Pembakaran buku, atau yang dikenal dengan istilah akademis biblioclasm atau libricide (pembunuhan buku), merupakan fenomena yang telah terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Meskipun secara harfiah merupakan penghancuran fisik benda mati, tindakan ini memiliki makna yang jauh lebih dalam. Pembakaran buku bukanlah sekadar aksi vandalisme yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, melainkan sebuah ritual publik yang berakar pada permusuhan budaya, agama, dan politik yang mendalam terhadap ide-ide yang terkandung di dalamnya. Tindakan ini adalah serangan terhadap ingatan kolektif dan warisan budaya suatu bangsa. Fernando Báez, kepala Perpustakaan Nasional Venezuela, dalam bukunya Penghancuran Buku Dari Masa Ke Masa, mencatat bahwa para pelaku libricide sering kali adalah individu terpelajar yang didorong oleh motif ideologis yang kuat. Tulisan ini akan mengupas tuntas sejarah pembakaran buku dari masa kuno hingga era kontemporer, menganalisis motif di baliknya, dan menelusuri dampaknya yang berulang terhadap peradaban manusia.
Api di Dunia Kuno dan Klasik: Fondasi Penindasan Intelektual
Sejarah pembakaran buku dimulai sejak zaman kuno, di mana kekuasaan politik dan ideologis mulai menyadari kekuatan narasi yang dapat disimpan dalam tulisan. Salah satu contoh yang paling terkenal terjadi di Tiongkok kuno di bawah Dinasti Qin.
Qin Shi Huang dan Standarisasi Pemikiran
Pada 213 SM, Kaisar Qin Shi Huang, penguasa pertama Dinasti Qin, memerintahkan “pembakaran buku dan penguburan para cendekiawan”. Tindakan ini sering kali disalahpahami sebagai vandalisme tanpa pandang bulu, tetapi sesungguhnya, ini adalah tindakan sensor yang sangat terencana dan strategis. Motivasi utama di baliknya adalah upaya pemerintah untuk menyatukan pemikiran dan mempromosikan ideologi resmi mereka yang dikenal sebagai “Legalism”. Berbagai karya dari “Hundred Schools of Thought,” yang dianggap mengancam otoritas sentral, secara sistematis dihancurkan. Meskipun demikian, beberapa buku berhasil selamat, khususnya yang berkaitan dengan pengetahuan praktis seperti pertanian dan kedokteran. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pembakaran buku bukan hanya untuk memusnahkan, tetapi untuk mengontrol narasi dan memastikan bahwa hanya satu jenis pengetahuan—yang menguntungkan dan mendukung rezim—yang dapat bertahan dan mendominasi. Sementara pembakaran buku adalah fakta sejarah yang mapan, perdebatan modern masih berlangsung mengenai kebenaran historis penguburan para cendekiawan yang konon dilakukan oleh kaisar.
Tragedi Perpustakaan Alexandria: Hilangnya Warisan Global
Kisah Perpustakaan Alexandria sering kali menjadi lambang hilangnya pengetahuan yang tak tergantikan. Namun, tragedi ini tidak disebabkan oleh satu peristiwa pembakaran tunggal, melainkan oleh serangkaian peristiwa dan kelalaian. Terdapat catatan bahwa sebagian koleksi perpustakaan secara tidak sengaja terbakar oleh Julius Caesar pada 48 SM selama perang sipil. Namun, tidak jelas seberapa banyak koleksi yang benar-benar hancur, dan perpustakaan tampaknya berhasil bertahan atau dibangun kembali tak lama setelah itu. Seiring waktu, perpustakaan tersebut mengalami kemunduran karena kurangnya pendanaan dan dukungan. Penghancuran totalnya kemungkinan terjadi secara bertahap, dengan invasi Palmyrene pada 270-275 M yang menghancurkan sisa-sisa koleksinya. Perpustakaan anak di Serapeum mungkin bertahan lebih lama, tetapi akhirnya dihancurkan pada 391 M oleh Uskup Theophilus. Tragedi ini menjadi contoh tragis tentang bagaimana warisan intelektual dapat lenyap, baik melalui kehancuran yang disengaja maupun kelalaian yang berkepanjangan.
Perang Salib Doktrin dan Kekuasaan: Abad Pertengahan hingga Modern Awal
Pada periode ini, motif pembakaran buku meluas dari kontrol politik murni ke ranah agama, moralitas, dan penaklukan budaya.
Pengepungan Baghdad dan “Api Unggun Kesombongan”
Pengepungan Baghdad oleh Mongol pada 1258 adalah salah satu tragedi terbesar dalam sejarah intelektual. Meskipun bukan pembakaran buku yang disengaja, kehancuran House of Wisdom selama pengepungan tersebut menyebabkan putusnya kesinambungan intelektual yang telah dibangun selama berabad-abad. Ribuan karya besar, yang sebagian besar tidak memiliki salinan lain, hilang selamanya, meninggalkan luka besar pada peradaban Islam.
Selanjutnya, di Eropa, Girolamo Savonarola, seorang biarawan Dominikan yang menjadi penguasa de facto Florence, melancarkan “Bonfire of the Vanities” (Api Unggun Kesombongan) pada 1497. Aksi ini, yang dilakukan di depan umum, menargetkan buku-buku, karya seni, kosmetik, dan perhiasan yang dianggap tidak bermoral dan mengancam doktrin gereja. Hal ini menunjukkan bahwa pembakaran buku dapat didorong oleh fanatisme moral dan agama, bukan hanya politik. Savonarola menganggap budaya renaisans, dengan segala kemewahan dan humanisme-nya, sebagai bentuk kesombongan yang harus dimusnahkan.
Penghancuran Identitas dalam Nama Kolonialisme
Pembakaran buku juga menjadi alat brutal dalam penaklukan kolonial. Penakluk Spanyol secara sistematis menghancurkan warisan budaya suku Aztec dan Maya. Di bawah perintah uskup Diego de Landa, ribuan kodeks Maya—dokumen berisi catatan sejarah, astronomi, silsilah, dan ritual—dibakar habis pada 1562. Penghancuran ini tidak hanya bertujuan untuk menyingkirkan ajaran agama lokal, tetapi secara fundamental untuk menghapus memori, identitas, dan sejarah suatu peradaban, membuatnya lebih mudah dikontrol dan didominasi. Pembakaran ini menjadi salah satu contoh paling jelas dari cultural genocide atau genosida budaya, yang bertujuan memutus suatu bangsa dari akarnya.
Aksi Simbolis Totaliter: Abad Ke-20 dan Ideologi yang Membara
Abad ke-20 menyaksikan pembakaran buku dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, sering kali sebagai prolog menakutkan bagi kekejaman yang lebih besar.
Studi Kasus Kunci: Pembakaran Buku Nazi Jerman (1933)
Peristiwa yang paling ikonik adalah pembakaran buku Nazi Jerman yang terjadi pada 10 Mei 1933. Acara ini merupakan puncak dari “Aksi melawan Semangat Non-Jerman” (Aktion Wider den undeutschen Geist), sebuah kampanye yang dipimpin oleh mahasiswa pro-Nazi yang tergabung dalam Deutsche Studentenschaft (DSt). Meskipun Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels mendukung acara tersebut dan bahkan berpidato di acara terbesar di Berlin, kampanye ini tidak diorganisir langsung oleh pemerintah, melainkan merupakan inisiatif mahasiswa. Puluhan ribu buku yang dianggap “tidak Jerman” dibakar di lebih dari 20 kota universitas
Jenis buku yang menjadi sasaran adalah karya-karya penulis Yahudi seperti Sigmund Freud, penulis pasifis seperti Erich Maria Remarque dan Ernest Hemingway, serta karya-karya yang mempromosikan gerakan politik kiri seperti sosialisme dan komunisme. Ritual pembakaran ini sering kali diiringi dengan “Sumpah Api” (Feuersprüche), slogan-slogan yang secara eksplisit menjelaskan mengapa buku-buku tertentu dibakar. Upacara ini, yang dihadiri oleh puluhan ribu orang, disiarkan melalui radio dan film berita, menjadikannya tontonan propaganda yang masif.
Peristiwa ini memiliki implikasi yang mendalam. Pembakaran buku ini bukan hanya sekadar tindakan otoriter yang dipaksakan dari atas, melainkan sebuah aksi yang didorong oleh populisme dan dukungan massa. Ribuan mahasiswa dan warga sipil berpartisipasi dengan antusias, menunjukkan bagaimana sensor dan penghancuran ideologi dapat menjadi acara publik yang dirayakan. Hal ini menggarisbawahi bahaya ketika sebuah masyarakat mengizinkan pembersihan budaya, yang pada akhirnya akan membuka pintu bagi kekerasan fisik terhadap manusia yang mewakili ideologi tersebut. Seperti yang diperingatkan oleh penyair Heinrich Heine, yang bukunya juga dibakar, “Di mana mereka membakar buku, mereka akan membakar manusia juga pada akhirnya”. Peringatan yang mengerikan ini kemudian menjadi kenyataan.
Api di Nusantara: Kilas Balik Sejarah Pembakaran Buku di Indonesia
Fenomena pembakaran buku juga memiliki sejarah yang panjang dan berulang di Indonesia, mencerminkan pergulatan ideologi, agama, dan politik di tingkat lokal.
Pra-Kemerdekaan: Konflik Ideologi dan Agama
Di era pra-kemerdekaan, pembakaran buku sering kali berakar pada pertarungan doktrin agama. Ribuan buku karya ulama sufi asal Aceh, Hamzah Fansuri, dibakar pada 1637 setelah seorang ulama berpengaruh mengeluarkan fatwa yang menyatakan ajarannya sesat. Peristiwa serupa juga terjadi pada Pustaha Batak di Mandailing dan Toba. Buku-buku kuno Batak yang berisi pengetahuan dan ritual adat dibakar oleh kaum Padri karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan oleh misionaris Kristen yang menganggapnya bertentangan dengan ajaran mereka. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana pembakaran buku menjadi alat yang efektif dalam pertarungan agama, di mana setiap kelompok berusaha memaksakan dominasi ideologisnya.
Era Orde Lama dan Orde Baru
Pada masa Orde Lama, lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI, Lekra, merazia dan membakar buku-buku yang dianggap oldefo (Orde Lama Lama) atau mendukung Manikebu (Manifesto Kebudayaan). Namun, pembakaran buku yang paling masif dan terorganisir terjadi di era Orde Baru, ketika pemerintah secara sistematis melarang dan membakar buku-buku berhaluan kiri. Kasus paling terkenal adalah pembakaran perpustakaan pribadi milik sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer pada Oktober 1965. Sesuai kesaksiannya, pembakaran ini tidak hanya menghancurkan buku-buku yang telah diterbitkan, tetapi juga naskah-naskah yang belum diterbitkan, termasuk dua jilid terakhir dari trilogy Gadis Pantai. Penghancuran ini tidak hanya menghilangkan karya fisik, tetapi juga secara permanen menghapus pemikiran, ide, dan suara yang seharusnya menjadi warisan bagi generasi mendatang. Pembakaran ini menjadi salah satu tragedi terbesar dalam sejarah literasi dan historiografi Indonesia.
Era Reformasi: Kebangkitan Populisme
Ironisnya, bahkan di era Reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, pembakaran buku masih terjadi. Pada 2001, sebuah kelompok mahasiswa membakar buku-buku “sentimentil” sebagai protes terhadap minat baca yang mereka anggap tidak mencerdaskan. Di tahun yang sama, Aliansi Anti Komunis (AAK) merazia dan membakar buku-buku kiri di Jakarta, termasuk karya Pramoedya dan buku yang sesungguhnya merupakan kritik terhadap Marxisme. Dalam sebuah pernyataan yang menakutkan, sekretaris jenderal AAK menyatakan bahwa setelah buku, mereka akan “men-sweeping orang,” sebuah pernyataan yang menggemakan peringatan Heinrich Heine. Insiden lain termasuk pembakaran buku pelajaran sejarah yang dianggap tidak mencantumkan kata PKI, pembakaran buku tentang Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap propaganda, dan penghancuran koleksi ilmiah oleh LIPI yang menunjukkan “libricide” dalam bentuk baru—bukan ideologis, melainkan birokratis—yang sama-sama mengancam warisan pengetahuan. Berbagai insiden ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap buku di Indonesia tidak pernah benar-benar hilang, tetapi terus berulang dalam berbagai bentuk dan motif.
Evolusi Sensor: Dari Api Unggun ke Algoritma
Di era digital, konsep “pembakaran buku” telah bertransformasi dari tindakan fisik menjadi bentuk-bentuk sensor yang tidak berwujud, tetapi tidak kalah efektif.
Pembakaran Buku Digital
Istilah “Pembakaran Buku Digital” telah digunakan untuk menggambarkan sensor modern yang dilakukan oleh sistem otomatis dan algoritma. Berbeda dengan pembakaran fisik yang merupakan “pertunjukan publik” yang mencolok dan bertujuan untuk mengirim pesan yang jelas, sensor digital sering kali tidak terlihat dan dilakukan secara diam-diam. Konten tidak “hangus” dalam api unggun, tetapi “menghilang” dari hasil pencarian, tidak lagi direkomendasikan oleh algoritma, atau dihapus secara sepihak oleh platform.
Bentuk-bentuk sensor kontemporer ini termasuk:
- Penghapusan dari Rak (Shelf Removal) dan Pelarangan: Buku-buku ditarik dari kurikulum sekolah atau rak perpustakaan publik karena dianggap kontroversial oleh orang tua atau kelompok tertentu.
- Privishing: Praktik di mana penerbit, atas permintaan pemerintah atau pihak tertentu, mengakuisisi hak cipta suatu naskah dan kemudian menyabotase distribusi dan promosinya, sehingga buku tersebut tidak pernah benar-benar sampai ke publik.
- Sensor Internet: Pemerintah atau perusahaan teknologi besar menggunakan berbagai metode teknis seperti blacklisting (pemblokiran situs), DNS spoofing, dan pemfilteran paket untuk mencegah akses publik ke sumber daya yang tidak diinginkan.
Bahaya dari “libricide digital” adalah bahwa ia merusak kebebasan berekspresi dan wacana publik tanpa memicu reaksi yang sama kuatnya dengan pembakaran fisik. Masyarakat mungkin bahkan tidak menyadari bahwa informasi telah dihapus, membuat perlawanan menjadi hampir tidak mungkin. Ini menunjukkan bahwa meskipun api unggun telah padam, ancaman terhadap pengetahuan tetap ada, bahkan mungkin dalam bentuk yang lebih berbahaya karena sifatnya yang tidak terlihat.
Analisis Multilayer: Motif dan Dampak Pembakaran Buku
Sejarah pembakaran buku menunjukkan bahwa di balik setiap tindakan tersebut, terdapat motif dan konsekuensi yang serupa, meskipun peristiwanya terjadi di waktu dan tempat yang berbeda.
Peristiwa | Periode | Pelaku Utama | Motif Kunci | Jenis Buku yang Ditargetkan | Dampak Kunci |
Qin Shi Huang | 213 SM | Kekaisaran Qin | Kontrol politik, standarisasi pemikiran | Filsafat tandingan, Sejarah | Hilangnya karya-karya kuno yang berharga |
Perpustakaan Alexandria | 48 SM – 391 M | Julius Caesar, invasi Palmyrene, Uskup Theophilus | Konflik sipil, penaklukan, fanatisme agama | Seluruh koleksi pengetahuan global | Hilangnya pengetahuan kuno yang tak tergantikan |
Pengepungan Baghdad | 1258 M | Mongol | Penaklukan militer | Karya-karya di House of Wisdom | Putusnya kesinambungan intelektual Islam, hilangnya ilmu pengetahuan |
Bonfire of the Vanities | 1497 M | Girolamo Savonarola | Fanatisme moral dan agama, anti-humanisme | Buku, seni, kosmetik yang dianggap imoral | Penghancuran warisan seni dan budaya renaisans |
Pembakaran Kodeks Maya | 1562 M | Diego de Landa | Kolonialisme, pemaksaan agama | Kodeks Maya | Hilangnya memori dan identitas budaya suku Maya |
Pembakaran Buku Nazi | Mei 1933 | Mahasiswa Nazi (Deutsche Studentenschaft) | Ideologi rasial, anti-komunis, anti-pasifis | Karya penulis Yahudi, pasifis, dan sosialis | Simbol penindasan totaliter, pratinjau genosida |
Pembakaran Buku Orde Baru | Oktober 1965 | Pemerintah Orde Baru | Anti-komunis, kontrol politik | Buku-buku kiri, karya Pramoedya Ananta Toer | Hilangnya karya-karya yang belum diterbitkan, sensor historis dan sastra |
Pembakaran Buku Reformasi | 2001-2020 | Aliansi Anti Komunis, aktivis, kejaksaan | Anti-komunis, populisme, moralisme | Buku kiri, buku sejarah, buku politik | Ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kekerasan ideologis yang berulang |
Analisis Motif dan Dampak
Pembakaran buku adalah tindakan yang didorong oleh motif yang tumpang tindih. Motif politik sering kali berbaur dengan agama, seperti dalam pembakaran Pustaha Batak di Indonesia. Sebaliknya, motif moralitas dan budaya dapat bersatu, seperti yang terlihat pada pembakaran Savonarola dan Nazi yang sama-sama menargetkan apa yang mereka anggap sebagai “budaya dekaden”.
Dampak dari pembakaran buku sangat luas dan merusak. Dampak paling jelas adalah hilangnya pengetahuan yang tak tergantikan, seperti yang terjadi pada Perpustakaan Alexandria dan Baitul Hikmah. Dalam kasus Pramoedya, hilangnya naskah yang belum diterbitkan berarti pemikiran dan ide-ide yang ia simpan lenyap selamanya. Lebih dari itu, pembakaran buku juga berfungsi untuk mencekik kebebasan berekspresi dan wacana intelektual. Ketika sebuah gagasan dilawan dengan kekerasan, bukan dengan gagasan tandingan, budaya literasi dan dialektika yang sehat akan mati. Pembakaran buku secara efektif mengikis memori kolektif dan identitas suatu bangsa, memutus generasi dari akar historisnya.
Kesimpulan: Menjaga Api Kebebasan
Sejarah pembakaran buku adalah catatan mengerikan tentang siklus kekerasan ideologis yang berulang. Dari Kaisar Qin hingga rezim totaliter modern, dan bahkan di era Reformasi di Indonesia, motif untuk mengontrol narasi, menghapus memori, dan memaksakan ideologi terus berlanjut. Peringatan Heinrich Heine—bahwa pembakaran buku adalah pratinjau pembakaran manusia—telah terbukti berulang kali, baik secara langsung maupun simbolis, seperti dalam pernyataan kelompok anti-komunis di Indonesia.
Meskipun api unggun fisik mungkin sudah jarang terlihat, ancaman terhadap kebebasan berekspresi telah berevolusi menjadi bentuk digital yang lebih halus dan lebih sulit untuk dilawan. Sensor melalui algoritma, penghapusan konten, dan sabotase distribusi buku (privishing) adalah bentuk “libricide” yang tidak terdeteksi, yang secara diam-diam dapat mematikan wacana publik dan menyembunyikan informasi dari pandangan mata.24
Sejarah pembakaran buku mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kebebasan berpendapat, menghargai keberagaman ide, dan memperjuangkan kelestarian pengetahuan.5 Namun, seperti yang pernah dikatakan oleh Joseph Brodsky, kehancuran terbesar bagi buku bukanlah pembakaran, melainkan ketika kita tidak membacanya sama sekali. Oleh karena itu, perjuangan terbesar bukan hanya melawan mereka yang ingin membakar buku, tetapi juga melawan apatis yang dapat membunuh peradaban tanpa api dan asap. Menjaga api kebebasan berpikir berarti secara aktif berjuang untuk memastikan setiap suara dan pemikiran dihargai dan dipertahankan.
Daftar Pustaka :
- Penghancuran Buku dalam Sejarah Umat Manusia – IndoPROGRESS, diakses Agustus 31, 2025, https://indoprogress.com/2014/03/penghancuran-buku-dalam-sejarah-umat-manusia/
- Pembakaran Buku (Artikel Ringkas) | Ensiklopedia Holocaust, diakses Agustus 31, 2025, https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/book-burning-abridged-article
- Membakar Buku: Melukai Ingatan dan Membunuh Identitas …, diakses Agustus 31, 2025, https://www.whiteboardjournal.com/column/membakar-buku-melukai-ingatan-dan-membunuh-identitas/
- Pembakaran Buku: Sejarah dan Dampaknya dari Masa ke Masa | kumparan.com, diakses Agustus 31, 2025, https://m.kumparan.com/muhammad-zidan-ramdani/pembakaran-buku-sejarah-dan-dampaknya-dari-masa-ke-masa-23qN91W3Abz
- Kesiagaan Perpustakaan dalam Menghadapi Bencana di Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta Haryanto* email, diakses Agustus 31, 2025, https://jurnal.ugm.ac.id/bip/article/download/13050/9288
- Tragedi Pembakaran Buku Dinasti Abbasiyah: Penjegalan dan Pemusnahan Warisan Intelektual – Arina.id, diakses Agustus 31, 2025, https://www.arina.id/islami/ar-xdbdj/tragedi-pembakaran-buku-dinasti-abbasiyah–penjegalan-dan-pemusnahan-warisan-intelektual
- Paralel antara Fiksi dan Sejarah: Tragedi Ohara, Baitul Hikmah, dan Perpustakaan Pramoedya – Media Mahasiswa Indonesia, diakses Agustus 31, 2025, https://mahasiswaindonesia.id/paralel-antara-fiksi-dan-sejarah-tragedi-ohara-baitul-hikmah-dan-perpustakaan-pramoedya/
- Savonarola and his burning flames of vanity | Solo Performance – Kieran Spiers, diakses Agustus 31, 2025, https://sp2017spiersk.blogs.lincoln.ac.uk/2017/03/08/savonarola-and-his-burning-flames-of-vanity/
- Nazi Book Burnings | Holocaust Encyclopedia, diakses Agustus 31, 2025, https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/book-burning
- The Book Burnings in Germany and in Munich – NS-Dokumentationszentrum München, diakses Agustus 31, 2025, https://www.nsdoku.de/en/historic-site/koenigsplatz/book-burnings-1933
- ushmm.org, diakses Agustus 31, 2025, https://encyclopedia.ushmm.org/content/en/article/book-burning#:~:text=In%20May%201933%2C%20book%20burnings,thousands%20of%20books%20into%20bonfires.
- Censorship by Fire | Media Law Monitor | Davis Wright Tremaine, diakses Agustus 31, 2025, https://www.dwt.com/blogs/media-law-monitor/2015/08/censorship-by-fire
- The Censorship of Freedom – South Carolina Honors College, diakses Agustus 31, 2025, https://sc.edu/study/colleges_schools/honors_college/about/writing_contest/volume10/mitchell_hannah.php
- Guru Besar UGM: “Pelarangan Buku adalah Pembodohan dan Kekonyolan”, diakses Agustus 31, 2025, https://mapcorner.wg.ugm.ac.id/2017/02/guru-besar-ugm-pelarangan-buku-adalah-pembodohan-dan-kekonyolan/
- Yang Lebih Kejam dari Pembakaran Buku-Buku – Harakatuna.com, diakses Agustus 31, 2025, https://www.harakatuna.com/yang-lebih-kejam-dari-pembakaran-buku-buku.html
- Kisah Jutaan Manuskrip yang Dibakar – Historia.ID, diakses Agustus 31, 2025, https://www.historia.id/article/kisah-jutaan-manuskrip-yang-dibakar-vqnx9