Di antara notifikasi dan layar terang,
kami berdiri—anak zaman yang bimbang.
Langkah kami cepat, tapi arah kabur,
di negeri sendiri, suara kami seperti bisikan di hutan purba.

Kami lahir di tanah penuh janji,
namun tumbuh di ladang yang dikuasai narasi—
tentang kerja tanpa henti, sukses instan,
dan cinta yang dikurung di layar-layar diam.

Kami dijejali kata “harus”:
harus mapan sebelum 30,
harus punya rumah walau harga langit,
harus bahagia meski isi kepala penuh kabut.

Kami gelisah,
bukan karena lemah—
tapi karena terlalu sadar,
bahwa dunia berubah,
dan kami dipaksa tetap sama.

Kami merindukan makna,
bukan sekadar angka di Curiculum Vitae,
bukan gelar yang dicetak emas,
bukan senyum palsu demi konten.

Kami mencintai negeri ini,
tapi sering merasa tak dicintai balik.
Suara kami dianggap keras,
padahal itu jerit dari jiwa yang sesak.

Wahai negeri, dengarlah kami:
bukan kami tak hormat pada yang tua,
kami hanya ingin ruang untuk bernapas,
untuk bertanya, dan untuk salah,
tanpa terus kau kata: “kamu manja.”

Kami anak milenial—
tak ingin hanya jadi mesin ekonomi,
kami ingin hidup yang berarti,
meski di zaman yang tak pasti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CAPTCHA ImageChange Image

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.