Kesimpulan tinjauan ahli ini menganalisis kerentanan berlapis yang dialami oleh buruh perempuan di negara berkembang, yang memikul beban ganda eksploitasi berbasis kelas dan berbasis gender di Rantai Pasok Global (RGP). Eksploitasi ini tidak bersifat insidental, melainkan terstruktur dalam model bisnis biaya rendah dan diperparah oleh norma patriarki yang menginternalisasi pekerjaan domestik tak berbayar sebagai tugas perempuan. Sektor-sektor yang berorientasi ekspor, khususnya garmen/tekstil dan pertanian/perkebunan, menjadi lokasi di mana rintangan ganda ini terwujud secara paling akut.
Kerangka Konseptual: Rintangan Ganda dan Matriks Eksploitasi
Eksploitasi buruh perempuan di RGP dapat dipahami melalui konsep “Rintangan Ganda” (Double Bind), di mana kerentanan kelas (upah rendah, kondisi kerja berbahaya) berinteraksi dengan kerentanan gender (diskriminasi, pelecehan) untuk membatasi mobilitas ekonomi dan sosial pekerja.
Kerangka analisis yang lebih mendalam adalah interseksionalitas, yang menjelaskan bagaimana gender, kelas, dan status lainnya—seperti ras, status migrasi, atau status kewarganegaraan—berinteraksi untuk menciptakan apa yang disebut sebagai “matriks eksploitasi”. Matriks ini secara sistematis menempatkan kelompok pekerja tertentu pada posisi paling rentan dan paling rendah upahnya. Misalnya, analisis buruh logistik di Amerika Serikat menemukan bahwa perempuan Latinx imigran secara tidak proporsional dipekerjakan dalam pekerjaan gudang berupah rendah (pengemasan) dan memperoleh pendapatan tahunan sekitar $4.000 lebih rendah dibandingkan rekan laki-laki Latinx mereka. Fenomena ini berlaku secara transnasional, memastikan bahwa perempuan dari kelompok termarjinalisasi—termasuk pekerja migran di Asia—menjadi ‘tentara cadangan tenaga kerja’ yang paling mudah dieksploitasi. Interseksionalitas eksploitasi ini berfungsi ganda: ia memecah belah potensi solidaritas pekerja dan menyediakan pembenaran struktural bagi perusahaan untuk menjustifikasi tingkat upah yang lebih rendah bagi kelompok yang paling termarjinalisasi, sehingga memaksimalkan keuntungan modal global.
Struktur Rantai Pasok Global dan Pengaturan Tenaga Kerja Perempuan
Rantai pasok global, terutama di industri garmen, dibangun di atas model bisnis yang menekan biaya. Merek-merek global berulang kali menekan harga sourcing kepada pemasok, dan tekanan biaya ini diterjemahkan secara langsung menjadi tuntutan target produksi yang tinggi dan upah yang rendah di lini produksi.
Pabrik di negara berkembang, seperti di Indonesia, secara strategis merekrut pekerja perempuan, seringkali ibu rumah tangga, karena ada asumsi bahwa mereka lebih telaten, bertanggung jawab, dan patuh dibandingkan pekerja laki-laki. Proses perekrutan yang sengaja memilih ibu rumah tangga, yang kadang kala tanpa persyaratan ijazah atau pendidikan tinggi, adalah bentuk kapitalisasi atas keterampilan non-pasar (seperti ketelatenan dan tanggung jawab) yang dikembangkan perempuan dalam lingkup domestik. Dengan demikian, modal global mengeksploitasi nilai kerja perawatan tak berbayar untuk meningkatkan profitabilitas lini produksi berbayar.
Kerentanan buruh perempuan semakin terekspos dalam situasi krisis. Pandemi COVID-19 menghasilkan krisis sosial-ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang mengekspos kerentanan ekonomi yang sangat terglobalisasi. Di negara-negara produsen seperti Kamboja dan Indonesia, keputusan politik untuk mengadopsi partial shutdown atau karantina wilayah tertentu, alih-alih shutdown total, didorong oleh kekhawatiran akan keruntuhan ekonomi domestik karena peran vital industri berorientasi ekspor seperti tekstil dan pakaian jadi. Prioritas ini menunjukkan bahwa kelangsungan RGP ditempatkan di atas keamanan dan mata pencaharian pekerja, yang sebagian besar adalah perempuan.
Konsentrasi Sektoral dan Kerentanan Spesifik
Kerentanan perempuan diperburuk oleh konsentrasi mereka di sektor-sektor yang dicirikan oleh ketidakamanan kerja dan lingkungan berbahaya.
Sektor Garmen dan Tekstil: Perempuan mendominasi tenaga kerja di rantai pasok Garmen dan Tekstil (A&T) di Asia dan Pasifik, dengan persentase sekitar 80% dari total angkatan kerja. Konsentrasi ini, yang seringkali berada pada posisi operator tingkat rendah, menjadikan mereka sasaran utama baik untuk kebijakan upah rendah maupun Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG).
Sektor Pertanian dan Perkebunan: Di sektor pertanian, terutama perkebunan (misalnya, kelapa sawit), pekerja perempuan sering diikutsertakan dalam aktivitas berisiko tinggi seperti penyemprotan, pemupukan, dan perawatan tanaman. Keterlibatan ini mengakibatkan risiko tinggi paparan pestisida. Paparan bahan kimia ini dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan serius, termasuk gangguan sistem saraf, pernapasan, reproduksi, kanker, dan penyakit kronis lainnya. Kerentanan ini menunjukkan bagaimana eksploitasi kelas dan gender secara langsung mengancam kesehatan dan keselamatan buruh perempuan.
Kerentanan Kelas: Analisis Kesenjangan Upah Gender (Gpg)
Kesenjangan Upah Gender (GPG) adalah manifestasi paling nyata dari eksploitasi kelas yang dialami buruh perempuan di RGP. GPG adalah hasil dari kombinasi diskriminasi upah langsung dan segregasi okupasional.
Skala dan Sifat Kesenjangan Upah Global
GPG tetap menjadi tantangan struktural yang persisten di seluruh dunia. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan bahwa, dengan laju kemajuan saat ini, dibutuhkan 257 tahun untuk menutup kesenjangan upah global. Dalam konteks RGP, isu ini diperburuk bagi individu dalam pekerjaan yang dibayar rendah dan tidak aman, yang memiliki akses terbatas terhadap perlindungan hukum dan mekanisme pengaduan.
Data empiris dari Indonesia menunjukkan bahwa diskriminasi upah bersifat sistemik dan meluas di seluruh spektrum pendidikan. Kesenjangan ini tidak hanya terjadi pada pekerja berketerampilan rendah, tetapi juga pada tingkat profesional, menunjukkan adanya diskriminasi vertikal. Pekerja perempuan dengan gelar sarjana, misalnya, mendapatkan penghasilan yang cukup rendah dibanding pekerja laki-laki.
Segregasi okupasional muncul sebagai kontributor utama GPG. Perempuan cenderung didominasi dalam pekerjaan dengan upah lebih rendah, peran yang kurang senior, dan hanya menempati seperempat dari posisi manajerial dan penyelia yang bergaji tinggi.
Data Survei Angkatan Kerja (BPS, Februari 2020) menggarisbawahi diskriminasi ini di Indonesia:
Tabel 1: Perbandingan Upah Rata-Rata Bulanan Bersih Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Indonesia (Rupiah)
| Tingkat Pendidikan | Laki-laki (Rp.) | Perempuan (Rp.) | Implikasi Kesenjangan |
| Sekolah Dasar (SD) | 2.117.361 | 1.280.826 | GPG Tinggi, menunjukkan diskriminasi upah dasar. |
| SMP | 2.357.497 | 1.658.672 | |
| SMA | 3.099.936 | 2.115.726 | |
| SMK | 3.059.119 | 2.288.670 | |
| D1-D3 | 4.414.594 | 2.930.465 | |
| Universitas | 5.436.083 | 3.701.652 | Diskriminasi Vertikal: Upah perempuan jauh lebih rendah meskipun kualifikasi setara. |
| Pekerjaan Manajerial | Dominasi Laki-laki | Hanya Seperempat | Segregasi okupasional yang nyata. |
Sumber: Survei Angkatan Kerja, BPS, Februari 2020.
Dampak GPG pada Kemiskinan Pekerja dan Jaminan Sosial
Upah yang rendah dan GPG yang kronis memiliki konsekuensi jangka panjang dan mematikan terhadap kesejahteraan buruh perempuan, menjebak mereka dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakamanan ekonomi.
Dalam jangka panjang, upah yang lebih rendah selama masa kerja menyebabkan disparitas besar dalam perlindungan pensiun dan keamanan finansial di masa tua. GPG menciptakan disparitas pensiun antar gender di Asia, yang merupakan manifestasi terakumulasi dari diskriminasi gender seumur hidup. Fenomena ini menggarisbawahi perlunya strategi intervensi yang komprehensif untuk mengatasi disparitas gender yang terakumulasi seumur hidup.
Eksploitasi Berbasis Gender: Kekerasan Dan Pelecehan (Kpbg)
Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender (KPBG) adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling lazim di hampir semua rantai pasok global. KPBG, yang didefinisikan oleh Konvensi ILO C190 sebagai kekerasan yang ditujukan berdasarkan jenis kelamin atau secara tidak proporsional memengaruhi jenis kelamin tertentu (termasuk pelecehan seksual) , harus dipahami bukan hanya sebagai masalah budaya, tetapi sebagai alat manajerial yang terintegrasi dalam model eksploitasi kelas.
KPBG di Manufaktur: Hubungan Kausal dengan Profit
Di sektor garmen, di mana perempuan mencakup 80% dari tenaga kerja , kerentanan terhadap KPBG sangat tinggi. Bukti menunjukkan hubungan kausal yang eksplisit antara tuntutan produksi yang tinggi dan kekerasan yang dialami pekerja. Pelecehan verbal disebutkan sebagai ciri pekerjaan ini, dan semakin tinggi target produksi, semakin meningkat pelecehan tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa KPBG—melalui ancaman, intimidasi, dan pelecehan—berfungsi sebagai mekanisme kontrol non-finansial yang digunakan manajer dan penyelia untuk menekan buruh agar memenuhi target produksi yang agresif. Dengan demikian, kekerasan berbasis gender menjadi perpanjangan dari eksploitasi kelas yang digunakan untuk memaksimalkan keuntungan. Bentuk-bentuk pelecehan verbal kasar dapat mencakup ancaman langsung seperti, “Aku pendel (gorok) kepalamu!”. Pelaku utama dalam kasus KPBG dan pelecehan seksual seringkali adalah penyelia dan manajer, yang memanfaatkan hierarki kekuasaan di pabrik. Investigasi ActionAid dan China Labor Watch pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa empat dari 10 perempuan yang diwawancarai mengalami pelecehan seksual di pabrik.
KPBG dan Sektor Ekstraktif
KPBG tidak terbatas pada sektor manufaktur berorientasi ekspor, tetapi meluas ke sektor pertambangan dan agribisnis. Misalnya, di zona pertambangan (Zambia), migrasi pekerja laki-laki dan peningkatan pendapatan moneter bagi laki-laki dapat memicu peningkatan konsumsi alkohol dan narkoba, yang selanjutnya meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual terhadap perempuan.
Selain itu, kerentanan yang dipicu oleh krisis lingkungan dan iklim memperburuk risiko KPBG. Kelangkaan sumber daya alam (misalnya, air atau kayu bakar) akibat perubahan iklim dan bencana memaksa perempuan untuk melakukan perjalanan lebih jauh, yang menempatkan mereka pada peningkatan risiko keselamatan, termasuk kekerasan seksual. Krisis iklim juga dapat meningkatkan ketegangan sosial yang mengarah pada KPBG, terutama bagi perempuan yang menentang aktivitas ilegal (seperti penambangan emas ilegal) yang merusak sumber daya alam mereka.
Penegakan Hukum dan Kekuatan Serikat Buruh
Meskipun negara-negara seperti Indonesia memiliki kerangka hukum untuk melindungi pekerja perempuan—misalnya, kewajiban perusahaan menyediakan akomodasi dan makanan bergizi untuk shift malam; hak cuti haid dan larangan PHK karena kehamilan —terdapat kesenjangan yang signifikan antara ketentuan hukum dan penerapannya di lapangan.
Untuk menjembatani kesenjangan ini, keberanian pekerja dan dukungan serikat buruh sangat penting. Kisah seorang buruh garmen di Jakarta, Melati, yang melaporkan pelecehan seksual oleh manajernya, Mr. Sinurat, menyoroti peran serikat buruh (Garteks). Garteks berhasil mengadvokasi kasus tersebut menggunakan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pabrik, yang pada akhirnya mengakibatkan pemecatan manajer tersebut. Kasus ini menunjukkan bahwa serikat buruh yang kuat dan berorientasi gender dapat menjadi kunci untuk mencapai akuntabilitas manajerial dan remediasi atas masalah yang seringkali tidak terlaporkan karena rasa malu dan takut.
Beban Kerja Ganda: Hambatan Struktural Dan Ekonomi Perawatan
Eksploitasi buruh perempuan diperparah oleh beban kerja ganda, yaitu kombinasi pekerjaan publik (berbayar) dan domestik (tak berbayar) yang secara tidak proporsional dipikul oleh perempuan. Beban ganda ini diinternalisasi dan disahkan oleh norma-norma budaya dan patriarki.
Beban Domestik Tak Berbayar dan Dampak Partisipasi Pasar Kerja
Tanggung jawab perawatan tak berbayar adalah hambatan struktural utama bagi perempuan untuk memasuki dan tetap berada dalam angkatan kerja. Pemikiran perusahaan yang merekrut ibu rumah tangga karena dianggap lebih telaten menunjukkan bagaimana modal secara gratis mengeksploitasi keterampilan yang dikembangkan dalam lingkup domestik, sambil mengabaikan kebutuhan sistem pendukung perawatan yang memadai.
Pada skala global, dampak ekonomi dari beban perawatan tak berbayar sangat besar. Diperkirakan 708 juta perempuan di seluruh dunia berada di luar angkatan kerja karena tanggung jawab perawatan tak berbayar. Jumlah ini mencakup 45% dari seluruh perempuan usia kerja di luar angkatan kerja secara global. Sebaliknya, hanya 5% laki-laki di luar angkatan kerja yang menyebut tanggung jawab perawatan sebagai alasan utama ketidakikutsertaan mereka.
Disparitas gender yang mencolok ini menegaskan bahwa perempuan memikul peran yang sangat tidak proporsional dalam pengasuhan anak, perawatan jangka panjang, dan tanggung jawab rumah tangga lainnya.
Tabel 2: Hambatan Partisipasi Tenaga Kerja Global Berdasarkan Tanggung Jawab Perawatan (ILO, 2023)
| Kelompok Demografi | Jumlah Total di Luar Angkatan Kerja Karena Perawatan (Juta) | Proporsi yang Menyebut Perawatan Sebagai Alasan Utama (%) | Dampak Regional (Asia/Pasifik) |
| Wanita Global (15+) | 708 | 45% | Di Asia dan Pasifik, 52% wanita di luar angkatan kerja menyebut perawatan sebagai alasan utama. |
| Pria Global (15+) | 40 | 5% | Pria lebih cenderung menyebut alasan lain (pendidikan, kesehatan) untuk ketidakikutsertaan. |
Sumber: ILO Global Estimates, 2023.
Kegagalan untuk mengatasi beban perawatan tak berbayar ini setara dengan mengunci potensi ekonomi dari 708 juta tenaga kerja potensial. Oleh karena itu, investasi dalam ekonomi perawatan (misalnya, sistem penitipan anak dan dukungan jangka panjang) harus diakui sebagai strategi pertumbuhan ekonomi fundamental, bukan hanya program kesejahteraan. Di kawasan Asia dan Pasifik, proporsi perempuan yang terhalang masuk pasar kerja karena tanggung jawab perawatan mencapai 52% dari perempuan yang tidak berpartisipasi dalam angkatan kerja, menyoroti urgensi regional.
Kebutuhan Kebijakan Ramah Keluarga
Untuk mencapai pemulihan yang sukses dan berkelanjutan dari krisis sosial-ekonomi, diperlukan adopsi kebijakan tempat kerja yang ramah keluarga. Ini termasuk penyediaan penitipan anak dan pengaturan kerja yang fleksibel yang melampaui standar ketenagakerjaan internasional. Kebijakan ini harus didukung oleh upaya pemerintah dan kerja sama dengan pemangku kepentingan setempat, serta mempromosikan pemberdayaan kolektif pekerja.
Kerentanan Berlapis Dan Krisis Ekologi
Eksploitasi buruh perempuan diperparah oleh krisis ekologi dan lingkungan, yang secara tidak proporsional memukul kelompok yang paling rentan, terutama di sektor pertanian.
Eksploitasi Interseksional: Gender, Status, dan Lingkungan
Krisis iklim memperburuk kerentanan berbasis gender. Bencana lingkungan, seperti banjir rob, atau kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia (misalnya, penambangan emas ilegal di Jambi), menghancurkan produktivitas pertanian dan mata pencaharian.
Konsekuensi dari krisis lingkungan ini adalah migrasi paksa. Perempuan yang kehilangan mata pencaharian di bidang budidaya tambak atau pertanian dipaksa untuk beralih menjadi buruh pabrik atau bermigrasi, yang selanjutnya meningkatkan kerentanan sosial-ekonomi mereka. Kerentanan ini berlapis, yang dihasilkan dari berbagai bentuk ketidakadilan yang saling terkait, yaitu gender, kelas, dan lingkungan.
Di sektor pertanian, buruh perempuan menghadapi ancaman kesehatan ganda yang unik: 1) Ancaman fisik dan kimia langsung di tempat kerja (paparan pestisida di perkebunan sawit yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi dan penyakit kronis) , dan 2) Ancaman lingkungan makro, yang memicu kerentanan sosial (migrasi, konflik, dan KPBG).
Erosi Otonomi Ekonomi dalam Sektor Ekstraktif
Di sektor agribisnis dan ekstraktif, kegiatan korporasi seringkali mengakibatkan pengambilalihan tanah yang sangat berdampak pada perempuan. Karena norma budaya dan hukum yang membatasi hak kepemilikan formal atas tanah bagi perempuan, mereka seringkali diabaikan dalam proses konsultasi dan negosiasi kompensasi pengambilalihan tanah.
Di Malawi, misalnya, petani perempuan skala kecil kehilangan tanah adat mereka dan suara mereka diabaikan dalam konsultasi dengan perusahaan transnasional. Hal ini mengurangi kedaulatan pangan dan kendali perempuan atas pendapatan rumah tangga. Meskipun masuknya investasi baru di sektor ekstraktif dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga secara keseluruhan melalui pekerjaan laki-laki, hal itu berpotensi mengikis posisi sosial dan ekonomi perempuan serta kekuatan relatif mereka dalam rumah tangga dan komunitas.
Respon Kebijakan Dan Tuntutan Akuntabilitas
Respons terhadap eksploitasi ganda ini harus bersifat struktural, melampaui mekanisme sukarela yang terbukti tidak memadai.
Kegagalan Mekanisme Sukarela (CSR dan Audit)
Banyak perusahaan global mengandalkan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dan audit pihak ketiga untuk memastikan kepatuhan hak buruh. Namun, kritik menunjukkan bahwa audit semacam ini seringkali mengalihkan perhatian dari perubahan struktural yang mendesak.
Audit cenderung berfokus pada kepatuhan parsial sambil mengabaikan akar penyebab eksploitasi: tekanan target produksi yang terlalu tinggi dan biaya produksi yang rendah yang dipaksakan oleh merek global. Program audit gagal melihat KPBG bukan sekadar pelanggaran individu, tetapi sebagai alat manajerial untuk mempertahankan kontrol dan memaksimalkan keuntungan. Seharusnya, perusahaan bekerjasama dan mengikuti arahan pemimpin serikat buruh/pekerja perempuan untuk mendorong perubahan struktural di rantai pasok garmen global.
Pergeseran menuju Akuntabilitas yang Mengikat
Untuk mengatasi eksploitasi yang mendarah daging, diperlukan mekanisme akuntabilitas yang mengikat secara hukum. Perjanjian mengikat, seperti The Accord di Bangladesh atau Dindigul Agreement yang berfokus pada penghapusan KPBG di pabrik garmen India, terbukti lebih efektif.
Model perjanjian mengikat ini berhasil karena: 1) meningkatkan suara pekerja dan keterlibatan serikat buruh, 2) mensyaratkan audit independen dengan hasil yang dipublikasikan, dan 3) menciptakan konsekuensi atas ketidakpatuhan melalui klausul arbitrase yang mengikat. Dindigul Agreement secara khusus menunjukkan keberhasilan dalam memberdayakan perempuan untuk mengidentifikasi dan memerangi KPBG berkat serikat buruh yang kuat dan dipimpin perempuan.
Pada tingkat negara, pemerintah harus menunjukkan keinginan politik yang kuat untuk memperkuat sistem pengawasan ketenagakerjaan. Pengawasan yang lemah menciptakan kesenjangan antara ketentuan hukum (misalnya perlindungan terhadap kerja paksa atau perlindungan pekerja perempuan ) dan penerapannya. Penguatan ini termasuk meningkatkan jumlah pengawas, melatih mereka, dan menyediakan dukungan logistik (seperti alat transportasi dan akses ke komputer).
Peran Organisasi Internasional dan Kebijakan Non-Diskriminasi
Organisasi internasional seperti ILO dan UN Women memainkan peran penting dalam mendorong agenda kesetaraan upah dan non-diskriminasi. ILO secara konsisten mengadvokasi konvensi non-diskriminasi di tempat kerja (seperti Konvensi No. 111) dan rekomendasi yang berisi pedoman untuk menetapkan standar yang lebih tinggi.
Program-program yang dijalankan oleh ILO, seperti Program Gender dan Ketenagakerjaan, menunjukkan dampak positif dalam meningkatkan kesadaran, memperkuat kebijakan ketenagakerjaan inklusif, dan meningkatkan akses perempuan ke posisi strategis, meskipun tantangan seperti resistensi budaya patriarki tetap ada. Untuk mewujudkan kesetaraan gender yang berkelanjutan, harus ada sinergi yang kuat antara inisiatif global dan kebijakan nasional.
Kesimpulan
Kesimpulan ini menyimpulkan bahwa kerentanan buruh perempuan di Rantai Pasok Global adalah hasil dari “Rintangan Ganda” eksploitasi kelas dan gender yang terstruktur, yang diperparah oleh kegagalan sistem perawatan global dan krisis lingkungan. Mengatasi isu ini membutuhkan respons kebijakan yang bertarget pada akar penyebab struktural, bukan sekadar perbaikan permukaan.
Rekomendasi Jalan Ke Depan
Mengatasi Eksploitasi Kelas (Upah dan Harga)
- Regulasi Upah Hidup Layak Wajib: Negara-negara konsumen harus memberlakukan undang-undang uji tuntas korporat yang mewajibkan merek global untuk mengintegrasikan biaya Upah Hidup Layak (Living Wage) ke dalam harga sourcing mereka. Ini harus menggantikan praktik bergantung pada upah minimum yang seringkali di bawah batas kelayakan hidup.
- Transparansi Keuangan Rantai Pasok: Mendorong transparansi penuh dalam struktur penetapan harga antara merek, pemasok, dan sub-kontraktor untuk memungkinkan verifikasi independen oleh serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil bahwa kompensasi yang adil diterima oleh pekerja lini bawah.
Mengatasi Eksploitasi Gender (KPBG dan Beban Ganda)
- Ratifikasi dan Implementasi ILO C190: Negara-negara produsen harus meratifikasi dan menerapkan sepenuhnya Konvensi ILO C190 mengenai Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Perusahaan wajib menyusun dan melaksanakan kebijakan pencegahan KPBG yang sensitif gender, dengan sanksi yang jelas bagi manajer atau penyelia yang terbukti bersalah.
- Investasi Publik dalam Ekonomi Perawatan: Pemerintah harus mengalokasikan investasi publik yang substansial dan berkelanjutan untuk mengembangkan sistem penitipan anak dan layanan perawatan jangka panjang yang terjangkau dan berkualitas tinggi. Resolusi ILO mengenai ekonomi perawatan menggarisbawahi bahwa investasi yang memadai dalam kebijakan perawatan sangat penting untuk mengatasi ketidaksetaraan.
- Dukungan Kebebasan Berserikat dan PKB Responsif Gender: Merek dan pemasok harus dipaksa untuk mengakui dan bernegosiasi dengan serikat buruh independen. Prioritas harus diberikan pada pendanaan dan pelatihan serikat yang dipimpin perempuan untuk memastikan bahwa isu-isu spesifik gender, termasuk KPBG, upah setara, dan kesehatan reproduksi, diintegrasikan ke dalam Perjanjian Kerja Bersama.
Tanggung Jawab Hukum dan Lingkungan
- Pemberlakuan Due Diligence Wajib Responsif Gender: Negara-negara konsumen (Global North) harus memberlakukan undang-undang uji tuntas korporat yang mengikat, yang mewajibkan perusahaan untuk secara proaktif mengidentifikasi dan memitigasi risiko lingkungan, sosial, dan KPBG di seluruh rantai pasok mereka, dengan mekanisme remediasi yang kuat.
- Perlindungan Kesehatan Pekerja Pertanian: Mengimplementasikan regulasi yang lebih ketat mengenai penggunaan pestisida di sektor perkebunan dan memberikan pelatihan kesehatan kerja yang ditargetkan secara spesifik kepada pekerja perempuan untuk melindungi mereka dari paparan bahan kimia yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi dan penyakit kronis.