Revolusi Industri 4.0 telah menghasilkan perubahan mendasar dalam struktur ekonomi global, terutama terkait dengan mekanisme penciptaan nilai. Saat ini, nilai semakin banyak dihasilkan dari aset tak berwujud (intangible assets), data, dan jaringan pengguna, yang memungkinkan perusahaan multinasional (MNE) beroperasi dan meraih laba signifikan di yurisdiksi pasar tanpa memerlukan kehadiran fisik yang substansial.

Rezim perpajakan internasional konvensional, yang dibentuk melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), berakar pada prinsip physical presence atau kehadiran fisik untuk menetapkan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) P3B Model OECD, laba usaha Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) hanya dikenakan pajak di negara sumber jika SPLN tersebut beroperasi melalui BUT. Digitalisasi membuat pendekatan berbasis lokasi fisik ini tidak relevan. SPLN dapat melakukan transaksi ekonomi digital jarak jauh dalam skala besar secara global, memicu hilangnya potensi penerimaan negara di negara pasar (negara sumber). Tantangan utama yang muncul adalah bagaimana mengalokasikan hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh SPLN dari negara sumber tersebut.

Rasionalitas Kebijakan Pajak Digital dan Potensi Fiskal Indonesia

Krisis perpajakan digital ini memunculkan kebutuhan fiskal yang mendesak di negara-negara pasar. Indonesia, sebagai negara dengan potensi ekonomi digital terbesar di kawasan ASEAN, yang mencapai USD 70 miliar pada tahun 2021 dan diperkirakan berlipat ganda menjadi USD 146 juta pada tahun 2025 , memiliki kepentingan strategis untuk mengamankan basis pajaknya. Rasionalitas utama kebijakan pajak digital digerakkan oleh dua tujuan: Pertama, untuk mengamankan potensi penerimaan negara yang hilang akibat pergeseran laba (profit shifting) oleh MNE. Kedua, untuk menciptakan keadilan struktural (level playing field) bagi pelaku usaha, baik yang konvensional maupun digital, yang beroperasi di pasar yang sama.

Upaya untuk mengklaim hak pemajakan ini secara simultan memiliki dimensi fiskal dan dimensi keadilan. Ketika negara-negara pasar berusaha mempertahankan basis pajak domestik mereka, ketegangan meningkat dengan kebutuhan akan stabilitas dalam kerangka perpajakan internasional multilateral, yang seharusnya mencegah tindakan sepihak yang dapat mengarah pada pemajakan berganda.

Respon Unilateral: Mekanisme Mandiri Negara Pasar

Di tengah lambatnya kemajuan dalam konsensus global, banyak yurisdiksi mengambil langkah sepihak untuk menegaskan kedaulatan pajak mereka.

Digital Service Taxes (DST) Global: Sejarah, Desain, dan Konflik Dagang

Digital Service Taxes (DST) muncul sebagai alat fiskal yang relatif sederhana dan fleksibel, dirancang untuk mengenakan pajak pada perusahaan digital yang menunjukkan kecenderungan untuk menggeser laba ke yurisdiksi dengan pajak rendah. DST umumnya dikenakan pada pendapatan bruto (gross revenues) dari layanan digital tertentu yang diberikan kepada pengguna dalam yurisdiksi.

Per April 2024, sedikitnya dua belas negara—baik anggota OECD maupun non-OECD—telah memiliki DST yang aktif. Di Eropa, beberapa yurisdiksi terkemuka telah mengimplementasikan DST, meskipun tarifnya bervariasi.

Tabel 1: DST Aktif di Beberapa Yurisdiksi Pilihan

Yurisdiksi

Status Efektif Tarif DST (Gross Revenue) Keterangan Tambahan
Perancis Jan 2019 3% Threshold global EUR 750 Juta
Austria Jan 2020 5% Mengenakan pajak pada iklan digital
Spanyol Jan 2021 3% Berlaku untuk layanan iklan dan mediasi digital
Denmark Jan 2024 2% Di antara yang terbaru di Eropa

Implikasi Konflik Dagang: Keberadaan DST, yang seringkali dirancang dengan kriteria berbasis pasar, diringkus untuk non-residen, dan di luar lingkup perjanjian pajak, secara cepat memicu konflik perdagangan internasional. Amerika Serikat, melalui Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), meluncurkan investigasi Section 301. Investigasi ini didasarkan pada anggapan bahwa kebijakan DST yang diterapkan oleh beberapa negara (termasuk Indonesia) bersifat diskriminatif, ekstrateritorial, dan berisiko menimbulkan pemajakan berganda, sehingga membatasi perdagangan perusahaan digital AS. Resolusi konflik ini menjadi salah satu pendorong utama upaya OECD untuk mencapai konsensus multilateral.

Kebijakan Unilateral Indonesia: PPN PMSE dan BUT Digital

Indonesia menerapkan dua mekanisme kunci untuk mengklaim hak pemajakan atas ekonomi digital.

Penerapan PPN atas Produk Digital Impor (PPN PMSE)

Sejak 1 Juli 2020, Indonesia mulai memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau produk digital impor. Pelaku usaha PMSE ditunjuk sebagai pemungut PPN, dengan tarif PPN saat ini sebesar 11% (sesuai UU HPP dan PMK No. 60/PMK.03/2022). Pelaku usaha yang ditunjuk harus memenuhi kriteria nilai transaksi (>Rp600 juta setahun atau >Rp50 juta sebulan) atau jumlah traffic (>12 ribu setahun atau seribu sebulan) di Indonesia.

Kebijakan ini terbukti sangat efektif secara fiskal. Hingga 31 Juli 2023, PPN PMSE yang terhimpun mencapai Rp13,87 triliun. Data terkini menunjukkan bahwa total penerimaan pajak atas Usaha Ekonomi Digital secara kumulatif telah mencapai Rp40,02 triliun, dan diproyeksikan mencapai Rp42,53 triliun hingga September 2025.  Penerimaan ini tidak hanya berasal dari PPN PMSE tetapi juga mencakup pajak dari aset kripto dan fintech.

Tabel 2: Rekapitulasi Penerimaan Pajak Digital di Indonesia (Kumulatif)

Jenis Penerimaan Periode Data (Hingga) Nilai Kumulatif (Triliun Rupiah) Keterangan Dasar Hukum
Total Pajak Ekonomi Digital Terkini Rp40,02 Meliputi PPN PMSE, PPh, Kripto, Fintech
Proyeksi Total Pajak Digital September 2025 Rp42,53
PPN PMSE (Bagian dari Total) 31 Juli 2023 Rp13,87 Tarif 11%, berdasarkan PMK 60/2022
Pajak Fintech Desember 2024 Rp3,03 Meliputi PPh 23, PPh 26, PPN DN
Pajak Kripto Desember 2024 Rp1,09 Meliputi PPh 22 dan PPN DN

Konsep Kehadiran Ekonomi Signifikan (Significant Economic Presence – SEP)

Indonesia juga menerapkan kebijakan unilateral untuk PPh melalui penetapan BUT berdasarkan economic presence test (SEP) berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2020. Konsep ini bertujuan untuk memperluas hak pemajakan di negara pasar, yang difasilitasi oleh Pasal 32A Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Jika kriteria SEP terpenuhi, pemerintah dapat mengenakan PPh atau Pajak Transaksi Elektronik.

Keberadaan kebijakan PPh digital ini menjadi titik kontroversi utama. USTR berargumen bahwa kebijakan ini diskriminatif dan meningkatkan beban kepatuhan perusahaan digital AS. Sengketa pajak digital antara Indonesia dan AS ini sempat mengalami kebuntuan negosiasi bilateral, yang akhirnya dibawa ke forum World Trade Organization (WTO).

Situasi ini menunjukkan bahwa tindakan sepihak Indonesia, meskipun efektif dalam mengamankan penerimaan berbasis konsumsi (PPN PMSE), secara fundamental bertentangan dengan kebutuhan stabilitas struktural sistem perpajakan internasional dan menimbulkan risiko perang dagang global. Konflik kedaulatan ini hanya dapat diredakan dengan solusi multilateral yang diakui secara global.

Solusi Multilateral OECD/G20: The Two-Pillar Solution

Untuk merespons krisis perpajakan digital dan mencegah proliferasi tindakan sepihak (seperti DST), OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS (IF) menyepakati Solusi Dua Pilar (Two-Pillar Solution) pada Oktober 2021.

Pilar Satu (P1): Re-alokasi Hak Pemajakan (Amount A & Amount B)

Tujuan utama Pilar Satu adalah merealokasi hak pemajakan atas sebagian laba MNE terbesar dan paling menguntungkan ke yurisdiksi pasar, terlepas dari keberadaan fisik BUT, untuk mewujudkan keadilan dalam sistem perpajakan internasional.

Amount A: Mekanisme Hak Pemajakan Baru

Amount A menciptakan hak pemajakan baru untuk negara pasar (market jurisdictions). MNE yang dicakup (Covered Groups) sangat selektif, yaitu yang memiliki pendapatan global melebihi EUR 20 miliar dan margin laba pra-pajak di atas 10% dari pendapatan global.

Formula realokasi Amount A dirancang untuk memindahkan hak pemajakan atas laba residual. Laba residual adalah laba sebelum pajak yang melebihi 10% dari pendapatan. Sebesar 25% dari laba residual ini kemudian dialokasikan kepada yurisdiksi pasar. Alokasi kepada yurisdiksi pasar ditentukan secara proporsional berdasarkan pendapatan yang diperoleh MNE dari yurisdiksi tersebut.

Pilar Satu akan diimplementasikan melalui Konvensi Multilateral (MLC). Agar MLC dapat berlaku, diperlukan ratifikasi oleh 30 Negara yang menyumbang setidaknya 60% dari entitas induk MNE yang berada dalam cakupan Amount A. Salah satu elemen paling penting dari Amount A adalah komitmen wajib untuk menghapus DST yang sudah ada dan langkah serupa, serta berjanji untuk tidak menerapkan kebijakan serupa di masa depan (standstill and removal). Komitmen ini berfungsi sebagai penukar realokasi hak pemajakan baru. Sebagai bagian dari kompromi unilateral, AS setuju menangguhkan tindakan dagang Section 301 terhadap negara-negara yang memiliki DST (seperti Perancis dan Inggris) selama masa interim, asalkan mereka melanjutkan implementasi P1.

Amount B: Standarisasi Transfer Pricing

Amount B merupakan bagian integral dari P1 yang berfokus pada penyederhanaan dan standarisasi remunerasi bagi distributor yang melakukan aktivitas pemasaran dan distribusi dasar (baseline marketing and distribution activities) kepada pihak terkait di negara tersebut. Amount B menyediakan pendekatan yang disederhanakan dan diselaraskan untuk menerapkan Prinsip Jarak Wajar, khususnya dirancang untuk mengatasi kebutuhan yurisdiksi berkapasitas rendah (low-capacity jurisdictions). Laporan Final Amount B dirilis pada Februari 2024, dan yurisdiksi memiliki opsi untuk mulai menerapkan pendekatan ini untuk tahun fiskal yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2025.

Pilar Dua (P2): Pajak Minimum Global (GloBE Rules)

Pilar Dua memperkenalkan sistem perpajakan terkoordinasi, dikenal sebagai GloBE Rules, yang bertujuan memastikan MNE dengan pendapatan global konsolidasi melebihi EUR 750 Juta membayar Tarif Pajak Efektif (ETR) minimum sebesar 15% di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi. P2 diperkirakan akan menghasilkan sekitar USD 150 miliar pendapatan pajak baru secara global per tahun.

Mekanisme inti P2 terdiri dari tiga aturan utama:

  1. Income Inclusion Rule (IIR): Aturan primer yang memberikan hak kepada negara induk untuk memungut Top-Up Tax (pajak tambahan) jika anak perusahaan di yurisdiksi lain memiliki ETR di bawah 15%.
  2. Undertaxed Profits Rule (UTPR): Aturan sekunder yang berfungsi sebagai backstop jika IIR tidak diterapkan, mengalokasikan Top-Up Tax yang tidak dipungut oleh negara induk kepada negara-negara operasional lainnya.
  3. Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT): Aturan domestik yang memastikan bahwa jika ETR di suatu yurisdiksi berada di bawah 15%, negara sumber memiliki hak pertama untuk memungut Top-Up Tax domestik.

Perhitungan ETR dilakukan per yurisdiksi dengan membandingkan jumlah pajak tertutup yang disesuaikan (adjusted covered taxes) terhadap pendapatan yang memenuhi syarat (qualifying income). Perhitungan ini memperhitungkan pengecualian berdasarkan substansi (SBIE) yang mengurangi pendapatan yang dikenakan pajak rendah berdasarkan aset fisik dan biaya gaji.   Tabel 3: Perbandingan Teknis Pilar Satu dan Pilar Dua OECD

Karakteristik Pillar One (P1: Amount A) Pillar Two (P2: GloBE Rules)
Tujuan Utama Realokasi hak pemajakan ke yurisdiksi pasar. Memastikan MNE membayar pajak minimum 15%.
Batas Pendapatan (Revenue Threshold) EUR 20 Miliar (Global) EUR 750 Juta (Global)
Dasar Pemajakan 25% dari Laba Residual (>10% Margin) Top-up Tax untuk mencapai ETR 15%
Status Implementasi Membutuhkan ratifikasi MLC (tertunda) Banyak negara menetapkan berlaku mulai 2024/2025
Kompensasi Unilateral Wajib Menghapus DST yang ada N/A (Mengurangi kompetisi pajak)

Status Implementasi dan Proyeksi Kebijakan Indonesia

Kesiapan Indonesia terhadap Pilar Dua (GloBE)

Indonesia telah menunjukkan kecepatan signifikan dalam menindaklanjuti Pilar Dua. Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024 pada 31 Desember 2024, mengenai implementasi Pilar Dua.

Jadwal implementasi di Indonesia adalah sebagai berikut: IIR (Income Inclusion Rule) dan QDMTT (Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax) dijadwalkan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Sementara itu, UTPR (Undertaxed Profits Rule) akan berlaku efektif satu tahun setelahnya. Secara hukum domestik, Pasal 32A UU HPP telah memfasilitasi kerangka yang diperlukan untuk mengakomodasi penerapan Pilar Satu maupun Pilar Dua.

Keputusan untuk memprioritaskan QDMTT sejak awal tahun 2025 adalah langkah strategis defensif untuk melindungi basis pajak domestik. Dengan menerapkan QDMTT, Indonesia memastikan bahwa jika anak perusahaan MNE di Indonesia memiliki ETR di bawah 15%, Top-Up Tax tersebut akan diklaim oleh Indonesia terlebih dahulu. Langkah ini mencegah Top-Up Tax dialihkan ke yurisdiksi kantor pusat MNE melalui mekanisme IIR atau UTPR. Perlindungan basis pajak ini sangat penting mengingat beberapa mitra dagang utama dan yurisdiksi yang menjadi kantor pusat MNE, seperti Australia, juga telah mengimplementasikan P2, dengan IIR dan DMT berlaku efektif sejak 1 Januari 2024.

Tantangan Kepatuhan dan Administrasi

Meskipun fondasi hukum telah ditetapkan, implementasi P2 dan P1 di masa depan menghadapi tantangan teknis dan administratif yang besar.

Pertama, kompleksitas GloBE Rules memerlukan peningkatan substansial dalam kesiapan sistem otoritas pajak. Ini mencakup penyiapan teknologi informasi, peningkatan sumber daya manusia (SDM) yang memahami kerangka kerja yang kompleks, dan penyederhanaan proses administrasi perpajakan bagi MNE.

Kedua, ada risiko pemajakan berganda dan ketidakpastian hukum akibat tumpang tindih kebijakan. Walaupun Pasal 32A UU HPP memfasilitasi implementasi P1, keberadaan ketentuan yang mengatur BUT berbasis Economic Presence berpotensi dianggap sebagai “langkah serupa” (Relevant Similar Measures) dengan DST oleh anggota IF. Jika Pasal 32A tidak dicabut atau diubah setelah MLC P1 berlaku, Indonesia berisiko melanggar komitmen penghapusan tindakan sepihak dan dapat kehilangan hak atas alokasi Amount A.

Ketidakpastian ini telah menyebabkan para profesional dan asosiasi industri, seperti Asosiasi E-Commerce Indonesia, menyoroti kebutuhan akan kejelasan regulasi pelaksana dan periode transisi yang memadai untuk adaptasi. Pembelajaran dari yurisdiksi lain menunjukkan bahwa investasi dalam solusi teknologi untuk memfasilitasi pendaftaran, pelaporan, dan pembayaran, serta penyediaan mekanisme resolusi sengketa yang jelas, adalah faktor kunci keberhasilan implementasi.

Implikasi Strategis, Perspektif Negara Berkembang, dan Rekomendasi

Kritik Terhadap Pilar Satu dan Perjuangan Negara Pasar

Pilar Satu, yang dirancang untuk mengatasi tantangan perpajakan digital, menghadapi kritik signifikan dari negara berkembang yang sebagian besar merupakan yurisdiksi pasar. Kekhawatiran utama berpusat pada cakupan Amount A.

  • Pembatasan Cakupan: Kriteria yang sangat tinggi untuk Amount A (pendapatan global >EUR 20 Miliar dan margin laba >10%)  membatasi jumlah MNE yang tercakup. Lebih lanjut, hanya 25% dari laba residual yang direalokasikan. Banyak negara pasar khawatir bahwa manfaat realokasi yang akan mereka terima dari Amount A mungkin tidak sebanding dengan pendapatan yang telah mereka peroleh melalui kebijakan unilateral mereka sendiri (seperti PPN PMSE yang telah menghasilkan puluhan triliun rupiah).
  • Tantangan Inklusivitas: Pandangan akademis menunjukkan bahwa kerangka OECD Inclusive Framework, terutama P2, mungkin tidak realistis atau dapat diterapkan secara efektif tanpa pendekatan yang lebih inklusif bagi MNE dan yurisdiksi individu, terutama bagi negara berkembang yang memiliki kapasitas administrasi terbatas.

Keterbatasan P1 ini memberikan insentif yang kuat bagi negara-negara pasar untuk mempertahankan kebijakan unilateral yang sudah terbukti menghasilkan penerimaan fiskal.

Arah Masa Depan: Pilihan PBB sebagai Alternatif Inklusif

Ketidakpuasan yang muncul dari proses negosiasi OECD/G20 telah mendorong negara-negara berkembang untuk mencari alternatif platform yang lebih inklusif.

Kelompok 77 dan Tiongkok (G77) secara tegas mendukung peran PBB sebagai forum utama untuk kerja sama pajak internasional, menekankan pentingnya diskusi yang inklusif dan transparan di mana semua Negara Anggota berpartisipasi atas dasar kesetaraan.

Momentum ini menghasilkan adopsi resolusi Majelis Umum PBB A/RES/79/235, yang membentuk komite negosiasi antar-pemerintah terbuka untuk merancang Konvensi Kerangka PBB tentang Kerja Sama Pajak Internasional.35 Perkembangan ini menunjukkan pergeseran geopolitik yang signifikan, menciptakan jalur kerja sama pajak global “dual-track”: satu di bawah OECD/G20 yang berfokus pada MNE besar, dan satu lagi di PBB yang berupaya lebih inklusif dan mendukung mobilisasi sumber daya domestik, khususnya di negara berkembang.

Berdasarkan analisis terhadap dinamika unilateral dan multilateral, berikut adalah rekomendasi strategis bagi Indonesia:

  1. Prioritaskan Kepatuhan dan Perlindungan Basis Pajak (Pilar Dua): Otoritas pajak harus memfokuskan sumber daya untuk memastikan implementasi QDMTT dapat berjalan efektif per 1 Januari 2025. Memastikan penarikan Top-Up Tax secara domestik adalah prioritas fiskal yang krusial untuk mencegah pengikisan basis pajak oleh IIR negara lain.
  2. Pertahankan Kebijakan Unilateral yang Efektif: Pungutan PPN PMSE terbukti menjadi sumber penerimaan yang stabil dan signifikan. Indonesia harus mempertahankan kebijakan ini dan menjaga opsi PPh BUT SEP/PTE (Pasal 32A UU HPP) sebagai kebijakan kontingensi, sambil memantau dengan cermat status ratifikasi MLC P1. Jika MLC P1 tidak berlaku atau dianggap tidak menguntungkan, kebijakan unilateral tetap menjadi alat penting untuk menegaskan hak pemajakan.
  3. Investasi dalam Kapasitas dan Administrasi: Mengingat kompleksitas GloBE Rules, diperlukan investasi mendalam dalam sistem teknologi informasi, pelatihan SDM, dan penyederhanaan proses administrasi untuk memfasilitasi kepatuhan MNE, sejalan dengan praktik terbaik yang diamati di yurisdiksi lain.33
  4. Keterlibatan Aktif di Forum PBB: Indonesia harus memanfaatkan posisi strategisnya sebagai negara pasar besar dan anggota G77 untuk secara aktif berpartisipasi dalam pembentukan Konvensi Kerangka PBB. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kepentingan negara berkembang, terutama terkait hak pemajakan lintas batas, sepenuhnya terakomodasi dalam norma pajak internasional masa depan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.