Di bawah kubah akal,

tempat sumpah menggaung,

Bukan sekadar janji,

tapi kontrak jiwa terpasung.

 

Penguasa berdiri, arsitek ilusi di hadapan terang,

Membangun menara harapan, dari puing-puing usang.

Merekalah nakhoda, biduk rakyat diarahkan,

Menuju fatamorgana yang tak pernah terjamah kenyataan.

 

Namun waktu berputar, tirai realitas tersingkap,

Janji-janji luruh, bagai daun kering yang terperangkap.

Di atas karpet empuk, dalam riuh tawa tiada henti,

Kesenangan politikus berpesta, di atas penderitaan sejati.

 

Mereka menghirup madu kekuasaan, tanpa setetes pedih,

Terbuai dalam euforia, lupa akar yang telah layu dan kering.

Di luar tembok kemewahan, rakyat menderita,

merangkak dalam sunyi, Setiap peluh adalah doa, setiap napas adalah tangis hati.

 

Lumbung-lumbung kosong, tanah tak lagi subur diberkati,

Sedang di puncak, hidangan berlimpah, tak pernah terhenti.

Adakah cermin bagi mereka, untuk melihat wajah lara?

Atau jiwa telah beku, tak tersentuh derita fana?

 

Inilah paradoks eksistensi, di panggung kehidupan yang fana,

Ketika kuasa membutakan mata, dan hati menjadi hampa.

Moralitas tergerus, diganti kalkulasi pragmatis yang kejam,

Keadilan hanyalah narasi, terukir di lembaran yang hitam.

 

Namun setiap tindakan, adalah benih yang tertanam dalam karma,

Akan tumbuh menjadi buah, pahit atau manis, di kemudian masa.

Maka, renungkanlah wahai penguasa, di bilik sunyi nurani,

Apakah hakikat kekuasaan hanyalah kenikmatan diri?

 

Atau sebuah amanah agung, untuk mengabdi tanpa henti,

Membangun peradaban, menebar kasih, hingga akhir nanti.

Sebab, takdir sebuah bangsa, tergambar dari jiwanya,

Dan gema kebenaran, takkan pernah mati selamanya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.