BUKU YANG “TERKUTUK”

“Dimanapun buku-buku dibakar, manusia ditakdirkan dibakar juga.” (Heinrich Heine)

Buku, dalam setiap zaman dan tempat, selalu berada dalam posisi yang mulia sekaligus terkadang terkutuk. Pada  saat dan tempat yang tepat, buku selalu diagungkan, dijadikan sebagai standard keilmuan dan derajat seseorang dan buku juga merupakan salah satu indikator peradaban yang maju bagi sebuah negeri.

Namun, tidak sedikit dalam sejarah umat manusia, buku merupakan musuh besar yang berbahaya, dan mengharuskan buku-buku itu harus diinjak-injak, dirobek-robek, ditenggelamkan ke sungai dan laut dan dibakar. Buku adalah sebuah paradoks, dimana buku merupakan hasil pemikiran, telaah, penelitian, dan hasil percobaan. Namun tentu saja buku yang dihasilkan adalah bukan kebenaran mutlak dan selalu saja mendapat kritikan atau perlawanan. Buku juga mengandung sifat komplementer yang bias saja dari satu buku yang lain akan menjadi lebih baik pada buku berikutnya walaupun dengan penulis yang lain sama sekali.

Dalam sejarah, kita mengetahui majunya peradaban suatu bangsa adalah karena bangsa itu menghormati ilmu pengetahuan dan kebijakan-kebijakan dalam sebuah buku. Kemajuan peradaban islam pada masa awal adalah keinginan yang besar terhadap buku dan haus terhadap ilmu pengetahuan, maka tidak heran apabila pada saat itu banyak ahli-ahli islam menterjemahkan buku-buku dari hasil ilmuwan dan filosof Yunani ke dalam bahasa arab baik itu filsafat, sosiologi, hukum . kedokteran, astronomi dan berbagai bidang ilmu yang memang sudah dibukukan oleh para ilmuwan Yunani kuno seperti Aristoteles dan Plato.

Demikian juga dengan bangsa Barat, kejayaaan Islam di Andalusia dan Baghdad, buku jugalah yang merubah mereka dari abad kegelapan sampai menjadi sang penakluk dan negeri yang maju.  Dunia barat banyak belajar dari dunia islam dalam berbagai disiplin ilmu seperti kedokteran, astronomi, matematika, Geografi, sejarah dan bidang ilmu lainnya, sehingga tak heran banyak nama tokoh islam yang di abadikan dalam dunia barat seperti Aljabar, Avicenna (Ibn Sina), Averroes (Ibn Rushd).

Sejarah juga mencatat, buku banyak yang dimusnahkan dan dibakar. Peristiwa terbesar adalah penaklukan Andalusia (sekarang Spanyol) oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Pendudukan Spanyol atas Andalusia telah membuat kita kehilangan perpustakaan-perpustakaan besar yang diceritakan sejarah dengan mencengangkan. Semua buku dibakar oleh orang-orang yang fanatik. Bahkan buku-buku yang dibakar dalam sehari di lapangan Granada menurut taksiran sebagian sejarawan berjumlah lebih dari satu juta buku.Kitab-kitab karya Imam al-Ghazaly dibakar, ribuan buku dan naskah koleksi perpustakaan umum al-Ahkam II dihanyutkan ke sungai termasuk buku-buku karya Ibnu Tufayl,  Ibnu Rusyd dan  Ibnu Arabi yang tentunya merupakan literature kelas dunia pada masa itu.

Demikian juga di Baghdad, pada masa Kekaisaran dinasti  Abbasiyah. Ketika Tentara Mongol menaklukkan Baghdad. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu. Selain itu Baghdad juga sebagai pusat penterjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa Arab.

Dizaman modern, Jerman dibawah pemerintahan fasis NAZI pada malam hari tanggal 10 Mei 1933, sebuah peristiwa yang tidak pernah terlihat di Eropa sejak abad pertengahan terjadi saat pelajar-pelajar Jerman dari universitas yang pernah dikatakan sebagai salah satu terbaik di dunia, dikumpulkan di Berlin untuk membakar buku-buku berisi pemikiran yang “Bukan Jerman”. Buku-buku yang dibakar antara lain karya Albert Einstein, Thomas Mann, Karl Marx dan para penulis non NAZI lainnya. Tindakan Hitler yang Fasis Jerman juga diikuti musuh besarnya yaitu  Stalin yang Sosialis Rusia dan Mao Zedong, RRC.

Berdasarkan uraian diatas secara sederhana kita dapat menyimpulkan bahwa rezim/penguasa yang membakar buku adalah rezim barbar, rezim fanatik, rezim fasis dan rezim komunis yang semua tindakan mereka telah menorehkan tinta hitam kelabu dalam rangkaian sejarah ummat manusia.

Dalam literatur sejarah, kita mengetahui bahwa mulai zaman kuno sampai zaman modern motif utama pembakaran dan pelarangan buku adalah dengan berbagi alasan seperti stabilitas politik dan kekuasaan, fanatisme agama dan budaya dan pada zaman modern ditambah dengan motif perbedaan ideologi dan nasionalisme yang dimaknai dalam artian sempit.

Dalam zaman modern saat ini, dalam hal perbedaan ideologi misalnya, hal ini semakin absurd dan telah terminimalisir secara signifikan dengan munculnya ideologi demokrasi liberal sebagai satu-satunya pemenang pada abad ini. Dari sekian banyak negara bangsa di dunia ini sebagian besar menerapkan ideology demokrasi liberal dan dengan segala modifikasi dan rekayasanya.

Dizaman beradab dan modern saat seperti dekade ini, seharusnya tidak perlu ada lagi yang namanya razia dan pembakaran buku walaupun apa alasannya, mengingat berbagai tingkat indikator ynng menunjukkan kita beradab seperti tingkat pendidikan yang tinggi, ekonomi yang memadai dan tentu saja kita hidup didalam alam demokrasi yang memberikan kebebasan dan pilihan.   Hal ini tentu saja ada hubungannya dengan adagium bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan ekonomi maka semakin mampu masyarakat negara tersebut untuk beradaptasi dengan perbedaan, dan menyikapi perbedaan adalah sesuatu yang biasa.

Indonesia telah mengalami berbagai fase , dari yang biadab sampai yang beradab. Indonesia di bawah penjajahan Belanda dan Jepang juga mengalami yang namanya razia dan pembakaran buku. Setelah lepas dari penjajahan, Indonesia juga masih harus merazia dan membakar buku di bawah rezim orde lama dan orde baru. Baru setelah era reformasi 1998, buku dianggap sebagai anak kandung reformasi yang ditandai dengan terbitnya segala jenis buku yang pada zaman orde baru dan orde lama dianggap dan dinyatakan sebagai buku terlarang dan haram. Setelah saat itu, pasca era reformasi, masyarakat dan mahasiswa tidak lagi harus sembunyi-sembunyi untuk sekedar membaca Das Kapital-nya Karl Marx atau diskusi sastra tentang Tetralogi Buru-nya Pramoedya Ananta Toer di taman-taman kampus

Namun kini, 2016, harmoni ini telah mulai terusik karena ulah sekelompok massa yang melakukan terror terhadap jenis buku tertentu dengan melakukan aksi razia dan ancaman membakar buku-buku yang mereka anggap akan menghidupkan kembali ideologi tertentu.Kita berharap, tindakan terror ini hanya sporadis dan temporari, dan tidak melebar menjadi tindakan atas nama rezim negara.

Di alam demokrasi liberal yang kita tinggali saat ini, perbedaan adalah hal biasa, ada baiknya kata-kata dibalas dengan kata-kata dengan argumen yang cerdas dan rasional, demikian juga buku dibalas dengan buku. Sikap”tinta dibalas dengan tinta”  ini merupakan tindakan beradab bermartabat, sehingga kelak dapat memperkaya khazanah pemikiran dan mampu meningkatkan minat baca masyarakat yang selama ini begitu rendah di Indonesia.