SEJAK tahun 2001, bulan September bukan lagi dikenal sebagai bulan kesembilan dalam penanggalan Masehi. Bulan ini adalah bulan di mana sebuah peristiwa besar terjadi, penghancuran gedung WTO di New York. Peristiwa yang lalu dikenal dengan nama “Peristiwa 11 September” ini tercatat dengan tinta merah dalam sejarah manusia.
Peristiwa 11 September membangunkan Amerika Serikat (AS), bahwa negara ini bisa diserang secara tidak terduga. Sejak peristiwa ini, rakyat AS sadar, tidak ada pertahanan yang sempurna.
Cile dan Indonesia
Apabila Anda bicara dengan orang Cile, Peristiwa 11 September berarti lain. Pada 11 September 1973, sebuah kudeta militer yang kejam, dipimpin Jenderal Augusto Pinochet, terjadi. Presiden Cile Salvador Allende, seorang demokrat dan penganut ajaran sosialisme, dikabarkan bunuh diri dengan menembak kepalanya, saat militer melakukan kudeta dan menyerbu masuk istananya. (Tetapi banyak orang percaya, sang presiden tidak bunuh diri. Ia ditembak mati karena dalam pidato terakhir yang disiarkan sebelumnya, dia mengatakan dia tidak akan bunuh diri.)
Sesudah itu ribuan anggota Partai Komunis dan Partai Sosialis ditangkap. Sekitar 3.000 orang atau 0,03 persen dari penduduk Cile yang berjumlah 10 juta orang saat itu mati atau hilang.
Bagi orang Indonesia, September merupakan bulan penting karena peristiwa Gerakan 30 September 1965, di mana enam jenderal dan seorang letnan Angkatan Darat diculik lalu dibunuh secara kejam. Partai Komunis Indonesia dianggap bertanggung jawab.
Maka, akibatnya, kelompok militer yang dipimpin Mayjen Soeharto memukul balik, menangkapi orang PKI dan orang kiri lainnya, lalu membunuhnya. Diperkirakan, dalam waktu sekitar enam bulan, sekitar setengah sampai satu juta orang mati terbunuh (sama dengan 0,3 persen atau 0,6 persen dari 150 juta penduduk Indonesia saat itu). Ini berarti, dalam persentase, yang terbunuh di Indonesia adalah 10 kali lipat dari yang mati di Cile.
Yang menarik, keterlibatan Pemerintah AS pada kedua kudeta itu, melalui CIA. Di Cile, keterlibatan ini menjadi jelas saat sebuah komisi di Kongres AS dibentuk beberapa tahun kemudian untuk menyelidiki hal ini. Hasil yang dilaporkan, CIA memang terlibat. Bukan saja pada kudeta tahun 1973, tetapi juga pada kudeta yang gagal sebelumnya yang dilakukan kelompok militer. Juga terungkap, AS memberi bantuan keuangan terhadap partai politik yang antikomunis dan membiayai kampanye antikomunis yang dilakukan melalui media di zaman Presiden Allende. Dokumen ini dikenal dengan nama “Track 1” dan “Track 2”.
Di Indonesia, keterlibatan AS juga terbukti setelah publik diperbolehkan melihat dokumen yang semula masuk ke dalam kategori top secret, setelah dokumen ini berumur beberapa puluh tahun. Dari dokumen itu tampak adanya hubungan antara CIA dan militer Indonesia dalam usaha menumpas PKI. CIA rupanya sudah tahu bahwa G30S akan terjadi, bahkan kemungkinan mereka ikut merencanakannya. Setelah G30S terjadi, CIA memberikan daftar nama anggota PKI yang oleh militer lalu ditangkap dan dibunuh. Sebuah film dokumenter yang bagus tentang keterlibatan AS dalam peristiwa G30S baru-baru ini dibuat, berjudul Shadow Player.
Dari uraian itu tampak, apa yang terjadi di Cile tahun 1973 banyak persamaannya dengan yang terjadi di Indonesia tahun 1965. Mula-mula ada presiden kiri yang berkuasa (Soekarno dan Allende). Kemudian ada kudeta militer, dan kedua presiden disingkirkan. Bedanya, Soekarno dikucilkan dari kekuasaan, Allende mati dibunuh.
Sesudah itu ada penangkapan diikuti pembunuhan massal, ribuan korban jatuh. Jenderal Pinochet rupanya tahu apa yang terjadi di Indonesia tahun 1965, lalu melaksanakan skenario yang sama dengan tujuan yang sama, yakni menyapu bersih unsur politik kiri dari kehidupan politik di negaranya. Pinochet mengikuti tindakan seperti dilakukan Soeharto. Karena itu, oleh Pinochet, rencana kudeta terhadap Allende dinamakan “Operasi Jakarta”. Dalam kedua peristiwa itu, keterlibatan AS melalui CIA amat besar.
Cile dan Indonesia seusai kudeta
Apa yang terjadi kemudian di Indonesia dan di Cile juga banyak persamaannya.
Di Indonesia, kudeta militer ini didukung partai politik sipil, terutama partai Islam yang memang antikomunis. Segera setelah orang komunis disingkirkan, partai politik ini mengharapkan lahirnya sebuah sistem politik yang demokratis, yang akan diberikan kelompok militer. Ternyata mereka kecewa karena militer yang telah berhasil menggulingkan pemerintah yang otoriter tampaknya tidak berencana memulihkan demokrasi. Dalam waktu tidak terlalu lama, Soeharto mulai memerintah secara otoriter, dengan mengebiri partai politik yang ada sehingga tinggal tiga buah saja. Ketiga partai yang tinggal pun dimanipulasi habis- habisan oleh pemerintah Soeharto.
Apa yang terjadi di Cile juga tak banyak bedanya. Kudeta Pinochet didukung partai-partai sipil, terutama partai-partai Kristen seperti Partai Kristen Demokrat yang merupakan partai terbesar. Tokoh partai sipil ini juga mengharapkan, segera sesudah menyingkirkan Allende melalui kudeta, militer akan memulihkan kekuasaan parlemen, yang kemudian akan menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis. Akan tetapi, semua ini cuma merupakan harapan hampa. Langkah ke arah pemerintah militer yang otoriter kian nyata. Puncaknya terjadi beberapa tahun kemudian saat pemerintah militer membubarkan semua partai sipil.
Di bidang ekonomi, hal yang sama terjadi. Di Indonesia, setelah Soeharto berhasil mengonsolidasikan kekuasaannya, Pemerintah AS, beberapa pemerintah lain di Eropa Barat, dan Jepang, segera menjadwalkan kembali pembayaran utang Indonesia yang dibuat di zaman Soekarno dan memberi bantuan keuangan cukup besar. Bank Dunia dan IMF lalu masuk lagi ke Indonesia setelah Soekarno mengusirnya beberapa tahun lalu.
Di Cile, hal yang sama terjadi. Bantuan uang dan bantuan lain dari AS segera masuk, dari AID, bantuan pangan PL480, penjadwalan ulang utang-utang AS, bantuan dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Antar-Amerika, dan sebagainya.
Hasilnya? Ekonomi Indonesia dan Cile mengalami kemajuan. Sayang, pembangunan ekonomi yang sudah bergerak maju ini memburuk lagi karena terjadinya korupsi besar-besaran yang dilakukan para pejabat tinggi negara. Kemunduran ini terjadi seiring dengan makin otoriternya pemerintah sehingga rakyat tidak bisa mengontrolnya lagi.
Dalam hal mempertahankan kekuasaannya, Soeharto lebih terampil dari Pinochet meski keduanya mengakhiri karier politiknya secara terhina dan dibenci rakyatnya sendiri. Pinochet disingkirkan melalui sebuah referendum di akhir tahun 1980-an. Dia berhasil bertahan sebagai Panglima Angkatan Bersenjata. Tetapi kemudian, tahun lalu dia secara terhina ditahan di Inggris saat sedang berobat dengan tuduhan melakukan “kejahatan terhadap kemanusiaan” oleh pengadilan di Spanyol (diadukan oleh para warga Cile di sana yang menjadi korban kekejaman pemerintah Pinochet saat berkuasa dulu). Dia memang berhasil kembali ke Cile, tetapi sulit baginya kini untuk bepergian ke luar negeri lagi.
Soeharto berkuasa jauh lebih lama. Dia tidak tersingkirkan hingga tahun 1998, saat militer, anggota parlemen, dan tokoh politik mencabut dukungannya setelah mendapat tekanan dari mahasiswa dan rakyat yang berdemonstrasi setiap hari di jalanan. Soeharto kini sedang diadili atas tuduhan korupsi. Namun, pengadilan ini tertunda karena tim dokter Soeharto melindunginya dengan mengatakan bahwa dia masih sakit, tidak bisa datang ke pengadilan. Sementara para mahasiswa terus menekan agar pemerintah segera menyeretnya ke pengadilan karena mereka beranggapan Soeharto hanya pura-pura sakit. Ini merupakan akhir yang terhina bagi bekas orang yang pernah sangat kuat di Indonesia.
Referensi : Arief Budiman, http://unisosdem.org/article_detail.php?aid=2755&coid=3&caid=22&gid=4
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0309/30/opini/590480.htm