Latar Belakang dan Konteks Makroekonomi 2025
Tulisan ini disusun untuk menganalisis secara mendalam kebijakan peningkatan likuiditas perbankan yang digagas oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, pada tahun 2025. Purbaya, yang dilantik sebagai Menkeu ke-31 pada 8 September 2025, mengimplementasikan kebijakan ini di tengah kondisi makroekonomi yang menunjukkan tantangan. Data yang tersedia mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 cenderung melambat, dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada Kuartal I tercatat sebesar 4,87% secara tahunan, sedikit di bawah ekspektasi 4,91%. Meskipun terjadi percepatan pada Kuartal II menjadi 5,12%, angka tersebut masih belum mencapai target resmi pemerintah sebesar 5,2% untuk sepanjang tahun.
Menanggapi kondisi ini, Menkeu Purbaya mengidentifikasi masalah fundamental pada sistem keuangan. Menurutnya, “sistem finansial kita agak kering,” yang menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi dan kesulitan lapangan kerja dalam dua tahun terakhir. Pernyataan ini menjadi rasionalisasi utama bagi pemerintah untuk mengambil langkah proaktif, bukan sebagai respons terhadap krisis akut, melainkan sebagai upaya untuk mendorong percepatan pertumbuhan yang stagnan. Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan tersebut, menganalisis instrumen dan tujuannya, serta menempatkannya dalam konteks perbandingan historis dengan dua kasus penting di masa lalu: Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada periode 1997-1998.
Analisis komparatif menunjukkan bahwa kebijakan Menkeu Purbaya pada tahun 2025 memiliki perbedaan fundamental yang signifikan dari preseden historis. Pertama, kebijakan ini bersifat proaktif dan antisipatif untuk menstimulasi pertumbuhan, sangat berbeda dengan BLBI yang merupakan respons reaktif terhadap ancaman keruntuhan sistemik. Kedua, instrumen yang digunakan lebih terkontrol dan berbiaya, yaitu penempatan dana pemerintah dengan insentif yang jelas bagi perbankan untuk menyalurkan kredit produktif. Pendekatan ini merupakan perbaikan substansial dari instrumen Pakto 88 yang bersifat liberalisasi massal tanpa pengawasan memadai, dan injeksi dana BLBI yang tanpa mekanisme akuntabilitas yang ketat. Ketiga, terdapat sinergi yang kuat antara kebijakan fiskal dan moneter, dengan Bank Indonesia menyambut baik kebijakan Menkeu sebagai pelengkap terhadap injeksi likuiditas yang telah dilakukan oleh bank sentral. Keharmonisan ini merupakan faktor kritis yang meningkatkan probabilitas keberhasilan kebijakan 2025.
Tulisan ini menyimpulkan bahwa kebijakan Purbaya Yudhi Sadewa menunjukkan pembelajaran yang matang dari kegagalan historis, terutama terkait risiko moral hazard dan penyalahgunaan dana. Namun, keberhasilan jangka panjangnya masih bergantung pada implementasi yang cermat dan pengawasan yang berkelanjutan untuk memastikan dana benar-benar mengalir ke sektor produktif dan tidak mengendap di perbankan.
Kebijakan Peningkatan Likuiditas Purbaya Yudhi Sadewa (2025)
Latar Belakang dan Rasionalisasi Kebijakan
Kebijakan peningkatan likuiditas perbankan yang diluncurkan oleh Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa merupakan bagian integral dari serangkaian inisiatif yang lebih luas, yang dikenal sebagai “Paket Ekonomi 2025.” Paket kebijakan ini dirancang untuk mempercepat program pembangunan pemerintah dan mendorong penyerapan tenaga kerja Rasionalisasi di balik kebijakan ini berakar pada evaluasi kritis terhadap kondisi ekonomi yang ada. Menkeu Purbaya secara terbuka menyatakan bahwa perlambatan ekonomi dan kesulitan dalam menciptakan lapangan kerja selama dua tahun terakhir sebagian besar disebabkan oleh “kesalahan kebijakan, baik moneter maupun fiskal”.
Analisis terhadap data pertumbuhan ekonomi menguatkan perspektif Menkeu tersebut. Pertumbuhan PDB yang stagnan pada kuartal pertama tahun 2025 menunjukkan adanya tekanan pada permintaan agregat. Menkeu Purbaya mengidentifikasi akar masalahnya sebagai “kekeringan” likuiditas di sistem finansial. Ini menghambat penyaluran kredit perbankan yang merupakan motor penggerak utama kegiatan ekonomi. Rangkaian sebab-akibat yang mendasari kebijakan ini dapat digambarkan sebagai sebuah rantai kausalitas yang dimulai dari Likuiditas Kering -> Kredit Tersendat -> Permintaan Agregat Melemah -> Pertumbuhan Ekonomi Melambat. Dengan demikian, kebijakan ini secara spesifik menargetkan mata rantai pertama dalam urutan tersebut, dengan harapan akan memicu efek positif berantai yang menggerakkan seluruh perekonomian. Pendekatan ini merupakan langkah yang fundamental berbeda dari kebijakan reaktif yang lazimnya dilakukan dalam situasi krisis, melainkan sebuah manuver proaktif yang bertujuan untuk menghidupkan kembali momentum ekonomi.
Instrumen dan Mekanisme Implementasi
Instrumen utama yang digunakan dalam kebijakan ini adalah penempatan dana pemerintah senilai Rp200 triliun ke dalam sistem perbankan. Dana ini, yang biasanya disimpan di Bank Indonesia, dialihkan dan ditempatkan di “lima bank milik negara”, yang juga disebut sebagai “enam bank”. Mekanisme ini secara langsung menginjeksi likuiditas ke dalam sistem finansial, bukan melalui instrumen moneter bank sentral, melainkan melalui instrumen kebijakan fiskal.
Mekanisme kebijakan ini dirancang dengan cermat untuk menghindari risiko dana mengendap atau disalahgunakan. Menkeu Purbaya secara eksplisit menyatakan keyakinannya bahwa dana tersebut tidak akan dibiarkan “mengendap” karena adanya “biaya (cost)” dari penempatan dana tersebut. Ini merupakan elemen desain kebijakan yang canggih; perbankan tidak menerima dana secara cuma-cuma. Adanya biaya atas dana tersebut menciptakan insentif yang kuat bagi bank-bank untuk menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit produktif guna memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi. Pendekatan ini merupakan pembelajaran langsung dari kegagalan historis, khususnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di mana dana disalahgunakan secara masif karena kurangnya mekanisme insentif dan pengawasan yang memadai. Dengan menempatkan dana secara terfokus pada bank-bank milik negara, pemerintah juga mengasumsikan tingkat pengawasan dan akuntabilitas yang lebih tinggi dibandingkan jika dana tersebut disalurkan secara luas ke seluruh bank komersial.
Dampak dan Reaksi Awal
Pengumuman kebijakan ini segera mendapat respons positif dari pasar keuangan. Saham-saham bank milik negara (Himbara) dan beberapa bank swasta mengalami kenaikan signifikan pada perdagangan setelah pengumuman. Peningkatan ini mencerminkan optimisme investor terhadap potensi pertumbuhan kredit dan profitabilitas perbankan di masa mendatang.
Selain respons pasar, kebijakan ini juga menunjukkan sinergi yang erat dengan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI). Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyambut baik langkah tersebut, menyebutnya sebagai “memperkuat injeksi likuiditas yang sudah kami lakukan”. BI sendiri telah secara konsisten melakukan ekspansi likuiditas moneter melalui berbagai instrumen, seperti penurunan posisi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dari Rp916,97 triliun menjadi Rp716,62 triliun, serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp217,10 triliun. Sinergi antara kebijakan fiskal (Kementerian Keuangan) dan moneter (Bank Indonesia) ini merupakan salah satu penentu keberhasilan utama dari kebijakan ekonomi makro. Keberhasilan ini bergantung pada koordinasi dan keselarasan tujuan antara pemerintah dan bank sentral, sebuah faktor yang secara fundamental membedakan kebijakan 2025 dari kasus-kasus historis yang sering kali melibatkan keputusan sepihak atau kurangnya koordinasi. Sinergi ini meningkatkan probabilitas bahwa peningkatan likuiditas akan benar-benar mendorong pertumbuhan ekonomi dan bukan malah memicu ketidakstabilan.
Studi Kasus Komparatif Historis
Untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai kebijakan Menkeu Purbaya, sangat penting untuk menganalisisnya dalam konteks dua preseden historis yang relevan di Indonesia.
Studi Kasus: Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto 88)
Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) merupakan sebuah langkah deregulasi perbankan yang komprehensif, bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat dan mendorong efisiensi sektor keuangan di tengah menurunnya ketergantungan ekonomi pada sektor migas. Kebijakan ini secara radikal mengubah lanskap perbankan Indonesia.
Instrumen utama Pakto 88 adalah penurunan drastis Giro Wajib Minimum (GWM) dari 15% menjadi 2%. Selain itu, pemerintah memberikan kemudahan luar biasa untuk pendirian bank swasta baru, bahkan hanya dengan modal minimal Rp10 miliar, serta pelonggaran izin pembukaan kantor cabang.
Dampak jangka pendek dari kebijakan ini sangat dramatis. Terjadi pertumbuhan pesat industri perbankan dengan munculnya banyak bank dan cabang baru dalam waktu singkat. Kebijakan ini juga memicu pergeseran kekuatan pasar, di mana dominasi bank pemerintah mulai menurun dan pangsa pasar kredit bank swasta nasional meningkat signifikan dari 29,7% pada 1988 menjadi 47,9% pada 1995. Namun, deregulasi yang terlalu liberal dan tidak diimbangi dengan pengawasan yang memadai oleh Bank Indonesia menciptakan kerentanan sistemik. Banyak bank baru yang didirikan oleh pengusaha yang “tidak profesional” dan kurang peka terhadap arah kebijakan moneter. Akibatnya, terjadi praktik insider lending dan spekulasi valuta asing yang masif, menciptakan bom waktu yang siap meledak di sistem perbankan. Pembelajaran krusial dari Pakto 88 adalah bahwa liberalisasi dan ekspansi likuiditas harus selalu diiringi dengan kerangka pengawasan dan tata kelola yang kuat untuk mencegah risiko sistemik.
Studi Kasus: Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 1997-1998
Berbeda dengan Pakto 88 yang pro-liberalisasi, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah kebijakan yang sepenuhnya reaktif, dikeluarkan sebagai respons terhadap krisis moneter Asia pada tahun 1997-1998. Krisis ini menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok dari sekitar Rp2.000 per USD menjadi Rp16.800 per USD dan memicu fenomena bank run, di mana masyarakat secara besar-besaran menarik simpanan mereka dari perbankan. Untuk mencegah keruntuhan total sistem perbankan, Bank Indonesia menginjeksi dana darurat melalui BLBI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Meskipun tujuan utama kebijakan ini, yaitu mencegah keruntuhan sistemik, tercapai, pelaksanaannya diwarnai oleh kontroversi besar. Dari total bantuan yang disalurkan sebesar Rp144,54 triliun , sebesar 95,5% diduga disalahgunakan oleh para bankir dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Dana tersebut digunakan untuk tujuan non-produktif, seperti membayar utang pihak terkait, transaksi spekulatif, dan membiayai pengeluaran operasional bank. Dampak jangka panjangnya sangat memberatkan negara. Kasus BLBI meninggalkan beban utang negara yang besar dan kontroversi yang berlarut-larut, dengan hanya 34,59% dari total kewajiban yang berhasil ditagih kembali hingga pertengahan tahun 2024. Kasus ini adalah contoh klasik dari kegagalan tata kelola dan moral hazard, di mana janji pemerintah untuk menyelamatkan bank mendorong perilaku berisiko tinggi.
Analisis Komparatif Mendalam dan Pembelajaran dari Sejarah
Perbandingan antara kebijakan likuiditas 2025 dengan dua preseden historisnya menyoroti perbedaan krusial dalam konteks, instrumen, dan tata kelola risiko.
Tabel Analisis Perbandingan
Dimensi | Kebijakan Purbaya (2025) | Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) | Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 1997-1998 |
Konteks Ekonomi | Pertumbuhan ekonomi melambat, likuiditas sistem finansial kering. | Deregulasi ekonomi, diversifikasi dari sektor migas. | Krisis moneter, nilai tukar anjlok, bank run. |
Tujuan Utama | Mendorong kredit, memicu pertumbuhan ekonomi. | Mobilisasi dana masyarakat, meningkatkan efisiensi perbankan. | Mencegah keruntuhan sistemik perbankan. |
Sifat Kebijakan | Proaktif, antisipatif. | Pro-liberalisasi, ekspansif. | Reaktif, penyelamatan darurat. |
Instrumen Kebijakan | Penempatan dana pemerintah Rp200 triliun ke bank BUMN. | Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) dari 15% menjadi 2%, kemudahan izin pendirian bank. | Injeksi dana darurat dari Bank Indonesia. |
Sumber Dana | Anggaran pemerintah/Kementerian Keuangan. | Kebijakan moneter (deregulasi). | Dana Bank Indonesia. |
Target Penerima | Bank BUMN (lima/enam bank). | Semua bank komersial. | Bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. |
Risiko Utama | Dana mengendap jika kredit tidak tersalurkan. | Pengawasan lemah, insider lending, kerentanan sistemik. | Moral hazard, penyalahgunaan dana masif, beban utang negara jangka panjang. |
Analisis Dimensi Komparatif
Perbedaan mendasar antara ketiga kebijakan terletak pada konteks dan tujuannya. Kebijakan Purbaya merupakan langkah yang didesain secara sengaja untuk mengatasi perlambatan ekonomi, sebuah manuver yang berada di tengah-tengah spektrum antara liberalisasi luas (Pakto 88) dan penyelamatan darurat (BLBI). Instrumen yang digunakan pada tahun 2025, yaitu penempatan dana yang terkontrol dan berbiaya, menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko yang pernah terjadi. Berbeda dengan Pakto 88 yang melepaskan likuiditas secara besar-besaran melalui penurunan GWM tanpa kontrol, kebijakan 2025 menyalurkan dana secara terfokus ke entitas yang relatif lebih mudah diawasi, yaitu bank-bank milik negara. Selain itu, dengan adanya “biaya” pada dana , pemerintah secara cerdas mengatasi risiko moral hazard yang menjadi ciri khas kasus BLBI. Ini membedakan kebijakan 2025 dari BLBI, di mana dana injeksi dapat disalahgunakan karena tidak ada mekanisme insentif untuk penyaluran produktif.
Pelajaran dari Pakto 88 dan BLBI menjadi landasan penting untuk menilai risiko kebijakan 2025. Kegagalan Pakto 88 adalah liberalisasi tanpa pengawasan, yang mengarah pada praktik insider lending dan bank-bank yang tidak profesional. Kebijakan 2025 berpotensi menghindari jebakan ini dengan menargetkan bank-bank yang sudah mapan dan diawasi oleh pemerintah. Namun, tantangan utama adalah memastikan bahwa dana tersebut tidak hanya mengendap. Pernyataan Purbaya tentang adanya biaya menunjukkan kesadaran akan risiko ini. Namun, efektivitasnya tetap bergantung pada pengawasan implementasi dan mekanisme evaluasi yang ketat untuk memastikan dana benar-benar mengalir ke sektor riil dan mendorong pertumbuhan PDB serta penyerapan tenaga kerja, dan bukan sekadar menguntungkan konglomerasi besar.
Proyeksi Implikasi Kebijakan 2025
Kebijakan peningkatan likuiditas tahun 2025 memiliki potensi keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan presedennya, didukung oleh beberapa faktor kunci. Pertama, sinergi yang kuat antara kebijakan fiskal dan moneter menciptakan lingkungan yang kondusif. Kedua, desain kebijakan yang memberikan insentif melalui biaya penempatan dana secara langsung mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit, sekaligus mengurangi risiko moral hazard. Ketiga, penargetan pada bank BUMN memungkinkan pengawasan yang lebih terpusat dan berpotensi mengurangi risiko penyalahgunaan dana yang masif seperti pada kasus BLBI.
Namun, beberapa tantangan tetap ada. Potensi dana mengendap masih menjadi risiko jika bank-bank yang menerima dana tidak menemukan proyek kredit yang produktif, atau jika kredit tersebut hanya disalurkan kepada nasabah korporasi besar tanpa menjangkau sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang merata, pemerintah harus memastikan bahwa likuiditas yang disuntikkan dapat menjangkau seluruh lapisan pelaku ekonomi.
Kesimpulan
Kebijakan peningkatan likuiditas Purbaya Yudhi Sadewa pada tahun 2025 merefleksikan sebuah pendekatan yang matang dan berkesadaran risiko. Dengan menempatkan dana pemerintah secara proaktif dan terfokus, kebijakan ini secara fundamental berbeda dari Pakto 88 yang terlalu liberal dan BLBI yang reaktif dan rentan terhadap penyalahgunaan. Desainnya yang memasukkan mekanisme insentif melalui “biaya” penempatan dana menunjukkan pembelajaran yang jelas dari kegagalan historis terkait moral hazard dan penyalahgunaan dana. Sinergi antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia juga menjadi faktor penentu yang sangat positif.
Saran Kebijakan dan Peringatan
Meskipun kebijakan ini dirancang dengan baik, keberhasilannya masih sangat bergantung pada implementasi yang cermat dan pengawasan yang berkelanjutan. Berdasarkan pembelajaran dari sejarah, berikut adalah beberapa rekomendasi strategis:
- Pengawasan Ketat: Pemerintah dan Bank Indonesia harus memastikan ada mekanisme pengawasan yang kuat untuk memantau penyaluran dana. Pengawasan ini harus mencakup tidak hanya bank-bank penerima, tetapi juga kepada siapa kredit disalurkan, untuk memastikan dana mengalir ke sektor-sektor produktif.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Publikasi tulisan berkala mengenai penyaluran dana dan dampaknya terhadap pertumbuhan kredit serta sektor riil akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kebijakan.
- Evaluasi Berkala: Perlu dilakukan evaluasi efektivitas kebijakan secara berkala untuk mengukur dampaknya terhadap indikator ekonomi makro, seperti pertumbuhan PDB, penyerapan tenaga kerja, dan inflasi. Jika dana cenderung mengendap, diperlukan penyesuaian kebijakan.
- Penjangkauan UMKM: Kebijakan ini harus dipastikan memiliki mekanisme yang memfasilitasi penyaluran kredit ke sektor UMKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian, untuk mencegah konsentrasi manfaat pada konglomerasi besar.
Secara keseluruhan, kebijakan likuiditas 2025 menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang risiko masa lalu. Namun, untuk mencapai potensi penuhnya, pemerintah harus terus berhati-hati dan memastikan bahwa implementasinya tidak mengulangi kesalahan-kesalahan historis. Kegagalan tata kelola, seperti yang terlihat pada kasus BLBI, dapat menimbulkan beban utang yang “merampas kesejahteraan selama tujuh turunan” 9, menjadikannya pelajaran yang tidak boleh dilupakan.
Daftar Pustaka :
- Purbaya Yudhi Sadewa Gantikan Posisi Menkeu Sri Mulyani, Ini Profilnya – detikcom, diakses September 23, 2025, https://www.detik.com/sumbagsel/berita/d-8101719/purbaya-yudhi-sadewa-gantikan-posisi-menkeu-sri-mulyani-ini-profilnya
- Tingkat Pertumbuhan PDB Indonesia Tahunan | 2000-2025 Data | 2026-2027 Perkiraan, diakses September 23, 2025, https://id.tradingeconomics.com/indonesia/gdp-growth-annual
- Menkeu Purbaya Suntik Likuiditas Rp200 Triliun, Saham Bank Himbara Menguat – AKSes, diakses September 23, 2025, https://akses.ksei.co.id/pusatinformasi/berita/68c267e14e7d6a0e82074e33
- Pemerintah Hari Ini Mulai Salurkan Dana Rp200 Triliun ke 5 Bank …, diakses September 23, 2025, https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Pemerintah-Hari-Ini-Salurkan-200-Triliun
- BI sambut baik kebijakan Menkeu yang tempatkan Rp200 T di lima bank, diakses September 23, 2025, https://www.antaranews.com/berita/5115505/bi-sambut-baik-kebijakan-menkeu-yang-tempatkan-rp200-t-di-lima-bank
- Gebrakan Purbaya! 6 Bank Bakal Disuntik Dana Rp200 T – detikNews, diakses September 23, 2025, https://news.detik.com/berita/d-8107893/gebrakan-purbaya-6-bank-bakal-disuntik-dana-rp200-t
- Tingkatkan Likuiditas, Menkeu Bakal Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank Komersial, diakses September 23, 2025, https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Tingkatkan_Likuiditas__Menkeu_Bakal_Pindahkan_Rp200_Triliun_dari_BI_ke_Bank_Komersial&news_id=204581&group_news=IPOTNEWS&news_date=&taging_subtype=ECONOMICS&name=&search=y_general&q=ekonomi%20makro,kebijakan%20fiskal,kebijakan%20moneter,menteri%20keuangan,kredit,bank,perbankan,bank%20indonesia&halaman=1
- Mengenal Sejarah BLBI sebagai Bagian dari Skandal Terbesar …, diakses September 23, 2025, https://www.metrotvnews.com/read/NQACq1n6-mengenal-sejarah-blbi-sebagai-bagian-dari-skandal-terbesar-indonesia
- perkembangan perbankan indonesia – https ://dspace.uii.ac.id., diakses September 23, 2025, https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/18178/bab%204-5.pdf?sequence=4&isAllowed=y
- Indonesia and the Asian Development Bank: Fifty Years of Partnership, diakses September 23, 2025, https://www.adb.org/sites/default/files/publication/615791/indonesia-adb-50-years.pdf
- Pakto 1988 | PDF | Bisnis | Ilmu Sosial – Scribd, diakses September 23, 2025, https://id.scribd.com/doc/90815771/Pakto-1988
- Dampak kebijakan deregulasi paket Oktober 1988 pakto 88 terhadap sistem perbankan nasional Indonesia masa orde baru = The impacts of the October package 1988 pakto 88 deregulations policy toward national banking system in new order Indonesia, diakses September 23, 2025, https://lib.ui.ac.id/detail?id=20368204&lokasi=lokal
- Untitled – Journal UMY, diakses September 23, 2025, https://journal.umy.ac.id/index.php/esp/article/download/1468/1510/4006