Tulisan ini menganalisis secara komprehensif karya dan pemikiran dua figur sentral dalam tradisi sastra Jawa, Prabu Jayabaya dan Raden Ngabehi Ronggo Warsito. Berbeda dengan pandangan populer yang menempatkan mereka sebagai peramal semata, tulisan ini mengedepankan kajian kritis terhadap nilai-nilai filosofis, kritik sosial, dan etika yang terkandung dalam karya-karya yang dinisbahkan kepada mereka, yaitu Jangka Jayabaya, Serat Kalatidha, dan Serat Wirid Hidayatjati. Analisis ini mengungkapkan bahwa konsep-konsep seperti Zaman Edan, Ratu Adil, dan Eling lan Waspada bukanlah sekadar prediksi, melainkan cerminan kekhawatiran moral yang mendalam dan respons etis terhadap krisis zaman. Tulisan ini menyimpulkan bahwa relevansi mereka tidak terletak pada akurasi ramalan, melainkan pada kemampuannya menyediakan kerangka kerja moral dan spiritual yang terus-menerus digunakan untuk memahami dan menavigasi kompleksitas tantangan kontemporer, dari dekadensi politik hingga disorientasi dalam era digital.
Konteks Historis dan Signifikansi Tokoh
Tradisi sastra dan kearifan Jawa memiliki dua figur utama yang seringkali disamakan atau dihubungkan, yaitu Prabu Jayabaya dan Raden Ngabehi Ronggo Warsito. Prabu Jayabaya adalah seorang raja dari Kerajaan Kediri atau Panjalu yang berkuasa pada abad ke-12, dari tahun 1135 hingga 1159. Ia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan membawa kerajaannya mencapai puncak kejayaan. Sementara itu, Raden Ngabehi Ronggo Warsito adalah seorang pujangga keraton Kasunanan Surakarta yang hidup jauh setelahnya, pada abad ke-19, dari tahun 1802 hingga 1873. Ia sering dijuluki sebagai “pujangga pamungkas” atau pujangga terakhir, karena setelah kepergiannya, tradisi pujangga istana tidak lagi berlanjut.
Meskipun terpisah oleh jarak waktu yang sangat jauh, kedua tokoh ini memiliki benang merah yang kuat dalam narasi budaya Jawa: keduanya dianggap sebagai peramal ulung di Nusantara, dan sebagian peneliti bahkan menyebutkan adanya keterkaitan antara ramalan-ramalan mereka. Tulisan ini akan mengupas lebih dalam warisan intelektual mereka untuk memahami bagaimana pandangan mereka, yang berakar pada konteks sejarah masing-masing, tetap relevan hingga saat ini.
Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian
Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk memberikan ulasan yang komprehensif dan mendalam tentang karya Prabu Jayabaya dan Ronggo Warsito. Tulisan ini tidak hanya akan membahas isi karya mereka secara deskriptif, tetapi juga akan membongkar lapisan makna filosofis, kritik sosial, dan etika di baliknya. Lebih lanjut, analisis ini akan menempatkan karya-karya tersebut dalam konteks sosio-historis mereka, sekaligus menganalisis relevansinya bagi masyarakat modern. Ruang lingkup penelitian ini mencakup biografi singkat kedua tokoh, analisis kritis terhadap karya-karya utama mereka seperti Jangka Jayabaya, Serat Kalatidha, dan Serat Wirid Hidayatjati, serta perbandingan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.
Metodologi Analisis
Analisis dalam tulisan ini menggunakan pendekatan studi pustaka yang mendalam terhadap dokumen-dokumen yang tersedia. Metode ini memungkinkan sintesis berbagai informasi dari sumber primer dan sekunder untuk membangun argumen yang kokoh. Pendekatan komparatif digunakan untuk menyoroti perbedaan dan kesinambungan pemikiran antara Prabu Jayabaya dan Ronggo Warsito, yang terpisah oleh waktu yang signifikan. Selain itu, pendekatan hermeneutik diterapkan untuk menginterpretasikan makna simbolis dan filosofis dari teks-teks klasik tersebut, menghubungkannya dengan fenomena kontemporer yang relevan, seperti disrupsi digital dan krisis moral.
Jayabaya dan Wacana Jangka Jayabaya
Jayabaya: Raja, Pustakawan, dan Figur Mitos
Prabu Jayabaya adalah sosok yang mendalam dan multidimensional. Sebagai raja, ia memimpin Kerajaan Kediri dari tahun 1135 hingga 1159. Dengan gelar lengkapnya, Sri Maharaja Sri Warmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewanama, ia berhasil menyatukan kembali Kediri dan Jenggala, yang sebelumnya terpecah. Kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Ngantang yang bertuliskan “Pangjalu Jayati,” yang berarti “Panjalu menang”. Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan, dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas dan armada laut yang kuat.
Selain pencapaian politik dan militer, Jayabaya juga dipandang sebagai raja yang bijaksana dan adil, yang kepemimpinannya menjadi inspirasi abadi. Pada masa pemerintahannya, kesusasteraan berkembang pesat, meskipun tidak ada bukti sejarah yang secara langsung menghubungkan Jayabaya sebagai penulis karya sastra. Karya-karya besar pada masa itu, seperti Kakawin Bharatayudha, Kakawin Hariwangsa, dan Kakawin Gatotkacasraya, dinisbahkan kepada para pujangga istana seperti Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Ini memperkuat pandangan bahwa Jayabaya adalah seorang patron seni dan intelektual, bukan seorang pujangga itu sendiri.
Jangka Jayabaya: Membongkar Lapisan Sejarah dan Legenda
Meskipun Jayabaya tidak tercatat sebagai penulis langsung, nama besarnya melekat kuat pada Jangka Jayabaya. Ramalan ini diyakini berasal dari tradisi lisan dan tulisan yang kompleks. Sumber utama yang sering disebut adalah Kitab Musasar (atau Kitab Asrar), yang ditulis oleh Sunan Giri Prapen pada tahun 1618 Masehi. Kitab ini kemudian digubah ulang oleh Pangeran Wijil I dari Kadilangu pada abad ke-18.
Penciptaan dan penisbahan Jangka Jayabaya kepada sosok Jayabaya merupakan sebuah strategi legitimasi kultural yang cerdas. Para pujangga dan wali di era pasca-Majapahit menisbahkan karya-karya yang berisi ajaran moral dan filosofis kepada Jayabaya untuk memberinya otoritas spiritual dan historis yang tak terbantahkan. Dengan mengaitkan ramalan masa depan dengan raja kuno yang bijaksana, teks-teks ini menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa yang masih kental dengan tradisi pra-Islam. Dengan demikian, Jangka Jayabaya tidak hanya berfungsi sebagai ramalan, melainkan sebagai sebuah jembatan epistemologis yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan reinterpretasi yang berkelanjutan seiring berjalannya zaman.
Deskripsi “Zaman Edan”: Sebuah Kritik Moral Abadi
Jangka Jayabaya menggambarkan “zaman edan” sebagai masa “wolak-waliking zaman” atau zaman yang terbalik, di mana nilai-nilai moral dan etika terdegradasi secara total. Ciri-ciri utama zaman ini meliputi:
- Dekadensi Moral dan Etika: Banyak orang tidak menepati janji, berani melanggar sumpah, dan saling menyalahkan. Hukum Tuhan (Hyang Widhi) tidak lagi diindahkan.
- Disrupsi Sosial dan Keluarga: Hubungan sosial memburuk, orang-orang melupakan sanak saudara. Fenomena aneh seperti banyak anak yang berani melawan ibu, perempuan melamar laki-laki, dan laki-laki memperhina derajatnya sendiri digambarkan sebagai hal yang lazim.
- Krisis Kepemimpinan: Pejabat digambarkan sebagai sosok yang jahat dan ganjil, sedangkan orang-orang yang jujur dan baik justru tersisih. Bahkan, penjahat justru naik pangkat dan berkuasa.
- Ketidakadilan Ekonomi dan Hukum: Orang baik makin sengsara, sementara yang jahat bahagia. Para penipu lebih diutamakan daripada yang jujur, dan pedagang banyak yang bangkrut.
Berikut adalah beberapa syair asli dari Jangka Jayabaya yang menggambarkan “zaman edan”:
- “Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran…” (Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda…)
- “Tanah Jawa kalungan wesi…” (Pulau Jawa berkalung besi…)
- “Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang…” (Perahu berjalan di angkasa…)
- “Akeh janji ora ditetepi…” (Banyak janji tidak ditepati…)
- “Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe…” (Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri…)
- “Wong bener thenger-thenger…” (Orang yang benar termangu-mangu…)
- “Wong salah bungah…” (Orang yang salah gembira ria…)
- “Wong apik ditampik-tampik…” (Orang yang baik ditolak ditampik…)
- “Sing jujur kojur…” (Yang jujur celaka…)
- “Akeh pangkat sing jahat lan ganjil…” (Banyak pejabat jahat dan ganjil…)
- “Wong apik-apik padha kapencil…” (Orang yang baik justru tersisih…)
- “Wong jahat munggah pangkat…” (Orang jahat naik pangkat…)
- “Wong wadon nglamar wong lanang…” (Perempuan melamar laki-laki…)
- “Wong lanang ngasorake drajate dhewe…” (Laki-laki memperhina derajatnya sendiri…)
- “Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan…” (Banyak orang mati kelaparan di samping makanan…)
- “Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara…” (Banyak orang berharta tapi hidup sengsara…)
Gambaran ini melampaui sekadar prediksi; ini adalah kritik sosial yang mendalam terhadap dekadensi moral yang dapat terjadi dalam setiap masyarakat yang kehilangan pegangan pada nilai-nilai fundamental.
Harapan “Ratu Adil”: Ideal Pemimpin dalam Kondisi Krisis
Di tengah kekacauan “zaman edan,” Jangka Jayabaya menawarkan harapan akan datangnya “Ratu Adil,” seorang pemimpin yang akan mengakhiri kekacauan dan mengembalikan kejayaan. Sosok ini digambarkan sebagai “dewa” dengan sifat sejati yang akan membawa perdamaian dan keadilan, serta membebaskan bangsa dari penderitaan. Konsep Ratu Adil telah mengakar kuat dalam pandangan masyarakat Jawa, menjadi simbol harapan kolektif akan pemimpin yang bijaksana, adil, dan pro-rakyat. Konsep ini juga diyakini menumbuhkan jiwa nasionalisme dan mempengaruhi konsep kepemimpinan di Indonesia.
Ronggo Warsito: Pujangga Pamungkas dan Kritikus Sosial
Ng. Ronggo Warsito: Riwayat Hidup dan Gelar Kebesaran
Raden Ngabehi Ronggo Warsito, terlahir dengan nama Bagus Burham, adalah seorang pujangga yang lahir di Surakarta pada 1802 dan wafat pada 1873. Ia berasal dari keluarga bangsawan dan pujangga keraton, melanjutkan tradisi yang telah diwariskan oleh kakeknya, Yasadipura II, dan buyutnya, Yasadipura I. Dengan posisinya sebagai pujangga istana, ia memiliki peran penting sebagai intelektual dan pemandu spiritual bagi raja dan kerajaan. Ronggo Warsito adalah pujangga produktif dengan banyak karya, namun ia dikenal sebagai “pujangga pamungkas” karena setelah kematiannya, tradisi pujangga istana berakhir.
Serat Kalatidha: Epilog Zaman Edan
Konteks Sejarah dan Latar Belakang Emosional
Serat Kalatidha, sebuah karya sastra dalam bentuk tembang macapat Sinom, ditulis oleh Ronggo Warsito sekitar tahun 1860 Masehi. Karya ini tidak terlahir dari spekulasi tentang masa depan, melainkan dari kegelisahan pribadi dan kritik sosial yang mendalam. Konon, Ronggo Warsito menulisnya saat ia merasa kecewa karena pangkatnya tidak dinaikkan, sebuah ketidakadilan personal yang ia generalisir menjadi kritik universal terhadap kondisi zamannya. Dari pengalaman pribadinya, ia mampu mengangkat perenungannya ke level filosofis, menjadikannya sebuah cerminan abadi dari dekadensi moral. Hal ini yang membuat Serat Kalatidha melampaui masanya dan menjadi kritik yang relevan secara universal.
Analisis Filosofis: Kritik Sosial Berlapis dan Solusi Etis
Serat Kalatidha terdiri dari 12 bait, dengan lima butir inti yang merepresentasikan kritik dan solusi filosofis. Butir-butir tersebut adalah:
- Kritik terhadap Pemimpin dan Keadaan Negara: Ronggo Warsito menggambarkan kondisi negara yang penuh keraguan, di mana pemimpin tidak dapat dijadikan teladan.
- Filosofi Ketabahan dan Takdir: Karya ini mengajarkan bahwa meskipun seseorang boleh berduka, ia harus segera bangkit dan menerima takdir.
- Moralitas di Atas Kepandaian: Ronggo Warsito menekankan bahwa kepandaian dan jabatan tinggi tanpa moral yang baik justru akan mendatangkan bencana.
- Pasrah dan Doa: Butir ini mengajarkan pentingnya introspeksi diri, berserah, dan berdoa kepada Tuhan.
- Konsep “Eling lan Waspada”: Bait ketujuh adalah esensi dari Serat Kalatidha dan yang paling terkenal. Syair ini mengajukan dilema etis:
- “Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi,
- mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni,
- boya kéduman mélik, kaliren wekasanipun,
- ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali,
- luwih begja kang éling klawan waspada.”
Terjemahannya: (Menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak tahan, jika tidak mengikuti, tidak akan mendapatkan bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
-
- Eling (Ingat): Mengacu pada kesadaran untuk tidak melanggar norma dan selalu mengingat Tuhan.
- Waspada (Waspada): Mengacu pada sikap hati-hati terhadap segala kemungkinan yang dapat membahayakan.
Serat Wirid Hidayatjati: Jalan Menuju Kesempurnaan
Karya besar Ronggo Warsito lainnya adalah Serat Wirid Hidayatjati, sebuah teks yang berisikan ajaran tasawuf dan ilmu kesempurnaan yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, dan tradisi Islam lainnya. Dalam karya ini, Ronggo Warsito membahas konsep filosofis Jawa yang seringkali kontroversial, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Berbeda dengan interpretasi yang ekstrem, Ronggo Warsito mempertahankan konsep “Roro Ning Tunggal,” yang berarti manusia dan Tuhan adalah dua entitas yang berbeda, tetapi bersatu dalam diri insan. Dalam pandangan Ronggo Warsito, Manunggaling Kawula Gusti diartikan sebagai “Sang Pencipta adalah tempat semua makhluk kembali, dan dengan kembali kepada Tuhan, manusia telah bersatu dengan Tuhannya”.
Serat Wirid Hidayatjati adalah contoh nyata bagaimana para pujangga Jawa berupaya mengintegrasikan ajaran tasawuf Islam ke dalam kerangka filosofis Jawa yang sudah ada. Ronggo Warsito secara cerdas menghindari konflik teologis dengan menafsirkan Manunggaling Kawula Gusti bukan sebagai penyatuan harfiah, melainkan sebagai persatuan batin yang tetap mengakui perbedaan esensial antara Pencipta dan ciptaan. Ini menunjukkan kehebatan Ronggo Warsito sebagai pemikir yang mampu menjembatani dua tradisi besar dan menjadikannya sebuah sintesis yang koheren.
Relevansi Ganda: Jayabaya dan Ronggo Warsito di Abad ke-21
Paralelisme “Zaman Edan” dengan Krisis Moral Kontemporer
Kritik sosial yang digambarkan oleh Jayabaya dan Ronggo Warsito, yang mereka sebut sebagai “zaman edan,” secara menakjubkan memiliki paralelisme yang kuat dengan kondisi sosial-politik dan moral kontemporer. Fenomena seperti “banyak janji tidak ditepati” dan “hukuman raja tidak adil” yang diramalkan dapat dianalogikan dengan maraknya korupsi, rendahnya supremasi hukum, dan disinformasi politik yang merajalela saat ini.
Lebih dari itu, ramalan tentang “banyak hujan salah musim” dan bencana alam yang memusnahkan pemukiman secara langsung terhubung dengan isu perubahan iklim dan krisis ekologis global. Paralelisme ini menunjukkan bahwa “zaman edan” bukanlah sebuah ramalan spesifik tentang suatu era, melainkan sebuah siklus abadi dalam sejarah manusia yang ditandai oleh dekadensi moral.
Sastra Klasik dalam Kacamata Teknologi dan AI
Jangka Jayabaya dan Serat Kalatidha juga diinterpretasikan ulang sebagai “cermin etis” untuk era digital dan kecerdasan buatan (AI). Konsep “barang jahat diangkat-angkat” dan “barang suci dibenci” dalam ramalan Jayabaya dapat diartikan sebagai fenomena hoaks dan disinformasi yang mendominasi media sosial, di mana konten yang memecah belah dan tidak etis seringkali lebih viral daripada kebenaran. Demikian pula, “wong apik-apik padha kapencil” (orang baik tersisih) dapat dipahami sebagai bias algoritma yang memprioritaskan konten sensasional, bukan yang beretika.
Ajaran Eling lan Waspada dari Ronggo Warsito menjadi solusi etis yang sangat relevan. “Eling” dalam konteks digital berarti kesadaran untuk tidak terjerumus ke dalam perilaku negatif di dunia maya, seperti menyebarkan hoaks atau ujaran kebencian. “Waspada” berarti sikap hati-hati dan kritis dalam menerima informasi, serta menyaring pengaruh negatif dari teknologi. Ini menunjukkan bagaimana solusi spiritual dari masa lalu dapat bertransformasi menjadi panduan praktis untuk menghadapi tantangan modern. Menariknya, Jayabaya memandang solusi krisis datang dari luar—seorang “Ratu Adil” yang akan membawa keadilan. Namun, Ronggo Warsito, yang hidup dalam era kolonialisme di mana solusi eksternal terasa mustahil, mengalihkan fokus ke ketahanan moral individu. Di abad ke-21, di mana krisisnya bersifat personal dan politik secara bersamaan, solusi individualis Ronggo Warsito terasa lebih relevan dan praktis daripada menunggu figur mesianik.
Pengaruh Konsep Kepemimpinan dan Manusia Ideal
Konsep Ratu Adil tetap menjadi wacana penting dalam lanskap politik Indonesia , mencerminkan harapan rakyat akan pemimpin yang bersih dan berpihak kepada mereka. Sejumlah tokoh nasional, termasuk Ir. Soekarno dan Gus Dur, diketahui mengutip Serat Kalatidha, menunjukkan bagaimana karya ini melampaui batasan budaya dan menjadi sumber inspirasi bagi para pemimpin bangsa.
Filosofi Manunggaling Kawula Gusti juga dapat diinterpretasikan sebagai etika kepemimpinan yang esensial. Makna bahwa “di dalam diri seorang pemimpin ada Allah” berarti pemimpin harus bertindak dengan hati nurani yang suci dan adil, menjunjung tinggi martabat rakyat sebagai sesama ciptaan Tuhan yang memiliki kedudukan sama.
Tabel berikut menyajikan perbandingan antara kedua tokoh dan karya mereka, serta paralelisme “zaman edan” dengan kondisi modern.
Tabel 1: Perbandingan Tokoh dan Karya: Jayabaya vs. Ronggo Warsito
Kategori | Prabu Jayabaya | R. Ng. Ronggo Warsito |
Nama | Prabu Jayabaya | Raden Ngabehi Ronggo Warsito (Bagus Burham) |
Masa Hidup | 1135−1159 M | 1802−1873 M |
Konteks Sejarah | Kerajaan Kediri, puncak kejayaan Panjalu | Keraton Kasunanan Surakarta, era kolonialisme Belanda |
Status Sosial | Raja yang berkuasa penuh | Pujangga istana, “pujangga pamungkas” |
Karya Utama | Jangka Jayabaya (dinisbahkan, bukan ditulis langsung) | Serat Kalatidha, Serat Wirid Hidayatjati |
Fokus Utama | Kenabian, ramalan siklus zaman, takdir | Kritik sosial, etika personal, spiritualitas |
Konsep Kunci | Zaman Edan, Ratu Adil, Satria Piningit | Zaman Edan, Eling lan Waspada, Manunggaling Kawula Gusti |
Tabel 2: Paralelisme “Zaman Edan” Dulu dan Kini
Kutipan dari Jangka Jayabaya | Kutipan dari Serat Kalatidha | Interpretasi dan Fenomena Kontemporer |
“Akeh janji ora ditetepi.” | “Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi…” | Janji politik yang sering dilanggar; hoaks dan disinformasi merajalela |
“Akeh pangkat sing jahat lan ganjil.” | “Wong apik-apik padha kapencil.” | Banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi; orang jujur terpinggirkan |
“Akeh udan salah mangsa.” | (Tidak ada) | Fenomena perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang tidak menentu |
Kesimpulan
Analisis komparatif menunjukkan bahwa Jayabaya dan Ronggo Warsito, meskipun hidup di era yang berbeda, berbagi kekhawatiran yang sama terhadap dekadensi moral yang mereka sebut “zaman edan.” Namun, mereka menawarkan respons yang berbeda. Jayabaya, yang hidup sebagai raja, melihat solusi datang dari luar—seorang figur messianik (Ratu Adil) yang akan membawa kembali tatanan. Sebaliknya, Ronggo Warsito, yang hidup dalam kondisi sosial yang lebih kompleks dan penuh ketidakpastian di bawah kekuasaan kolonial, melihat bahwa solusi harus datang dari dalam diri individu melalui sikap spiritual dan etis. Ini merefleksikan
Warisan Jayabaya dan Ronggo Warsito harus dipandang bukan sebagai ramalan yang harus diyakini secara harfiah, melainkan sebagai sumber kearifan lokal yang relevan. Ajaran Eling lan Waspada adalah pedoman praktis yang sangat berharga untuk membangun ketahanan moral di tengah zaman yang penuh disrupsi. Di ranah pribadi, ini berarti senantiasa sadar akan tindakan dan bersikap hati-hati dalam berinteraksi, terutama di dunia digital. Di ranah profesional dan publik, ini berarti memegang teguh kejujuran dan etika, bahkan ketika lingkungan sekitar dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak benar.
Tulisan ini merekomendasikan para pemimpin dan masyarakat luas untuk merenungkan kembali konsep Ratu Adil dan filosofi Manunggaling Kawula Gusti sebagai panduan untuk kepemimpinan yang beretika, adil, dan berpihak kepada rakyat. Dengan menerapkan nilai-nilai luhur ini, masyarakat dapat menavigasi kompleksitas tantangan kontemporer dan membangun masa depan yang lebih bermartabat.
Daftar Pustaka :
- Mengapa Jayabaya Menjadi Raja Paling Terkenal di Kerajaan Kediri?, diakses September 2, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2024/03/01/090000679/mengapa-jayabaya-menjadi-raja-paling-terkenal-di-kerajaan-kediri-
- Kisah Prabu Jayabaya, Raja Kediri yang Sakti dan Peramal Masa Depan – SINDOnews.com, diakses September 2, 2025, https://daerah.sindonews.com/read/1418565/29/kisah-prabu-jayabaya-raja-kediri-yang-sakti-dan-peramal-masa-depan-1721351239
- BAB II BIOGRAFI RONGGOWARSITO A. Riwayat Hidup Ronggowarsito Ronggowarsito berasal dari keluarga bangsawan keraton Surakarta. Da, diakses September 2, 2025, http://digilib.uinsa.ac.id/7093/5/bab%202.pdf
- Serat Kalatidha » Budaya Indonesia, diakses September 2, 2025, https://budaya-indonesia.org/Serat-Kalatidha
- living in a time of madness: last days of java’s last prophetic poet – Deep Blue Repositories, diakses September 2, 2025, https://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/152738/hith12137.pdf?sequence=1
- Inilah Penulis Ramalan Ronggowarsito dan Jayabaya – Espos.id, diakses September 2, 2025, https://news.espos.id/inilah-penulis-ramalan-ronggowarsito-dan-jayabaya-1221094
- Mengenal Prabu Jayabaya Sang Raja Peramal – detikcom, diakses September 2, 2025, https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6285103/mengenal-prabu-jayabaya-sang-raja-peramal
- Rahasia Asal-muasal Jangka Jayabaya yang Mengandung Ramalan Masa Depan Nusantara – Viva, diakses September 2, 2025, https://www.viva.co.id/trending/1705033-rahasia-asal-muasal-jangka-jayabaya-yang-mengandung-ramalan-masa-depan-nusantara
- Misteri Asal-usul Jangka Jayabaya yang Berisi Ramalan Masa Depan Nusantara, diakses September 2, 2025, https://news.okezone.com/read/2024/04/13/337/2995426/misteri-asal-usul-jangka-jayabaya-yang-berisi-ramalan-masa-depan-nusantara
- Serat Jangka Jayabaya sebagai Cermin Etis di Era Digital dan …, diakses September 2, 2025, https://m.kumparan.com/sabdo-palon-1635062733493024154/serat-jangka-jayabaya-sebagai-cermin-etis-di-era-digital-dan-kecerdasan-buatan-24od9BqY1cw
- Misteri Asal-usul Jangka Jayabaya Berisi Ramalan Nusantara di Masa Depan, diakses September 2, 2025, https://daerah.sindonews.com/read/1358249/29/misteri-asal-usul-jangka-jayabaya-berisi-ramalan-nusantara-di-masa-depan-1712963046
- Jangka Jayabaya Dalam Realitas Kontemporer Halaman 1 – Kompasiana.com, diakses September 2, 2025, https://www.kompasiana.com/hendrafokker4480/65720341c57afb28d11a9454/jangka-jayabaya-dan-masa-depan-indonesia
- JANGKA JAYABAYA (RAMALAN JAYABAYA) | SKOLASTIKA, diakses September 2, 2025, https://haristepanus.wordpress.com/kawruh-jawa/jangka-jayabaya-ramalan-jayabaya/
- Ramalan Jayabaya 5 Prediksi Menakutkan Tentang Indonesia 2024 yang Mulai Terbukti, diakses September 2, 2025, https://www.harianbatakpos.com/ramalan-jayabaya-5-prediksi-menakutkan-tentang-indonesia-2024-yang-mulai-terbukti127872-2/
- Humanisme dalam Serat Jangka Jayabaya Perspektif – Gusti Garnis, diakses September 2, 2025, https://jurnalfuf.uinsa.ac.id/index.php/religio/article/view/751/687
- RATU ADIL SATRIA PININGIT DAN ZAMAN EDAN (Wacana Futurologi Dalam Serat Kalatidha) – Neliti, diakses September 2, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/375761-none-12f2e25d.pdf
- SERAT JANGKA JAYABAYA: RELEVANSI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA | Erlangga | Sejarah dan Budaya – Universitas Negeri Malang, diakses September 2, 2025, https://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/15598
- SERAT KALATIDHA – Perilaku dan Pitutur a la Jawa, diakses September 2, 2025, http://iwanmuljono.blogspot.com/p/serat-kalatidha.html
- KALATIDHA: INTERPRETASI MAKNA KARYA SASTRA KE DALAM …, diakses September 2, 2025, http://repository.isi-ska.ac.id/2643/1/Deskripsi%20Karya%20Wahyu%20Thoyib%20P.pdf
- Kisah Ronggowarsito: Karomah Si Santri Nyeleneh – LP Maarif NU Jateng, diakses September 2, 2025, https://maarifnujateng.or.id/2023/07/kisah-ronggowarsito-karomah-si-santri-nyeleneh/
- Inilah Jaman Edan; Menyelisik Serat Kalatidha Ranggawarsita – Kompasiana.com, diakses September 2, 2025, https://www.kompasiana.com/kalimana/581378678423bd462e94175a/inilah-jaman-edan-menyelisik-serat-kalatidha-ranggawarsita?page=2&page_images=1
- Kajian Kalatidha (7): Luwih Begja Kang Eling Waspada, diakses September 2, 2025, https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/10/05/kajian-kalatidha-7-luwih-begja-kang-eling-waspada/
- METAFISIKA Serat Wirid Hidayati Jati – Kanal Pengetahuan Filsafat UGM, diakses September 2, 2025, https://kanalpengetahuan.filsafat.ugm.ac.id/2016/11/18/metafisika-serat-wirid-hidayati-jati/
- Agama, Budaya Jawa dan Konsep Manunggaling Kawulo Gusti – Telusur.co.id, diakses September 2, 2025, https://www.telusur.co.id/detail/agama-budaya-jawa-dan-konsep-manunggaling-kawulo-gusti
- UNIMMA Journal – Universitas Muhammadiyah Magelang, diakses September 2, 2025, https://journal.unimma.ac.id/index.php/conference/article/download/4642/2119/
- KALATIDHA: INTERPRETASI MAKNA KARYA SASTRA KE DALAM KARAWITAN TRADISI KONTEMPORER – Institutional Repository ISI Surakarta, diakses September 2, 2025, http://repository.isi-ska.ac.id/2643/
- KALATIDHA: INTERPRETASI MAKNA KARYA SASTRA KE DALAM KARAWITAN TRADISI KONTEMPORER, diakses September 2, 2025, https://www.gamelan.org/library/writings/thoyyib-kalatidha.pdf