BATAM MENGGUGAT

Ada beberapa agenda lokal khas Batam yang kiranya menjadi perhatian semua, khususnya mengenai pemberdayaan masyarakat dan permasalahan sosial ekonomi yaitu :

Pertama, Pembangunan Ekonomi yang dilaksanakan di Kota Batam tidak berbasis budaya dan potensi Lokal. Masyarakat yang menghuni wilayah laut atau daerah pinggiran seharusnya mempunyai matapencaharian sebagai nelayan maupun petani, namun oleh program pemerintah baik itu dalam era sentralisasi maupun era desentralisasi, secara sistematis telah dipaksa berubah profesi baik sebagai pekerja sektor industri maupun pekerja sektor jasa di perkotaan. Kenapa hal ini terjadi ?,ini karena pemerintah kota Batam tidak mempunyai konsistensi dan keseriusan dalam penanganan pembangunan masyarakatnya. Kita mengetahui, bahwa tidak ada program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Batam yang mempunyai misi menjadikan masyarakat nelayan tradisional menjadi nelayan yang cakap dan handal dengan menggunakan teknologi dan didukung oleh infrastruktur maupun fasilitas-fasilitas lainnya. Saat ini kita masih menyaksikan bahwa potret masyarakat di daerah pinggiran/pedesaan adalah potret masyarakat dengan atribut ketertinggalan, kemiskinan dan masyarakat yang tidak berdaya baik pada akses ekonomi maupun akses sosial.

Kedua, Disepanjang wilayah pedesaan/pinggiran Kota Batam banyak terdapat unit usaha masyarakat baik UKM maupun Koperasi yang biasanya mengusahakan potensi sumberdaya setempat. Secara kuantitas jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Namun secara kualitas, keberadaan UKM dan Koperasi tersebut sangat memprihatinkan. Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi oleh pelaku UKM dan Koperasi adalah rendahnya kemampuan manajemen dan terbatasnya akses pemasaran. Suatu ketika, dalam sebuah tinjauan ke lapangan, kami menemukan betapa kacaunya pencatatan transaksi yang dilakukan oleh sebuah unit UKM dibidang perikanan yang cukup berpotensi di sebuah wilayah pinggiran Batam. Transaksi keuangan bukannya dicatat di sebuah buku dengan menggunakan standard akuntansi, tetapi malah di catat didinding rumah, di lengan kursi dan disembarang tempat yang nantinya dipastikan akan sulit dianalisis dan dinilai kelayakannya ketika UKM tersebut akan diberi bantuan modal. Seketika, pemasalahan tersebut kami coba akar permasalahnya, ternyata persolannya adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di wilayah tersebut yang mayoritas hanya menamatkan pendidikan formal SD dan SMP

Ketiga, kurangnya keterkaitan antara Kegiatan Industri Investasi asing dengan ekonomi rakyat. Hal ini ditandai dengan begitu kecilnya direct spending budget Industri investasi asing terhadap produk-produk UKM. Kita tidak usah bermuluk-muluk bahwa industri investasi asing akan memakai bahan baku lokal yang di tawarkan sektor UKM, karena mungkin saja sektor UKM tidak mampu menyediakannya. Tetapi kita berharap bahwa sektor pendukung (supporting) untuk kegiatan industri investasi asing dapat dipasok oleh sektor UKM yang nota bene merupakan kegiatan yang digeluti oleh mayoritas rakyat. Namun lagi-lagi tidak terdapat hubungan signifikan, karena kebanyakan industri investasi asing memenuhi kebutuhan akan bahan pendukung industri nya (supporting) dari negara asal masing-masing investor atau dari negara tertentu. Jenis barang/jasa pendukung ini dapat berbentuk kertas, valet, pembungkus, pengikat, karton, tukang kebun, tukang servis, montir dan lain-lain. Hal ketidakterkaitan ini menjadi question mark juga menjelang diterapkannya Special economic Zone (SEZ) di Propinsi Kepulauan Riau. Kita khawatir, karena sifat alamiah dari apapun namanya, baik itu globalisasi, perdagangan bebas maupun ekonomi tanpa batas, biasanya selalu memperdaya yang lemah.

Keempat, Terjadinya proses kegiatan ekonomi rente dalam perdagangan. Kegiatan perdagangan yang semakin maju mendorong sektor lainnya seperti property dan perbankan berkembang. Hal ini ditandai dengan menjamurnya rumah toko (ruko), rumah kantor (rukan), mall, dan bangunan–bangunan lainnya yang tersebar hampir diseluruh Kota Batam. Dari aspek kepemilikan property ini mayoritas dikuasai oleh pemodal besar dan terkadang dikuasai fihak asing dengan kedok pemiliknya masyarakat lokal. Lantas bagaimana proses ekonomi rente itu terjadi ?, pedagang-pedagang kecil yang biasanya menjual makanan, minuman, bengkel, potocopy dan sektor UKM lainnya mau tak mau harus menyewa tempat pada pemilik property dengan harga mahal. Sipemilik property ini dalam membayar property yang dimilikinya dibiayai oleh pedagang-pedagang kecil tadi. Kalau begini modelnya, kapan saatnya sektor UKM bisa tumbuh ?. Mari kita lihat di bangkok, misalnya. Pemerintah setempat menyediakan lokasi yang strategis di tengah kota bangkok untuk sektor UKM bagi rakyatnya dengan berbagai subsidi dan kemudahan kepemilikan bagi sektor UKM

Kelima, Kualitas Hidup yang semakin menurun. Kualitas hidup bukan hanya ditentukan oleh besarnya pendapatan atau lengkapnya fasilitas perkotaan yang lengkap. Faktor yang lebih penting adalah keamanan dan kenyamanan, lingkungan alam dan tentunya pemerataan. Apa gunanya kita tinggal di komplek mewah tetapi disampingnya rumah kumuh bertebaran yang setiap saat menghembuskan aura kriminilitas , atau apa gunanya kita mempunyai pendapatan besar tapi kita sulit bernapas akibat udara segar menghilang karena hutan-hutan digunduli hanya untuk membangun ruko atau perumahan-perumahan hanya karena hutan itu letaknya strategis ? atau yang lebih tragis lagi, tak ada gunanya apa-apa, karena setiap saat bencana alam akan datang karena lingkungan kita telah dirusak, eksplorasi pasir, hutan bakau yang musnah, terumbu karang yang dilindas dan rasa aman yang telah hilang akibat tingkat kriminalitas yang semakin tinggi akibat terjadi kesenjangan antara yang miskin dan kaya.