Di medan sunyi kutanam janji,
di antara batu dan debu yang sunyi,
bersama saudara yang hatinya suci,
berbaris langkah demi negeri.
Kami bukan pahlawan bersayap baja,
hanya manusia dengan nyala asa,
yang rela lapar dan terjaga,
demi mimpi tanpa tirani dan kuasa.
Dalam gelap kami nyalakan lentera,
di tengah dingin kami kobarkan bara,
air mata kami bukan karena duka semata,
tapi karena harapan yang terasa nyata.
Kami bangun dari tanah luka,
mengusung panji dengan jiwa terbuka,
berikrar di bawah langit dan pelita,
“Tak akan goyah meski dunia menyesatkan arah kita.”
Namun sesaat sebelum fajar menjelang,
saat tanah mulai berhenti berperang,
kau pergi membawa panji seorang,
dan mengukir namamu di puncak yang benderang.
Tanganku yang dulu kau genggam dalam api,
kini kau lepas, tanpa kata, tanpa peduli.
Langkah kita yang dulu satu harmoni,
kini berbelok ke arah ambisi pribadi.
Kau jual janji pada meja-meja kuasa,
kau gadaikan harap demi kursi dan nama,
kau tukar darah dan peluh bersama,
dengan tepuk tangan palsu dan gelak manja.
Apakah ini arti dari setia?
Menusuk dari belakang saat kami percaya?
Apakah ini wujud cinta pada bangsa?
Jika dirimu justru jadi penjara?
Kami lihat kau berdiri gagah,
tapi bukan karena benar atau gagah,
melainkan karena licin lidah dan wajah,
yang menipu setiap langkah.
Kami masih di sini, di jalan penuh onak,
tanpa pangkat, tanpa gelar yang mencolok,
tapi kami membawa kebenaran yang tak retak,
meski kau mencoba menenggelamkannya di balik topeng elok.
Luka kami tak butuh balas dendam,
cukup waktu yang jadi hakim dalam diam.
Karena sejarah akan menuliskan dalam malam,
siapa yang setia, siapa yang hanya berdagang dalam kelam.
Kami mungkin tak menang dalam arena,
tak punya sorotan kamera dan kata manis media,
tapi kami tenang dalam jiwa,
karena tak pernah mengkhianati cita.
Dan bila kelak dunia kembali terang,
mereka akan tahu siapa yang menang.
Bukan mereka yang duduk di singgasana,
tapi mereka yang tetap memikul panji setia.