Aku bangun pagi,
menyikat gigi dengan pikiran yang kosong,
memakai baju agar tampak normal,
padahal hatiku keropos oleh pertanyaan-pertanyaan banal.
Mengapa kita bekerja untuk hidup,
lalu hidup untuk kembali bekerja?
Mengumpulkan angka,
yang esok bisa lenyap oleh bencana.
Manusia saling sapa dengan sopan,
namun menusuk diam-diam dengan alasan.
Katanya dunia ini tempat pembelajaran,
tapi ujian datang sebelum pelajaran.
Kita menangis saat lahir,
tertawa saat mabuk,
marah saat lapar,
dan pura-pura baik saat patah.
Kita memuja kesuksesan yang tak punya bentuk,
mengejar makna di tempat-tempat bising,
berdoa di tengah huru-hara,
lalu mempertanyakan Tuhan saat dunia tak ramah.
Ada yang mati karena kebenaran,
ada yang hidup karena kebohongan.
Ada yang mencari cinta dalam tubuh asing,
dan pulang dengan kekosongan yang lebih dingin.
Hidup terkadang seperti lelucon tanpa tawa,
berjalan lurus tapi sampai di titik yang sama.
Kita berharap tapi takut kecewa,
ingin berubah tapi nyaman dalam luka lama.
Tuhan diam atau kita yang tuli?
Dunia sibuk atau kita yang tak mengerti?
Segalanya terasa penting,
namun habis waktu tanpa arti yang meyakinkan.
Namun anehnya,
di balik absurditas ini,
kita tetap bernyanyi,
menanam bunga, menulis puisi.
Mungkin justru di situlah makna:
menciptakan keindahan meski segalanya fana,
menertawakan hidup yang gila,
dan tetap mencintainya—entah kenapa.