CIVIL SOCIETY

Istilah Civil Society (masyarakat madani) bukan hal yang baru di Kota Batam. Disamping sering diucapkan oleh para pejabat dan  para orang terhormat dalam setiap kesempatan, bahkan pidato politik atau kampanye tidak akan lengkap bila tidak menyebut kata “masyarakat madani”.

Istilah masyarakat madani juga merupakan visi dari Pemerintah Kota Batam yaitu : Batam menuju Bandar Dunia yang Madani. Pesona dari Kata “Madani” juga banyak terinspirasi dalam pembuatan nama lembaga/LSM. Dalam pemakaiannya, banyak masyarakat yang keliru terhadap pemahaman masyarakat madani, bahkan ada yang  cenderung mengarahkannya secara subjektif kepada ajaran agama tertentu.

Masyarakat Madani sebagai terjemahan dari Civil Society pertama kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim (Mantan Deputy PM Malaysia) pada pidato Kebudayaannya di Festival Istiqlal  Jakarta pada tahun 1995. Baik Madani (tamaddun) maupun Civil (Civilization) berarti peradaban. Didalam kata peradaban terkandung unsur kebudayaan, nilai-nilai moral dan pandangan hidup bangsa. Sebelumnya civil society diterjemahkan dengan masyarakat sipil, namun sering ditafsirkan rancu dengan istilah “militer- sipil”.

Apa yang dimaksud dengan civil society ? Civil society adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya,   yang  sadar hukum, sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga  negara, sadar akan kedaulatan yang ada ditangannya, serta mau  melaksanakan hak-hak tersebut untuk melakukan perbaikan sistem dan mempertahankan hak-hak tersebut bila dilanggar.  Dengan kata lain, civil society adalah suatu masyarakat yang mandiri, yang bisa mengatur dirinya sendiri, dan aktif melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan pemerintahan. Menurut Nurcholish Madjid (2001)  asas utama dari Civil Society adalah kebebasan dan supremasi hukum. Kebebasan tersebut mencakup kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan bersarikat, hak memberi suara, partisipasi dalam pembuatan keputusan politik dan hak untuk mengkritik pemerintah.

. Prasyarat peran masyarakat madani yang optimum di dalam    penyelenggaraan negara adalah adanya keterbukaan politik, kebebasan yang didapat dari dijaminnya hak-hak sipil dan politik warga negara, Dalam suatu masyarakat yang sudah dewasa, masyarakat madaninya sudah berkembang dengan baik, maka perbedaan pendapat itu tidak berakhir  dengan anarki dan kekerasan , tetapi dilakukan lewat jalur hukum, dialog politik, lobi kepada wakil rakyat dan sebagainya

Civil society lahir sebagai antitesis dari kelembagaan peran masyarakat sebelumnya yaitu natural society dan political society. Dalam natural society, negara tidak ada, yang ada hanyalah sekelompok orang-orang yang saling berperang untuk mempertahankan kepentingannya sementara hukum dan aturan tidak ada. Dalam political society, pengaturan masyarakat diserahkan sepenuhnya kepada negara (kerajaan) , namun dalam perjalannya konsep political society menimbulkan peran sentral negara yang melahirkan kesewenang-wenangan dan diktator. Melihat kondisi ini, timbullah pemikiran para intelektual. John Locke  menyatakan bahwa kekuasaan negara tidak boleh mutlak, hak hak dasar manusia seperti kemerdekaan, kepemilikan pribadi dan hak atas kehidupan tidak boleh di intervensi/diganggu  oleh negara manapun juga. Pemikiran Locke kemudian diikuti oleh pemikir lainnya Rosseau dan Montesqieu dengan munculnya teori Trias Politika, yang memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan judikatif.

Disamping itu, perlu juga dicermati pemikiran Karl Marx mengenai civil society, bagi Marx, negara merupakan alat politik bagi kelas dominan, maka kepentingan kelas dominan seperti buruh dan petani  harus menjadi prioritas utama dalam civil society dalam negara. Kalau kelompok mayoritas ini diangkat, maka  akan tercipta masyarakat yang memiliki demokrasi politik dan juga demokrasi ekonomi.

Perjalanan Civil Society di Indonesia

Di era Soekarno dan Soeharto, pelaksanaan civil society  hampir identik dengan pola political society.  Pembungkaman hak partisipasi masyarakat menjadi ciri utama dalam dua pemerintahan ini. Soekarno, Misalnya dengan  Dekrit  5 Juli 1959 yang melahirkan demokrasi terpimpin membungkam banyak unsur civil society seperti pers, mahasiswa dan intelektual, seniman dan membubarkan parlemen. Demikian juga dengan Soeharto, atas nama stabilitas politik dan ekonomi, pembungkaman partisipasi masyarakat dalam negara dilakukan dengan menguatnya peran militer dalam Bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Aktivitas mahasiswa di kerangkeng dengan NKK/BKK dan pers yang dianggap “kiri” di bredel bahkan yang lebih tragis lagi adalah dilarang berkumpul apalagi berbisik-bisik, kalau bandel esok harinya intel atau kodim akan mengangkat kita untuk diamankan. Apa  yang dilakukan oleh Soeharto selama hampir 32 tahun menumbuhkan stigma dan trauma yang mendalam dalam sanubari masyarakat Indonesia yang kelak akan meledak secara radikal.

Civil society di Indonesia mulai menampakkan wujudnya setelah Soeharto tumbang  dan digantikan oleh Habibie. Civil society makin perkasa dibawah era Presiden Gus Dur. Ketika Gus Dur menjadi presiden, seluruh elemen civil society di berdayakan, pers bebas di gagas, sistem pengambilan keputusan Gus Dur  bersifat Bottom up dengan cara melontarkan isu-isu ketengah masyarakat, LSM bebas berpendapat, kebebasan intelektual dibuka, pagar-pagar yang tertutup di buka. Kebijakan ini terus berlanjut di bawah kepemimpinan Megawati.

Namun dalam perjalanan mewujudkan Civil society di indonesia mulai era Habibie sampai Megawati bukan berati tidak ada hambatan-hambatan. Feodalisme dan label status quo para pejabat baik di pusat maupun didaerah serta dosa-dosa masa lalu dalam era Soeharto yang sering disebut dengan Orang ORBA, membuat civil society menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Ditambah lagi dengan beberapa persoalan dalam masyarakat seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kesadaran hukum masyarakat yang masih sangat rendah. Di sisi lain, masih terdapat kultur masyarakat yang belum sesuai dengan kultur demokrasi, misalnya, sikap paternalistik dan sikap belum menerima perbedaan pendapat sebagian masyarakat. Apalagi pada saat ini muncul gejala baru dalam kehidupan negara di mana terjadi persaingan para elite politik yang lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok masing-masing dengan berusaha melemahkan atau menjatuhkan kelompok lainnya, tanpa menghiraukan nilai-nilai etika dan moral politik. Bahkan disinyalir pula, bahwa terjadinya serangkaian konflik dan kekerasan tersebut tidak terlepas dari provokasi sejumlah elite politik yang tidak menghendaki terwujudnya kondisi negara yang stabil. Banyak kalangan mensinyalir, bahwa kekerasan-kekerasan masyarakat yang terjadi di Maluku, Poso dan di berbagai daerah lainnya yang bernuansa darah dan kekerasan, tak lain adalah untuk mencoba mengganggu terwujudnya civil society yang ideal di Indonesia

Bagaimana di Batam ?

Proses kota batam sebagai kota dengan masyarakat yang madani  dan beradab telah mulai berposes dengan hadirnya instusi-instusi formal  sejak tahun 1999 yaitu Pemerintah Kota Batam dan DPRD Kota Batam. Dengan penduduk hampir 700.000 jiwa dengan keheterogenan berbagai suku dan agama. Ada keunikan tersendiri dari Kota Batam, disamping Pemerintah Kota batam ada pula sebuah institusi lainnya yaitu Otorita Batam yang telah ada sejak tahun 1974. secara teoritis, mungkin kita dapat membedakan nya : pemerintah Kota Batam adalah “negara” dalam pengertian mikro dalam konteks civil society dan Otorita Batam adalah sebuah lembaga teknis bisnis yang diciptakan pemerintah pusat untuk meningkatkan penerimaan negara melalui investasi dan industri. Secara fungsional, pemko Batam  bertugas menyelenggarakan roda pemerintahan dan bertanggung jawab terhadap penataan sosial masyarakat.

Ada suatu gejala yang terjadi dalam masyarakat batam, kebebasan berserikat dan berkumpul serta kebebasan mengemukakan pendapat sebagaimana prasarat  pelaksanaan civil society telah menjadi katalisator tumbuhnya LSM dan Paguyuban-paguyuban Daerah/suku di Kota Batam yang setidaknya telah berjumlah ratusan. Namun perlu dicatat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kenegaraan di Kota Batam setidaknya telah pernah menimbulkan  aib dan stigma dalam proses kekebasan berserikat dan kebebasan mengemukakan pendapat yaitu tindakan pengusiran terhadap saudara kita Ampuan Situmeang, SH  (Penasihat Hukum) dan Bambang Yulianto, SH (Aktivis Buruh). Banyaknya LSM dan Paguyuban yang muncul di Kota Batam ternyata tidak berjalan pararel dengan menaiknya partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kebanyakan LSM  lebih banyak berkutat pada sasaran jangka pendek sehingga lupa pada pemberdayaan masyarakat sesuai bidangnya. Paguyuban yang ada pun demikian, banyak paguyuban daerah yang mempunyai warga yang besar justru lebih banyak bermain politik praktis dukung mendukung tetapi lupa  mengayomi dan lupa memperhatikan hak-hak kehidupan warganya yang harus diperjuangkan misalnya perjuangan untuk lepas dari kemiskinan, kebodohan dan keterdindasan ekonomi yang jelas-jelas sudah dikuasai oleh orang asing (Singapura). Kita juga tidak habis pikir, paguyuban daerah dan LSM yang ada justru kembali kepada masa Natural society yang saling menyerang satu sama lain, saling mendukung tetapi tidak tahu substansial apa yang didukungnya. Akibat kondisi ini, kita sekarang bingung, bagaimana masyarakat kita bisa minta penjelasan tentang kerusakan lingkungan, perubahan hutan lindung atau buffer zone menjadi komersial, menjamurnya ruko yang lebih banyak dari industri, pemanfaatan lahan yang amburadul, atau tentang perilaku masyarakat batam yang lebih menekankan kekerasan dan saling menyerang dari pada berdialog hanya karena  perbedaan pendapat. Seharusnya kita bertanya kepada Pemko Batam dan DPRD Batam, tetapi mereka akan menjawab masalah-masalah diatas bukan tanggung jawab mereka, dan telunjuk mereka diarahkan pada suatu gedung  megah yang kebetulan di daerah yang sama : Otorita Batam. Lantas bagaimana kelanjutan civil society di Kota Batam : jawabnya : masih jauh dengan jalan panjang yang terseok-seok.