Karya sastra adalah jendela untuk memahami peradaban dan sejarah suatu bangsa. Dalam khazanah kekayaan literatur dunia, terdapat sebuah epos agung yang sering kali luput dari perhatian publik secara luas, yaitu   I La Galigo. Epik yang berasal dari masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan ini merupakan narasi tentang asal-usul kehidupan dan manusia pertama di Bumi. Naskah ini bukan sekadar teks sejarah; ia adalah warisan nenek moyang yang mengandung pengetahuan, tradisi, ajaran spiritual, dan seni. Diakui sebagai salah satu karya sastra epik terpanjang di dunia,  I La Galigo bahkan melampaui kepanjangan epos terkenal dari India, Mahabharata, dan wiracarita Yunani seperti yang disusun oleh Homerus.

Identitas I La Galigo sangat unik karena ia eksis dalam dua bentuk yang saling melengkapi: sebagai tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi dan sebagai naskah tertulis yang dikenal sebagai Sureq Galigo. Tradisi lisan ini, yang diperkirakan telah hidup sebelum abad ke-14 Masehi, mengisahkan mitos penciptaan pra-Islam dari bangsa Austronesia. Di sisi lain, naskah tertulisnya, yang ditulis di atas daun lontar, menjadi bukti fisik yang tak terbantahkan dari kecerdasan dan kekayaan budaya nenek moyang bangsa Indonesia.

Pentingnya I La Galigo bagi peradaban dunia mendapat pengakuan tertinggi ketika UNESCO menetapkannya sebagai “Memory of the World” pada tahun 2011. Penetapan ini merupakan pengakuan global atas nilai historis dan sastranya yang luar biasa. Namun, pengakuan ini juga datang dengan sebuah fakta yang menarik sekaligus ironis: naskah  La Galigo yang paling lengkap, dengan kode NBG 188, saat ini tersimpan di luar negeri, di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan sejarah yang kompleks antara Indonesia dan Belanda dalam hal pelestarian warisan budaya. Naskah tersebut dikumpulkan oleh misionaris Belanda B.F. Matthes pada abad ke-19, dan kini dirawat dengan teknologi konservasi canggih yang tidak dimiliki Indonesia. Hal ini menciptakan sebuah dilema: meskipun warisan fisik tersebut tidak berada di tanah airnya, ia mendapatkan jaminan pelestarian jangka panjang dan pengakuan global. Di era modern, tantangan ini dijawab melalui inisiatif digitalisasi, di mana naskah kini dapat diakses secara daring oleh siapa pun di seluruh dunia, yang merupakan bentuk “repatriasi digital” dan mengubah konsep kepemilikan menjadi masalah aksesibilitas.

Anatomi Karya: Dimensi Historis dan Sastra

Asal-usul, Bahasa, dan Struktur

I La Galigo adalah produk dari peradaban pra-Islam di Sulawesi Selatan. Asal-usulnya yang purba memberikan corak mitologis yang unik, membedakannya dari karya sastra yang dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Buddha atau Islam. Bahasa yang digunakan dalam naskah ini adalah Bahasa Bugis Kuno, yang dikenal sebagai turi langiq. Bahasa ini sangat spesifik dan kini hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang, menjadikannya warisan linguistik yang sangat terancam punah. Salah satu keunikan bahasanya terletak pada kekayaan kosakata yang tak lazim; sebagai contoh, satu kata seperti “emas” bisa memiliki hingga 20 padanan kata yang berbeda, terutama yang digunakan oleh para putri dan raja.

Secara filologis, I La Galigo disusun dalam bentuk puisi wiracarita dengan ritme yang khas, dikenal sebagai “sajak bersuku lima” atau metrum bersuku lima (pentameter). Struktur puitis yang ketat ini menjadi ciri khas dari kualitas sastra yang tinggi dari karya ini. Meskipun narasi utuhnya telah berkembang secara lisan melalui nyanyian dan dendangan pada upacara-upacara adat penting Bugis, penulisan naskah-naskah yang ada sekarang diperkirakan dimulai sekitar abad ke-14 Masehi.

Perbandingan dengan Wiracarita Dunia

Klaim utama yang sering muncul adalah bahwa I La Galigo adalah epos terpanjang di dunia, melampaui karya-karya epik besar lainnya. Klaim ini didukung oleh perbandingan kuantitatif yang menunjukkan skala monumentalnya. Jika Mahabharata dari India memiliki sekitar 100.000 sloka, I La Galigo diperkirakan terdiri dari sekitar 300.000 baris atau bahkan mencapai 6.000 halaman folio.

Fakta menariknya, fragmen terlengkap dari epos ini, yaitu naskah NBG 188 di Leiden, yang terdiri dari dua belas jilid, diperkirakan hanya mewakili sepertiga dari total cerita I La Galigo. Hal ini semakin menegaskan betapa luasnya cakupan narasi dan kompleksitas dunia yang diciptakan di dalamnya. Perbandingan ini tidak sekadar menunjukkan keunggulan dalam hal panjang, tetapi juga menempatkan I La Galigo pada posisi penting sebagai salah satu teks fondasi peradaban manusia.

Tabel 1: Perbandingan La Galigo dengan Epik Dunia

Epik Asal Periode Perkiraan Panjang Catatan
La Galigo Sulawesi Selatan, Indonesia Pra-Islam (sebelum abad ke-14) ~300.000 baris / 6.000 halaman folio Naskah terlengkap (NBG 188) hanya sepertiga dari keseluruhan cerita
Mahabharata India India Kuno ~100.000 sloka / 1,8 juta kata Epik terpanjang dalam sejarah sastra India
Homerus Yunani Kuno Yunani Kuno Gabungan Iliad dan Odyssey
Ramayana India India Kuno ~24.000 sloka Salah satu epik terpenting dalam mitologi Hindu

Alur Narasi dan Simbolisme Tokoh

Kosmologi Tiga Dunia dan Penciptaan

Narasi I La Galigo berakar pada sebuah kosmologi yang rumit dan berlapis, yang menjadi dasar pandangan dunia masyarakat Bugis pra-Islam. Epos ini menggambarkan alam semesta sebagai entitas tunggal yang utuh, yang terdiri dari tiga lapisan dunia yang saling berhubungan dan berfungsi sebagai pilar keseimbangan kosmis:

  1. Botting Langiq (Dunia Atas): Tempat suci para dewa dan leluhur, yang dihuni oleh entitas-entitas dengan kekuatan luar biasa. Penguasa tertinggi di dunia ini adalah Patotoe, “Penentu Nasib”.
  2. Buri’ Liu (Dunia Tengah): Dunia tempat manusia dan makhluk hidup lainnya berada.
  3. Peretiwi (Dunia Bawah): Dunia yang dihuni oleh makhluk laut dan roh, yang berperan penting dalam siklus hidup dan mati.

Konsep ini menunjukkan adanya suatu tatanan yang melandasi penciptaan alam semesta. Alur cerita dimulai ketika Batara Guru, seorang dewa dari Botting Langiq, diturunkan ke Buri’ Liu oleh Patotoe untuk membawa peradaban kepada manusia. Proses ini melambangkan penyatuan antara dunia ilahi dan dunia fana.

Arketipe Pahlawan: Sawerigading

Sawerigading adalah salah satu pahlawan utama dalam epos ini, sering disamakan dengan sosok pahlawan penjelajah seperti Odysseus dalam mitologi Yunani. Kisah utamanya berpusat pada petualangan epik, pencarian cinta dan identitas, serta perjalanannya mengarungi dunia. Salah satu alur cerita yang paling sentral adalah nasib tragisnya dengan saudara kembarnya, We Tenriabeng. Dari kandungan, mereka ditakdirkan untuk saling mencintai. Khawatir hubungan inses ini akan membawa kehancuran dunia, para pendeta Bissu memerintahkan mereka untuk dipisahkan saat lahir. Sawerigading kemudian pergi merantau dan kembali setelah mendengar tentang wanita tercantik di dunia, hanya untuk menemukan bahwa wanita itu adalah saudara kembarnya sendiri. We Tenriabeng kemudian memperkenalkannya kepada We Cudai, seorang wanita dengan kecantikan yang sama, yang kemudian dinikahi oleh Sawerigading dan melahirkan putra bernama I La Galigo.

Analisis terhadap sosok Sawerigading tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-budaya. Bagi masyarakat Bugis pra-Islam, ia diposisikan sebagai figur kenabian. Namun, pandangan ini tidak bersifat tunggal. Di kalangan masyarakat Lauje di Sulawesi Tengah, Sawerigading bukanlah tokoh Bugis, melainkan putra asli Lauje. Dalam versi mitos Lauje, ia dianggap sebagai pahlawan yang mewarisi kekuatan mistik dari leluhur mereka dan menjadi sando (dukun) pertama yang sakti. Pandangan yang saling bertentangan ini melampaui sekadar variasi narasi. Ini adalah cerminan dari dinamika sosial-politik yang lebih luas, di mana kelompok etnis yang terpinggirkan menggunakan mitos Sawerigading untuk menegaskan klaim mereka atas keaslian dan melawan dominasi kelompok pendatang. Hal ini menunjukkan bahwa narasi  I La Galigo bukanlah teks yang statis, melainkan “media hidup” yang terus-menerus diinterpretasikan dan diadaptasi untuk merefleksikan identitas yang cair dan dinamis dalam masyarakat.

Tabel 2: Konsep Kosmologi dan Tokoh dalam La Galigo

Entitas Peran dalam Kosmologi Keterkaitan dan Simbolisme
Patotoe Penguasa Dunia Atas (Botting Langiq) Dewa tertinggi, “Penentu Nasib”
Batara Guru Penguasa yang diturunkan ke Dunia Tengah Pembawa peradaban ke bumi, simbol penyatuan dunia ilahi dan fana
Sawerigading Pahlawan dan penjelajah Dunia Tengah Figur kenabian pra-Islam, simbol petualangan dan pencarian identitas
We Tenriabeng Saudara kembar Sawerigading Simbol cinta terlarang yang menjaga keseimbangan kosmis
We Cudai Pasangan hidup Sawerigading Simbol cinta sejati dan kelanjutan garis keturunan suci

Naskah sebagai Pedoman Hidup: Fungsi Sosiokultural

I La Galigo memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bugis, jauh melampaui fungsi sastrawi. Teks ini dipercaya sebagai kitab suci orang Bugis pra-Islam, sehingga tidak sembarang orang dapat menyentuh atau membacanya. Fungsinya adalah sebagai pedoman hidup, yang berisi norma sosial, budaya, dan bahkan petuah raja-raja yang mencakup berbagai aspek seperti etika, hukum, dan seni. Kepercayaan ini begitu kuat sehingga bagian-bagian tertentu dari naskah ini bahkan dianggap sebagai jimat di kalangan tertentu.

Epos ini juga berfungsi sebagai media edukasi moral yang efektif. Melalui alur ceritanya,  La Galigo menanamkan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi identitas Bugis, terutama Siri’ na Pacce (harga diri dan empati/solidaritas). Nilai-nilai ini mengajarkan pentingnya menjaga kehormatan pribadi dan keluarga serta kewajiban untuk saling membantu dalam menghadapi tantangan. Nilai-nilai lain seperti toleransi, kerja keras, dan patriotisme juga tercermin dalam berbagai kisah di dalamnya.

Lebih dari sekadar teks, I La Galigo hidup dalam tradisi lisan yang terus berlanjut. Ritual ini dikenal sebagai massure’ di Wajo, sebuah pertunjukan artistik di mana naskah dibacakan atau dinyanyikan oleh seorang ahli yang disebut passure’. Tradisi ini dilakukan pada upacara adat penting seperti pesta pra-nikah ( tudang penni) atau naik rumah baru (menre’ bola baru). Para penjaga warisan seperti  bissu dan pasure’ memainkan peran sentral dalam menjaga kontinuitasnya. Tradisi ini bersifat komunal dan sakral, di mana para penonton mendengarkan dengan khidmat karena mereka meyakini bahwa cerita yang didendangkan adalah tentang asal-usul mereka sendiri.

Kelangsungan tradisi massure’ meskipun naskah fisiknya tidak berada di Indonesia dan bahasanya terancam punah menunjukkan bahwa kekuatan sejati I La Galigo terletak pada fungsinya sebagai perekat sosial dan identitas kolektif. Hal ini menguatkan pandangan bahwa konsumsi literatur tradisional Melayu adalah aktivitas komunal, bukan individu. Fenomena ini menunjukkan daya tahan budaya yang luar biasa; bahkan ketika artefaknya secara fisik terpisah dari masyarakatnya, narasi dan nilai-nilainya tetap hidup dalam ritual dan memori kolektif.

Dinamika Pelestarian di Era Modern

Tantangan terbesar dalam pelestarian I La Galigo di era modern adalah kondisinya yang terancam punah di tanah airnya sendiri. Sebagian besar generasi muda Indonesia tidak menyadari keberadaan harta karun budaya ini. Kondisi ini diperparah oleh ancaman kepunahan bahasa Bugis Kuno dan aksara Lontara, yang menjadi media utama penulisan naskah.

Namun, di tengah tantangan ini, ada upaya signifikan yang dilakukan untuk menjaga warisan tersebut. Naskah La Galigo yang paling lengkap, yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, telah menjalani proses digitalisasi. Upaya ini, yang dilakukan bekerja sama dengan Yayasan La Galigo, memungkinkan naskah yang secara fisik rapuh dan terbatas aksesnya untuk diakses secara global melalui internet. Digitalisasi ini merupakan solusi pragmatis yang menjembatani jarak fisik dan memastikan bahwa naskah fisik tidak rusak akibat penanganan yang tidak tepat.

Meskipun demikian, digitalisasi hanyalah satu aspek dari pelestarian. Meskipun ancaman fisik terhadap naskah dapat dikelola, ancaman sosial terhadap pengetahuan di dalamnya tetap ada. Sebuah budaya tidak akan bertahan hanya sebagai arsip digital; ia harus hidup dan berinteraksi dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, berbagai komunitas dan yayasan, seperti Lontara Project, berupaya mempopulerkan kembali  La Galigo melalui “konservasi kreatif” yang lebih familiar dan ramah bagi generasi muda. Upaya ini menunjukkan bahwa pelestarian sejati memerlukan lebih dari sekadar teknologi; ia membutuhkan transformasi sosial dan edukasi yang berkelanjutan.

Transformasi dan Relevansi Kontemporer

Relevansi abadi I La Galigo terbukti dari kemampuannya untuk beradaptasi dan bertransformasi ke dalam medium artistik modern, yang membuatnya dapat dinikmati oleh audiens yang lebih luas. Salah satu adaptasi paling menonjol adalah pertunjukan teater musikal I La Galigo karya sutradara visioner Robert Wilson.

Produksi ini, yang telah dipentaskan di lebih dari 20 negara sejak 2004, tidak menggunakan dialog lisan, melainkan mengandalkan bahasa universal berupa tari, gerakan, dan efek cahaya yang khas dari gaya Wilson. Keputusan artistik ini secara cerdas mengatasi kendala bahasa Bugis Kuno yang tidak lagi banyak dipahami, memungkinkan penonton global untuk menyerap esensi cerita. Musiknya, yang digubah oleh Rahayu Supanggah setelah riset mendalam di Sulawesi, menggunakan kombinasi instrumen tradisional dan modern. Kehadiran seorang  bissu sejati, Puang Matoa Saidi, dalam pertunjukan ini juga memberikan dimensi spiritual dan otentisitas yang mendalam. Pertunjukan ini berhasil menerjemahkan inti naratif dan spiritual  La Galigo ke panggung dunia, membuktikan bahwa karya klasik dapat terus hidup dan relevan melalui re-imajinasi kreatif.

Selain adaptasi panggung, I La Galigo juga telah menginspirasi karya sastra kontemporer lainnya. Contohnya adalah kumpulan puisi Manurung: 13 Pertanyaan untuk 3 Nama karya Faisal Oddang yang terbit pada tahun 2018. Karya ini tidak sekadar menceritakan ulang kisah kuno, tetapi secara filosofis mempertanyakan pola pikir dan ideologi penulis  I La Galigo terdahulu. Pendekatan ini menunjukkan pergeseran penting: dari  I La Galigo sebagai objek pemujaan yang tertutup, ia menjadi subjek dialog dan refleksi publik yang dinamis.

Kemampuan I La Galigo untuk berevolusi dan beradaptasi ke dalam medium baru, mulai dari teater hingga puisi, menunjukkan bahwa ia tidaklah statis. Epos ini kini berpotensi untuk diinterpretasikan ke dalam bentuk yang lebih modern lagi, seperti serial film atau dunia metaverse, yang dapat memvisualisasikan kosmologi tiga dunianya ( Boting Langiq, Buri’ Liu, dan Peretiwi) ke audiens yang lebih muda. Hal ini merupakan manifestasi dari konsep “konservasi kreatif” yang mengawinkan tradisi leluhur dengan teknologi dan inovasi, memastikan bahwa warisan budaya ini terus hidup dan menjadi bagian dari percakapan global.

Kesimpulan

I La Galigo adalah epos multi-dimensi yang signifikansinya melampaui sekadar kepanjangannya yang luar biasa. Ia adalah artefak filologis, kitab suci pra-Islam, pedoman hidup, dan tradisi pertunjukan yang hidup, yang secara holistik mencerminkan peradaban Bugis. Nilai sejatinya tidak hanya terletak pada ribuan halaman yang dikumpulkannya, tetapi pada kedalaman kosmologinya, kekayaan nilai budaya yang diajarkannya, dan kemampuannya untuk beradaptasi dan tetap relevan di tengah tantangan zaman.

Laporan ini menunjukkan bahwa meskipun naskah fisik La Galigo yang terlengkap berada di luar negeri, esensi spiritual dan sosiokulturalnya tetap hidup di dalam masyarakat Bugis melalui tradisi lisan yang berkelanjutan. Di era digital, tantangan utama adalah menjembatani kesenjangan antara keberadaan fisik naskah yang sudah teramankan dan ancaman kepunahan bahasa serta kurangnya minat di kalangan generasi muda.

Transformasi ke dalam medium kontemporer, seperti yang ditunjukkan oleh pertunjukan teater Robert Wilson dan karya sastra Faisal Oddang, adalah kunci untuk memastikan I La Galigo terus hidup. Adaptasi ini mengubahnya dari peninggalan masa lalu menjadi subjek yang dinamis, relevan, dan terbuka untuk interpretasi baru. Oleh karena itu, I La Galigo berdiri sebagai jembatan yang menghubungkan masa lalu yang megah dengan masa depan yang dinamis, memastikan warisan peradaban Bugis terus hidup dalam kesadaran global. Rekomendasi untuk ke depannya adalah mendorong studi filologis lebih lanjut, mendukung inisiatif konservasi kreatif, dan mengintegrasikan cerita serta nilai-nilai I La Galigo ke dalam pendidikan nasional sebagai bagian penting dari identitas bangsa.

 

Daftar Pustaka :

  1. Menjelajahi La Galigo: Karya Sastra Terpanjang dari Indonesia – Direktorat SMP, diakses Agustus 31, 2025, https://ditsmp.kemendikdasmen.go.id/ragam-informasi/article/menjelajahi-la-galigo-karya-sastra-terpanjang-dari-indonesia
  2. I Lagaligo Mengalahkan Epos Mahabarata – Pemprov. Sulsel, diakses Agustus 31, 2025, https://sulselprov.go.id/post/i-lagaligo-mengalahkan-epos-mahabarata
  3. Sebarkan Islam Lewat Karya Sastra La Galigo – identitas Unhas, diakses Agustus 31, 2025, https://identitasunhas.com/sebarkan-islam-lewat-karya-sastra-la-galigo/
  4. Manuskrip La Galigo dalam Tradisi Massure’ di Wajo-Sulawesi Selatan, diakses Agustus 31, 2025, https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur/article/view/906
  5. MANUSKRIP LA GALIGO DALAM TRADISI MASSURE’ DI WAJO …, diakses Agustus 31, 2025, https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur/article/download/906/451/3850
  6. La Galigo? – Lontara Project, diakses Agustus 31, 2025, https://lontaraproject.com/lontara-project-what-why-how/
  7. La Galigo – Memory of the World – UNESCO, diakses Agustus 31, 2025, https://www.unesco.org/en/memory-world/la-galigo
  8. Menilik Semesta Bugis Dalam Kitab “La Galigo” – Validnews.id, diakses Agustus 31, 2025, https://validnews.id/kultura/menilik-semesta-bugis-dalam-kitab-la-galigo
  9. Naskah La Galigo Kini Bisa Diakses Secara Online – KWRI UNESCO, diakses Agustus 31, 2025, https://kwriu.kemdikbud.go.id/berita/naskah-la-galigo-kini-bisa-diakses-secara-online/
  10. Menunggu La Galigo Kembali ke Indonesia – Tribun-timur.com, diakses Agustus 31, 2025, https://makassar.tribunnews.com/2020/04/20/menunggu-la-galigo-kembali-ke-indonesia
  11. 5 Fakta tentang La Galigo, Salah Satu Sastra Terbesar Dunia – Best …, diakses Agustus 31, 2025, https://www.gramedia.com/best-seller/5-fakta-tentang-la-galigo-salah-satu-sastra-terbesar-dunia/
  12. komposisi teks la galigo episode malléléang raunna la oro kelling di …, diakses Agustus 31, 2025, https://repository.unhas.ac.id/30159/2/F012172005_tesis_21-10-2022%201-2.pdf
  13. LA GALIGO, diakses Agustus 31, 2025, https://oxis.org/resources-3/la-galigo/01-la-galigo-i.pdf
  14. Naskah La Galigo, Sebuah Pesan untuk Melestarikan Lontara di Era Globalisasi, diakses Agustus 31, 2025, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/11/05/naskah-la-galigo-sebuah-pesan-untuk-melestarikan-lontara-di-era-globalisasi
  15. nilai edukasi dalam “i la galigo” ditulis ra kern educational value in “i la galigo”, diakses Agustus 31, 2025, https://lib.unm.ac.id/storage/file_thesis/Gvccsx4sRAIv06ObeR8XtnUpnI2a7U8ZgX9QVmsJ.pdf
  16. La Galigo: Mitologi dan Kosmologi Bugis – Harian Sulsel, diakses Agustus 31, 2025, https://hariansulsel.com/2025/01/la-galigo-mitologi-dan-kosmologi-bugis/
  17. Sawerigading Di Tanah Asing: Mitos I La Galigo di Sulawesi Tengah, diakses Agustus 31, 2025, https://scholarship.richmond.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1021&context=socanth-faculty-publications
  18. “Sawerigading Di Tanah Asing: Mitos I La Galigo di Sulawesi Tengah” by Jennifer W. Nourse – UR Scholarship Repository, diakses Agustus 31, 2025, https://scholarship.richmond.edu/socanth-faculty-publications/21/
  19. La Galigo: Pembentukan Identitas Budaya Bugis – Harian Sulsel, diakses Agustus 31, 2025, https://hariansulsel.com/2025/01/la-galigo-pembentukan-identitas-budaya-bugis/
  20. I LA GALIGO — Yayasan Bali Purnati | The Bali Purnati Center For The Arts, diakses Agustus 31, 2025, https://www.balipurnati.com/arts-production/2020/5/15/i-la-galigo
  21. Theater I La Galigo by Director Robert Wilson: A Linguistic Study, diakses Agustus 31, 2025, https://tpls.academypublication.com/index.php/tpls/article/download/6380/5128/18076
  22. Pojokan 100, LA GALIGO – Artikel – BPIP, diakses Agustus 31, 2025, https://bpip.go.id/artikel/pojokan-100-la-galigo

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.