Transformasi Kontemporer Asia: Dari Pertanian ke Metropolis Global

Modernisasi di Asia didefinisikan secara umum sebagai “suatu perubahan masyarakat dalam seluruh aspeknya dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern”. Dalam konteks urban, proses ini ditandai oleh pergeseran struktural dan pertumbuhan ekonomi yang pesat, terutama di negara-negara yang lebih miskin, memicu perpindahan penduduk secara massal dari daerah pedesaan dan hutan ke kota-kota. Pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang ditawarkannya, diperkuat oleh faktor-faktor seperti upah minimum yang lebih tinggi, berfungsi sebagai daya tarik utama yang memicu arus migrasi pedesaan-perkotaan yang substansial, sebuah fenomena yang dikenal sebagai urbanisasi.

Akibat dari proses hyper-urbanisasi ini, wilayah perkotaan di Asia abad ke-21 ditandai oleh dinamika ekonomi yang tinggi dan populasi yang terus meningkat. Meskipun modernisasi ini membawa kemajuan teknologi dan peningkatan standar hidup bagi sebagian populasi, fokus dominan pada pertumbuhan ekonomi sering kali mengabaikan dimensi sosial dan tantangan inklusivitas. Hal ini mendasari munculnya wajah ganda kota-kota modern di Asia.

Definisi Wajah Ganda: Simbol Kemajuan vs. Krisis Inklusivitas

Wajah ganda modernisasi Asia adalah kontras spasial yang dramatis antara kemegahan arsitektural dan kepadatan permukiman. Wajah Pertama diwakili oleh gedung pencakar langit yang menjulang tinggi—simbol kemajuan teknologi, kesuksesan kapitalis, aliran Investasi Asing Langsung (FDI), dan integrasi ke dalam jaringan ekonomi global. Wajah Kedua adalah permukiman padat dan kumuh (slums), yang melambangkan krisis perumahan, kegagalan penyediaan infrastruktur dasar, dan ketidaksetaraan akses sumber daya bagi populasi pekerja berupah rendah.

Analisis mendalam menunjukkan bahwa duality ini bukan sekadar koeksistensi visual, melainkan fenomena yang saling terkait dan merupakan konsekuensi langsung dari prioritas pembangunan. Masalah inti di balik duality ini adalah tergesernya fungsi sosial kota oleh fungsi ekonominya. Ketika pengembangan kota secara sepihak didorong demi kepentingan pertumbuhan ekonomi, hal ini secara inheren menciptakan pengabaian terhadap fungsi kota sebagai institusi sosial, yang pada akhirnya memperdalam kesenjangan sosial. Logika perencanaan yang terfokus pada memaksimalkan PDB melalui pembangunan infrastruktur megah menghasilkan pengecualian spasial bagi mereka yang melayani ekonomi formal tersebut, yang pada gilirannya memaksa mereka mencari solusi perumahan informal di lokasi yang strategis secara geografis dekat dengan pusat pekerjaan. Dengan demikian, keberadaan permukiman informal secara struktural diperlukan oleh model ekonomi yang diwakili oleh pencakar langit.

Konsep Keadilan Spasial (Spatial Justice) sebagai Kerangka Kritis

Untuk memahami dan mengatasi duality ini, penting untuk menerapkan kerangka kritis keadilan spasial, khususnya konsep Hak atas Kota (Right to the City). Hak ini menuntut partisipasi kolektif dan apropriasi ruang oleh seluruh penduduk, termasuk kelompok yang paling rentan dan migran. Kota-kota Asia, dengan fenomena Asian urbanism yang unik, kini menjadi studi kasus penting dalam transplantasi pengalaman pembangunan urban ke Global South.

Pergeseran mendasar diperlukan menuju apa yang dapat disebut sebagai Kota Sosial. Model ini menekankan proyek kolaboratif dalam pembangunan perkotaan yang memprioritaskan infrastruktur dasar, khususnya perumahan dan transportasi yang partisipatif, serta mengintegrasikan isu-isu sosial seperti integrasi imigran/migran, yang sering tertinggal dalam agenda pembangunan infrastruktur fisik semata.

Pilar Pertumbuhan: Arsitektur Kapital dan Integrasi Global

Dinamika Ekonomi Makro dan Aliran Modal

Pembangunan gedung-gedung megah di Asia didorong oleh dinamika ekonomi makro dan aliran modal yang signifikan. Investasi Asing Langsung (FDI) memegang peran sentral dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur besar ini, membawa manfaat berupa inovasi, teknologi baru, teknik manajerial, pengembangan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja. Aliran modal ini merupakan tulang punggung yang memungkinkan kota-kota Asia Tenggara (ASEAN) diproyeksikan menjadi pusat pertumbuhan dunia.

Meskipun vital, ketergantungan pada modal global ini menciptakan fondasi pertumbuhan yang rapuh. Aliran FDI sangat rentan terhadap ancaman geopolitik dan politik domestik  serta gejolak pasar global. Krisis Moneter Asia 1997 menjadi contoh tragis; guncangan global memicu hyperinflasi dan mengakhiri periode pertumbuhan panjang, menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Jakarta anjlok hingga minus 14%. Krisis ini melumpuhkan sektor perumahan dan konstruksi, serta merenggangkan jalinan sosial yang sudah dilemahkan oleh kebijakan yang terlalu fokus pada pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan yang diukur melalui indeks kota global dapat ambruk ketika modal global surut, dan krisis sosial terjadi lebih akut di negara-negara dengan jaring pengaman sosial yang lemah.

Simbolisasi Kekuatan Ekonomi: Gedung Pencakar Langit dan TOD

Gedung pencakar langit telah menjadi ikon regional, menandai kemajuan teknologi dan ekonomi, khususnya di ASEAN. China, misalnya, telah memimpin tren ini, diakui sebagai raja gedung pencakar langit di dunia. Selain ketinggian, tren pembangunan modern juga berorientasi pada transit (Transit-Oriented Development atau TOD). Di kota-kota seperti Shenzhen, gedung-gedung tinggi seperti Huide Tower terintegrasi langsung dengan stasiun kereta cepat, menghubungkan pusat bisnis dengan transportasi publik.

Contoh keberhasilan terlihat di Jakarta, yang mencatat lonjakan daya saing (naik ke peringkat 71 di Global Cities Index 2025) berkat perencanaan teknokratik yang solid. Peningkatan ini didorong oleh konektivitas transportasi publik (MRT dan LRT), dengan utilisasi mencapai 91–92%, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Namun, pembangunan infrastruktur transit yang canggih ini pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan produktivitas dan kenyamanan sektor formal (Wajah Pertama). Jika sistem ini gagal menjangkau permukiman informal di pinggiran secara efisien, ia menjadi mekanisme pengecualian spasial, yang memperkuat pembagian antara elit yang terhubung dan kaum miskin yang mobilitasnya dibatasi. Kesenjangan ini secara efektif mengenakan pajak waktu dan biaya transportasi yang lebih tinggi kepada penduduk miskin, membatasi akses mereka ke pekerjaan bernilai tinggi di pusat kota.

Kota Megapolitan Asia di Panggung Global

Keberhasilan pembangunan di Asia juga tercermin dalam kinerja pasar properti. Kota-kota utama seperti Jakarta, Manila, dan Bangkok menunjukkan pertumbuhan tahunan properti yang substansial (misalnya, Jakarta 10%, Manila 12%, Bangkok 8%). Fokus properti modern adalah pada fasilitas modern dan konsep berkelanjutan. Keberhasilan dalam dimensi business activity dan human capital (berkat pelatihan vokasi dan ekonomi digital) telah mendorong kota-kota Asia ke posisi yang lebih kuat dalam daya saing global.

Bayangan Kemajuan: Pemicu dan Realitas Permukiman Padat (The Informal City)

Urbanisasi sebagai Genesis Permukiman Kumuh

Urbanisasi, yang merupakan perpindahan penduduk desa ke kota , adalah mata rantai yang tak terpisahkan dari sistem keruangan yang luas yang dipengaruhi oleh aspek politik, sosial, dan ekonomi. Ketika migran tiba di kota untuk mencari peluang ekonomi, kegagalan pasar perumahan formal dalam menyediakan hunian yang terjangkau mendorong mereka untuk menciptakan solusi perumahan mereka sendiri, yang menghasilkan permukiman yang tidak memadai atau permukiman kumuh (slums).

Permukiman kumuh sangat mempengaruhi tingkat kesehatan lingkungan di wilayah tersebut dan seringkali dicirikan oleh tata letak organik, kepadatan tinggi, dan bangunan kecil. Upaya penataan kawasan dan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan di tempat-tempat ini sering terhambat oleh masalah administratif dan fragmentasi spasial, di mana batas permukiman kumuh tidak sepenuhnya sesuai dengan batas administratif resmi.

Anatomi Kepadatan Ekstrem: Studi Kasus Dharavi

Dharavi di Mumbai, India, adalah contoh ikonik dari realitas permukiman padat di Asia. Dianggap sebagai salah satu permukiman kumuh terbesar di dunia, Dharavi menampung hingga satu juta penduduk di lahan seluas sekitar 2.39 kilometer persegi, menjadikannya salah satu area terpadat di dunia. Meskipun menghadapi tantangan sanitasi yang buruk—sebuah isu yang sudah ada sejak didirikan pada masa kolonial Inggris—Dharavi menunjukkan semangat kewirausahaan dan ketahanan yang unik. Komunitasnya sangat beragam secara etnis dan agama, dengan jalinan sosial yang kuat yang memungkinkan penduduknya untuk hidup berdampingan secara harmonis.

Paradoks Ekonomi Informal: Jantung Vital Kota

Permukiman kumuh di Asia bukan sekadar kantong kemiskinan; mereka adalah pusat ekonomi informal yang dinamis dan vital bagi fungsi kota. Sektor informal memungkinkan penduduk untuk mengatur waktu kerja mereka secara mandiri dan seringkali menjadi pilihan bagi mereka yang ingin menghindari beban yang dikeluarkan dalam sektor formal.

Kasus Dharavi menunjukkan nilai ekonomi yang luar biasa ini. Area tersebut menampung ribuan industri skala kecil (termasuk tembikar, tekstil, produksi kulit, dan pengolahan makanan) dengan turnover tahunan yang diperkirakan melebihi US$1 miliar. Kontribusi ekonomi yang besar ini memperjelas paradoks: kota informal bukan merupakan beban yang harus dihapuskan, melainkan model ekonomi yang sangat efisien dan disubsidi secara sosial yang menguntungkan kota formal dengan menyediakan tenaga kerja murah dan barang/jasa berbiaya rendah.

Pemberdayaan sektor ekonomi informal dan revitalisasi ekonomi kampung harus dilihat sebagai narasi akar rumput yang penting dalam konteks transformasi global, bahkan dalam implementasi konsep Smart City. Jika pembangunan ulang dilakukan melalui penggusuran, potensi pemindahan paksa pekerja akan meningkatkan biaya perumahan dan transportasi mereka, serta menghancurkan mesin ekonomi dan modal sosial yang penting ini.

Eksaserbasi Ketimpangan: Kesenjangan Spasial dan Sosial

Disparitas Pendapatan (Gini Coefficient) di Asia

Pembangunan urban yang cepat dan tidak seimbang telah memperdalam kesenjangan sosial di seluruh Asia. Data kuantitatif dari Gini Index (Indeks Ketidaksetaraan) menegaskan hal ini, menunjukkan ketidaksetaraan yang signifikan di beberapa negara dengan ekonomi terbesar di kawasan ini. Pada tahun 2021, negara-negara seperti Israel (37.9), China (35.7), Indonesia (35.5), dan Thailand (34.9) memiliki indeks ketidaksetaraan yang relatif tinggi.

Pertumbuhan properti yang tinggi di kota-kota utama (seperti 10% di Jakarta dan 8% di Bangkok)  menunjukkan bahwa kekayaan terkonsentrasi pada aset lahan, memperburuk kesenjangan. Pembangunan yang didorong oleh kepentingan pertumbuhan ekonomi sepihak ini telah secara struktural memperlemah jalinan sosial di antara penduduk kota, menciptakan lingkungan di mana segregasi fisik dan sosial menjadi semakin dalam.

Tabel 1: Indikator Ketidaksetaraan Sosio-Ekonomi di Negara-Negara Asia Kunci

Negara Kunci Indeks Gini (2021/Terbaru) Ketersediaan Data Gini (Tahun) Laju Pertumbuhan Properti Tahunan (Kota Utama)
China 35.7 1990 – 2021 N/A
Indonesia 35.5 1984 – 2023 10% (Jakarta)
Thailand 34.9 1981 – 2021 8% (Bangkok)
India 32.8 1977 – 2021 N/A
Israel 37.9 1979 – 2021 N/A

Ketidaksetaraan Akses Layanan Publik (The Service Divide)

Ketidaksetaraan tidak hanya terlihat pada pendapatan, tetapi juga dalam akses terhadap layanan publik dasar. Disparitas layanan ini sering kali dipengaruhi oleh kondisi geografis, terutama di wilayah administratif yang mencakup daratan dan kepulauan. Tantangan utama termasuk penyebaran sumber daya manusia yang tidak merata dan kurangnya infrastruktur teknologi.

Dalam sektor pendidikan, studi Bank Pembangunan Asia (ADB) menunjukkan bahwa sekitar 27% anak-anak di beberapa negara ASEAN tidak dapat mengikuti sekolah daring karena infrastruktur internet yang tidak memadai, menimbulkan risiko penurunan kualitas pendidikan. Krisis kesehatan, seperti Covid-19, menyoroti bahwa investasi yang diabaikan dalam kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan, dapat melumpuhkan seluruh ekonomi.

Keadilan spasial dalam layanan menuntut strategi yang disesuaikan dengan kondisi lokal, alih-alih pemberian layanan yang seragam. Ini termasuk peningkatan frekuensi dan jangkauan layanan keliling, terutama di wilayah yang terisolasi secara geografis, untuk memastikan layanan inklusif.

Kerentanan Ganda (Double Vulnerability) terhadap Iklim

Ketimpangan spasial memburuk di hadapan perubahan iklim. Sebagian besar permukiman kumuh didirikan di lahan marjinal dan berisiko tinggi. Permukiman kumuh pesisir, misalnya, sangat rentan terhadap bahaya alam, seperti kenaikan permukaan air laut dan banjir rob (intrusi air laut ke daratan), seperti yang terlihat di Kota Tegal.

Fenomena ini mencerminkan ketidakadilan dalam ketahanan (resilience). Pertumbuhan pesat dan konsentrasi kekayaan (yang diwakili oleh pencakar langit) terjadi di area yang mampu membeli perlindungan (misalnya, infrastruktur pengendali banjir canggih). Sementara itu, kaum miskin terdesak ke lahan yang paling rentan. Masyarakat di kawasan kumuh ini hanya memiliki kapasitas fisik dan finansial yang minim untuk mengelola risiko jangka panjang dan membuat keputusan adaptasi. Ketika terjadi guncangan iklim, beban pemulihan ditanggung secara tidak proporsional oleh penduduk miskin, membuktikan bahwa ketidaksetaraan adalah pendorong utama kerentanan iklim.

Menuju Urbanisme Inklusif: Respons Kebijakan dan Model Pembangunan Ulang

Pergeseran Paradigma dalam Pengelolaan Kumuh

Pendekatan pembangunan urban di Asia memerlukan pergeseran paradigma. Metode tradisional yang fokus pada penggusuran dikritik oleh para ahli karena hanya memindahkan masalah, tidak menyelesaikannya. Program Peningkatan Kampung (Kampung Improvement Program atau KIP) di Surabaya, Indonesia, yang dimulai pada tahun 1969, menjadi model internasional untuk peningkatan di tempat (on-site upgrading) yang partisipatif.

KIP fokus pada perbaikan infrastruktur dasar (jalan setapak, drainase, sanitasi, dan pengelolaan sampah) dengan memberdayakan individu untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan perbaikan rumah mereka. Model ini terbukti sukses karena menumbuhkan rasa kepemilikan yang lebih besar, di mana komunitas menyumbang antara sepertiga hingga setengah dari biaya peningkatan. Keberhasilan KIP menunjukkan bahwa intervensi yang paling efektif bukanlah modal finansial semata, tetapi memaksimalkan modal sosial yang sudah ada, dengan mengakui penduduk sebagai subjek aktif dalam pembangunan.

Strategi Perumahan Terjangkau dan Stabilitas Urban

Untuk mengatasi krisis perumahan yang memicu pertumbuhan permukiman kumuh, intervensi negara yang kuat diperlukan. Model Housing Development Board (HDB) di Singapura adalah contoh bagaimana penyediaan perumahan publik terjangkau dalam skala besar dapat menciptakan stabilitas populasi dan mencegah munculnya slums.

Bagi negara-negara Asia Tenggara lainnya yang menghadapi keterbatasan fiskal dan kompleksitas regulasi lahan, skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) mungkin menjadi alternatif untuk meniru skala HDB. Namun, untuk memastikan urbanisasi inklusif, mekanisme hukum harus diadopsi—seperti usulan hak pemerintah untuk membeli lahan terlebih dahulu —guna mengendalikan spekulasi dan menjamin akses perumahan bagi semua lapisan masyarakat.

Pemberdayaan Ekonomi Informal dan Keterlibatan Akar Rumput

Mengintegrasikan dan melegitimasi sektor ekonomi informal adalah langkah kunci. Sektor ini menyediakan pekerjaan yang layak dan berfungsi sebagai penyangga sosial. Revitalisasi ekonomi kampung harus diakui sebagai narasi akar rumput yang penting, bahkan dalam diskursus modernisasi Smart City. Hal ini menempatkan warga sebagai subjek pembangunan yang aktif, yang berhak menentukan prioritas masalah dan menegosiasikan solusinya.

Konflik antara upgrading (seperti KIP) dan redevelopment (seperti yang diusulkan untuk Dharavi ) pada dasarnya adalah konflik geopolitik atas hak atas lahan. Upgrading mempertahankan kontrol lahan oleh komunitas, sementara redevelopment mengekstraksi lahan bernilai tinggi di pusat kota untuk kepentingan ekonomi formal (Wajah Pertama). Kebijakan harus memprioritaskan peningkatan di tempat untuk melindungi jaringan sosial dan ekonomi yang bernilai miliaran dolar.

Tabel 2: Perbandingan Model Intervensi Permukiman Kumuh dan Perumahan di Asia

Program/Proyek Lokasi/Fokus Pendekatan Utama Filosofi Kunci Faktor Kunci Keberhasilan/Kritik
Kampung Improvement Program (KIP) Surabaya, Indonesia Peningkatan di tempat (In-situ Upgrading), Partisipasi masyarakat Pemberdayaan dan kepemilikan komunitas, perbaikan infrastruktur dasar Komunitas berkontribusi 1/3 hingga 1/2 biaya; model internasional untuk on-site upgrading
HDB Model Singapura Perumahan publik terjangkau dan berkelanjutan Stabilitas populasi, Kepemilikan yang dikontrol negara Memerlukan kendali kuat negara atas hak properti dan perencanaan jangka panjang
Dharavi Redevelopment (Usulan) Mumbai, India Pembangunan ulang berbasis sektor, Konsolidasi lahan skala besar Berisiko menghancurkan jaringan sosial dan ekonomi informal yang bernilai miliaran dolar Perlu rekontekstualisasi agar tidak menyebabkan dislokasi atau penghancuran modal sosial

Kebutuhan Tata Kelola Kolaboratif (Kota Sosial)

Pembangunan perkotaan yang berkelanjutan menuntut tata kelola kolaboratif. Program Kota Sosial harus diterapkan, memandang pembangunan sebagai proyek partisipatif yang melibatkan berbagai pihak. Keadilan spasial juga harus dicapai dalam penyediaan layanan publik, di mana kesetaraan dipahami sebagai penyesuaian strategi pelayanan sesuai kondisi lokal, bukan sekadar pemberian layanan seragam. Selain itu, program peningkatan kualitas permukiman seperti NUSP-2 di Indonesia menunjukkan perlunya penguatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan kualitas permukiman di tingkat lingkungan dan kawasan.

Kesimpulan

Wajah ganda modernisasi Asia—kontras antara gedung pencakar langit yang didanai FDI dan permukiman padat yang rapuh—adalah hasil yang tak terhindarkan dari pilihan pembangunan yang tidak seimbang. Pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi di atas keadilan sosial menghasilkan kota yang secara spasial eksklusif. Modal global, meskipun membawa kemajuan, menciptakan volatilitas dan memperburuk kesenjangan sosial yang mendalam, terutama di tengah guncangan ekonomi atau krisis iklim. Kegagalan perencanaan untuk mengakomodasi pekerja berupah rendah telah mengubah permukiman kumuh menjadi pusat ekonomi informal yang vital, namun rentan terhadap penggusuran dan bencana. 

Untuk mengatasi duality ini dan mewujudkan urbanisme yang benar-benar inklusif, rekomendasi strategis berikut disajikan:

  1. Integrasi Perencanaan Holistik: Pemerintah kota harus mewajibkan perencanaan spasial yang melampaui batas administratif formal  dan secara fungsional mengintegrasikan kawasan formal dan informal. Hal ini penting untuk memastikan pembangunan infrastruktur dasar (seperti sanitasi dan perumahan ) menjangkau semua populasi urban.
  2. Pemberdayaan Ekonomi Lokal: Kebijakan harus secara eksplisit melegitimasi dan memberdayakan sektor ekonomi informal. Pendekatan ini harus melihat ekonomi informal sebagai aset ekonomi strategis yang berkontribusi lebih dari satu miliar dolar AS per tahun (berdasarkan studi kasus Dharavi) , bukan hanya sebagai masalah tata ruang yang harus dihilangkan.
  3. Investasi dalam Ketahanan Sosial-Ekologis: Investasi publik harus dialihkan dari proyek mercusuar semata ke peningkatan kapasitas masyarakat urban miskin (finansial dan fisik) untuk menghadapi kerentanan iklim dan bencana, terutama di kawasan pesisir. Peningkatan di tempat (in-situ upgrading), seperti model KIP Surabaya , harus diprioritaskan di atas penggusuran, karena ia memaksimalkan modal sosial yang penting bagi ketahanan.
  4. Hak dan Akses Lahan: Pemerintah harus mengadopsi intervensi pasar lahan yang kuat, mencontoh kontrol yang dilakukan oleh model HDB Singapura, untuk memastikan ketersediaan perumahan terjangkau. Regulasi spekulasi lahan sangat krusial untuk menghentikan desakan kaum miskin ke wilayah berisiko tinggi akibat kenaikan harga properti yang tidak terkendali.
  5. Prinsip Keadilan Layanan: Dalam penyediaan layanan publik, prinsip keadilan spasial harus menjadi panduan utama. Strategi pelayanan harus disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk peningkatan signifikan pada layanan keliling dan berbasis lokasi, untuk menjangkau wilayah-wilayah yang secara geografis terisolasi atau di luar jangkauan layanan formal.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.