Strategi Dualistik Menuju Pertumbuhan Berkelanjutan
Stabilitas ekonomi Indonesia memasuki tahun 2026 disandarkan pada strategi dualistik yang hati-hati: memadukan ketegasan kebijakan moneter yang pro-stability dengan kebijakan fiskal yang ekspansif-namun-prudent. Pada tahun 2025, sinergi antara Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah berhasil menjaga momentum pertumbuhan di atas 5% di tengah ketidakpastian global yang tinggi, didorong oleh fundamental domestik yang kuat dan keberhasilan awal transformasi struktural.
Untuk tahun 2026, agenda utama adalah mengaktifkan mesin pertumbuhan baru yang berkelanjutan, dengan fokus pada Hilirisasi Industri, Ekonomi Hijau dan Digital, serta Investasi Publik berskala besar. Tantangan terbesar, sebagaimana diuraikan dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, adalah menjaga ruang fiskal yang sempit (rasio pajak di bawah 10%) agar Belanja Negara tetap berfungsi sebagai katalisator pertumbuhan yang efektif.
Kebijakan Moneter dan Fiskal: Mengatur Stabilitas dan Mendorong Pertumbuhan
Kebijakan Moneter (Bank Indonesia): Pro-Stability dengan Ruang Pro-Growth
Kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) sepanjang tahun 2025 dan proyeksi untuk 2026 didasarkan pada strategi bauran kebijakan yang berfokus pada stabilisasi dan dorongan pertumbuhan yang terukur.
- Strategi Stabilisasi Rupiah:BI mempertahankan BI-Rate pada level 4.75% (hingga November 2025) dengan tujuan utama menjaga stabilisasi nilai tukar Rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global dan dampak suku bunga Amerika Serikat (The Fed). Strategi ini disertai dengan intervensi di pasar valuta asing dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk mendukung stabilisasi nilai tukar Rupiah. Kinerja Rupiah menjelang akhir 2025, yang diperdagangkan di sekitar Rp16.656 per USD , diuntungkan oleh keputusan The Fed memotong suku bunga menjadi 3.50% hingga 3.75% pada Desember 2025, yang membantu mengurangi tekanan pelemahan Dolar AS.
- Mencermati Ruang Pro-Growth:Meskipun fokus utama adalah stabilitas, BI meyakini inflasi tahun 2025 dan 2026 akan tetap terkendali dalam sasaran 2.5% ± 1%. Kondisi inflasi yang rendah ini membuka ruang bagi BI untuk mencermati peluang penurunan BI-Rate lebih lanjut di tahun 2026 guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Untuk mempercepat transmisi kebijakan, BI memperkuat pelonggaran makroprudensial, termasuk meningkatkan efektivitas implementasi pemberian likuiditas kepada perbankan. Tujuannya adalah mempercepat penurunan suku bunga kredit dan mendorong pertumbuhan kredit ke sektor riil, terutama sektor prioritas Pemerintah.
Kebijakan Fiskal (Pemerintah): Katalisator Pertumbuhan Ekspansif-Prudent
Pemerintah merancang kebijakan fiskal 2026 sebagai katalisator untuk mewujudkan kesejahteraan yang adil dan pembangunan berkelanjutan. Postur APBN 2026, yang telah disepakati bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diarahkan untuk mendukung agenda prioritas pembangunan.
- Defisit Prudent:Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5.4% , dengan postur APBN yang diproyeksikan memiliki defisit sebesar 48% dari PDB (sekitar Rp638.8 triliun). Postur ini mencerminkan sikap ekspansif-namun-prudent, di mana defisit yang terkendali digunakan untuk mendukung investasi publik yang memberikan multiplier effect. Belanja APBN ditetapkan sebesar Rp3.786,5 triliun , dengan alokasi strategis:
- Belanja K/Lsebesar Rp1.510,5 triliun untuk agenda prioritas pembangunan.
- Belanja Non-K/Lsebesar Rp1.639,2 triliun, yang diarahkan untuk subsidi tepat sasaran, stabilitas harga, pengelolaan utang (termasuk bunga utang), dan antisipasi kebutuhan program Pemerintah.
- Fokus Insentif dan Belanja Efektif:Strategi fiskal diarahkan untuk mempercepat hilirisasi dan mendukung ekonomi hijau, sejalan dengan visi transformasi struktural ekonomi nasional. Investasi yang digerakkan oleh insentif fiskal terarah, seperti tax holiday, menjadi penting untuk menarik investasi berkualitas yang meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan. Selain itu, belanja pemerintah juga dikebut menjelang akhir tahun, yang diharapkan memberikan dampak lag yang lebih besar bagi peningkatan konsumsi dan investasi di tahun 2026.
- Sinergi Fiskal-Moneter:Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang erat dan berhati-hati sangat penting dalam menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan. Sinergi ini diwujudkan melalui pembelian SBN oleh BI di pasar sekunder secara terukur, sebagai bagian dari dukungan moneter terhadap pembiayaan APBN.
Tantangan Kritis: Ruang Fiskal yang Terbatas
Meskipun Pemerintah merancang APBN secara strategis, ruang fiskal Indonesia diproyeksikan tetap sempit. Rasio pajak diperkirakan hanya sebesar 9.85% pada tahun 2026, yang berada di bawah ambang batas optimal. Kondisi ini membatasi efektivitas APBN sebagai motor pertumbuhan dan inovasi, sehingga menuntut perlunya rekalibrasi program strategis untuk menjaga keberlanjutan fiskal.
Mesin Pertumbuhan Baru (Strategi 2026): Mengaktifkan Transformasi Struktural
Pertumbuhan PDB yang ditargetkan sebesar 5.4% pada tahun 2026 akan sangat bergantung pada seberapa efektif Pemerintah mengaktifkan mesin-mesin pertumbuhan baru di luar konsumsi domestik.
Hilirisasi Industri: Peningkatan Nilai Tambah Ekspor
Program hilirisasi industri mineral kritis tetap menjadi mesin utama transformasi struktural Indonesia. Strategi ini telah terbukti menciptakan nilai tambah yang besar bagi perekonomian nasional.
- Keberhasilan Nikel: Ekspor nikel dan produk turunannya tercatat melonjak sepuluh kali lipat, dari USD 3.3 miliar menjadi USD 33.9 miliar dalam beberapa tahun terakhir, membuktikan kemampuan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah. Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel dan bauksit terbesar di dunia, yang diperkuat melalui strategi hilirisasi mineral kritis untuk mendorong investasi berkelanjutan.
- Investasi sebagai Pendorong: Hilirisasi menjadi penggerak utama investasi domestik. Realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang kuat menjadi faktor penopang utama realisasi investasi Kuartal III 2025 yang menembus Rp491.4 triliun. Ke depan, investasi Danantara (sebagai program strategis) juga diharapkan perannya akan mulai terasa dalam mendorong investasi.
Ekonomi Hijau & Digital: Investasi pada Transisi Energi dan AI
Transisi ke ekonomi hijau dan optimalisasi potensi ekonomi digital menjadi peluang ekspansi baru yang signifikan di tahun 2026.
- Ekonomi Hijau dan Transisi Energi: Strategi fiskal APBN 2025 secara eksplisit diarahkan untuk mendukung pengembangan ekonomi hijau , yang meliputi investasi pada transisi energi. Proyek-proyek seperti pembangunan Green Hydrogen berbasis panas bumi pertama di dunia menunjukkan komitmen pada investasi di sektor energi hijau , sejalan dengan agenda hilirisasi mineral yang mendukung transisi energi, seperti bauksit.
- Optimalisasi Ekonomi Digital: AI dan digitalisasi menjadi pedang bermata dua yang membawa potensi pertumbuhan sekaligus risiko disrupsi besar pada pasar kerja. Tren di tahun 2026 diperkirakan akan berfokus pada teknologi canggih seperti Sovereign Cloud dan Agen Otonom yang didorong oleh Kecerdasan Buatan (AI), yang menawarkan lompatan produktivitas. Peningkatan investasi di sektor digital menjadi penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Investasi Publik: Multiplier Effect Program Strategis
Belanja Pemerintah dan Investasi Publik yang efektif sangat dibutuhkan untuk memberikan multiplier effect ke sektor padat karya.
- Program Strategis Prioritas: Program prioritas pemerintah, seperti Program Danantara dan program makan bergizi gratis, membutuhkan anggaran substansial (sekitar Rp750 triliun) dan dikategorikan sebagai stimulus fiskal yang krusial. Dukungan ini bertujuan untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dan mendukung agenda prioritas pembangunan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
- Dukungan SDM dan Daya Saing: Belanja negara juga diarahkan untuk memperkuat daya saing dan menghadapi tantangan struktural yang ditimbulkan oleh globalisasi. Investasi pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu dan program reskilling menjadi vital untuk mengatasi ancaman krisis lapangan kerja yang diprediksi terjadi pada 2026-2027 dan memastikan bahwa tenaga kerja lokal terserap penuh di industri hilirisasi dan ekonomi baru.