Apakah arti menjadi manusia,
jika aku dilahirkan tanpa hak untuk memahami dunia?

Mereka bilang:
Pengetahuan adalah cahaya,
tapi kenapa cahayanya tak pernah sampai ke desa kami?
Apa cahaya itu hanya untuk mereka yang lahir di kota,
yang dikelilingi gedung dan koneksi tanpa putus?

Kami… hanya punya satu jendela kecil,
di kelas yang kayunya mulai keropos,
menatap langit—
bertanya diam-diam:
mengapa bangsa ini membiarkan sebagian anaknya belajar dari reruntuhan?

Bukankah Plato berkata,
jiwa manusia adalah lilin yang menunggu dicetak oleh kebenaran?
Tapi lilin-lilin kami mencair tanpa bentuk,
karena tidak ada tangan yang mau membimbing.

Aku tidak iri pada anak yang sekolahnya megah.
Aku hanya bertanya:
jika negara ini menjanjikan keadilan,
mengapa pengetahuan dijadikan barang mewah?

Mungkin, kami bukan lupa belajar,
tapi kami diajarkan untuk melupakan.
Diajarkan bahwa diam adalah selamat,
bahwa menerima adalah kewajaran.
Tapi benarkah pendidikan hanya soal angka dan kurikulum?
Bukan soal membentuk manusia yang bertanya, mencari, dan merdeka?

Di kelas ini—yang dindingnya penuh cat yang mengelupas—
aku duduk seperti Socrates yang tak punya buku,
hanya keyakinan bahwa bertanya itu penting,
bahwa bertahan itu perlawanan.

Wahai siapapun itu yang  yang berkhotbah tentang masa depan,
dengarkanlah:
kami bukan statistik,
kami bukan beban anggaran,
kami adalah anak-anak yang hanya ingin tahu,
apa arti menjadi manusia…
di tanah air yang lupa memperjuangkan hak belajar anaknya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.