Paradigma Baru dalam Hubungan Kerja Digital
Ekonomi gig telah menjadi segmen pasar tenaga kerja yang transformatif dan signifikan secara global dalam beberapa tahun terakhir. Survei menunjukkan peningkatan substansial dalam pekerjaan berbasis aplikasi dan wiraswasta, dari 27% responden pada tahun 2016 menjadi 36% pada tahun 2022 di Amerika Serikat. Pertumbuhan ini didorong oleh platform digital yang menjanjikan efisiensi dan fleksibilitas bagi penyedia layanan dan konsumen.
Meskipun model kerja baru ini menawarkan fleksibilitas yang menguntungkan bagi pekerja dan perusahaan, ia secara fundamental mempersulit salah satu aspek terpenting dari kompensasi dalam model ketenagakerjaan tradisional: tunjangan yang disponsori oleh pemberi kerja. Dengan klasifikasi pekerja sebagai kontraktor independen atau mitra, pekerja gig sering kali kehilangan akses ke perlindungan dasar ketenagakerjaan, seperti rencana pensiun, asuransi kesehatan, dan cuti berbayar. Dilema ini menempatkan perlindungan pekerja di persimpangan jalan antara inovasi teknologi dan kebutuhan sosial dasar.
Definisi Krisis Digital: Algorithmic Management, Keterasingan, dan Ketidakamanan
Krisis digital dalam pekerjaan gig didorong oleh penerapan sistem yang dikenal sebagai Algorithmic Management (AM). AM didefinisikan sebagai seperangkat alat dan teknik teknologi yang beragam yang digunakan untuk mengelola tenaga kerja jarak jauh, mengandalkan pengumpulan data dan pengawasan pekerja untuk memungkinkan pengambilan keputusan otomatis atau semi-otomatis. Sistem manajemen ini, yang dilakukan oleh algoritma yang belajar mandiri dan membuat keputusan mengenai hubungan kerja (seperti yang dilakukan oleh platform ride-hailing), telah menimbulkan kritik signifikan.
Fokus analisis ini adalah mendiagnosis dampak struktural AM yang menghasilkan dua konsekuensi utama bagi pekerja: keterasingan (alienation) dan ketidakamanan (precarity). Keterasingan mengacu pada hilangnya kontrol pekerja atas proses kerja mereka dan dampak psikologis yang menyertainya. Ketidakamanan merujuk pada kerentanan ekonomi yang disebabkan oleh kurangnya perlindungan sosial dan jaminan kerja yang memadai. Meskipun ada sebagian pekerja yang melaporkan tingkat kepuasan yang tinggi terhadap model kerja ini, sistem AM yang mendasari sering kali dikritik karena memprekaritaskan hubungan kerja akibat kurangnya jaminan dan keamanan.
Anatomi Kontrol Algoritmik: Mekanisme Opasitas, Pengawasan, dan Otomasi
Manajemen algoritmik telah secara efektif menggantikan peran manajer manusia tradisional, menginstitusikan suatu bentuk kontrol berbasis data yang preskriptif, real-time, dan seringkali tidak transparan. Pemahaman mengenai pilar teknis AM sangat penting untuk menilai bagaimana sistem ini menghasilkan keterasingan dan ketidakamanan.
Pilar Teknis Manajemen Algoritmik
AM beroperasi berdasarkan serangkaian mekanisme yang terstruktur dan terotomatisasi. Pilar pertama adalah Pengawasan Prolifik (Prolific Surveillance) dan pengumpulan data secara besar-besaran terhadap pekerja melalui teknologi. Pengawasan ini bersifat real-time dan terus-menerus, memberikan platform aliran data yang konstan yang menginformasikan keputusan manajemen.
Pilar kedua adalah Otomasi Pengambilan Keputusan (Decision Automation). Algoritma membuat atau mendukung keputusan kritis mengenai hubungan kerja, termasuk penugasan pekerjaan, penetapan harga layanan, dan yang paling krusial, potensi pemutusan hubungan kerja. Keputusan ini sering kali didasarkan pada Sistem Evaluasi dan Metrik (pilar ketiga), di mana evaluasi kinerja dialihkan sepenuhnya ke sistem penilaian, metrik, atau rating yang terukur. Kontrol ini diperkuat melalui penggunaan ‘nudges’ dan penalti untuk secara tidak langsung memberikan insentif atau membatasi perilaku pekerja.
Mekanisme AM ini memiliki implikasi luas melampaui sektor gig tradisional. Analisis menunjukkan bahwa teknologi ini tidak terbatas pada ekonomi gig seperti layanan ride-hailing dan pengiriman barang, tetapi juga meluas ke sektor-sektor konvensional, termasuk pengecer bahan makanan yang bersaing dengan e-commerce dan bahkan pekerjaan domestik. Karena AM menyebar secara horizontal ke seluruh sektor non-gig tradisional, regulasi yang hanya menargetkan platform gig akan terbukti gagal. Ini membenarkan urgensi untuk instrumen baru yang mengatur teknologi berbasis data di tempat kerja secara universal, bukan hanya di sektor platform.
Kontrol Opaque: Asimetri Informasi dan Opasitas Algoritma
Meskipun AM melakukan kontrol subordinatif yang ketat, mekanisme kontrol ini seringkali bersifat opaque atau buram. Pekerja secara konsisten mengalami Asimetri Informasi yang besar, di mana mereka hanya melihat hasil dari keputusan (misalnya, penurunan rating, penawaran pekerjaan yang buruk, atau bahkan deaktivasi) tetapi tidak diberikan pemahaman yang jelas mengenai logika algoritmik yang mendasarinya. Kesenjangan informasi ini merupakan prasyarat utama untuk timbulnya rasa ketidakadilan di antara pekerja.
Secara hukum, sistem AM yang buram ini menciptakan suatu kondisi yang secara paradoks memperkuat argumen untuk reklasifikasi pekerja. Secara tradisional, hukum ketenagakerjaan berusaha menemukan bukti kontrol manusia untuk membuktikan subordinasi. Namun, AM—melalui sistem penilaian yang mengukur kinerja, penugasan pekerjaan yang wajib diterima, dan ‘nudges’ yang membatasi perilaku —secara efektif bertindak sebagai ‘bos’ yang mengendalikan. Kontrol digital ini menyediakan bukti subordinasi yang kuat, seperti yang digunakan dalam putusan hukum di Inggris , yang menjadi dasar bagi Uni Eropa untuk menetapkan Praduga Ketenagakerjaan (Presumption of Employment). Dengan demikian, AM mengubah kontrol subordinasi menjadi bukti digital ketenagakerjaan.
Keterasingan dan Ketidakamanan: Analisis Dampak Sosio-Psikologis
Dampak manajemen algoritmik meluas dari ranah ekonomi ke kesehatan mental dan kesejahteraan sosial pekerja, memicu krisis dualitas antara keterasingan yang disebabkan oleh kontrol dan prekaritas yang disebabkan oleh kurangnya perlindungan.
Keterasingan (Alienation) dari Proses Kerja dan Lingkungan Sosial
Kesejahteraan pekerja gig sangat dipengaruhi oleh kesesuaian antara preferensi mereka dan preferensi platform. Hasil studi menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja meningkat ketika terdapat keselarasan antara preferensi pekerja untuk otonomi atau keamanan dengan preferensi organisasi. Namun, ketika preferensi ini menyimpang (misalnya, platform memprioritaskan kontrol ketat sementara pekerja menginginkan otonomi), pekerja mengalami episode pelanggaran preferensi yang berulang, yang secara signifikan mengurangi kesejahteraan mereka.
Lebih lanjut, pengejaran otonomi yang sama-sama diinginkan oleh pekerja dan platform dapat mengarah pada eksploitasi dan beban kerja yang tidak berkelanjutan (unsustainable workload), karena tidak ada jaring pengaman yang mengendalikan tekanan kerja. Ini menunjukkan bahwa narasi yang memuji fleksibilitas dan otonomi seringkali menutupi bagaimana “otonomi” tersebut dikorbankan demi kontrol algoritmik atau dieksploitasi untuk membenarkan beban kerja yang berlebihan. Oleh karena itu, regulasi harus berfokus pada tata kelola jam kerja dan tekanan kerja, bukan hanya status kerja.
Secara psikologis, manajemen algoritmik dapat memprovokasi emosi negatif dan menciptakan rasa ketidakadilan yang dirasakan di kalangan pekerja. Pengawasan yang ketat dan seringnya pengenaan sanksi oleh algoritma dapat menimbulkan stres fisik dan mental. Stres ini, yang diperkuat oleh rendahnya kepercayaan pada sistem manajemen dan rendahnya kepuasan kerja, pada akhirnya dapat menstimulasi pekerja untuk melakukan perilaku menyimpang yang merusak (destructive deviant behavior) sebagai respons terhadap sistem yang mereka anggap tidak adil. Keterasingan yang diciptakan oleh opasitas sistem AM membentuk lingkungan ketidakpercayaan. Dalam upaya untuk merebut kembali kontrol atau membalas ketidakadilan, pekerja menjadi rentan terhadap perilaku devian, menciptakan lingkaran setan di mana manajemen yang tidak transparan justru menghasilkan hasil yang merusak efisiensi platform.
Ketidakamanan Ekonomi (Precarity) dan Kerentanan Struktural
Ketidakamanan ekonomi atau prekaritas adalah konsekuensi langsung dari klasifikasi pekerja gig sebagai kontraktor independen, yang diperburuk oleh kontrol AM. Salah satu bentuk prekaritas yang paling ekstrem adalah Ancaman Deaktivasi Otomatis, di mana pekerja dapat kehilangan akses ke platform tanpa prosedur banding (due process) yang memadai. Ketidakpastian ini memperburuk penghasilan mereka yang memang sudah bergantung pada permintaan pasar yang fluktuatif.
Di banyak yurisdiksi, termasuk Indonesia, model ini diabadikan dalam kerangka hukum. Pekerja gig diklasifikasikan sebagai ‘mitra’ atau kontraktor independen, yang membuat mereka tidak tercakup dalam perlindungan dasar ketenagakerjaan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021, pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pekerjaan Waktu Tidak Tertentu (PWTT) memiliki hak-hak ketenagakerjaan tertentu, termasuk upah minimum dan jaminan sosial. Namun, status ‘mitra’ yang digunakan oleh perusahaan platform (seperti GoPartner Gojek) tidak memenuhi syarat untuk hak-hak tersebut, menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang mendukung perusahaan. Kegagalan kerangka hukum nasional ini untuk mengakomodasi realitas ekonomi digital secara tidak langsung mensubsidi model bisnis yang didasarkan pada prekaritas, menjauhkan pekerja dari hak-hak penting seperti asuransi kesehatan atau hak untuk negosiasi kolektif.
Pergulatan Hukum Internasional: Studi Perbandingan Klasifikasi Pekerja
Tantangan terhadap model kontraktor independen yang didukung platform telah menghasilkan putusan hukum penting di seluruh dunia, yang berpusat pada penentuan apakah kontrol yang dilakukan oleh algoritma cukup untuk mengklasifikasikan pekerja sebagai karyawan atau buruh.
Pergeseran Paradigma Hukum di Negara-negara Hukum Umum (UK dan Kanada)
Di Inggris (UK), telah terjadi pergeseran paradigma yang signifikan. Pada Februari 2021, Mahkamah Agung Inggris secara bulat mengabulkan tuntutan 25 pengemudi Uber, memutuskan bahwa mereka harus dinyatakan sebagai buruh (worker), bukan mitra. Status ‘buruh’ memberikan mereka hak atas upah minimum, cuti berbayar, dan asuransi kecelakaan.
Putusan ini menekankan bahwa, meskipun Uber mengklaim pengemudi adalah mitra, para hakim menetapkan bahwa pada kenyataannya, pengemudi menerima perintah dan berada di bawah kontrol ketat Uber, menjadikannya hubungan kerja yang subordinatif. Kontrol digital platform secara eksplisit digunakan sebagai bukti hukum untuk menolak klaim status kontraktor independen. Perjuangan hukum serupa juga berhasil di Kanada, di mana Mahkamah Agung memutuskan mendukung pengemudi UberEats , memperkuat konsensus bahwa kontrol operasional platform membatalkan klaim kemitraan murni.
Tantangan Hukum dan Politik di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, khususnya California, perjuangan hukum dan politik berpusat pada Uji ABC, sebuah kerangka kerja yang diadopsi untuk membedakan pekerja sebagai karyawan atau kontraktor independen, yang bertujuan untuk memperjelas dan menginklusifkan kerangka hukum bagi pekerja gig. Namun, inisiatif pemilu Prop 22, yang didukung secara finansial oleh platform, secara efektif membatasi penerapan Uji ABC dan mengabadikan status kontraktor independen.
Meskipun Prop 22 ditegakkan, membatasi reklasifikasi total, model ini menawarkan beberapa manfaat terbatas kepada pekerja, termasuk jaminan lantai pendapatan untuk waktu yang terlibat dan asuransi kecelakaan kerja. Namun, mobilisasi pengemudi, seperti yang dilakukan oleh Rideshare Drivers United, terus berlanjut, menuntut perlindungan yang setara seperti pekerja lainnya. Perlawanan masif ini menunjukkan bahwa regulasi pekerjaan gig tidak hanya merupakan tantangan teknis hukum, tetapi juga pertarungan kekuasaan politik yang mempengaruhi hak tenaga kerja.
Model Kemitraan yang Tidak Seimbang: Kasus Indonesia
Di Indonesia, model kemitraan yang digunakan oleh perusahaan platform seperti Gojek dan Grab cenderung lebih menguntungkan perusahaan, menciptakan ketidakseimbangan yang signifikan dalam hubungan kerja. Karena klasifikasi mereka sebagai mitra dan bukan karyawan, pekerja gig tidak mendapatkan hak ketenagakerjaan yang layak seperti yang diatur bagi pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PWTT) di bawah PP Nomor 35 Tahun 2021. Hal ini meninggalkan pekerja gig dalam situasi yang rentan tanpa jaminan keberlanjutan kerja dan perlindungan sosial yang memadai.
Model kemitraan Indonesia, yang didukung oleh kerangka hukum yang mengecualikan mereka dari perlindungan penuh, merupakan hambatan struktural yang menghalangi perlindungan sosial bagi pekerja digital di pasar yang sangat bergantung pada ekonomi gig.
Tabel di bawah ini merangkum perbandingan status klasifikasi di yurisdiksi utama:
Perbandingan Status Klasifikasi Pekerja Gig Global
| Yurisdiksi | Status Klasifikasi Dominan | Mekanisme Penentuan Status Utama | Hak Ketenagakerjaan Dasar yang Diterima | Signifikansi Regulasi AM |
| Inggris (UK) | Buruh (Worker) | Putusan Mahkamah Agung (2021) berdasarkan kontrol platform | Upah minimum, cuti berbayar, asuransi kecelakaan | Kontrol AM (pemberian perintah) digunakan sebagai bukti subordinasi. |
| Uni Eropa (EU) | Karyawan (di bawah presumption) | Platform Work Directive (uji indikator kontrol) | Praduga Karyawan (bisa dibantah), hak transparansi data | Regulasi AM komprehensif (data rights, transparansi). |
| Indonesia | Mitra / Kontraktor Independen | Perjanjian Kemitraan (dikecualikan dari PP 35/2021) | Tidak ada upah minimum, Jaminan Sosial yang memadai, atau hak berunding kolektif | Minim regulasi AM; status mitra mendukung ketidakseimbangan kekuasaan. |
| Amerika Serikat (AS – California) | Kontraktor Independen (dipengaruhi Prop 22) | Upaya legislatif dan uji hukum Uji ABC | Manfaat portabel terbatas, jaminan upah minimum (waktu terlibat) | Fokus pada kompensasi terbatas dan perlawanan terhadap reklasifikasi total. |
Respons Kebijakan dan Kerangka Regulasi Masa Depan
Mengingat kerentanan yang disebabkan oleh AM dan prekaritas status kerja, komunitas global telah mulai mengembangkan kerangka regulasi yang bertujuan untuk membangun kembali keseimbangan antara efisiensi platform dan perlindungan pekerja.
Inisiatif Uni Eropa: The Platform Work Directive (PWD) (2024)
Uni Eropa telah memimpin upaya regulasi dengan adopsi Platform Work Directive (PWD) pada Oktober 2024 , yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi kerja di sektor platform. PWD memiliki dua tujuan mendasar: mengatasi risiko kesalahan klasifikasi pekerja dan menetapkan aturan yang lebih jelas mengenai manajemen algoritmik serta hak data.
Inti dari PWD adalah pengenalan Praduga Ketenagakerjaan (Rebuttable Presumption of Employment). Praduga hukum ini menetapkan bahwa jika fakta-fakta menunjukkan adanya indikasi pengarahan dan kontrol oleh platform, pekerja secara hukum diasumsikan berada dalam hubungan ketenagakerjaan. Platform digital kemudian menanggung beban pembuktian jika mereka ingin membantah praduga ini dan mempertahankan status kontraktor independen.
Selain reklasifikasi status, PWD secara eksplisit mengatur tata kelola AM. Arahan ini mewajibkan transparansi dan keadilan dalam penggunaan algoritma, melarang pemrosesan data pribadi yang sensitif, dan mengharuskan platform untuk melakukan penilaian dampak perlindungan data (data-protection impact assessments). PWD secara signifikan memperluas ruang lingkup penerapan hak-hak perburuhan dengan memasukkan hak-hak kolektif yang lebih kuat, menandakan bahwa hak kontrol atas data dan informasi algoritma telah menjadi pilar baru hak ketenagakerjaan di era digital.
Namun, keberhasilan PWD menghadapi tantangan implementasi. Arahan tersebut memberikan diskresi luas kepada Negara Anggota dalam mentransposisikannya ke dalam hukum nasional, yang dapat menyebabkan fragmentasi interpretasi hukum perburuhan. Selain itu, praduga hukum ketenagakerjaan tidak secara otomatis mencakup prosedur perpajakan, pidana, atau jaminan sosial.
Model Manfaat Portabel (Portable Benefits)
Sebagai alternatif, terutama di yurisdiksi yang sangat menentang reklasifikasi total, model Manfaat Portabel telah diusulkan. Model ini bertujuan untuk menyediakan tunjangan yang berharga (seperti rencana pensiun, asuransi kesehatan, dan cuti berbayar) yang terikat pada pekerja, bukan pada pemberi kerja. Model ini memungkinkan pekerja untuk mengelola dan menggabungkan tunjangan dari berbagai platform saat mereka berpindah peran, menjaga fleksibilitas sambil membangun jaring pengaman finansial.
Model yang diusulkan oleh kelompok pemikir seperti Third Way di AS mencakup fitur-fitur kunci: jaminan lantai pendapatan (guaranteed state-wide earnings floor) untuk waktu yang terlibat; asuransi kecelakaan kerja (occupational accident insurance) yang menyediakan pembayaran disabilitas untuk cedera kerja; dan dana manfaat portabel wajib, di mana perusahaan platform memberikan kontribusi triwulanan (misalnya, 2% dari pendapatan tahunan pekerja). Selain itu, model ini menekankan pentingnya due process melalui prosedur banding deaktivasi bagi pekerja yang kehilangan akses ke platform. Model ini menawarkan mitigasi prekaritas yang lebih cepat dan fleksibel, menjadikannya pilihan politik yang lebih layak di pasar yang sensitif seperti Asia Tenggara, meskipun tidak sepenuhnya mengatasi alienasi yang ditimbulkan oleh kontrol algoritmik.
Masa Depan Regulasi: Tata Kelola AI dan Etika Pengawasan
Munculnya manajemen berbasis algoritma yang didorong oleh kecerdasan buatan (AI) meningkatkan kekhawatiran yang rumit tentang privasi dan otonomi pekerja, terutama dalam pengaturan kerja jarak jauh. Kekhawatiran etika mencakup pelacakan data biometrik, bias diskriminatif, dan pengawasan ekonomi gig yang berlebihan.
Masa depan regulasi harus bergerak menuju kebijakan yang seimbang yang memprioritaskan transparansi, keadilan, akuntabilitas, dan kepercayaan. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah melalui Desain Berpusat pada Pekerja (Worker-Centered Design). Dengan menggunakan pendekatan desain partisipatif, platform dapat mengintegrasikan perspektif pekerja untuk merancang intervensi yang berpusat pada kesejahteraan mereka, seperti transparansi informasi dan insentif yang dikonfigurasi bersama oleh pekerja dan platform.
PWD dan model manfaat portabel mewakili dua kutub solusi yang diperlukan: PWD melalui reklasifikasi dan hak-hak tradisional, dan Manfaat Portabel melalui mitigasi kompensasi. Kedua model tersebut, jika diterapkan bersama dengan fokus pada hak data, dapat membentuk kerangka hukum hibrida yang menanggapi baik prekaritas ekonomi maupun alienasi struktural.
Tabel di bawah ini membandingkan model kebijakan utama:
Perbandingan Model Kebijakan Utama
| Model Kebijakan | Fokus Utama | Keuntungan Utama | Tantangan Penerapan/Kritik |
| Praduga Ketenagakerjaan (EU Directive) | Reklasifikasi & Hak Kerja Tradisional | Memastikan perlindungan sosial mendasar dan jaminan upah, mengatasi akar ketidakamanan status. | Beban pembuktian pada platform, risiko berkurangnya fleksibilitas, potensi fragmentasi implementasi. |
| Manfaat Portabel (AS/Third Way Model) | Memisahkan Manfaat dari Status Ketenagakerjaan | Mempertahankan fleksibilitas kerja, menyediakan jaringan pengaman finansial (asuransi kecelakaan, pendapatan). | Pendanaan berkelanjutan (2% kontribusi) , kerumitan administrasi antarplatform, tidak menyelesaikan masalah alienation sepenuhnya. |
| Tata Kelola Algoritma & Hak Data | Transparansi, Keadilan, Akuntabilitas AM | Mengurangi asimetri informasi , memungkinkan banding yang efektif, memitigasi bias diskriminatif dan pengawasan yang berlebihan. | Melibatkan pengungkapan data berpemilik (proprietary), memerlukan kerangka hukum yang kuat untuk penegakan. |
Kesimpulan
Manajemen Algoritmik merupakan tantangan fundamental terhadap kerangka hukum ketenagakerjaan global, memicu krisis dualitas. Di satu sisi, AM menciptakan ilusi fleksibilitas dan otonomi yang menarik bagi pekerja, sementara di sisi lain, ia menerapkan bentuk kontrol yang sangat subordinatif melalui pengawasan ketat dan otomatisasi keputusan. Kontrol digital ini, ketika dipadukan dengan ketiadaan perlindungan sosial dan hak due process yang memadai akibat klasifikasi ‘mitra’ atau kontraktor independen , adalah resep untuk keterasingan psikologis dan prekaritas ekonomi yang parah. Upaya regulasi global harus menanggapi kedua aspek krisis ini secara simultan.
Rekomendasi 1: Standardisasi Tata Kelola Algoritma (Mengatasi Alienasi)
Untuk mengatasi masalah keterasingan yang disebabkan oleh opasitas dan kurangnya kepercayaan, diperlukan mandat regulasi yang berfokus pada tata kelola algoritma:
- Mandat Transparansi Fungsional: Platform harus diwajibkan untuk menyediakan informasi yang jelas dan dapat dipahami mengenai parameter kunci yang digunakan oleh algoritma dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada pekerja. Ini termasuk, namun tidak terbatas pada, faktor-faktor yang memicu deaktivasi akun, perubahan harga, atau penurunan peringkat kinerja. Transparansi ini sangat penting untuk mengurangi asimetri informasi dan memulihkan kepercayaan.
- Hak untuk Intervensi Manusia dan Due Process: Diperlukan penetapan prosedur banding deaktivasi yang cepat dan efektif, memastikan bahwa keputusan otomatis yang merugikan dapat ditinjau oleh manusia yang memiliki wewenang untuk membatalkan keputusan tersebut. Ini akan memastikan akuntabilitas dan keadilan yang tidak dapat dipenuhi oleh sistem otomatis yang buram.
Rekomendasi 2: Memperkuat Jaring Pengaman Ekonomi (Mengatasi Prekaritas)
Untuk memitigasi kerentanan ekonomi yang disebabkan oleh status non-karyawan, kerangka perlindungan sosial minimum harus didirikan:
- Adopsi Global Model Manfaat Portabel: Untuk yurisdiksi yang secara politik atau hukum belum siap untuk reklasifikasi penuh (seperti di banyak negara di Asia Tenggara), sistem Manfaat Portabel harus segera diterapkan. Sistem ini harus mencakup kontribusi wajib platform untuk dana yang menyediakan jaminan pendapatan dasar (untuk waktu yang terlibat), asuransi kecelakaan kerja, dan manfaat lain yang terikat pada pekerja.
- Penegakan Peran Algoritma sebagai Bukti Kontrol: Sistem hukum nasional, terutama di yurisdiksi yang masih menggunakan model kemitraan yang tidak seimbang (seperti Indonesia), harus secara eksplisit mengakui manajemen algoritmik sebagai bukti substansial kontrol manajemen. Pengakuan ini harus secara otomatis memicu hak-hak perlindungan minimum bagi pekerja gig, mengikuti preseden yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung Inggris.
Rekomendasi 3: Tata Kelola AI yang Berpusat pada Pekerja
Melihat tren AI yang semakin mendalam dalam pengawasan, perlindungan terhadap hak digital pekerja harus diperkuat:
- Perlindungan Data Sensitif: Mendorong regulasi yang secara tegas melarang penggunaan data biometrik dan data sensitif lainnya untuk pemantauan karyawan dan memastikan bahwa sistem AM tidak memperkenalkan atau memperkuat bias diskriminatif yang merugikan kelompok pekerja tertentu.
- Mendukung Co-design dan Hak Kolektif: Mendukung mekanisme yang memungkinkan serikat pekerja atau perwakilan pekerja untuk berkolaborasi dengan platform dalam co-design insentif dan metrik kerja. Pendekatan ini adalah kunci untuk memastikan bahwa kesejahteraan dan preferensi pekerja menjadi fokus utama dalam perancangan sistem AM , alih-alih hanya berfokus pada optimalisasi keuntungan operasional platform.