Download E-Book Gratis : Belajar Ekonomi Melalui Anekdot Tokoh Ekonomi Dunia
KARL MARX DI KAMPUNG KAMI
Tak ada yang tahu bagaimana ceritanya Karl Marx bisa nyasar ke kampung kami. Yang pasti, pagi-pagi sekali, ia sudah duduk di pos ronda, memegang gelas plastik berisi kopi saset, dan bertanya kepada Pak RT:
“Siapa pemilik alat produksi di sini?”
Pak RT bingung. “Kalau maksudnya cangkul, itu punyanya Pak Samin.”
Marx mengangguk serius, mencatat sesuatu di buku catatannya yang tebal dan berdebu. Ia kelihatan puas, seperti baru menemukan petunjuk rahasia menuju revolusi proletar. Padahal Pak RT masih bingung antara ‘alat produksi’ dan ‘alat masak’.
Setelah tiga hari tinggal di kampung, Marx mulai gerah melihat keadaan. Menurutnya, warga terlalu patuh, terlalu sabar, terlalu… ikhlas.
“Lihat,” katanya pada Pak RT saat menyaksikan ibu-ibu menyapu jalan kampung bareng-bareng, “mereka memproduksi nilai sosial, tapi tidak digaji!”
Pak RT menjawab tenang, “Itu kerja bakti, Pak. Biar sehat dan guyub.”
Marx melotot. “Itu eksploitasi atas nama gotong royong!”
Di hari kelima, Marx minta izin menggelar forum diskusi di balai desa. Ia membawa spanduk bertuliskan:
“BURUH KAMPUNG BERSATULAH!”
Tiga orang datang.
Satu karena mengira ada pembagian sembako
Satu karena salah masuk ruangan.
Dan satu lagi karena kehausan dan lihat ada teh manis gratis.
Marx tetap semangat. Ia bicara tentang kapital, tentang alienasi buruh tani, tentang bagaimana kelas penguasa menindas kelas pekerja.
Pak Lurah, yang datang belakangan, hanya berkomentar, “Maaf, Pak Marx, itu boleh, asal jangan ajak warga bikin partai baru. Nanti kami repot laporan ke kecamatan.”
Malamnya, Marx ikut ronda. Ia bertugas mencatat plat motor yang lewat tengah malam. Setelah satu jam, ia berkata lirih, “Ini… ini kerja malam tanpa insentif. Ini jelas penindasan sistematis!”
Pak RT menepuk bahunya. “Tenang, Pak. Nanti dapat nasi bungkus kok.”
Besok paginya, Marx pamit.
Sebelum pergi, ia meninggalkan catatan di pos ronda:
“Kampung kalian terlalu damai untuk revolusi. Tapi terlalu jenaka untuk disebut adil.”
Pak RT membacanya sambil tersenyum.“Kesian, mungkin dia kurang tidur.”
Sejak saat itu, nama Karl Marx masuk dalam buku tamu kampung kami—tepat di antara tukang servis kipas dan penjual tahu bulat.
Dan setiap kali ada warga yang ngeluh soal iuran kebersihan atau harga cabe, kami suka bercanda, “Wah, ini waktunya Karl Marx datang lagi, nih!”