Di bentangan realitas, tempat paradoks bersemayam,
Berdirilah entitas, dengan prinsip yang takkan padam.
Bukan sekadar pilihan, melainkan esensi yang mengakar,
Sebuah arsitektur jiwa, di tengah pusaran yang memudar.
Setiap luka adalah pahatan, mengukir peta perjalanan,
Bukan kehancuran, melainkan penegasan identitas yang menawan.
Di persimpangan moral, di mana kompromi merayu,
Ia memilih jalan terjal, pada kebenaran ia berlabuh.
Ada bisikan ilusi, tentang kemudahan yang semu,
Menawarkan nirwana fatamorgana, di balik tirai waktu.
Namun ia menolak, sebab ia tahu hakikat sejati,
Bahwa kemuliaan tak tersembunyi, di balik topeng hegemoni.
Bukan kebodohan, melainkan kebijaksanaan yang mendalam,
Memilih otentisitas, di tengah keramaian yang kelam.
Sebab ia memahami, bahwa harga diri tak terukur materi,
Melainkan dari konsistensi, pada nilai yang abadi.
Mungkin ia terasing, di antara kerumunan yang tak mengerti,
Mengapa ia memilih duri, di atas kelopak bunga yang wangi.
Namun di kedalaman batin, ada resonansi yang tak terperi,
Sebuah harmoni kosmik, dari integritas yang takkan mati.
Luka adalah guru, mengasah ketajaman pandangan,
Mengikis ilusi, menyisakan substansi kebenaran.
Ia bukan sekadar bertahan, melainkan bertransformasi,
Menjadi mercusuar makna, di tengah absurditas eksistensi.
Karena ia tahu, prinsip itu adalah kompas ruhani,
Tanpanya, perjalanan hidup hanyalah pengembaraan fana.
Maka biarlah terluka, biarlah merana,
Sebab di setiap tetes darah, terukir keabadian makna.