Peta Migrasi dan Struktur Kerentanan

Mobilitas tenaga kerja di sekitar negara-negara Asia bukanlah fenomena baru, melainkan telah menjadi panggung dinamika ekonomi dan sosial selama berabad-abad. Namun, saat ini, perbedaan signifikan terletak pada skala pergerakan; jumlah pekerja migran global berada pada titik tertinggi dalam sejarah manusia. Koridor migrasi utama dari Asia Tenggara menuju negara-negara Teluk (seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar) serta ke negara-negara Asia Timur (seperti Malaysia dan Singapura) berfungsi sebagai tulang punggung ekonomi, baik bagi negara pengirim melalui remitansi maupun bagi negara penerima melalui penyediaan tenaga kerja yang stabil dan murah.

Organisasi internasional seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) terlibat aktif dalam kerangka kerja yang mendukung migrasi yang aman dan perlindungan hak asasi manusia dan ketenagakerjaan. Program regional IOM, seperti PROMISE, berupaya meningkatkan pengembangan keterampilan dan perlindungan bagi pekerja migran melalui kolaborasi sektor publik dan swasta. Meskipun demikian, laporan data migrasi regional sering menyoroti perpindahan paksa (IDP) akibat konflik di negara-negara seperti Afghanistan dan Myanmar , namun, data ini secara tidak sengaja menutupi krisis yang berkembang di antara pekerja migran yang bekerja di sektor informal dan privat.

Fokus Analisis: Sektor Domestik dan Konstruksi sebagai Titik Rawan Eksploitasi

Laporan ini secara khusus memfokuskan analisis pada kerentanan struktural yang dihadapi oleh pekerja migran di sektor domestik (Pekerja Rumah Tangga, PRT) dan konstruksi. Sektor-sektor ini dipilih karena secara inheren paling rentan terhadap praktik eksploitasi, seringkali didominasi oleh mekanisme kontrol majikan yang ketat.

Sektor konstruksi di negara-negara Teluk secara tradisional terkait erat dengan sistem kafala (sponsorship), yang memberikan kekuasaan yang tidak proporsional kepada sponsor atas status hukum pekerja. Sementara itu, Pekerja Rumah Tangga (PRT), yang mayoritas merupakan perempuan, menghadapi jenis kerentanan yang unik dan lebih parah. Pekerjaan mereka dilakukan di dalam ruang privat, yang menyebabkan kesulitan bagi pemerintah untuk memantau apakah mereka menerima hak-haknya sesuai ketentuan yang berlaku. Akibatnya, kelompok ini berada dalam posisi “lebih tidak berdaya” dan menjadi sasaran utama pelecehan dan eksploitasi, seringkali terisolasi dari mekanisme dukungan yang ada.

Kesenjangan statistik dan visibilitas ini menimbulkan implikasi kebijakan yang serius. Karena PRT bekerja di ruang privat yang “tak terlihat”, kesulitan dalam mengukur eksploitasi mereka secara akurat menyebabkan data perlindungan dan pelanggaran hak cenderung kurang terwakili dalam laporan migrasi regional. Realitas ini secara efektif menutupi skala sebenarnya dari masalah yang ada, menjadikannya sebuah krisis yang tidak terekam secara penuh oleh statistik resmi.

Lingkup Eksploitasi: Pilar-Pilar Keterikatan

Laporan ini menganalisis empat pilar eksploitasi yang saling menguatkan yang menjebak pekerja migran dalam kondisi kerja paksa: utang penempatan (debt bondage), penyitaan paspor, jam kerja yang tidak diatur, dan minimnya perlindungan hukum. Keempat mekanisme ini tidak hanya mengurangi hak-hak pekerja, tetapi juga mengunci mereka dalam siklus migrasi berulang.

Bagi banyak pekerja, keputusan untuk bermigrasi kembali ke luar negeri—bahkan setelah mengalami pelecehan seksual, kekerasan fisik, atau konflik rumah tangga di negara asal—dipicu oleh kebutuhan finansial mendesak, seperti “keadaan ekonomi yang kurang baik”. Pengalaman negatif sebelumnya (kekerasan atau trauma) terbukti tidak cukup kuat untuk menanggulangi desakan finansial. Oleh karena itu, migrasi bagi banyak individu bukan merupakan tindakan ekonomi yang didorong oleh peluang, melainkan tindakan yang didorong oleh keharusan berulang, yang menciptakan “ekonomi trauma” di mana pekerja terpaksa kembali ke siklus risiko.

Mekanisme Keterikatan dan Kontrol (Entrapment Mechanisms)

Eksploitasi buruh migran seringkali berakar sebelum pekerja menginjakkan kaki di negara tujuan, melalui dua mekanisme utama: utang dan penyitaan dokumen.

Utang Penempatan (Debt Bondage): Akar Perbudakan Finansial

Debt bondage adalah bentuk kerja paksa yang paling lazim di seluruh dunia. Mekanisme ini secara efektif menggunakan utang yang dikenakan kepada pekerja oleh agensi perekrutan (P3MI/PJTKI) sebagai alat untuk mengikat mereka pada majikan atau agensi tersebut.

Meskipun pekerja migran seringkali tidak memiliki modal untuk berinvestasi atau akses ke pinjaman yang memadai , mereka tetap dikenakan biaya penempatan yang tinggi. Utang ini secara efektif berfungsi sebagai sistem pra-pendanaan untuk eksploitasi. Agensi Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) secara fungsional menjual tenaga kerja yang sudah terikat utang kepada majikan di negara tujuan. Konsekuensinya, pekerja tiba di negara tujuan dalam keadaan terutang, dan utang ini menjadi kontrak perbudakan modern. Majikan di negara tujuan memiliki kontrol finansial yang kuat untuk memaksa kepatuhan, karena pekerja harus bekerja keras dan patuh untuk melunasi utang yang mungkin bahkan diwarisi dari generasi sebelumnya, seperti yang terjadi di Asia Pasifik.

Pembatasan Kebebasan: Penyitaan Paspor dan Mobilitas

Penyitaan paspor dan dokumen perjalanan lainnya oleh agensi ilegal atau majikan adalah pelanggaran hak mendasar yang lazim terjadi di koridor migrasi Asia Tenggara dan Teluk. Tindakan ini melumpuhkan pekerja migran secara hukum dan fisik, secara drastis membatasi mobilitas mereka dan mencegah pelarian dari kondisi kerja yang abusif.

Penyitaan paspor berfungsi sebagai ancaman langsung terhadap status hukum pekerja. Bukti praktik ilegal ini terungkap melalui penindakan yang dilakukan oleh otoritas negara pengirim, seperti kasus di Mataram di mana Kepolisian menyita 1.116 paspor dari P3MI ilegal. Penangkapan ini menegaskan skala besar masalah perdagangan orang (TPPO) dan pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).

Penyitaan paspor dan kurangnya dokumen seringkali mendahului ancaman pemulangan paksa atau deportasi. Dalam konteks ini, paspor dan deportasi diubah menjadi senjata hukum. Penyitaan dokumen menghilangkan identitas legal dan kebebasan bergerak pekerja. Ketika pekerja berupaya memprotes atau mencari bantuan, ancaman deportasi yang dimungkinkan oleh kurangnya dokumen atau status hukum yang diragukan menjadi alat kontrol utama majikan atau agensi ilegal. Dengan demikian, proses penegakan hukum diubah menjadi mekanisme ancaman, di mana pekerja terpaksa memilih antara diam dan bekerja, atau bersuara dan menghadapi status ilegal serta pemulangan paksa, bahkan jika mereka dipaksa membayar biaya deportasi yang tidak seharusnya menjadi tanggungan mereka.

Realitas Kerja di Negara Tujuan: Kasus Asia Tenggara dan Teluk

Kerentanan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Ruang Privat (Malaysia & Singapura)

Kerentanan terbesar dalam sektor domestik berasal dari pengecualian hukum dan isolasi fisik. Secara umum, PRT sering dikecualikan dari undang-undang ketenagakerjaan dan perlindungan sosial yang paling mendasar di banyak negara penerima.

Di Singapura, Human Rights Watch (HRW) telah menuntut reformasi signifikan, termasuk diterapkannya kontrak ketenagakerjaan standar yang menetapkan perlindungan terperinci mengenai upah, jam kerja, dan libur mingguan. Tuntutan ini juga mencakup penghapusan uang jaminan sebesar S$5.000 yang diwajibkan oleh majikan, yang seringkali membatasi kebebasan pekerja untuk mencari bantuan atau meninggalkan pekerjaan yang abusif. Tindakan hukum yang tegas terhadap majikan yang mengurung pekerja domestik di tempat kerja juga merupakan kebutuhan mendesak.

Sementara itu, di Malaysia, meskipun Garis Panduan Pekerja Domestik Asing menggariskan hak untuk mendapatkan satu hari rehat dalam setiap minggu , terdapat ketentuan yang mengizinkan PRT untuk bekerja pada hari rehat dengan kompensasi (pro-rate basis). Ketentuan ini rentan disalahgunakan, sehingga secara praktis memaksa PRT untuk bekerja tujuh hari seminggu tanpa istirahat yang memadai.

Kesenjangan utama dalam perlindungan PRT adalah kenyataan bahwa tempat kerja mereka adalah ruang privat majikan. Kondisi ini menciptakan zona impunitas di mana pengawasan pemerintah terhadap hubungan kerja menjadi sangat sulit. Kegagalan pengawasan di ruang privat inilah yang mengubah perlindungan hukum di atas kertas menjadi tidak efektif dan memungkinkan pelecehan serta jam kerja tak terbatas terjadi tanpa konsekuensi yang berarti bagi majikan.

Beban Kerja dan Kondisi Psikologis di Teluk (Arab Saudi & UEA)

Di negara-negara Teluk, pekerja migran, termasuk PRT, menghadapi tuntutan fisik yang tinggi, terutama di rumah-rumah besar bertingkat di mana mereka harus membersihkan, dan menyiapkan makanan tiga kali sehari. Tuntutan fisik yang tinggi dan lingkungan sosial budaya yang asing seringkali memicu job stress yang signifikan.

Isolasi di rumah majikan merupakan faktor yang memperburuk stres emosional dan psikologis. Selain jam kerja yang panjang, kasus pelecehan seksual dari anggota keluarga majikan (seperti yang dialami seorang pekerja di Riyadh) menunjukkan risiko fisik dan emosional yang ekstrem. Pengalaman traumatis seperti ini seringkali berakhir dengan permintaan pemulangan paksa ke negara asal tanpa penyelesaian hukum yang memadai. Kurangnya akses terhadap perlindungan kesehatan dan hukum di negara tujuan semakin meningkatkan kerugian individu akibat stres kerja, termasuk penurunan konsentrasi, kecemasan tinggi, dan frustrasi.

Kegagalan Mekanisme Bilateral (Studi Kasus Malaysia-Indonesia)

Untuk mengatasi tantangan perlindungan, negara pengirim dan penerima sering mengandalkan kerja sama bilateral. Misalnya, Memorandum of Understanding (MoU) 2022 antara Indonesia dan Malaysia, termasuk implementasi One Channel System (OCS), bertujuan untuk menyederhanakan perekrutan dan meningkatkan perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Meskipun kerangka analisis berdasarkan teori liberalisme interdependensi Robert Keohane menunjukkan adanya kepentingan bersama dan potensi stabilitas ketenagakerjaan melalui MoU, implementasinya masih menghadapi hambatan. Tantangan utama muncul akibat inkonsistensi Malaysia dalam meninggalkan sistem perekrutan lama (seperti Maid Online System).

Studi menunjukkan bahwa meskipun kerangka kerja sama bilateral telah ada, kasus pelanggaran hak (seperti gaji tidak dibayar, kekerasan, dan diskriminasi) tetap terjadi. Hambatan utama terletak pada keterbatasan akses pemerintah pengirim untuk memantau langsung kondisi PMI di rumah majikan. Pemantauan efektif hanya dimungkinkan jika terdapat komunikasi aktif dan keterbukaan dari para PMI sendiri. Hal ini menegaskan bahwa diplomasi bilateral, yang menekankan kepentingan bersama, seringkali dibatasi oleh komitmen politik domestik negara penerima. Ketika Malaysia tetap menggunakan sistem perekrutan paralel yang lebih murah dan mudah diakses, itu menunjukkan bahwa kepentingan domestik (pasokan tenaga kerja yang terikat) diprioritaskan di atas komitmen bilateral yang bertujuan menjamin hak-hak pekerja.

Analisis Komparatif Kerangka Perlindungan: Qatar vs. Korea Selatan (Unique Angle)

Perbandingan antara kerangka hukum di Qatar (negara Teluk) dan Korea Selatan (negara Asia Timur) memberikan analisis yang mendalam tentang bagaimana dua model migrasi yang berbeda dapat menghasilkan bentuk kontrol majikan yang serupa melalui pembatasan mobilitas kerja.

Qatar: Reformasi Sistem Kafala dan Ujian Implementasi

Sistem kafala (sponsorship) di Qatar secara historis mengharuskan pekerja migran, terutama di sektor konstruksi, untuk memiliki sponsor yang bertanggung jawab atas status hukum dan visa mereka. Sistem ini telah dikritik keras karena memfasilitasi eksploitasi.

Menjelang Piala Dunia 2022, Qatar melakukan serangkaian reformasi hukum signifikan, termasuk ratifikasi Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR). Secara nasional, Qatar menghapus Exit Permit dan No Objection Certificate (NOC) yang merupakan akar masalah sistem kafala. Penghapusan NOC adalah langkah besar karena memungkinkan pekerja berganti pekerjaan sebelum kontrak berakhir tanpa persetujuan majikan, menjadikan Qatar negara Teluk pertama yang menerapkan kebijakan ini untuk semua pekerja migran. Selain itu, pemerintah menetapkan upah minimum dan sistem perlindungan upah.

Namun, organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International menekankan bahwa keberhasilan reformasi ini bergantung pada penegakan yang efektif dan pemantauan yang ketat. Terdapat kekhawatiran yang mendalam bahwa sisa-sisa budaya kafala dan praktik ilegal, seperti ‘perdagangan visa’ (visa trading), yang merupakan industri jutaan dolar di kawasan Teluk, terus melemahkan tujuan reformasi. Amnesty International mencatat bahwa terlalu sering pekerja masih menghadapi eksploitasi meskipun ada reformasi yang dimaksudkan untuk melindungi mereka. Ini menunjukkan bahwa di Qatar, hambatan utamanya adalah implementasi dan penegakan hukum terhadap praktik yang sudah dilarang.

Korea Selatan: Employment Permit System (EPS) dan Perangkap Mobilitas

Korea Selatan menggunakan Employment Permit System (EPS) sejak tahun 2004 untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, terutama di sektor fisik dan di daerah yang kurang padat penduduk. Sistem ini, meskipun diatur oleh perjanjian antar-pemerintah (G2G), juga menciptakan kerentanan yang mendalam melalui restriksi mobilitas.

Kritik utama terhadap EPS adalah persyaratan persetujuan majikan untuk pindah tempat kerja. Pekerja hanya dapat pindah ke tempat kerja lain dengan izin majikan, kecuali dalam kasus pelecehan yang terbukti. Pembatasan ini menciptakan “ladang subur untuk pelecehan,” karena majikan memiliki alat kontrol mutlak atas status kerja dan visa pekerja.

Kasus-kasus pelecehan, seperti yang dialami pekerja Nepal Bishal B.K. (pelecehan verbal, pemukulan, penolakan gaji, dan ancaman pelaporan polisi) menunjukkan konsekuensi dari sistem ini. Pekerja sering dipaksa memilih antara berdiam diri (tidak bersuara) atau berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi sulit. Jika pekerja mengajukan keluhan resmi mengenai pelecehan, proses pembuktian dapat memakan waktu berbulan-bulan, selama itu pekerja seringkali tidak dibayar dan menghadapi ketidakpastian serta ancaman deportasi.

Meskipun kasus kekerasan yang ekstrem (seperti video pekerja Sri Lanka yang diikat ke palet batu bata) mendorong Presiden Korea Selatan untuk turun tangan dan memerintahkan tindakan balasan, pejabat pemerintah tetap mempertahankan persyaratan inti persetujuan pemberi kerja untuk pindah. Alasannya adalah kekhawatiran bahwa kebebasan yang lebih besar bagi pekerja untuk berganti pekerjaan dapat merusak tujuan asli sistem, yaitu mengatasi kekurangan tenaga kerja yang parah.

Komparasi dan Kontras: Kontrol Institusional terhadap Pekerja Migran

Analisis komparatif menunjukkan adanya paradoks reformasi hukum. Di Qatar, reformasi hukumnya radikal, tetapi hambatan utamanya adalah kegagalan penegakan di lapangan. Sebaliknya, di Korea Selatan, kerangka hukumnya sendiri secara inheren restriktif (izin transfer majikan), yang secara otomatis menciptakan kerentanan struktural. Ini menunjukkan bahwa perlindungan pekerja migran memiliki dua bentuk hambatan yang berbeda: (a) implementasi di GCC, dan (b) cacat desain kebijakan di Asia Timur yang disengaja.

Kedua sistem menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi negara penerima seringkali mengalahkan hak-hak pekerja. Pejabat Korea Selatan secara eksplisit khawatir bahwa memberikan kebebasan pindah akan mengganggu stabilitas pasokan tenaga kerja. Hal ini menegaskan bahwa sistem migrasi terencana, meskipun bertujuan untuk legalitas, seringkali memprioritaskan penyediaan tenaga kerja yang stabil, murah, dan terikat (captive labor) di atas hak asasi manusia pekerja, memperlakukan pekerja migran lebih sebagai komoditas ekonomi yang perlu dikontrol.

Tabel Perbandingan Kerangka Hukum Perlindungan Migran: Qatar (Pasca-Kafala) vs. Korea Selatan (EPS)

Aspek Hukum/Perlindungan Qatar (GCC – Pasca-Reformasi Kafala) Korea Selatan (Asia Timur – EPS)
Sistem Regulasi Inti Kafala (Sponsorship) – Direformasi secara progresif. Employment Permit System (EPS) – Skema yang diatur negara (G2G).
Kebebasan Mobilitas (Ganti Pekerjaan) Tinggi (NOC dihapus, diizinkan tanpa izin majikan). Rendah (Memerlukan izin majikan; Terbatas maksimal 3 kali pindah).
Pemicu Kerentanan Kegagalan penegakan di lapangan, praktik ilegal visa trading, dan sisa-sisa budaya Kafala. Kontrol majikan terhadap mobilitas kerja, yang menjadi alat pemerasan dan penahanan.
Respon Keadilan Pembentukan komite penyelesaian sengketa upah. Proses pembuktian pelecehan yang lama, menempatkan pekerja dalam ketidakpastian tanpa gaji dan di bawah ancaman deportasi.

Akses Keadilan dan Tantangan Reintegrasi

Hambatan Akses Keadilan dan Peran Diplomatik

Akses pekerja migran terhadap keadilan di negara tujuan seringkali terhambat oleh kerangka hukum yang lemah dan tekanan finansial. Proses pembuktian pelecehan, misalnya di Korea Selatan, dapat menempatkan pekerja dalam ketidakpastian finansial yang berkepanjangan karena mereka tidak dibayar selama berbulan-bulan.

Di tingkat regional, badan-badan seperti AICHR (Asean Intergovernmental Commission on Human Rights) saat ini memiliki kerangka acuan yang tidak memadai. Kerangka tersebut tidak secara efektif mencerminkan nilai-nilai perlindungan hak asasi manusia dan kekurangan fungsi investigatif untuk melakukan penyelidikan pelanggaran di wilayah Asia Tenggara.

Dalam mengatasi konflik, peran perwakilan diplomatik (seperti Kedutaan Besar Republik Indonesia) menjadi krusial. Diplomasi harus berpedoman pada sumber-sumber hukum internasional untuk mengatasi konflik yang dipicu oleh perbedaan nilai antarnegara. Meskipun demikian, efektivitas perlindungan diplomatik—yang melibatkan dialog dan upaya kolaboratif —secara kritis bergantung pada pelaporan dan keterbukaan dari pekerja migran itu sendiri. Mengingat trauma pelecehan dan ancaman deportasi yang dihadapi, terdapat hambatan psikologis yang besar untuk melaporkan. Efektivitas mekanisme perlindungan, oleh karena itu, sangat dipengaruhi oleh keberanian individu untuk melanggar kebisuan yang dipaksakan oleh sistem yang eksploitatif.

Reintegrasi: Krisis Setelah Krisis

Bagi pekerja migran yang kembali ke negara asal, tantangan tidak berhenti. ILO menyebut kesulitan yang dihadapi migran kembali ini sebagai ‘krisis dalam krisis’. Pekerja migran perempuan, PRT, korban perdagangan, atau mereka yang dideportasi membutuhkan layanan dukungan yang jauh lebih terarah daripada pekerja yang kembali secara sukarela.

Secara ekonomi, pekerja yang kembali seringkali kesulitan untuk memulai wirausaha karena keterbatasan modal, akses ke pinjaman, dan infrastruktur pengembangan bisnis. Masalah sosial juga mencuat, termasuk konflik rumah tangga atau perceraian, seperti kasus pekerja yang kembali setelah suaminya bersenang-senang dengan perempuan lain , serta isu penelantaran anak di kampung halaman.

Dalam konteks pertanian, tingginya angka migrasi dapat menyebabkan “degenerasi petani” di mana tenaga kerja muda cenderung berpindah sektor, yang memerlukan analisis lebih lanjut mengenai pola adaptasi angkatan kerja muda.

Kebutuhan mendesak untuk reintegrasi yang efektif, terutama bagi korban perdagangan manusia atau deportasi, memperjelas bahwa meskipun migrasi dapat menguntungkan negara (melalui remitansi), biaya sosial dan ekonomi dari kegagalan perlindungan di hulu (negara penerima) dibebankan sepenuhnya pada negara asal. Reintegrasi yang gagal sering kali berarti kembalinya pekerja ke kondisi rentan yang mendorong mereka bermigrasi lagi, melanggengkan siklus eksploitasi.

Tabel Tantangan Reintegrasi dan Dukungan yang Dibutuhkan

Dimensi Reintegrasi Tantangan Utama (Socio-Ekonomi) Kebutuhan Dukungan Kunci
Ekonomi Utang penempatan yang belum lunas, kesulitan memulai kewirausahaan karena kurangnya modal/infrastruktur. Program pemberdayaan kewirausahaan sosial , pelatihan keterampilan, dan akses keuangan yang adil.
Sosial & Keluarga Konflik dan perpisahan, penelantaran anak, trauma psikologis akibat kekerasan. Layanan dukungan psikososial, konseling keluarga, dan mekanisme pemulangan yang sensitif terhadap trauma.
Kelembagaan/Hukum Pekerja dipulangkan paksa/deportasi, kurangnya pemantauan kasus hukum yang tertunda. Dukungan hukum spesifik, jaminan perlindungan sosial purna-migran (BPJS JKK/JKM) , dan layanan pasca-pemulangan yang terorganisir.

Dukungan Pemerintah bagi Buruh Migran Purna

Meskipun tantangan reintegrasi besar, negara pengirim telah berupaya menyediakan jaringan pengaman. Indonesia, misalnya, menawarkan skema perlindungan sosial melalui BPJS Ketenagakerjaan yang mencakup Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) sejak tahap sebelum penempatan hingga selama bekerja. Selain itu, Kantor Staf Presiden (KSP) telah mendorong program pemberdayaan untuk Pekerja Migran Indonesia Purna, terutama melalui inisiatif kewirausahaan sosial, untuk mempromosikan pemberdayaan dan masyarakat yang setara.

Kesimpulan

Tulisan ini menyimpulkan bahwa eksploitasi buruh migran di koridor Teluk dan Asia Tenggara bersifat sistemik dan struktural. Praktik debt bondage menciptakan kerentanan finansial sejak awal, diperburuk oleh mekanisme kontrol majikan (seperti penyitaan paspor dan larangan ganti pekerjaan) di negara tujuan.

Analisis komparatif antara Qatar pasca-Kafala dan Korea Selatan di bawah EPS menunjukkan bahwa kedua model—meskipun berbeda secara radikal—tetap mempertahankan kontrol majikan atas mobilitas pekerja. Di Qatar, tantangan utama adalah penegakan hukum terhadap reformasi yang sudah ada. Sebaliknya, di Korea Selatan, kontrol majikan dipertahankan sebagai bagian dari desain kebijakan untuk memastikan pasokan tenaga kerja yang terikat. Secara keseluruhan, sektor domestik tetap menjadi zona impunitas terbesar karena sifat pekerjaan yang dilakukan di ruang privat, sementara kegagalan perlindungan di negara penerima memicu krisis sosial dan ekonomi di negara asal selama tahap reintegrasi.

Untuk mengatasi kerentanan struktural yang dihadapi oleh pekerja migran, reformasi kebijakan yang komprehensif harus diterapkan di seluruh rantai migrasi:

 Untuk Negara Pengirim (Penguatan Perlindungan di Hulu)

  1. Eliminasi Utang Penempatan: Negara pengirim harus mengambil alih semua biaya penempatan untuk sepenuhnya menghilangkan skema utang yang membebani pekerja. Hal ini akan memutus keterikatan finansial (debt bondage) yang menjadi akar dari kerja paksa.
  2. Penegakan Hukum Anti-TPPO yang Agresif: Memperkuat penegakan hukum, termasuk penyelidikan dan tuntutan terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) ilegal yang terlibat dalam TPPO dan penyitaan paspor, sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2007 dan Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2017.
  3. Penguatan Reintegrasi: Memastikan layanan dukungan terarah, terutama dukungan psikososial dan hukum, bagi pekerja yang dipulangkan paksa, dideportasi, atau menjadi korban kekerasan dan perdagangan. Mendorong inisiatif kewirausahaan sosial dengan akses modal yang lebih baik untuk menghindari re-migrasi yang didorong oleh trauma ekonomi.

Untuk Negara Penerima (Reformasi Total Sistem Izin Kerja)

  1. Pencabutan Izin Transfer Majikan: Negara penerima, termasuk di kawasan Teluk dan Asia Timur, harus mencabut total semua persyaratan persetujuan majikan untuk transfer pekerjaan, baik di bawah sistem Kafala yang direformasi (Qatar) maupun EPS (Korea Selatan). Kebebasan mobilitas kerja adalah hak dasar yang dapat memutus kontrol majikan dan mengurangi pemerasan.
  2. Pengintegrasian PRT ke Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan: Negara penerima wajib mengakhiri pengecualian PRT dari undang-undang ketenagakerjaan; menjamin hak-hak dasar seperti upah minimum, penetapan jam kerja, dan libur mingguan yang tidak dapat dibayar dengan kompensasi, sesuai dengan standar internasional.
  3. Penegakan dan Akuntabilitas: Meningkatkan mekanisme pengawasan, terutama di ruang privat. Memastikan penegakan hukum yang cepat dan tegas terhadap majikan yang melakukan kekerasan, pelecehan, atau menahan dokumen, untuk mengikis zona impunitas.

Rekomendasi Multilateral dan Regional

  1. Penguatan Mandat Regional: Negara-negara anggota ASEAN harus merevisi kerangka acuan AICHR untuk mencakup mandat investigatif yang efektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM pekerja migran.
  2. Ratifikasi Konvensi Internasional: Mendorong semua negara penerima utama untuk meratifikasi instrumen perlindungan pekerja migran internasional, termasuk Konvensi ILO No. 189 tentang Pekerja Rumah Tangga.
  3. Diplomasi yang Tegas: Perwakilan diplomatik harus meningkatkan upaya pengawasan dan diplomasi untuk memastikan negara penerima memenuhi komitmen bilateral, terutama dengan mengatasi inkonsistensi yang melemahkan sistem perlindungan resmi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.