Ketika semesta berbisik dalam gemuruh dan guncangan,
Bukan sekadar amuk fisik, namun cermin eksistensi insan.
Bencana hadir sebagai paradoks, kekuatan yang merobek,
Namun juga membentangkan fragilitas, mengingatkan hakikat rapuh.
Di balik dahsyatnya elemen, tersembunyi jejak ulah manusia,
Entitas yang diberi akal, namun kerapkali alpa dan nestapa.
Eksploitasi tanpa batas, hasrat yang tak terkendali,
Merobek harmoni kosmik, menuai konsekuensi abadi.
Air mata yang jatuh bukanlah sekadar kesedihan sesaat,
Melainkan refleksi ontologis, tentang keterhubungan yang raib.
Ketika alam terluka, esensi kemanusiaan pun terancam,
Sebuah simfoni kehancuran, yang kita ciptakan dalam kelam.
Namun dari puing-puing eksistensi yang tercerai berai,
Tumbuh harapan manusia, sebuah paradoks yang abadi.
Bukan ilusi tentang keabadian, melainkan kesadaran akan siklus,
Bahwa setelah kehancuran, potensi untuk pembaharuan tak pernah pupus.
Gotong royong bukan sekadar tindakan pragmatis,
Melainkan manifestasi dari fitrah kemanusiaan yang empatis.
Sebuah pengakuan bahwa dalam keterbatasan individual,
Tersimpan kekuatan kolektif, untuk melampaui yang temporal.
Bencana adalah paradoks waktu, merenggut masa kini,
Namun juga memaksa kontemplasi, akan esensi dari kini.
Ia mengajarkan tentang kefanaan, tentang pentingnya esensi,
Mengikis arogansi, menumbuhkan kerendahan hati.
Maka dalam setiap reruntuhan, tersimpan benih kebijaksanaan,
Sebuah undangan untuk merefleksi, tentang makna keberadaan.
Harapan bukanlah utopia, melainkan kesadaran yang mendalam,
Bahwa di tengah kalamitas, manusia memiliki potensi untuk mendefinisikan kembali takdirnya, selaras dengan harmoni semesta.