Pembangunan infrastruktur berfungsi sebagai fondasi dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, peningkatan konektivitas regional, dan penurunan biaya logistik, memungkinkan produk domestik memiliki daya saing yang lebih tinggi. Sejak Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2005–2014) hingga penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) di bawah visi Nawacita Presiden Joko Widodo, akselerasi proyek besar telah menjadi prioritas utama negara. Namun, fokus pada percepatan implementasi ini secara inheren menghadirkan risiko kegagalan, yang sering kali bersumber dari tantangan birokrasi, konflik horizontal, dan intervensi politik.
Laporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara mendalam pola kegagalan proyek strategis nasional yang melintasi berbagai administrasi pemerintahan. Dengan memisahkan kegagalan ke dalam tiga kategori operasional—Mangkrak, Merugi, dan Tidak Terpakai—analisis ini memberikan pemahaman yang bernuansa mengenai akar masalah sistemik, mulai dari tata kelola yang buruk hingga risiko fiskal yang diwariskan.
Latar Belakang dan Urgensi Pembangunan Infrastruktur
Pemerintah Indonesia secara konsisten mengalokasikan anggaran besar untuk infrastruktur, menyadari peran vitalnya dalam mendukung pola urbanisasi dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Untuk mengatasi masalah koordinasi yang kronis antar-pemerintah, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) dibentuk pada 2014, dilengkapi dengan otoritas yang lebih kuat untuk memimpin pelaksanaan PSN. Meskipun kerangka regulasi PSN terus direvisi dan diubah (Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 7 Tahun 2021 telah mengalami perubahan keenam per 2024, diatur dalam Permenko No. 12 Tahun 2024) , frekuensi perubahan ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya adaptasi kebijakan yang dinamis, tetapi juga mencerminkan ketidakstabilan kerangka hukum yang diperlukan untuk menarik investasi swasta. Kepastian hukum ini sangat penting karena ketidakcocokan kerangka regulasi adalah salah satu hambatan utama dalam percepatan proyek.
Kerangka Konseptual Kegagalan Proyek Strategis (Definisi Operasional)
Untuk analisis yang sistematis, kegagalan proyek didefinisikan berdasarkan tiga kriteria utama:
| Kategori Kegagalan | Definisi Operasional | Indikator Kunci (KPI) |
| Mangkrak (Stalled/Aborted) | Proyek terhenti total, dicoret dari daftar PSN, gagal mencapai financial closing, atau mengalami penundaan parah di luar batas waktu yang direncanakan meskipun telah memakan biaya perencanaan awal. | Proyek yang dikeluarkan dari daftar PSN; Proyek yang diwariskan kepada administrasi berikutnya karena belum rampung (misalnya, 42 PSN Jokowi); Proyek yang tertunda akibat isu lahan. |
| Merugi (Loss-Making) | Proyek yang menghasilkan kerugian finansial langsung bagi anggaran negara (APBN) atau BUMN yang ditugaskan, terutama melalui liabilitas utang yang tidak berkelanjutan atau temuan kerugian negara akibat korupsi dan ketidakpatuhan. | Temuan kerugian negara oleh BPK; Beban liabilitas/bunga utang BUMN Karya; Gagal pungut denda. |
| Tidak Terpakai (Underutilized/White Elephant) | Proyek selesai dibangun, tetapi tingkat pemanfaatan operasionalnya jauh di bawah kapasitas desain atau tidak layak secara ekonomi, atau menghasilkan eksternalitas negatif sosial-ekologis yang dominan. | Rasio Pemanfaatan Kapasitas rendah; Proyek yang menimbulkan bencana sosial dan lingkungan, bertentangan dengan tujuan inklusivitas. |
Genealogi Kegagalan Mega-Proyek Indonesia (Lintas Rezim)
Kegagalan dalam proyek pembangunan berskala besar di Indonesia bukanlah isu baru; akar kegagalan ini dapat ditelusuri kembali ke era sebelum kerangka PSN modern diterapkan, menunjukkan adanya pola sistemik dalam perencanaan dan implementasi.
Era Orde Baru: Ambisi Industri dan Gagalnya Proyek Nasional
Pada masa Orde Baru, ambisi pembangunan sering difokuskan pada industrialisasi yang didorong oleh negara, namun banyak proyek strategis yang terhenti atau gagal memberikan hasil jangka panjang karena guncangan ekonomi dan kelemahan fundamental.
Contoh yang menonjol adalah upaya pembangunan industri penerbangan nasional (IPTN/Nurtanio) dan Proyek Mobil Nasional Timor. Proyek Mobil Nasional Timor, meskipun didorong oleh politik dengan memberikan ‘keistimewaan’ khusus , akhirnya gagal beroperasi secara berkelanjutan. Kegagalan ini menggarisbawahi risiko kebijakan yang mendasarkan keistimewaan pada pertimbangan politik dan proteksionisme, bukan pada fundamental ekonomi yang kuat atau kajian kelayakan pasar yang realistis. Ketika proyek strategis didorong sebagai agenda politik tanpa diseriusi oleh dukungan pemerintah berkelanjutan di luar masa kampanye , hasilnya adalah kerugian investasi dan kegagalan industri.
Era SBY: Warisan Kelistrikan Mangkrak (Program 10.000 MW)
Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 Megawatt (2006–2015), yang diatur melalui Perpres Nomor 71 Tahun 2006, menjadi studi kasus klasik mengenai kegagalan perencanaan yang masif dan tata kelola yang buruk sebelum era PSN modern.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2017 menyimpulkan bahwa proyek ini diwarnai dengan perencanaan kegiatan yang tidak memadai, pemborosan belanja, dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Temuan BPK menunjukkan potensi kerugian signifikan: pengeluaran PLN sebesar Rp 609,54 miliar dan $78,69 juta berpotensi sia-sia karena sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mangkrak, termasuk PLTU Tanjung Balai Karimun dan PLTU 2 NTB Lombok.
Lebih lanjut, tata kelola yang lemah juga tercermin dari kelalaian PLN untuk mengenakan denda keterlambatan kepada produsen listrik swasta (Independent Power Producer – IPP), yang jumlahnya mencapai Rp 704,87 miliar dan $102,26 juta. Kasus ini menunjukkan bahwa kerugian finansial besar (kategori Merugi) tidak hanya disebabkan oleh proyek yang tidak selesai secara fisik (Mangkrak), tetapi juga oleh kelalaian administratif dan tata kelola yang gagal mengamankan hak negara. Pola kegagalan ini memuncak pada kasus PLTU 1 Kalimantan Barat (Kalbar), yang terbukti merugikan negara sebesar Rp 1,3 triliun dan melibatkan penetapan tersangka korupsi. Kasus PLTU 1 Kalbar merupakan contoh konkret bagaimana kegagalan perencanaan yang buruk dan pemborosan dapat berujung pada kerugian fiskal langsung yang diakibatkan oleh praktik korupsi.
Beban Warisan dan Risiko Fiskal PSN Era Kontemporer
Meskipun Proyek Strategis Nasional (PSN) di era Joko Widodo telah berhasil menyelesaikan banyak proyek infrastruktur, administrasi ini meninggalkan warisan proyek yang belum selesai dan risiko fiskal signifikan, terutama melalui liabilitas BUMN.
Proyek Mangkrak yang Diwariskan (42 PSN)
Pada akhir masa jabatan 2024, Presiden Jokowi mengakui bahwa 42 PSN, yang nilai investasinya mencapai sekitar Rp 1.427,36 triliun, tidak akan rampung dan harus dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya. Warisan ini mencerminkan beban perencanaan dan pendanaan yang memerlukan komitmen politik berkelanjutan.
Di antara proyek-proyek yang diwariskan ini adalah infrastruktur padat modal seperti proyek MRT East-West (senilai Rp 117 triliun) dan MRT North-South (Rp 28,4 triliun). Selain itu, proyek seperti Bendungan Gerak Karangnongko, Tol Tuban-Lamongan, Tol Trans Sumatera, Tol Semarang-Demak, dan Proyek Lapangan Ubadari juga terancam tidak selesai pada 2024. Meskipun beberapa proyek telah memasuki tahap penutupan finansial (financial closing), hambatan klasik seperti pengadaan lahan dan pemenuhan pembiayaan terus menjadi masalah. Sebagai contoh, proyek Tol Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap (Getaci) dan Tol Gilimanuk-Mengwi di Bali terhambat karena lelang ulang dan proses pemenuhan pembiayaan. Demikian pula, pengerjaan Tol Serang-Panimbang diundur hingga 2025 akibat isu lahan.
Pemerintah juga secara formal mengakui kegagalan proyek dengan mencoret beberapa inisiatif dari daftar PSN (kategori Mangkrak). Contoh proyek yang dicoret mencakup ruas Tol Rantau Prapat-Kisaran, yang membutuhkan investasi sebesar Rp 33,72 triliun, dan seharusnya sudah mulai dibangun sejak 2018. Proyek Sistem Penyediaan Air Baku Bendungan Sidan di Bali senilai Rp 421 miliar juga dikeluarkan dari daftar. Pencoretan ini merupakan pengakuan formal atas inefisiensi belanja modal yang telah dikeluarkan untuk proyek yang akhirnya tidak produktif.
Tabel berikut merangkum data kunci mengenai PSN yang terbukti mangkrak atau diwariskan:
Proyek Mangkrak, Dicoret, dan Diwariskan (Akhir Masa Jabatan 2024)
| Proyek Strategis Nasional (PSN) | Sektor | Estimasi Nilai Investasi (T) | Status Akhir Era Jokowi | Faktor Penghambat Utama |
| Total 42 PSN yang Diwariskan | Multi-Sektor | Rp 1.427,36 | Dilanjutkan/Diserahkan | Transisi kebijakan, kompleksitas pendanaan |
| MRT Jakarta East-West Line | Kereta Api | Rp 117 | Lanjut (Financial Closing) | Kompleksitas pendanaan internasional |
| Jalan Tol Rantau Prapat-Kisaran | Jalan Tol | Rp 33,72 | Dicoret (Mangkrak Formal) | Gagal pembangunan, dikeluarkan dari PSN |
| SPAM Bendungan Sidan Bali | Air | Rp 0,421 | Dicoret (Mangkrak Formal) | Dikeluarkan dari Daftar PSN |
| Tol Serang-Panimbang | Jalan Tol | Rp 8,58 | Diundur hingga 2025 | Permasalahan lahan |
| Proyek Lapangan Ubadari | Energi | N/A | Terancam Mangkrak | Terancam tidak selesai di 2024 |
Beban Utang dan Kerugian BUMN Karya (‘Merugi’ Skala Sistemik)
Salah satu risiko terbesar dari model percepatan PSN adalah model penugasan kepada BUMN Karya, yang sering kali menghasilkan “utang publik tersembunyi” (contingent liability). Kegagalan proyek skala besar atau tertundanya pembayaran akibat masalah lahan memaksa BUMN menanggung beban utang yang masif, menciptakan risiko sistemik bagi sektor konstruksi negara.
Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu mengemukakan bahwa pembengkakan utang BUMN Karya triliunan rupiah berasal dari penugasan ini, menyoroti bahwa kementerian pemberi penugasan (seperti Kementerian PUPR dan Kemenhub) harus ikut bertanggung jawab atas pencarian anggaran. Kasus PT Waskita Karya (Persero) Tbk adalah contoh ekstrem. Pada tahun 2020, liabilitas perusahaan mencapai Rp 89,01 triliun, dengan beban bunga utang mencapai Rp 4,7 triliun. Beban fiskal ini menunjukkan bahwa penyelesaian kerugian secara organik melalui kinerja bisnis normal BUMN Karya menjadi tidak realistis, memerlukan intervensi negara untuk menyelesaikan masalah utang yang diakibatkan oleh penugasan PSN.
Pemerintah menanggapi risiko ini melalui restrukturisasi. Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, memastikan adanya upaya percepatan penyelesaian PSN BUMN dan mendorong masing-masing BUMN untuk menyiapkan handover document (dokumen serah terima) agar proyek yang belum selesai—seperti ruas Tol Trans Sumatera Jambi-Riau—dapat dilanjutkan oleh pemerintahan mendatang dan terhindar dari status mangkrak. Selain itu, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) telah difokuskan untuk melakukan restrukturisasi BUMN besar, termasuk Waskita Karya, untuk mengelola liabilitas dan mengamankan aset strategis.
Fenomena Aset Tidak Terpakai (Underutilized Assets/Gajah Putih)
Kategori kegagalan ini mencakup proyek yang secara fisik telah selesai (tidak Mangkrak) dan dibangun dengan dana besar, namun operasionalnya jauh di bawah kapasitas, menjadikannya ‘gajah putih’ dan tidak memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Kegagalan ini biasanya berakar pada studi kelayakan permintaan (demand planning) yang cacat atau kurangnya koordinasi multi-sektor.
Bandara dan Infrastruktur Logistik Sepi (Gajah Putih)
Meskipun tujuan PSN adalah meningkatkan konektivitas , sejumlah proyek bandara di Indonesia menghadapi masalah underutilization, sehingga media sering menyebutnya “Bandara yang Sepi Bagai Kuburan” atau proyek “Gajah Putih” (White Elephant).
Bandara Internasional Kertajati (BIJB) menjadi salah satu studi kasus utama yang menelan anggaran besar namun menghadapi tantangan serius dalam mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal. Meskipun dibangun sebagai salah satu bandara terbesar di Indonesia, tingkat kepadatan lalu lintas dan rute yang beroperasi tidak sebanding dengan kapasitas desainnya yang masif, sehingga operasionalnya jauh di bawah potensi.
Fenomena ini juga terjadi pada infrastruktur logistik lain. Pembangunan bandara, pelabuhan, atau jalan tol harus didampingi oleh pengembangan kawasan industri, pariwisata, atau pusat ekonomi yang terintegrasi. Jika infrastruktur konektivitas selesai, tetapi tidak ada demand regional yang memadai, atau tidak terhubung secara efisien dengan rantai pasok dan logistik yang lebih luas, investasi modal besar tersebut akan menjadi beban operasional yang merugi dan menjadi aset tidak terpakai.
Dampak Sosial dan Ekologis yang Dominan
Sebagian PSN, meskipun selesai atau berlanjut, dapat diklasifikasikan sebagai proyek yang gagal dari perspektif keberlanjutan sosial dan ekologis. Percepatan pelaksanaan PSN sering dituduh membuka ruang investasi dengan mengorbankan hak-hak warga. Konflik sosial dan sengketa lahan merupakan kendala yang menghambat banyak proyek, disebabkan oleh proses pembebasan lahan yang tidak transparan dan tidak adil.
Dampak negatif sosial-lingkungan dari implementasi PSN mencakup pembuangan limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3) di perairan, yang mencemari air dan merusak biota laut. Penolakan keras dari masyarakat adat, seperti pada kasus PSN Food Estate Merauke atau tuntutan pembayaran tanah oleh warga terdampak PLTU Upper Cisokan, menunjukkan biaya eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh proyek yang hanya fokus pada target fisik tanpa mengintegrasikan pertimbangan manusia dan lingkungan.
Analisis Multifaktorial Penyebab Kegagalan PSN
Kegagalan proyek strategis nasional jarang disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan merupakan hasil dari interaksi kompleks antara kelemahan tata kelola, risiko politik, dan kendala eksekusi.
Tabel 3: Mode Kegagalan PSN dan Kausalitas
| Mode Kegagalan | Deskripsi Utama | Akar Penyebab Utama | Contoh Proyek Terkait |
| Kegagalan Perencanaan | Ketidaksesuaian teknis, pemborosan belanja, kurangnya kajian permintaan. | Perencanaan tidak memadai, ketidakpatuhan regulasi. | PLTU 10.000 MW ; Bandara Underutilized (Kertajati) |
| Kegagalan Eksekusi (Mangkrak) | Proyek terhenti total di tengah jalan. | Konflik lahan (tidak transparan/adil), penegakan hukum lemah. | Tol Serang-Panimbang ; Tol Getaci ; PSN di Merauke |
| Kegagalan Fiskal (Merugi) | Menciptakan utang negara atau liabilitas BUMN masif. | Penugasan BUMN tanpa dukungan fiskal yang memadai, korupsi, manipulasi proyek. | Waskita Karya ; PLTU 1 Kalbar (Rp 1,3 T) |
| Kegagalan Tata Kelola | Prioritas ditentukan oleh kepentingan non-ekonomis. | Politisasi proyek, intervensi oligarki ; Pergantian kepemimpinan | Mobil Nasional Timor ; Proyek yang bernuansa politik |
Isu Tata Kelola, Korupsi, dan Risiko Politik
Korupsi tetap menjadi ancaman serius dalam proyek-proyek besar, mengakibatkan manipulasi dalam pengadaan dan penyalahgunaan dana yang menyebabkan keterlambatan dan kerugian negara. Kerugian sebesar Rp 1,3 triliun pada PLTU 1 Kalbar akibat korupsi merupakan bukti nyata dari risiko ini. Risiko ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum, di mana kurangnya pengawasan dan akuntabilitas menyebabkan banyak laporan pelanggaran hukum tidak ditindaklanjuti secara serius.
Selain itu, aspek politik sering kali mengalahkan urgensi kebutuhan ekonomi. Beberapa PSN cenderung didorong oleh nuansa politik. Pergantian kepemimpinan atau administrasi sering kali mengubah prioritas proyek, yang menjadi penyebab langsung beberapa proyek terbengkalai. Fenomena ini diperkuat oleh relasi yang kuat antara pengusaha dan penguasa (oligarki), yang memfasilitasi pelaksanaan PSN demi keuntungan rente. Kondisi ini menjelaskan mengapa kebijakan terkadang lebih tunduk pada pengusaha daripada memihak kepentingan rakyat.
Konflik Lahan dan Ketimpangan Distribusi
Kendala pelaksanaan yang paling konsisten dalam sejarah proyek infrastruktur Indonesia adalah konflik sosial dan sengketa lahan. Konflik ini terjadi ketika proses pembebasan lahan tidak dilakukan dengan transparan dan adil, sebagaimana disoroti sebagai tantangan utama pelaksanaan PSN. Keterlambatan proyek seperti Tol Serang-Panimbang dan Tol Gilimanuk-Mengwi adalah manifestasi langsung dari hambatan eksekusi ini.
Di sisi lain, terdapat kritik mengenai ketimpangan wilayah. Anggaran PSN masih terdistribusi secara tidak merata, dengan sebagian besar sumber daya terkonsentrasi di Pulau Jawa, sementara wilayah Indonesia Timur menerima porsi yang relatif kecil. Hal ini bertentangan dengan tujuan pembangunan yang inklusif dan pemerataan.
Upaya Penanganan, Restrukturisasi, dan Lessons Learned
Pemerintah telah melakukan langkah-langkah mitigasi pasca-kejadian untuk menangani warisan proyek mangkrak dan meminimalkan risiko fiskal di masa depan.
Strategi Restrukturisasi BUMN dan Keberlanjutan
Untuk meredakan tekanan utang BUMN Karya yang berasal dari penugasan PSN , PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset) ditugaskan untuk fokus pada restrukturisasi BUMN-BUMN besar seperti Waskita Karya, PT IKI, dan lainnya. Restrukturisasi ini bertujuan untuk menstabilkan kondisi keuangan BUMN dan mengamankan aset strategis negara.
Dalam konteks transisi kepemimpinan, Kementerian BUMN memastikan bahwa proyek-proyek yang belum selesai, terutama 42 PSN yang diwariskan, dilengkapi dengan handover document. Kebijakan ini penting untuk mengurangi risiko mangkrak akibat perubahan prioritas politik, memastikan bahwa administrasi baru memiliki peta jalan yang jelas untuk kelanjutan proyek dan meminimalkan keterlambatan. Selain itu, BUMN juga didorong untuk melakukan transformasi digitalisasi dan inovasi model bisnis untuk meningkatkan profitabilitas, bukan hanya berfokus pada eksekusi penugasan.
Pembelajaran Utama (Lessons Learned)
Pengalaman PSN menunjukkan perlunya perubahan fundamental dalam pendekatan pembangunan infrastruktur. Laporan Kemenkeu menggarisbawahi bahwa percepatan pembangunan menuntut peningkatan keahlian dalam eksekusi proyek dan mobilisasi modal swasta yang lebih besar.
Meskipun KPPIP telah dibentuk untuk mengatasi masalah koordinasi antar-pemerintah , masalah klasik seperti pengadaan lahan dan kerangka regulasi yang tidak kompatibel tetap menjadi kendala yang menghambat kemajuan. Pembelajaran utama adalah bahwa strategi percepatan harus diimbangi dengan stabilitas kerangka hukum dan peningkatan transparansi. Seringnya perubahan regulasi PSN (seperti Permenko Perekonomian yang diubah berkali-kali) harus diakhiri dengan menetapkan kriteria yang lebih stabil bagi investor.
Dampak Negatif Kuantitatif dan Kualitatif Kegagalan PSN
Kegagalan proyek strategis menimbulkan dampak kerugian yang berlapis, baik pada keuangan negara maupun kualitas kehidupan sosial dan lingkungan.
Kerugian Fiskal dan Beban Ekonomi
Kerugian finansial akibat kegagalan proyek bersifat langsung maupun tidak langsung:
- Kerugian Langsung dan Korup: Kasus Program 10.000 MW menunjukkan kerugian langsung melalui pemborosan (Rp 609,54 miliar dan $78,69 juta yang berpotensi sia-sia) dan kerugian akibat korupsi, seperti yang terjadi pada PLTU 1 Kalbar yang mencapai Rp 1,3 triliun.
- Beban Utang Sistemik: Dampak tidak langsung yang paling signifikan adalah risiko sistemik yang dialihkan ke BUMN Karya. Liabilitas Waskita Karya yang mencapai Rp 89,01 triliun dan beban bunga tahunan yang masif (Rp 4,7 triliun pada 2020) menunjukkan bagaimana moral hazard penugasan telah menciptakan krisis keuangan di sektor konstruksi BUMN, yang pada akhirnya harus diselesaikan menggunakan sumber daya negara (melalui restrukturisasi PPA).
- Inefisiensi Belanja Modal: Proyek yang dicoret dari daftar PSN, seperti Tol Rantau Prapat-Kisaran dengan investasi Rp 33,72 triliun , merepresentasikan belanja modal yang terlanjur dikeluarkan tetapi tidak menghasilkan nilai ekonomi yang diharapkan (aset Mangkrak).
Tabel 4: Kerugian Fiskal dan Liabilitas Akibat Kegagalan Proyek Strategis (1997–2024)
| Proyek/Program | Era Administrasi | Kategori Kegagalan | Dampak Fiskal Kuantitatif | Isu Utama |
| Program Listrik 10.000 MW | SBY | Merugi/Mangkrak | Pengeluaran sia-sia Rp 609 M & $78 M; Gagal pungut denda $102 M | Perencanaan buruk, pemborosan |
| PLTU 1 Kalimantan Barat | SBY | Merugi/Korupsi | Kerugian Negara Rp 1,3 Triliun | Korupsi, ketidakpatuhan |
| Liabilitas Waskita Karya | Jokowi (PSN) | Merugi/Sistemik | Liabilitas Rp 89,01 Triliun (2020); Beban bunga Rp 4,7 T | Penugasan BUMN tanpa dukungan fiskal |
| Tol Rantau Prapat-Kisaran | Jokowi (PSN) | Mangkrak/Dicoret | Investasi terlanjur Rp 33,72 Triliun | Gagal pembangunan, dicoret dari PSN |
Biaya Sosial dan Lingkungan
Dampak kualitatif dari kegagalan PSN sangat terasa pada masyarakat yang terdampak. Pelaksanaan PSN yang mempercepat investasi namun mengorbankan hak warga melalui proses pembebasan lahan yang tidak adil menyebabkan konflik sosial yang meluas, merusak kohesi sosial dan mengikis kepercayaan publik.
Secara ekologis, proyek yang gagal atau dirancang buruk dapat meninggalkan dampak lingkungan permanen, termasuk pencemaran perairan akibat pembuangan limbah B3. Proyek yang mengedepankan keuntungan rente bagi oligarki dan penguasa alih-alih keberlanjutan inklusif akan selalu menghasilkan bencana sosial dan ekologis, seperti yang dialami masyarakat adat yang menolak proyek Food Estate Merauke.
Kesimpulan
Analisis proyek strategis yang mangkrak, merugi, atau tidak terpakai menunjukkan bahwa masalah ini bersifat kronis dan sistemik, melintasi era Orde Baru hingga PSN modern. Kegagalan ini tidak semata-mata bersifat teknis, melainkan gabungan dari kelemahan tata kelola, intervensi politik yang berlebihan, dan kegagalan dalam mitigasi risiko fiskal BUMN.
Rekomendasi Penguatan Tata Kelola Fiskal
- Penerapan Due Diligence yang Ketat: Harus dipastikan bahwa usulan proyek baru, termasuk 16 PSN baru yang direncanakan menelan investasi Rp 1.449 triliun , didasarkan pada studi kelayakan finansial dan permintaan pasar yang ketat (pre-feasibility study yang independen), terutama bagi proyek yang mengandalkan skema KPBU atau swasta.
- Transparansi Dukungan Fiskal untuk BUMN: Model penugasan kepada BUMN harus ditinjau ulang. Untuk proyek yang secara inheren tidak layak secara komersial namun strategis, pemerintah harus menyediakan dukungan fiskal yang eksplisit dan transparan (misalnya, Viability Gap Funding atau APBN murni), alih-alih membiarkan risiko utang (liabilitas Rp 89 T Waskita) dialihkan ke neraca BUMN, yang pada akhirnya akan menjadi beban negara.
- Rekomendasi Peningkatan Inklusivitas dan Keberlanjutan
- Prioritas Kualitas dan Pemanfaatan Optimal: Pemerintahan berikutnya dianjurkan untuk memprioritaskan penyelesaian dan optimalisasi 42 PSN yang diwariskan (senilai Rp 1.427,36 T) daripada penetapan PSN baru. Fokus harus bergeser dari kuantitas proyek ke kualitas implementasi dan utilitas aset, sejalan dengan arahan untuk fokus pada kualitas yang diutarakan Rosan melalui Danantara.
- Penyelesaian Konflik Lahan yang Adil: KPPIP dan lembaga terkait harus mengadopsi pendekatan penyelesaian konflik lahan yang lebih adil, transparan, dan melibatkan partisipasi masyarakat sejak dini, memastikan hak-hak warga tidak dikorbankan demi akselerasi investasi. Kegagalan dalam aspek ini akan terus menjadi hambatan terbesar dalam eksekusi proyek.
- Rekomendasi Keberlanjutan Lintas Administrasi
- Penguatan Independensi KPPIP: Otoritas Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) harus diperkuat dan dijaga independensinya dari intervensi politik jangka pendek. Hal ini untuk memastikan stabilitas dan keberlanjutan prioritas proyek strategis, terlepas dari pergantian rezim, sebagaimana pergantian kepemimpinan sering kali menyebabkan proyek terbengkalai.
- Standarisasi Kriteria Pencoretan Proyek: Meskipun Permenko Perekonomian telah berulang kali diubah untuk mengakomodasi daftar PSN , pemerintah perlu menetapkan kriteria standar yang eksplisit dan terikat waktu untuk pencoretan proyek yang telah gagal total atau terbukti merugi. Langkah ini esensial untuk membebaskan sumber daya dan menghentikan pengeluaran yang tidak produktif (misalnya, untuk proyek yang dicoret senilai Rp 33,72 T seperti Tol Rantau Prapat-Kisaran). Dokumen serah terima (handover document) yang kini diterapkan pada BUMN harus distandarisasi dan diwajibkan untuk semua PSN yang belum rampung saat transisi kekuasaan, guna memastikan akuntabilitas dan kesinambungan program pembangunan.