Ekonomi Indonesia pada tahun 2025 menampilkan resiliensi yang kuat di tengah gejolak pasar keuangan dan fragmentasi geopolitik global. Kinerja ini didukung oleh keberhasilan awal transformasi struktural berbasis hilirisasi industri dan kebijakan moneter yang adaptif. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kumulatif dari Januari hingga September 2025 tercatat sebesar 5.01% , dengan pertumbuhan Kuartal III 2025 mencapai 5.04% (Y-o-Y).
Namun, laporan ini menggarisbawahi adanya divergensi tajam antara target pertumbuhan Pemerintah yang ambisius untuk tahun 2026 (5.4%) dan proyeksi yang lebih realistis dari lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (kisarannya 4.8% hingga 4.9%). Kesenjangan ini mencerminkan perbedaan asumsi mengenai mitigasi risiko eksternal yang diprediksi mencapai puncaknya pada 2026, seperti kebijakan tarif resiprokal AS dan berakhirnya fenomena export front-loading.
Rekomendasi Prioritas (Actionable Recommendations): Untuk mencapai pertumbuhan yang lebih tinggi dan inklusif di tahun 2026, fokus kebijakan harus beralih dari stimulus fiskal jangka pendek ke reformasi struktural yang mendalam. Kebijakan harus diprioritaskan pada penguatan ketahanan fiskal melalui reformasi perpajakan, diversifikasi pasar ekspor, dan yang terpenting, reformasi Sumber Daya Manusia (SDM) skala besar untuk mengatasi kesenjangan keterampilan (skill gap) yang mengancam inklusivitas manfaat hilirisasi.
Kaleidoskop Capaian Ekonomi 2025: Resiliensi di Tengah Gejolak
Dinamika Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
Kinerja Makro Kuantitatif
Kinerja ekonomi Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan stabilitas yang konsisten dengan ambang batas psikologis 5%. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5.04% secara tahunan (Y-o-Y) pada Kuartal III 2025. Kinerja ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan 5.12% pada kuartal sebelumnya, namun pertumbuhan kumulatif dari Januari hingga September 2025 tetap solid di angka 5.01%. Secara nominal, PDB mencapai IDR 6,060 triliun pada kuartal tersebut, sementara PDB atas dasar harga konstan 2010 mencapai IDR 3,444.8 triliun.
Kontributor Pertumbuhan Bergeser
Analisis komponen PDB menunjukkan adanya pergeseran struktural yang positif namun krusial. Konsumsi rumah tangga (RT), yang secara historis menyumbang lebih dari separuh PDB, menunjukkan pertumbuhan yang solid sebesar 4.89%. Meskipun kontribusi ini besar, terjadi sedikit perlambatan dibandingkan pertumbuhan 4.97% pada kuartal sebelumnya. Stabilitas PDB di atas 5% di tengah sedikit pelambatan konsumsi menunjukkan bahwa motor pertumbuhan mulai diimbangi oleh sektor lain, terutama dari sisi eksternal dan investasi.
Ekspor barang dan jasa mencatat pertumbuhan tertinggi di antara semua komponen PDB, dengan peningkatan sebesar 9.91% secara tahunan dan 6.77% secara kuartalan. Kinerja ekspor yang kuat ini merupakan keberhasilan awal reformasi struktural, khususnya kebijakan hilirisasi, yang berhasil meningkatkan nilai tambah komoditas non-tradisional. Selain itu, dorongan dari sisi produksi terlihat dari sektor Listrik dan Gas yang mengalami pertumbuhan kuartalan (Q-to-Q) tertinggi sebesar 5.42%. Lonjakan aktivitas Listrik/Gas ini berkorelasi positif dengan industrialisasi intensif energi, seperti pengoperasian smelter mineral baru, yang memberikan ‘nafas’ fiskal dan moneter di tahun 2025.
Peningkatan aktivitas industri yang tercermin dari pertumbuhan sektor Listrik dan Gas harus dipertimbangkan sebagai indikator kuat bahwa pembangunan rantai nilai hilirisasi mulai memberikan dampak sistemik pada PDB. Namun, terdapat risiko bahwa lonjakan ekspor di tahun 2025 sebagian didorong oleh fenomena export front-loading, di mana eksportir mempercepat pengiriman barang sebelum kebijakan tarif atau ketidakpastian global memburuk. Jika demikian, kinerja ekspor yang luar biasa ini dapat menciptakan basis perbandingan yang tinggi dan berpotensi menyebabkan pelemahan ekspor yang signifikan di tahun 2026.
Stabilitas Moneter dan Transmisi Kebijakan
Suku Bunga dan Inflasi
Bank Indonesia (BI) telah mengambil pendekatan pro-pertumbuhan yang hati-hati sepanjang tahun 2025. BI mempertahankan BI-Rate pada level 4.75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) November 2025. Keputusan ini diambil setelah BI secara total memangkas suku bunga acuan sebesar 125 basis poin sepanjang tahun 2025.
Kebijakan moneter BI didukung oleh keyakinan bahwa inflasi, baik pada tahun 2025 maupun proyeksi 2026, akan tetap terjaga rendah, berada dalam sasaran 2.5% -1%. Stabilitas inflasi inti, didukung oleh ekspektasi yang terjangkar dan terkendalinya imported inflation, memberikan ruang bagi BI untuk mengalihkan fokus dari pengetatan menuju upaya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Stabilitas Rupiah dan Kebijakan The Fed
Meskipun BI mempertahankan suku bunga, strategi ini konsisten dengan fokus jangka pendek pada stabilisasi nilai tukar Rupiah dan menarik aliran masuk investasi portofolio asing. Menjelang akhir tahun 2025, Rupiah menunjukkan volatilitas yang terkendali, diperdagangkan di sekitar Rp16.656 per USD pada 12 Desember 2025.
Keputusan BI untuk menahan suku bunga di 4.75% di tengah langkah dovish Federal Reserve (The Fed) di AS menciptakan jendela peluang penting. The Fed, pada Desember 2025, memutuskan memotong suku bunga menjadi 3.50% hingga 3.75%, level terendah dalam tiga tahun. Penurunan suku bunga AS ini cenderung melemahkan Dolar AS, mengurangi tekanan pelemahan pada Rupiah dan membuat aset berbasis Rupiah (seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia/SRBI) tetap menarik bagi investor global. Kondisi ini memungkinkan BI untuk lebih fokus pada pertumbuhan domestik melalui pelonggaran makroprudensial tanpa mengorbankan stabilitas eksternal.
Penguatan Transmisi Kredit
Untuk memastikan bahwa relaksasi moneter memiliki dampak nyata pada perekonomian, BI telah memperkuat pelonggaran kebijakan makroprudensial. Kebijakan ini bertujuan mempercepat transmisi penurunan suku bunga dan kenaikan pertumbuhan kredit/pembiayaan ke sektor riil, khususnya sektor-sektor prioritas Pemerintah. Dampak lag dari penurunan BI-Rate sebanyak 125 basis poin sepanjang tahun 2025 diperkirakan baru akan terasa signifikan pada peningkatan kredit usaha dan konsumsi di tahun 2026. Dengan mengelola struktur suku bunga instrumen moneter dan melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder secara terukur , BI berupaya menciptakan kondisi likuiditas yang cukup di pasar uang untuk mendukung pembiayaan ekonomi berkelanjutan.
Arsitektur Kebijakan 2025-2026: Sinergi, Hilirisasi, dan Fiskal
Konsolidasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Sinergi antara kebijakan fiskal yang diemban oleh Kementerian Keuangan dan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia menjadi pilar penting dalam menjaga stabilitas dan mendukung program strategis Pemerintah. Dalam rangka mendukung pembiayaan APBN, BI secara aktif membeli SBN di pasar sekunder, yang hingga 18 November 2025 telah mencapai Rp289.91 triliun, termasuk melalui program debt switching dengan Pemerintah sebesar Rp212.60 triliun.
Dukungan likuiditas melalui pembelian SBN oleh BI sangat krusial, terutama di tengah kebutuhan stimulus fiskal pemerintahan baru (seperti Program Danantara dan program makan bergizi gratis yang menuntut alokasi sekitar Rp750 triliun). Namun, sinergi yang terlalu erat ini perlu dikelola dengan hati-hati. Pembelian SBN oleh bank sentral dalam skala besar, jika tidak dilakukan secara terukur dan transparan sesuai mekanisme pasar, berisiko memunculkan persepsi dominasi fiskal (fiscal dominance), yang dalam jangka panjang dapat mengancam independensi moneter dan stabilitas ekspektasi inflasi, meskipun saat ini inflasi masih terkendali.
Transformasi Struktural: Dampak dan Dilema Hilirisasi
Realisasi Investasi Berbasis Hilirisasi
Hilirisasi telah menjadi mesin investasi utama pada tahun 2025. Realisasi investasi secara kumulatif dari Kuartal I hingga Kuartal III 2025 mencapai Rp 1.434 triliun, meningkat 13.7% secara tahunan (Y-o-Y). Realisasi investasi pada Kuartal III 2025 sendiri tembus Rp 491.4 triliun, dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan kebijakan hilirisasi menjadi penggerak utama.
Kualitas investasi ini membaik karena didukung oleh PMDN yang kuat, yang menunjukkan adanya pembangunan rantai nilai domestik yang lebih stabil dan berkelanjutan, dibandingkan jika hanya mengandalkan Penanaman Modal Asing (PMA) yang rentan terhadap penarikan modal cepat. Bukti kuantitatif dari keberhasilan hilirisasi terlihat pada sektor nikel, di mana ekspor nikel dan produk turunannya melonjak sepuluh kali lipat, dari USD 3.3 miliar menjadi USD 33.9 miliar dalam beberapa tahun. Lonjakan nilai tambah ini membuktikan kemampuan hilirisasi untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional secara makro.
Dilema Keberlanjutan dan Ketenagakerjaan
Meskipun secara makroekonomi hilirisasi menunjukkan capaian luar biasa, terdapat dilema keberlanjutan dan inklusivitas yang harus segera diatasi. Analisis menunjukkan bahwa proyek hilirisasi, termasuk nikel di Sulawesi, telah menyerap ribuan tenaga kerja lokal, contohnya mencapai 8.000 orang di satu wilayah. Namun, di sisi lain, kritik muncul mengenai dampak struktural yang kurang inklusif.
Beberapa laporan menyoroti bahwa kenaikan PDRB regional sebesar 10% yang diklaim dari proyek hilirisasi belum sepenuhnya mencerminkan pertumbuhan yang berkelanjutan. Terdapat masalah mendasar dalam kesenjangan keterampilan (skill gap) tenaga kerja lokal untuk mengisi posisi-posisi berteknologi tinggi di industri smelter.7 Kegagalan menyiapkan human capital yang relevan berisiko menciptakan ketergantungan pada tenaga kerja asing di sektor inti dan meningkatkan disparitas pendapatan regional, meskipun nilai ekspor dan investasi naik.
Keterbatasan Ruang Fiskal APBN 2026
Pemerintah menargetkan pertumbuhan PDB 2026 sebesar 5.4% dengan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang memproyeksikan defisit sebesar 2.48% dari PDB. Belanja APBN dialokasikan secara strategis, termasuk Rp1.639,2 triliun untuk Belanja Non-Kementerian/Lembaga yang diarahkan pada subsidi tepat sasaran dan pengelolaan utang (termasuk bunga utang).
Namun, tantangan terbesar bagi Pemerintah di tahun 2026 adalah terbatasnya ruang fiskal, yang dipicu oleh rendahnya rasio pajak (Tax Ratio). Proyeksi Tax Ratio tahun 2026 hanya sebesar 9.85%.23 Angka ini jauh di bawah batas optimal 10% dan dinilai membatasi efektivitas APBN sebagai motor pertumbuhan dan inovasi. Jika rasio pajak tetap rendah, Pemerintah akan dipaksa untuk memilih antara meningkatkan pembiayaan utang (menciptakan risiko fiskal) atau memangkas belanja non-prioritas (mengorbankan pelayanan publik) untuk mendanai program prioritas ambisius seperti Program Danantara. Oleh karena itu, rekalibrasi program strategis dan reformasi perpajakan yang mendalam menjadi prasyarat untuk menjaga keberlanjutan APBN.
Proyeksi Pertumbuhan 2026: Divergensi Optimisme vs. Realisme
Perbandingan Proyeksi Pertumbuhan PDB 2026
Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2026 menunjukkan divergensi yang signifikan antara optimisme Pemerintah dan pandangan yang lebih konservatif dari lembaga multilateral, sebuah dinamika yang menjadi indikator utama tingkat ketidakpastian yang dihadapi.
Pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5.4%. Target ini didasarkan pada ekspektasi transmisi penuh dari pelonggaran moneter (efek lag penurunan BI-Rate 2025) dan percepatan program investasi strategis, seperti Program Danantara.
Sebaliknya, lembaga internasional cenderung lebih konservatif dalam menilai prospek 2026, terutama karena sensitivitas mereka terhadap risiko eksternal yang membayangi. Dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2025, IMF merevisi proyeksi pertumbuhan Indonesia menjadi 4.9%. Senada dengan itu, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan sebesar 4.8% dan memprediksi level ini akan bertahan hingga 2026. Proyeksi dari analis pasar dan Bank Indonesia berada di tengah-tengah, dengan BI memprediksi rentang 4.9% hingga 5.7%, dan analis Permata Bank memproyeksikan 5.1% hingga 5.2%.
Kesenjangan proyeksi (sekitar 0.5-0.6 poin persentase) antara Pemerintah (5.4%) dan IMF/Bank Dunia (4.8-4.9%) menunjukkan adanya risiko eksternal dan struktural yang belum sepenuhnya diperhitungkan dalam asumsi dasar makro APBN. Institusi global memandang risiko ini lebih serius dibandingkan Pemerintah yang sangat mengandalkan multiplier effect dari stimulus fiskal dan investasi domestik yang ambisius.
Table B: Komparasi Proyeksi Pertumbuhan PDB Indonesia 2026
| Institusi/Lembaga | Proyeksi PDB 2026 (%) | Asumsi/Fokus Utama | Kesenjangan (Selisih vs. Target Pemerintah) |
| Pemerintah/RAPBN | 5.4% | Didukung stimulus fiskal dan efek lag penurunan BI-Rate 2025. | Basis Optimisme Tertinggi |
| Bank Indonesia (BI) | 4.9% – 5.7% | Respon terhadap transmisi moneter dan tingkat keparahan risiko eksternal. | Rentang Luas |
| IMF | 4.9% | Konservatif, memandang risiko global (perang dagang, geopolitik) masih tinggi. | -0.5 pp |
| World Bank | 4.8% | Menekankan tantangan struktural dan perlambatan pertumbuhan global. | -0.6 pp |
| Analis Pasar (Rata-rata) | 5.1% – 5.2% | Resiliensi domestik (konsumsi), namun ekspor melemah. | Sedikit di bawah target |
Ancaman Eksternal Kritis 2026
Tahun 2026 diproyeksikan menjadi “Titik Puncak Ketidakpastian Ekonomi Global,” dengan tekanan yang berpotensi melampaui krisis-krisis sebelumnya. Pemicu utama ketidakpastian ini adalah kombinasi dari meningkatnya tensi geopolitik (konflik di Ukraina dan Timur Tengah) dan kebangkitan kebijakan proteksionisme perdagangan.
Risiko Perang Dagang AS dan Tarif Resiprokal
Salah satu risiko terbesar bagi kinerja ekspor Indonesia 2026 adalah kebijakan tarif proteksionis oleh Amerika Serikat, khususnya di bawah kepemimpinan Donald Trump, yang berpotensi memicu perang dagang baru. Kebijakan tarif resiprokal AS (tarif timbal balik) telah diberlakukan secara signifikan, di mana Indonesia menjadi salah satu negara yang dikenakan tarif tinggi sebesar 32%.
Dampak dari tarif ini sudah mulai terasa sejak April 2025, khususnya pada sektor manufaktur padat karya. Ekspor Indonesia ke AS, terutama di sektor tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan (yang sebelumnya menikmati tarif rendah melalui skema GSP), menjadi kurang kompetitif. Penurunan pesanan yang signifikan telah dirasakan oleh pelaku UMKM dan eksportir skala menengah. Situasi ini meningkatkan tekanan pelemahan terhadap nilai tukar Rupiah dan mengurangi aktivitas sektor manufaktur secara keseluruhan.
Akhir Fenomena Export Front-Loading
Kinerja ekspor yang kuat pada tahun 2025 (tumbuh 9.91% di Q3) diyakini sebagian merupakan hasil dari fenomena export front-loading. Produsen global dan domestik mempercepat pengiriman barang di awal 2025 sebagai antisipasi sebelum tarif baru atau eskalasi konflik geopolitik diberlakukan secara penuh. Analisis menunjukkan bahwa fenomena ini diperkirakan tidak akan berlanjut di tahun 2026, yang secara otomatis akan menyebabkan pelemahan kinerja ekspor secara tahunan.
Kombinasi antara peningkatan tarif dan berakhirnya front-loading menciptakan ancaman ganda (double whammy) bagi Indonesia. Jika ekspor yang menjadi pilar pertumbuhan 2025 melemah, ekonomi nasional akan kembali sangat bergantung pada konsumsi domestik. Ketergantungan yang tinggi pada konsumsi rumah tangga (yang menyumbang >50% PDB) mencerminkan kerentanan terhadap guncangan global, seperti yang disoroti oleh beberapa ekonom. Oleh karena itu, strategi pertahanan yang mendesak adalah diversifikasi pasar dan percepatan investasi domestik.
Tantangan Struktural dan Keberlanjutan 2026
Isu Kesenjangan Keterampilan dan Pasar Tenaga Kerja
Indonesia menghadapi risiko serius berupa krisis lapangan kerja pada periode 2026-2027. Ancaman ini bukan sekadar masalah siklus ekonomi, melainkan kerentanan struktural yang timbul dari ketidakadaptifan sistem pendidikan terhadap kebutuhan industri modern. Kurikulum yang lambat berubah dan minimnya pelatihan praktis menyebabkan banyak lulusan hanya terserap ke sektor informal atau menjadi pengangguran.
Inklusi Tenaga Kerja Hilirisasi
Meskipun industri hilirisasi, seperti nikel di Sulawesi, telah menyerap ribuan tenaga kerja lokal, terjadi paradoks industrialisasi: Indonesia sukses menarik investasi padat modal dan teknologi , tetapi gagal menyiapkan human capital lokal yang sesuai dengan permintaan sektor tersebut. Analisis menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan keterampilan yang signifikan antara pekerja lokal dan kebutuhan untuk green jobs atau pekerjaan berteknologi tinggi.
Ketimpangan Upah Sektoral
Transformasi ekonomi yang sedang berlangsung semakin memperlebar jurang upah antarsektor. Sektor digital dan industri formal cenderung menikmati upah yang lebih tinggi, sementara sektor Aktivitas Jasa Lainnya—yang didominasi pekerja informal dan layanan pribadi—mencatat rata-rata upah hanya sekitar Rp1,97 juta, jauh di bawah upah buruh nasional rata-rata. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi tidak terdistribusi secara inklusif. Pengalaman kerja dan peningkatan keterampilan diakui sebagai kunci utama untuk mencapai kesejahteraan pekerja di Indonesia, menegaskan kebutuhan mendesak akan program reskilling dan reformasi pendidikan vokasi.
Dampak AI dan Digitalisasi
Sektor digital dan ekonomi hijau diakui sebagai peluang ekspansi baru yang signifikan bagi Indonesia. Namun, kemajuan teknologi, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, AI membawa potensi pertumbuhan dan lompatan produktivitas (dengan tren 2026 berfokus pada Sovereign Cloud dan Agen Otonom). Di sisi lain, AI membawa risiko disrupsi besar terhadap pasar kerja.
Disrupsi dari AI ini diperkirakan akan memperparah ancaman krisis lapangan kerja pada 2026-2027, terutama bagi pekerjaan di sektor jasa tradisional dan informal yang memiliki tingkat upah rendah dan rentan terhadap otomatisasi. Oleh karena itu, kecepatan reformasi pendidikan vokasi harus ditingkatkan secara agresif untuk mengintegrasikan keterampilan digital dan teknologi hijau, memastikan bahwa tenaga kerja Indonesia siap menghadapi transisi teknologi yang cepat.
Kesimpulan
Tahun 2025 membuktikan ketahanan ekonomi Indonesia, didukung oleh intervensi moneter yang tepat waktu (melalui pemotongan suku bunga The Fed yang memberikan fleksibilitas kebijakan domestik) dan keberhasilan hilirisasi yang menggeser motor pertumbuhan dari konsumsi semata ke ekspor dan investasi. Namun, prospek 2026 akan ditandai oleh risiko eksternal yang memuncak, yang berpotensi memukul pilar pertumbuhan baru ini (ekspor dan investasi) melalui tarif perdagangan global dan berakhirnya dukungan export front-loading.
Kegagalan untuk menjembatani kesenjangan PDB 2026 antara target Pemerintah (5.4%) dan proyeksi global (4.8%-4.9%) terletak pada dua kerentanan struktural domestik yang utama:
- Ruang Fiskal Sempit: Rasio pajak yang stagnan di bawah 10% membatasi kemampuan APBN untuk bertindak sebagai shock absorber atau motor pertumbuhan yang efektif.
- Kesenjangan SDM: Disparitas keterampilan yang masif menghambat inklusivitas manfaat hilirisasi, mengancam stabilitas sosial-politik, dan memperburuk krisis lapangan kerja yang diprediksi terjadi pada 2026-2027.
Rekomendasi Kebijakan Lima Poin untuk 2026
Untuk menavigasi ketidakpastian 2026 dan memastikan pertumbuhan yang inklusif, berkelanjutan, dan sesuai dengan target ambisius Pemerintah, disarankan penerapan strategi lima poin sebagai berikut:
Penguatan Ketahanan Fiskal (Reformasi Perpajakan dan Belanja):
Diperlukan reformasi perpajakan yang agresif untuk menaikkan rasio pajak minimal ke tingkat 10%. Peningkatan penerimaan negara ini akan menyediakan ruang fiskal yang memadai untuk mendanai program prioritas tanpa meningkatkan risiko keberlanjutan utang. Selain itu, belanja K/L sebesar Rp1.510,5 triliun dan belanja Non-K/L Rp1.639,2 triliun harus direkalibrasi untuk memprioritaskan efisiensi dan program dengan multiplier effect tertinggi.
Mitigasi Risiko Perdagangan Global:
Mengingat ancaman tarif resiprokal AS (32%) pada sektor manufaktur padat karya , Pemerintah harus secara aktif diversifikasi pasar ekspor di luar mitra tradisional. Skema insentif khusus perlu diberikan kepada sektor-sektor yang paling terdampak (tekstil, alas kaki) untuk mempertahankan daya saing mereka di pasar internasional dan menghindari PHK massal. Strategi friendshoring akibat ketegangan geopolitik harus dimanfaatkan secara optimal untuk menarik investasi manufaktur ke kawasan Indo-Pasifik.
Reformasi Sumber Daya Manusia (SDM) Skala Besar:
Pemerintah harus menjadikan Reformasi Pendidikan Vokasi dan program reskilling sebagai agenda nasional utama. Kurikulum harus diselaraskan secara real-time dengan kebutuhan spesifik industri hilirisasi, ekonomi hijau, dan teknologi AI. Program ini harus terukur untuk mengatasi ancaman krisis lapangan kerja 2026-2027 dan memastikan bahwa manfaat ekonomi dari industrialisasi dinikmati oleh tenaga kerja lokal terampil.
Kebijakan Moneter yang Adaptif dan Terfokus:
Bank Indonesia harus mempertahankan fleksibilitas BI-Rate. Meskipun sasaran inflasi terkendali (2.5%-1%) , stabilitas Rupiah harus tetap menjadi prioritas kebijakan moneter jangka pendek di tengah volatilitas global. Pelonggaran kredit yang didorong oleh insentif makroprudensial harus difokuskan secara selektif pada sektor-sektor prioritas yang memiliki multiplier effect tinggi, bukan pada kredit konsumsi secara umum.
Pengelolaan Investasi Hilirisasi yang Inklusif:
Memastikan proyek hilirisasi tidak hanya menghasilkan nilai tambah makroekonomi (lonjakan ekspor) tetapi juga diimplementasikan dengan standar lingkungan yang ketat. Mekanisme alokasi pendapatan dan penyerapan tenaga kerja terampil harus diatur untuk mengurangi disparitas regional, memastikan bahwa pertumbuhan yang didorong oleh sumber daya mineral bersifat berkelanjutan dan inklusif.
Table A: Indikator Makroekonomi Kunci Indonesia 2025 (Estimasi Akhir Tahun)
| Indikator | Realisasi Q3 2025 | Outlook Akhir 2025 (Estimasi) | Faktor Pendorong/Catatan Kritis |
| Pertumbuhan PDB (Y-o-Y) | 5.04% | 5.0% – 5.1% | Didukung Kuat oleh Ekspor (9.91% Q3), Konsumsi Stabil. |
| Kontribusi Konsumsi RT | 4.89% | Stabil | Sedikit melambat dari Q2 (4.97%). |
| Realisasi Investasi (Q1-Q3 Y-o-Y) | 13.7% | >13.5% | Didorong oleh program Hilirisasi dan PMDN. |
| Inflasi (Y-o-Y) | N/A | Terkendali (Sasaran BI: 2.5%- 1%) | Inflasi inti stabil, ekspektasi terjangkar. |
| BI-Rate (Nov 2025) | 4.75% 9 | 4.75% | Fokus stabilisasi Rupiah di tengah ketidakpastian The Fed. |
| Nilai Tukar Rupiah/USD (Des 2025) | Rp16.656/USD | Volatil, bergantung pemotongan suku bunga Fed. |
Table C: Matriks Risiko Utama Ekonomi Indonesia 2026
| Risiko Utama | Mekanisme Dampak (2026) | Sektor Ekonomi Paling Terdampak | Implikasi Kebijakan (Rekomendasi) |
| Tarif Perdagangan AS | Pemberlakuan tarif resiprokal AS (32%), produk RI kurang kompetitif. | Manufaktur Padat Karya (Tekstil, Alas Kaki), Ekspor Non-Komoditas. | Diversifikasi Pasar, Bantuan Fiskal Sektor Terdampak. |
| Kesenjangan Keterampilan (Skill Gap) | Lulusan tidak terserap industri hilirisasi; upah di sektor tradisional tertinggal. | Industri High-Tech (Hilirisasi), Sektor Jasa Informal. | Reformasi Vokasi Agresif, Program Reskilling Green Jobs. |
| Ketidakberlanjutan Ekspor | Berakhirnya Export Front-Loading, penurunan harga komoditas global. | Sektor Ekstraktif, Neraca Perdagangan. | Peningkatan Nilai Tambah Lebih Lanjut, Penguatan Konsumsi Domestik. |
| Keterbatasan Ruang Fiskal | Rasio pajak rendah (9.85%) membatasi efektivitas APBN sebagai motor. | Program Prioritas Pemerintah, Pembiayaan Infrastruktur. | Reformasi Pajak, Peningkatan Efisiensi Belanja. |