Dulu, cinta adalah tangan yang gemetar,
di tengah hujan yang tak kunjung reda.
Tatapan yang diam-diam bicara,
tentang rindu yang belum punya nama.
Kini, cinta adalah percakapan singkat,
di antara jadwal dan notifikasi.
Adalah pesan yang dibaca,
tapi tak lagi perlu dijawab.
Dulu, cinta adalah waktu yang melambat,
detik yang ingin kita genggam lebih lama.
Kini, ia berlari secepat sinyal,
dan hilang dalam sinisnya algoritma.
Cinta dulu adalah puisi yang tak selesai,
gugup, jujur, dan sedikit berantakan.
Sekarang ia disunting rapi,
dengan emoji, filter, dan ekspektasi.
Apakah cinta masih ada,
atau hanya nostalgia tentang cinta itu sendiri?
Apakah ia berubah, ataukah kita yang lupa
bagaimana rasanya mencinta tanpa syarat?
Namun di balik perubahan yang diam-diam,
masih tersisa satu getar yang tak bisa ditipu—
bahwa cinta, meski berganti rupa,
tetap mencari rumah dalam dada yang bersedia.