ISU POLITIK DAN EKONOMI DALAM PEMBAHASAN RANPERDA KETENAGAKERJAAN DI KOTA BATAM

Oleh : Ade P. Nasution

Ranperda Ketenagakerjaan  yang di mulai dibahas pada periode 2004-2009  DPRD Kota Batam, sampai saat ini (periode 2009-2014) belum menemukan titik terang akhir dari Ranperda tersebut. Berbagai macam pro kontra selalu mewarnai perdebatan pembahasan ranperda baik di dalam ruangan Rapat DPRD Batam maupun pada wacana publik terutama yang diwakili oleh kalangan Pengusaha dan Pekerja.

Perlu diketahui, bahwa Ranperda Ketenagakerjaan ini  adalah merupakan produk hak inisiatif anggota DPRD Batam yang diwakili oleh Komisi IV DPRD Kota Batam.

Tentu, ranperda yang merupakan hak inisiatif DPRD Kota Batam sangat berbeda dengan Ranperda yang diusulkan oleh Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) , terutama dalam hal pembiayaan. Perda hasil hak inisiatif biasanya merupakan bentuk kepedulian Anggota  DPRD terhadap permasalahan sosial yang ada. Menurut data yang ada, DPRD Kota Batam baru menghasilkan satu perda yang merupakan hak inisiatif yaitu perda Wakaf

Secara politis, apabila ranperda ketenagakerjaan ini berhasil dijadikan sebagai produk hukum dalam bentuk peraturan daerah (Perda), maka  secara otomotis akan  mengikut sertakan keterlibatan aktif DPRD Kota Batam dalam berbagai persoalan ketenaga kerjaan seperti besaran upah, jaminan sosial tenaga kerja, serta persoalan negatif yang ditimbulkan oleh praktik alih daya tenaga kerja (outsourcing)

Ketika UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan  adalah satu-satunya payung hukum ketenaga kerjaan di Indonesia, masalah ketenagakerjaan bukanlah domain dari DPRD baik DPRD Kota/Kabupaten maupun DPRD Provinsi, hal ini dapat kita lihat bahwa pembahasan Upah, baik Upah Minimum kabupaten.Kota (UMK) maupun Upah Minimum Propvinsi (UMP) merupakan hasil pembahasan tripartit yaitu pihak pengusaha, pihak pekerja dan pemerintah daerah, yang tanpa melibatkan sedikitpun peran unsur legislatif. Demikian juga pesoalan yang menyangkut permasalahan hubungan industrial, selalu saja, karena aturan perundangan, DPRD Kota/Kabupaten tidak bisa masuk ke wilayah tersebut.

Dalam banyak Undang-Undang yang ada di Negara ini, selalu dibutuhkan penjabaran yang lebih detail dari undang-undang tersebut yaitu dalam bentuk peraturan pemerintah maupun peraturan daerah. Jadi wajar saja apabila UU No. 13 tahun 2003 menyisakan persoalan-persoalan, utamanya adalah  persoalan berbedanya penafsiran makna akan undang-undang tersebut dan ke-khas-an daerah masing yang tentunya di interpretasi  berdasarkan sudut pandang kepentingan.

Kita juga tahu, bahwa UU No. 13 Tahun 2003 tersebut disusun dalam konteks secara makro masalah ketenakerjaan di seluruh Indonesia tanpa memperhatikan Produk Domestik Regional Bruto,  struktur industri, indeks harga konsumen dan indikator lainnya antar kota/kabupaten di Indonesia. Beberapa kekhususan kota Batam adalah antara lain lebih dari 62 % Produk Domestik Regional Brutonya dikuasai oleh sektor industri pengolahan

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh kelompok pengusaha yang merasa keberatan tentang Perda Ketenagakerjaan ini adalah menurut mereka perda ketenagakerjaan ini akan menambah jenjang birokrasi yang panjang, karena tentunya akan melibatkan DPRD Batam dalam setiap pembahasan masalah ketenagakerjaan di Kota Batam. Tanpa keterlibatan DPRD Kota Batam, misalnya, selama ini pembahasan Upah Minimum Kota (UMK) yang melibatkan unsur tripartite selalu diwarnai dengan  perdebatan seru dan demontrasi tenaga kerja yang memakan waktu dan energy kedua belah pihak.  Disamping itu secara pesimistis mereka menilai bahwa isi dari Perda Ketenagakerjaan ini melulu lebih mementingkan kepentingan kekompok pekerja yang tentunya menurut mereka ini ujung-ujungnya akan menambah biaya yang harus mereka keluarkan.

Menurut hemat penulis, Perda ketenaga kerjaan di Kota Batam, bermanfaat bagi pengusaha maupun tenaga kerja. Bagi pengusaha, manfaaatnya adalah  dapat melibatkan DPRD Kota Batam bersama Pemerintah Kota Batam untuk bertanggung jawab terhadap pengendalian harga bahan konsumsi yang selalu menjadi momok dalam pembahasan Upah dari tahun ke tahun. Disamping itu juga, dengan adanya perda ini diharapkan dapat dijabarkan kriteria/klassifikasi dunia usaha baik itu skala besar, yang nantinya akan digunakan untuk pengeculian dalam penerapan Upah Minimum maupun pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi perusahaan/usaha yang dikategorikan tidak mampu.

Disamping itu, kontributor utama dalam setiap kenaikan upah yaitu sektor transportasi, sektor perumahan dan konsumsi yang mengegerogoti besaran upah tenaga kerja dapat dicarikan solusinya bersama DPRD Kota Batam dan pemerintah Kota Batam tentunya melalui kebijakan penganggaran dari APBD Kota Batam misalnya dengan penambahan jumlah bus karyawan, pembangunan rumah susun sewa dan paling penting adalah pengendalian harga bahan kebutuhan konsumsi.

Manfaat bagi tenaga kerja adalah antara lain adanya jaminan bahwa upah yang mereka terima adalah hasil pembahasan yang fair dan rasional berdasarkan indikator-indikator yang terpercaya. Disamping itu pekerja dilindungi dari kesewenang-wenangan dalam hal kesejahteraan dan jaminan sosial mereka.

Sedangkan manfaat makro perekonomian batam, perda ini diharapkan dapat mengatur  kembali pola pelatihan  tenaga kerja yang selama ini terabaikan meskipun di Batam telah ada Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Batam, BP Batam dan Departemen Tenaga Kerja RI, namun belum mampu menghasilkan tenaga kerja yang terlatih dan menjadi tuan di negerinya sendiri