AMPERA DAN EKONOMI RAKYAT : ABSURDITAS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

Ampera yang saya maksud dalam tulisan ini bukan ingin menjelaskan sebuah  jembatan yang besar dan megah  di Kota  Palembang atau Ampera juga tidak bermaksud untuk menyoroti rumah makan padang sederhana yang biasanya ada di pinggir jalan dan harganya biasanya murah meriah atau nama beberapa becak yang berseliweran di jalanan Malioboro Yogyakarta. Ampera yang saya maksud dalam tulisan ini adalah Amanat Penderitaan Rakyat yang akronimnya AMPERA. Ampera adalah salah satu pemikiran politik dari pendiri bangsa kita Soekarno. Wajar saja, ketika indonesia mulai merdeka, Soekarno melihat bahwa masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kemelaratan rakyat. Kondisi yang sama juga dihadapi oleh negara-negara yang baru merdeka seperti India, Mesir, Pakistan dan lainnya, yang sama-sama melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan bangsa adalah musuh baru pertama yang dihadapi setelah selesai dengan musuh penjajah.

Zaman modern ini pun pemikiran tentang Ampera masih dominan dalam wacana politik yang bahkan secara resmi masuk dalam GBHN, UU maupun Peraturan pemerintah, namun tentunya sudah berganti wujud atau nama. Saat ini namanya program pengentasan kemiskinan atau Inpres Desa Tertinggal atau nama lainnya yang kadang diadopsi oleh daerah namun pada intinya tetap berkutat pada masalah kemiskinan, kemelaratan dan keterbelakangan rakyat.

Kalau Ampera adalah pemikiran Bung Karno, Bung Hatta juga punya pemikiran klasik, yaitu ekonomi rakyat. Konsep ekonomi rakyat yang diusung oleh Bung Hatta yang kemudian secara formalnya termaktub dalam UUD 1945 dalam pasal 33. Ekonomi rakyat yang digagas oleh Bung Hatta berdasarkan kondisi pada saat itu terjadi baik di Asia maupun di Eropa, yaitu sebagai akibat adanya pertentangan kelas  yaitu antara kelas borjuis dan kelas proletar. Menurut Bung Hatta ekonomi Rakyat ala indonesia adalah suatu jalan tengah sebagaimana  yang merupakan Filosofi dari pasal 33 UUD 1945, yang menurut berbagai kalangan sudah mencakup  2 (dua) aliran utama ekonomi  yaitu kapitalisme dan sosialisme. Bung Hatta berpendapat, kemandirian ekonomi suatu bangsa hanya akan dapat tercapai apabila seluruh mesin kegiatan ekonomi digerakkan oleh kekuatan rakyat.

Kini pun pemikiran Bung Hatta tentang ekonomi Rakyat masih abadi. Berbagai instrument hukum dan perundang-undangan baik GBHN, UU, PP maupun Perda.

Dari uraian diatas, kita mengambil suatu kesimpulan, bahwa Ampera dan Ekonomi Rakyat adalah warisan sejarah yang umurnya hampir sama dengan usia Republik ini. Pemimpin bangsa ini silih berganti, namun ampera dan ekonomi rakyat masih merupakan jargon utama setiap generasi pemimpin republik ini. Saking seriusnya terhadap jargon-jargon yang berupaya membuat senang mayoritas rakyat indonesia yang miskin dan terbelakang, pemerintah  membuat suatu institusi yang berupaya untuk mengakomodir Ampera dan ekonomi Rakyat dalam setiap pembuatan kabinet, yaitu menteri negara Koperasi dan UKM serta menteri negara penanggulangan kawasan tertinggal

Demikian juga Propinsi Kepulauan Riau, yang saat ini akan menghadapi pemilihan langsung kepala Daerah (gubernur) pada 30 Juni 2005 yang akan datang. Jargon-jargon ampera dan ekonomi rakyat mendominasi visi dan misi serta spanduk-spanduk dan orasi dalam kampanye. Isu-isu antara lain yang sering kita dengar adalah bapak koperasi dan UKM, bapak orang miskin,  peduli buruh, peduli hinterland dan lain sebagainya. Yang semuanya berupaya untuk merebut simpati kelompok mayoritas di dalam propinsi ini yaitu orang miskin dan tertindas. Dan yang sangat mencengangkan kita, dalam kampanye yang dilakukan oleh Calon Gubernur dan Cawagub, mayoritas peserta kampanye tersebut adalah orang-orang yang masuk dalam kategori “Ampera dan ekonomi Rakyat”.

Paradoks memang, ketika pemerintahan telah berjalan secara definitif, jargon-jargon Ampera dan Ekonomi rakyat berubah menjadi kambing hitam (pedagang kaki lima yang terus digusur tanpa solusi atau pemukim rumah liar yang rumahnya digusur hanya karena akan dibangun mall atau hotel). Kita menyaksikan -pembangunan kota Batam dan kota-kota besar lainnya, bahwa biasanya pemerintah terpilih selalu lebih memperhatikan kelompok minoritas seperti investor, pengusaha dan kelompok minoritas namun punya bargaining yang mayoritas. Di Batam misalnya, pertumbuhan investasi asing yang cukup tinggi ternyata kurang  mempunyai efek pengganda (multifflier effect) secara signifikan terhadap perkembangan ekonomi rakyat demikian juga di Jakarta, pertumbuhan gedung-gedung bertingkat dan properti berbanding terbalik dengan kesejahteraan masyarakatnya.

Tidak ada satupun yang bisa menafikan bahwa petumbuhan ekonomi kota Batam begitu tinggi. Berbagai indikator-indikator seperti PDRB, tingkat pertumbuhan, inflasi dan indikator lainnya turut mendukung. Namun pertumbuhan itu juga secara paralel menumbuhkan berbagai kemelaratan dan kemiskinan. Berbagai potret tentang kemiskinan dan penderitaan rakyat masih mendominasi dalam setiap relung pembangunan ; rumah liar, lingkungan kumuh, anak telantar, premanisme dan pelacuran adalah potret besar dalam ruangan pembangunan Kota Batam

Dari apa yang dihasilkan oleh pembangunan di masa lalu, ada baiknya Pemerintah daerah  melalui Badan perencananya beserta gubernur yang akan terpilih nantinya, harus bisa merealisasikan janji-janjinya kepada masyarakat untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Pendekatan-pendekatan seperti lebih berorientasi pada investor asing atau konsep menjadi lokomotif ekonomi nasional harus diubah  dan diarahkan agar mempunyai multifflier effect terhadap masyarakat umumnya, untuk apa menjadi lokomotif ekonomi nasional sedangkan penumpang di gerbong paling depan harus berdesakan mencari tempat duduk dan berebut mencari makanan ?.

Mahbub ul Haq dalam buku The Poverty of Curtain  mengingatkan para perencana pembangunan  “sudah waktunya kita membalikkan teori ekonomi dan meletakkan kepalanya di bawah. Laju pertumbuhan yang makin besar bukan jaminan untuk melawan kemiskinan yang makin buruk, memisahkan kebijaksanaan produksi dengan kebijaksanaan distribusi adalah tindakan salah dan berbahaya”. Konsep Pertumbuhan dimanapun biasanya selalu menyisakan persoalan besar, yaitu ketimpangan (gap) baik ketimpangan pendapatan maupun  ketimpangan regional.

Jadi yang diperlukan nantinya dalam mengisi pemerintahan Propinsi Kepulauan Riau pasca Pilkada adalah sebuah perencanaan pembangunan yang adil dan terintegrasi, yang disatu sisi kita mengundang investasi asing masuk ke Propinsi Kepri namun disisi lain masyarakat umum harus dapat menikmatinya dalam bentuk interaksi ekonomi alamiah (bukan dalam bentuk sumbangan atau community development). Propinsi ini juga butuh pembangunan yang berbasiskan lingkungan, hal ini terutama banyak sektor usaha ekonomi rakyat yang tergantung dengan lingkungan alam, misalnya petani budidaya ikan, rumput laut dan nelayan tentunya. Untuk itu diharapkan kepala daerah propinsi ini harus mampu mensinergikan antara kepentingan asing dengan kepentingan masyarakat banyak Kita telah melihat, manfaat investasi asing pada masa lampau hanyalah sebatas dalam penyerapan tenaga kerja dan infrastrukstur saja (berbagai kritikan tajam dari kalangan LSM menilai bahwa kekayaan kita telah di rampok oleh negara lain). Kedepan kita berharap, bahwa proses pembangunan di Propinsi kepulauan Riau harus bisa menjadi katalisator bangkitnya ekonomi rakyat yang jumlahnya mayoritas dalam struktur perekomian di dunia ketiga seperti Indonesia. Bung Hatta percaya, bahwa jika ekonomi rakyat maju, maka akan dapat meyerap lagi tenaga kerja yang seterusnya akan menghasilkan efek pengganda (multifflier effect) terhadap produktivitas perekonomian dan konsumsi rumah tangga dan pada akhirnya adalah terwujudnya kemandirian ekonomi yang berbasiskan kekuatan dan pemberdayaan masyarakat.