Transisi dari periode Orde Lama yang dicengkeram oleh hiperinflasi dan instabilitas ekonomi ke era Orde Baru pada 1966 merupakan titik balik fundamental dalam sejarah ekonomi Indonesia. Pada masa itu, kebijakan keuangan negara, khususnya kebijakan fiskal, diinstitusionalisasi sebagai instrumen utama untuk mengendalikan makroekonomi dan mencapai stabilitas. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk menstabilkan harga dan menekan inflasi yang mencapai 60% pada awal dekade , tetapi juga meletakkan fondasi bagi pembangunan ekonomi jangka panjang. Tinjauan ini akan menganalisis bagaimana filosofi, implementasi, dan dampak kebijakan keuangan negara berevolusi melalui tiga periode krusial: Orde Baru yang berorientasi pada pembangunan terpusat, era Reformasi yang dipicu oleh krisis, dan periode saat ini yang fokus pada pembiayaan yang berkelanjutan.
Narasi laporan ini akan mengikuti alur kronologis yang terstruktur. Pertama, laporan akan membahas fondasi pembangunan era Orde Baru, sebuah periode yang ditandai oleh sentralisasi dan ketergantungan pada utang luar negeri. Kedua, akan dianalisis periode Reformasi, yang merupakan respons radikal terhadap keruntuhan ekonomi 1998 dan ditandai oleh konsolidasi, transparansi, serta desentralisasi. Terakhir, laporan akan meninjau era saat ini, di mana kebijakan keuangan berorientasi pada pembiayaan inovatif dan visi jangka panjang, yaitu Indonesia Emas 2045.
Filosofi dan Prinsip Kebijakan Fiskal Orde Baru
Kebijakan fiskal pada masa Orde Baru didasarkan pada filosofi yang dikenal sebagai Trilogi Pembangunan. Tiga pilar utama dalam filosofi ini adalah (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju keadilan sosial, (2) pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Trilogi ini diimplementasikan melalui serangkaian program perencanaan pembangunan lima tahun yang dikenal sebagai
Rencana Pembangunan Lima Tahun (PELITA), dimulai dari Repelita I (1969-1974) hingga Repelita VI (1994-1998).
Setiap PELITA memiliki fokusnya masing-masing. Repelita I berfokus pada pembangunan bidang pertanian untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan meletakkan dasar bagi pembangunan ekonomi. Keberhasilan awal terlihat pada Repelita II (1974-1979), di mana pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun dan inflasi berhasil diturunkan drastis dari 60% pada awal Orde Baru menjadi 9,5%. Selanjutnya, Repelita III menekankan pada
Delapan Jalur Pemerataan yang mencakup pemerataan pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan keadilan sosial. Namun, terdapat kesenjangan signifikan antara filosofi yang ideal dan implementasi yang faktual. Meskipun Trilogi Pembangunan mengedepankan tiga pilar yang setara, praktik kebijakan yang diterapkan cenderung memprioritaskan stabilitas dan pertumbuhan di atas pemerataan. Materi penelitian menunjukkan bahwa format politik yang birokratis dan otoriter pada masa itu memungkinkan stabilitas relatif, tetapi mengabaikan mekanisme koreksi fundamental dan cenderung memihak pada kelompok ekonomi yang kuat. Akibatnya, sektor pedesaan dan kelompok ekonomi lemah kurang mendapatkan perhatian yang proporsional. Prioritas pada pertumbuhan yang terpusat ini, meskipun menghasilkan angka-angka makroekonomi yang mengesankan, menciptakan fondasi ekonomi yang tampak kokoh namun sejatinya rapuh, sebuah kondisi yang kelak akan terungkap sepenuhnya saat krisis melanda.
Paradigma Pendanaan: Era Utang Pembangunan dan Oil Boom
Salah satu ciri paling mencolok dari kebijakan keuangan Orde Baru adalah paradigmamya yang menganggap utang sebagai “penerimaan pembangunan” dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber utama pendanaan ini berasal dari hibah dan pinjaman luar negeri dari konsorsium negara donor yang awalnya dikenal sebagai Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan kemudian menjadi Consultative Group on Indonesia (CGI). Ketergantungan ini membuat rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai puncaknya pada 1998, membengkak hingga 85,4% dari PDB.
Paradigma pendanaan ini diperkuat oleh fenomena oil boom pada 1970-an. Peningkatan signifikan harga minyak dan gas alam di pasar global menjadikan sektor ini sebagai penggerak utama ekonomi nasional dan memicu masuknya investasi asing. Pemasukan besar dari sektor migas ini digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan, termasuk proyek-proyek produktif, seperti irigasi dan pembangunan infrastruktur. Namun, terdapat efek samping yang signifikan dari ketergantungan ini, yaitu fenomena yang dikenal dalam ilmu ekonomi sebagai Dutch Disease. Fenomena ini terjadi ketika masuknya aliran dana asing yang besar, baik dari ledakan sumber daya alam maupun pinjaman luar negeri, menyebabkan mata uang domestik menguat secara riil. Penguatan mata uang ini, pada gilirannya, membuat ekspor dari sektor non-migas, seperti pertanian dan manufaktur, menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif di pasar internasional. Struktur ekonomi yang dibangun menjadi sangat bergantung pada satu sektor komoditas, mengabaikan diversifikasi yang sehat. Ketika harga minyak anjlok dan krisis moneter melanda pada 1998, fondasi ekonomi yang tidak terdiversifikasi ini runtuh dengan cepat, meninggalkan utang luar negeri yang sangat besar. Keruntuhan ini bukan hanya krisis utang, melainkan krisis struktural yang diwariskan dari strategi pendanaan yang terpusat dan rentan.
Dampak Makroekonomi dan Konsekuensi Jangka Panjang
Pada puncaknya, kebijakan fiskal Orde Baru menunjukkan keberhasilan yang mengesankan. Data menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin dari 70 juta jiwa pada 1970 menjadi 22,5 juta jiwa pada Juni 1996. Laju inflasi juga terkendali dengan baik selama sebagian besar periode, mencapai 9,5% pada tahun 1978. Namun, data yang mengesankan ini menyembunyikan kerapuhan fundamental yang akan segera terungkap.
Paradoks dari keberhasilan yang rapuh ini terlihat jelas saat krisis moneter 1998. Kenaikan inflasi yang tidak terkendali dan lonjakan jumlah penduduk miskin yang brutal menjadi 49,5 juta pada 1998 secara dramatis menunjukkan kegagalan fundamental dari sistem yang dibangun. Stabilitas yang didorong oleh dominasi otoritas dan sumber daya migas tidak menciptakan ketahanan sejati. Ketika terjadi guncangan eksternal, fondasi yang rapuh ini hancur, membalikkan pencapaian ekonomi selama dua dekade dalam waktu singkat. Hal ini membuktikan bahwa stabilitas yang dibangun tanpa akuntabilitas dan diversifikasi ekonomi yang sehat adalah ilusi.
Tabel 1 berikut menyajikan perbandingan indikator makroekonomi utama yang secara visual menggambarkan kerapuhan fondasi ekonomi Orde Baru.
Indikator | Awal Orde Baru (1970) | Puncak Orde Baru (1996) | Pasca-Krisis (1998) |
Jumlah Penduduk Miskin | 70 juta jiwa | 22,5 juta jiwa | 49,5 juta jiwa |
Inflasi | 60% (awal) | 9,5% (1978) | Tidak terkendali |
Rasio Utang terhadap PDB | – | – | 85,4% |
Periode II: Transformasi dan Konsolidasi Pasca-Krisis Reformasi (1998-Sekarang)
Respons Kebijakan Terhadap Krisis Moneter 1998
Krisis moneter 1998 menjadi katalisator bagi revolusi mendalam dalam kebijakan keuangan negara. Belajar dari pengalaman pahit Orde Baru, pemerintah melakukan pergeseran paradigma fundamental dalam APBN, di mana utang tidak lagi dilihat sebagai penerimaan, melainkan sebagai pembiayaan atas defisit anggaran. Perubahan ini secara strategis mengubah cara pandang pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
Selain pergeseran paradigma tersebut, pemerintah mengadopsi langkah-langkah penanganan krisis yang holistik. Upaya dilakukan untuk menstabilkan mata uang melalui instrumen kebijakan moneter, menerapkan kebijakan fiskal yang hati-hati dengan mengurangi pengeluaran yang tidak efisien, dan melakukan restrukturisasi utang. Perubahan ini menandai pergeseran dari ketergantungan pada pinjaman lunak (soft loan) dari lembaga donor menjadi instrumen pembiayaan yang lebih modern dan berbasis pasar, seperti penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan sukuk. Langkah ini menunjukkan upaya untuk mengurangi campur tangan asing dan membangun kemandirian fiskal, yang pada akhirnya memuncak pada keberanian untuk melunasi utang kepada IMF.
Pilar-Pilar Reformasi Keuangan NegaraEra Reformasi dibangun di atas pilar-pilar perbaikan fundamental dalam pengelolaan keuangan negara. Salah satu pilar terpenting adalah pembentukan paket tiga undang-undang di bidang Keuangan Negara pada 2003-2004, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Keberhasilan perwujudan paket undang-undang ini bertujuan untuk menciptakan sistem fiskal yang lebih tertib, transparan, dan akuntabel.
Pilar penting lainnya adalah desentralisasi fiskal. Tujuannya adalah untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan mereka sendiri, yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya dan membuat pengelolaan keuangan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. Namun, implementasi desentralisasi ini menghadapi tantangan. Analisis empiris menunjukkan bahwa alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) di daerah tertinggal tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Selain itu, terdapat temuan bahwa implementasi desentralisasi fiskal cenderung mengurangi efisiensi belanja daerah, di mana belanja masih lebih banyak dialokasikan untuk belanja birokrasi, bukan untuk layanan publik yang efektif.
Di samping itu, reformasi juga mencakup peningkatan sistem perpajakan. Upaya dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pemungutan pajak, menyederhanakan sistem, dan meningkatkan kepatuhan pajak masyarakat. Upaya ini mencakup perbaikan dalam administrasi perpajakan dan peningkatan transparansi penggunaan dana pajak untuk membangun kepercayaan publik.
Periode III: Kebijakan Keuangan di Era Saat Ini (2020-an)
Kebijakan fiskal di era saat ini, terutama yang tercermin dalam APBN 2025, diarahkan untuk menjadi APBN transisi yang mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045. APBN ini dirancang untuk menjadi instrumen sentral dalam melindungi masyarakat, menggerakkan pemulihan ekonomi, dan bertindak sebagai shock absorber di tengah ketidakpastian global. Arah kebijakan ini berfokus pada strategi collecting more, spending better, yang bertujuan untuk mengoptimalkan pendapatan negara sambil meningkatkan efisiensi dan kualitas belanja agar efektif mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Tabel 2 berikut menyajikan ringkasan postur APBN 2025 yang menggambarkan strategi tersebut.
Postur APBN 2025 | Angka (Rp triliun) |
Pendapatan Negara | 3.005,1 |
Penerimaan Perpajakan | 2.490,9 |
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) | 513,6 |
Belanja Negara | 3.621,3 |
Belanja Pemerintah Pusat | 2.701,4 |
Transfer ke Daerah | 919,9 |
Defisit | -616,2 |
Pembiayaan Defisit | |
Pembiayaan Utang | 775,9 |
Strategi Pembiayaan Proyek Strategis Nasional (PSN)
Untuk mencapai tujuan pembangunan yang ambisius, pemerintah di era saat ini menyadari bahwa APBN dan APBD saja tidak lagi cukup untuk membiayai seluruh Proyek Strategis Nasional (PSN). Sebagai respons, pemerintah telah mengembangkan skema pembiayaan yang inovatif dan mendiversifikasi sumber pendanaan. Berbeda dengan era Orde Baru yang sangat bergantung pada utang luar negeri, saat ini pemerintah berupaya mendistribusikan risiko dan beban pembiayaan dengan melibatkan berbagai pihak.
Skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) menjadi salah satu pendekatan yang didorong. Selain itu, pemerintah juga menjajaki pendekatan baru seperti Land Value Capture (LVC), yang bertujuan untuk memulihkan dan menginvestasikan kembali peningkatan nilai ekonomi yang dihasilkan dari investasi publik. Lebih lanjut, peran Indonesia Investment Authority (INA) dimaksimalkan untuk mendanai PSN baik dalam bentuk ekuitas maupun pinjaman.
Strategi ini adalah manifestasi konkret dari pelajaran yang dipetik dari keruntuhan ekonomi Orde Baru. Alih-alih mengandalkan utang luar negeri yang terpusat dan berisiko , pemerintah kini mendistribusikan risiko dan beban pembiayaan kepada sektor swasta, BUMN, dan lembaga keuangan domestik. Pergeseran ini tidak hanya mengurangi beban fiskal, tetapi juga menciptakan fondasi yang lebih stabil dan berkelanjutan untuk pembangunan jangka panjang, karena tidak lagi terikat pada fluktuasi komoditas atau pinjaman luar negeri yang rentan intervensi.
Konsolidasi Fiskal dan Reformasi Berkelanjutan
Di tengah ambisi pembangunan yang besar, pemerintah juga terus mendorong agenda konsolidasi fiskal melalui reformasi berkelanjutan. Salah satu agenda utama adalah reformasi perpajakan, yang terus ditingkatkan, dengan agenda reformasi terbaru direncanakan untuk tahun 2025. Tujuan reformasi ini adalah untuk meningkatkan kepatuhan pajak, memperluas basis pajak, dan memanfaatkan teknologi informasi dalam administrasi perpajakan.
Kebijakan fiskal saat ini menyeimbangkan antara dua tujuan yang seringkali berlawanan: stimulus ekonomi jangka pendek (melalui belanja dan proyek) dan konsolidasi fiskal jangka panjang (melalui peningkatan pendapatan). APBN 2025 secara eksplisit mencerminkan dualitas ini dengan fokus pada pemulihan ekonomi seraya melakukan konsolidasi fiskal secara bertahap. Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk melaksanakan reformasi pajak dan mendorong investasi tanpa membebani masyarakat dan pelaku usaha, yang merupakan kunci untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Analisis Komparatif, Proyeksi, dan Rekomendasi Kebijakan
Perbandingan Paradigma Antar Era
Tinjauan historis menunjukkan evolusi yang signifikan dalam kebijakan keuangan negara Indonesia. Periode Orde Baru didominasi oleh pendekatan Growth-First, yang berfokus pada stabilitas dan pertumbuhan yang dipimpin oleh negara dengan mengandalkan sentralisasi dan utang luar negeri sebagai penerimaan. Keruntuhan sistem ini memicu era Reformasi, yang mengadopsi pendekatan Stabilization & Reform, di mana utang beralih fungsi menjadi pembiayaan defisit dan pilar-pilar transparansi, akuntabilitas, serta desentralisasi dibangun melalui kerangka hukum baru. Era saat ini, yang berorientasi pada Sustainable & Inclusive Growth, mengambil pelajaran dari kedua era sebelumnya. Era ini menggabungkan ambisi pembangunan dengan kehati-hatian fiskal, mendiversifikasi sumber pendanaan, dan menjadikan APBN sebagai instrumen strategis untuk mencapai visi jangka panjang.
Peran utang adalah cerminan paling jelas dari evolusi ini. Utang bertransformasi dari katalis pembangunan (Orde Baru) menjadi ancaman yang harus dikelola (Reformasi) dan kini menjadi salah satu instrumen pembiayaan yang harus didiversifikasi (Saat ini).
Dimensi | Orde Baru | Reformasi | Saat Ini |
Filosofi Kebijakan | Trilogi Pembangunan | Stabilisasi, Transparansi, dan Desentralisasi | Akselerasi Pertumbuhan Inklusif dan Berkelanjutan |
Peran APBN | Alat pembangunan terpusat | Konsolidasi dan perbaikan struktural | Shock absorber dan instrumen transisi |
Paradigma Utang | Penerimaan pembangunan | Pembiayaan defisit | Instrumen pembiayaan yang diversifikasi |
Strategi Pendanaan Pembangunan | Pinjaman lunak luar negeri (IGGI/CGI) | Penerbitan SUN/sukuk, privatisasi | KPBU, LVC, INA, kolaborasi dengan swasta |
Kerangka Hukum | – | Paket UU Keuangan Negara 2003-2004 | Reformasi perpajakan dan inovasi regulasi |
Isu Kunci | Ketergantungan migas, Dutch Disease, sentralisasi | Inefisiensi desentralisasi, penanganan krisis | Keseimbangan stimulus dan konsolidasi, pembiayaan PSN |
Proyeksi dan Tantangan di Masa Depan
Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan, di mana keberhasilan kebijakan fiskal akan sangat menentukan tercapainya visi Indonesia Emas 2045. Tantangan yang dihadapi tidaklah kecil, termasuk dinamika geopolitik global, fragmentasi ekonomi, dan kebutuhan untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan inflasi dan suku bunga. Mengelola keseimbangan antara kebutuhan belanja besar untuk proyek-proyek strategis dengan keharusan untuk menjaga keberlanjutan fiskal akan menjadi ujian utama bagi pemerintah.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis komparatif ini, beberapa rekomendasi kebijakan strategis dapat diajukan untuk memperkuat ketahanan fiskal Indonesia di masa depan. Pertama, efektivitas desentralisasi fiskal harus ditingkatkan dengan mengatasi hambatan birokrasi dan memastikan bahwa transfer dana ke daerah benar-benar diterjemahkan menjadi peningkatan layanan publik dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Kedua, reformasi perpajakan harus dipercepat dengan fokus pada perluasan basis pajak, penggunaan teknologi, dan penguatan transparansi, sehingga tercipta sistem yang lebih adil dan efisien. Terakhir, pemerintah perlu terus memperkuat dan memperluas skema pembiayaan inovatif untuk proyek-proyek strategis. Diversifikasi ini tidak hanya akan mengurangi beban APBN tetapi juga mengundang partisipasi swasta secara lebih intensif, yang akan menjadi kunci untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka :
- Tujuan Setiap Tahap Pelita pada Masa Orde Baru – Kompas.com, diakses Agustus 18, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2023/01/24/180000579/tujuan-setiap-tahap-pelita-pada-masa-orde-baru
- Isi delapan jalur pemerataan yang ditetapkan pemerintah Orde Baru sejak pembangunan lima – Mas Dayat, diakses Agustus 18, 2025, https://www.masdayat.net/2020/01/isi-delapan-jalur-pemerataan-yang.html
- 182 NEGARA ORDE BARU: BERDIRI DI ATAS SISTEM EKONOMI DAN POLITIK YANG RAPUH Budi Rajab Staf Pengajar Jurusan Antropologi, Fakul – Jurnal Universitas Padjadjaran, diakses Agustus 18, 2025, https://journals.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/5528/2890
- Paradigma Utang dari Masa ke Masa – Direktorat Jenderal Strategi …, diakses Agustus 18, 2025, https://fiskal.kemenkeu.go.id/kajian/2009/06/04/074302414511634-paradigma-utang-dari-masa-
- perbaikan pengelolaan keuangan negara dalam era reformasi – BPK RI, diakses Agustus 18, 2025, https://www.bpk.go.id/assets/files/attachments/2009/04/dialog-publik-manado2.pdf
- Utang Luar Negeri Pasca-Reformasi – Kompas.com, diakses Agustus 18, 2025, https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/11/080000279/utang-luar-negeri-pasca-reformasi
- PENANAMAN MODAL ASING SEKTOR PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI NASIONAL PADA MASA ORDE BARU TAHUN 1967-1981 – E-Journal Unesa, diakses Agustus 18, 2025, https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/15864/14387
- The Dutch disease, natural resource booms and policy adjustments: The case of Indonesia, diakses Agustus 18, 2025, https://openresearch-repository.anu.edu.au/server/api/core/bitstreams/a94b3da4-8bc3-4884-8f3b-378b9e5f04d0/content
- Angka Kemiskinan Indonesia Sentuh 9,66%, Terendah Sepanjang …, diakses Agustus 18, 2025, https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/3e60eb386ad9be6/angka-kemiskinan-indonesia-sentuh-966-terendah-sepanjang-sejarah
- Makna Lima Ratus Juta Rupiah – Direktorat Jenderal Pajak, diakses Agustus 18, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/makna-lima-ratus-juta-rupiah
- Cara Mengatasi Krisis Moneter – Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMSU, diakses Agustus 18, 2025, https://feb.umsu.ac.id/cara-mengatasi-krisis-moneter/
- Perbaikan dan Penguatan Keuangan Negara … – Jurnal Sinesia, diakses Agustus 18, 2025, https://jurnal.sinesia.id/index.php/Equality-JLJ/article/download/17/4/277
- DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL PADA DAERAH TERTINGGAL DI INDONESIA – Jurnal DPR RI, diakses Agustus 18, 2025, https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/146
- ANALISIS DINAMIS DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP EFISIENSI BELANJA KESEHATAN DAN KESEJAHTERAAN, diakses Agustus 18, 2025, https://jurnal.pknstan.ac.id/index.php/JIA/article/download/1621/879/7587
- Informasi APBN Tahun Anggaran 2025 – Kementerian Keuangan, diakses Agustus 18, 2025, https://media.kemenkeu.go.id/getmedia/c4cc1854-96f4-42f4-95b8-94cf49a46f10/Informasi-APBN-Tahun-Anggaran-2025.pdf?ext=.pdf
- Opini: Kebijakan Fiskal 2025, Titik Tolak Menuju Indonesia Emas, diakses Agustus 18, 2025, https://www.ssas.co.id/opini-kebijakan-fiskal-2025-titik-tolak-menuju-indonesia-emas/
- KPPIP Mengajak Swasta Terlibat Lebih Intensif dalam Pembangunan PSN, diakses Agustus 18, 2025, https://kppip.go.id/berita/kppip-mengajak-swasta-terlibat-lebih-intensif-dalam-pembangunan-psn/
- Proyek Strategis Nasional (PSN) – Website DJKN, diakses Agustus 18, 2025, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-jabar/baca-artikel/15970/Proyek-Strategis-Nasional-Dari-Kita-Untuk-Bangsa.html
- PERCEPATAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL 13 – DPR RI, diakses Agustus 18, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/info_singkat/Info%20Singkat—16-II-P3DI-Agustus-2022-1957.pdf
- Pengembangan Skema Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Melalui Kebijakan Land Value Capture di Indonesia – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, diakses Agustus 18, 2025, https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/3155/pengembangan-skema-alternatif-pembiayaan-infrastruktur-melalui-kebijakan-land-value-capture-di-indonesia
- PEMERINTAH GARAP PERPRES BARU TERKAIT DUA SKEMA PEMBIAYAAN ALTERNATIF UNTUK TUNTASKAN PSN – Perkumpulan Ahli Profesional KPBU Indonesia, diakses Agustus 18, 2025, https://www.ahlikpbuindonesia.or.id/berita-dan-kegiatan/pemerintah-garap-perpres-baru-terkait-dua-skema-pembiayaan-alternatif-untuk-tuntaskan-psn/
- Reformasi Perpajakan Indonesia 2025: Langkah Menuju Sistem yang Lebih Adil dan Modern, diakses Agustus 18, 2025, https://www.mediajustitia.com/edukasi-hukum/reformasi-perpajakan-indonesia-2025-langkah-menuju-sistem-yang-lebih-adil-dan-modern/
- Reformasi Pajak di Indonesia: Menyongsong Tahun 2025 dengan Kebijakan Baru, diakses Agustus 18, 2025, https://expert-taxindonesia.com/reformasi-pajak-di-indonesia-menyongsong-tahun-2025-dengan-kebijakan-baru/