perkotaan (efek aglomerasi).
- Pembangunan Infrastruktur Pedesaan: Mempercepat pembangunan infrastruktur di daerah pedesaan adalah rekomendasi kebijakan kunci untuk mempersempit kesenjangan pendapatan rural-urban. Infrastruktur memfasilitasi mobilitas dan akses pasar, yang memungkinkan pengembangan ekonomi lokal.
- Strategi Pertumbuhan Hijau (GG): Asia harus mendorong pembangunan berkelanjutan. Strategi Green Growth (GG), seperti yang diterapkan di Vietnam, berfokus pada restrukturisasi ekonomi untuk menggunakan sumber daya secara efisien dan meningkatkan daya saing. GG dapat menciptakan peluang pasar baru, misalnya di sektor energi terbarukan, yang dapat diintegrasikan dengan program reformasi lingkungan bisnis.
Lebih fundamental lagi, diperlukan redefinisi pembangunan ekonomi. Karena pertumbuhan didorong oleh inovasi, kebijakan harus memastikan bahwa inovasi yang terjadi tidak secara otomatis bersifat skill-biased. Ini dapat dicapai dengan mendorong penelitian dan pengembangan yang fokus pada teknologi inklusif atau yang menargetkan sektor padat karya di daerah terbelakang, sehingga manfaat kemajuan dapat didistribusikan lebih luas.
Tabel 2: Kerangka Kebijakan Terpadu untuk Pertumbuhan Inklusif di Asia
Pilar Kebijakan | Tujuan Strategis | Instrumen Kunci | Kaitannya dengan Ketimpangan |
I. Pemerataan Kesempatan | Mengurangi kesenjangan Sumber Daya Manusia | Subsidi Pendidikan Afirmatif, Akses Kesehatan, Inklusi Finansial | Memecah lingkaran kemiskinan antargenerasi dan mengatasi hambatan akses |
II. Redistribusi Fiskal | Memulihkan bagian pendapatan tenaga kerja | Peningkatan Progresivitas Pajak, Penguatan Jaring Pengaman Sosial (JPS) | Menjaga daya beli rumah tangga miskin/rentan; memastikan kontribusi adil dari pemilik modal |
III. Pembangunan Spasial | Mengatasi ketimpangan Urban-Rural | Pembangunan Infrastruktur Pedesaan, Strategi Pertumbuhan Hijau | Mengurangi efek aglomerasi; memberdayakan wilayah terbelakang |
Kesimpulan
“Pertumbuhan tanpa Pemerataan” merupakan anomali yang mendefinisikan dan membahayakan capaian ekonomi Asia abad ke-21. Meskipun kawasan ini terus menjadi dinamo global dengan pertumbuhan PDB yang tinggi, kegagalan distribusi pendapatan, yang didorong oleh liberalisasi pasar, globalisasi, dan Perubahan Teknologi Skill-Biased, telah menyebabkan peningkatan signifikan Koefisien Gini di negara-negara utama. Ketimpangan yang tinggi, terutama dalam dimensi spasial dan akses terhadap human capital, mengancam laju dan keberlanjutan pertumbuhan di masa depan.
Jika ketimpangan tidak ditangani secara sistematis, ia akan bertindak sebagai pengerem terhadap potensi pertumbuhan jangka panjang dan secara drastis memperburuk kerentanan sosial terhadap krisis global, termasuk krisis iklim yang diproyeksikan akan memukul kelompok termiskin secara tidak proporsional.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menerapkan kebijakan yang terintegrasi. Kebijakan ini harus fokus pada perluasan akses ke kesempatan fundamental (pendidikan dan layanan keuangan) dan reformasi fiskal yang kuat melalui pajak progresif dan belanja sosial yang ditargetkan. Upaya ini harus diperkuat dengan strategi pembangunan spasial yang mengatasi kesenjangan urban-rural melalui investasi infrastruktur pedesaan dan model pertumbuhan berkelanjutan seperti Green Growth.
Untuk mendukung upaya ini, agenda riset lanjutan harus memprioritaskan analisis mendalam mengenai dampak kebijakan redistributif terhadap Koefisien Gini, studi komparatif mengenai keberhasilan implementasi Jaring Pengaman Sosial di berbagai negara Asia, dan penelitian yang mengeksplorasi mekanisme penyebaran teknologi yang bersifat non-skill-biased yang dapat mendorong inovasi inklusif di kawasan Asia.